LOGINShitt! Eve tidak pernah sejengkel ini pada Bastian. Pria itu bilang nanti sore akan ke rumah sakit untuk bermain dengan adiknya. Nyatanya apa? pria itu tidak datang. Bahkan pesannya saja tidak dibalas. Teleponnya tidak diangkat. Tidak ada kabar sama sekali. Eve duduk di bangku taman. Dengan adiknya yang duduk dengan lesu. “Karena Om Bastian tidak bisa, jadi kamu bermain dengan kakak.” Eve berjongkok. “Jangan cemberut. Ayo bermain. kakak memang tidak bisa, tapi kamu bisa mengajari kakak.” Grey menunduk—masih memeluk bola basket. Bibir bocah itu manyun. Tidak ada wajah yang ceria. Lesu dan kecewa. “Tadi katanya sore. kenapa tidak bisa ke sini?” tanya Grey tidak terima kalau Bastian benar-benar tidak bisa datang dan bermain dengannya. “Om Bastian sibuk, sayang.” Helena mengusap puncak kepala Grey. “Nanti kalau Om Bastian tidak sibuk. pasti dia akan datang dan bermain dengan kamu.” “Sekarang bermain saja dengan kakak.” Menunjuk Eve. “Bagaimana dengan kami, Grey?”
“Kak Eve sudah selesai?” tanya Meta yang berpapasan dengan Eve. Eve berhenti—ia baru saja melakukan operasi. “Kenapa?” tanyanya dengan bingung. “Aku tadi lewat ruangan adik kak Eve, dia menangis. Mungkin kak Eve bisa ke sana.” “Ya. Aku akan ke sana.” Eve buru-buru pergi ke ruangan adiknya. Tidak membutuhkan waktu yang lama. Ruangan Grey tidak terlalu jauh dari ruang operasinya. Sehingga ia bisa cepat sampai di ruangan Grey. “Hai..” Eve membuka pintu. “Kenapa kamu menangis?” tanya Eve mendekat. Ibu Eve berdiri—tidak bisa membujuk putranya yang marah. Meski sudah berhenti menangis, tapi Grey masih marah. Melengos tidak mau memandang ibu maupun kakaknya. “Dia ingin pulang, dia ingin main basket,” ucap Helana, Mama Eve. Lelah—memilih untuk dudu di sofa. keinginan Grey tidak akan bisa terwujud sampai Grey sudah melakukan operasi. Eve mendekati Grey—menarik kursi mendekat di pinggir ranjang Grey. “Kamu ingin apa?” tanya Eve. Grey melirik Eve. “Pulang.” “Sebent
Pulang… Eve tidak tahu apa yang ingin dibicarakan oleh orang tuanya. Sampai mereka duduk di sofa. Berdampingan, Eve memeluk kakinya dengan santai sembari menunggu papa berbicara lebih dulu. “Bagaimana hubungan kamu dengan Bastian?” tanya Papa. Eve menoleh sebentar. “Baik-baik saja.” lalu mengambil air di atas meja. “Hanya itu yang ingin Papa tanyakan padaku?” “Ada banyak perubahan setelah kamu menjalin hubungan lagi dengan Bastian. Kamu bilang kamu sudah membayar biaya rumah sakit Grey. Tapi setelah papa meminta bukti dari rumah sakit, tertera nama Bastian sebagai pembayar.” “lalu, tiba-tiba kamu pindah ke rumah sakit Skyline. Dan terakhir hari ini papa mendapatkan tawaran dari Skyline untuk bekerja sama.” Andrian menghela napas kemudian menghadap putrinya. “Katakan dengan jujur. Kamu memanfaatkan Bastian untuk melakukan semua itu?” Eve melotot. “Memanfaatkan?” tanyanya. Kemudian menggeleng. “Tidak ada. Eve tidak meminta, tapi Bastian sendiri yang ingin membantu.” Andrian me
“Ya tentu saja. Aku belum pernah bertemu dengan mereka,” balas Eve mengangguk setuju. Eve menatap ponselnya yang berdering di atas meja. “Tunggu!” Bastian menarik pinggangnya. “Kau terlihat lebih manis menggunakan kaosku.” Eve menyipitkan mata. “Tapi aku malu.” Eve mendorong dada Bastian sampai pria itu melepaskan rangkulannya di pinggang. “Aku harus melihat ponselku dulu.” mengambil ponselnya. memeriksanya sebentar. “Dari rumah sakit? Kau akan meninggalkanku lagi?” tanya Bastian. “Hm tidak…” balas Eve menoleh ke belakang. Bastian menenggelamkan wajahnya diceruk leher Eve. memeluk wanita itu lebih erat. “Dari siapa?” tanya Bastian. “Dari Papa. Ingin berbicara sebentar denganku.” Mengusap pelan tangan Bastian yang berada di perutnya. Bastian mengangkat kepalanya dan mengernyit. “Aku juga tidak tahu. Aku akan berbicara padanya nanti,” balas Eve. “Bastian…” Eve melepaskan diri. Kemudian berhadapan dengan pria itu. “Aku akan berusaha percaya.” Bastian mengambil t
Demi apapun, Eve tidak ingin bertemu dengan bu Yerin dan kak Arsen seperti ini. Tadi ia kebingungan saat pintu terkunci. Seharusnya ia diam saja dan menunggu Bastian kembali. Tapi dirinya sendiri tidak mau diam dan akhirnya mencari kunci di setiap laci. Sampai akhirnya ia bisa membuka kunci. Lalu ketika ia keluar—langsung berhadapan dengan bu Yerin dan kak Arsen. Dan berakhirlah ia di sini…. Duduk di kursi, meja makan yang sudah terisi oleh banyak makanan. Yerin menatap Eve. “Santai saja, Eve. Tidak perlu malu, bu Yerin mengerti.” Eve tersenyum awkard. Ia mengangkat piringnya saat Yerin mengambilkan lauk untuknya. “Jadi kalian kembali bersama?” tanya Yerin menatap keduanya. Bastian mengangguk. “Ya. Kita kembali bersama.” Diam-diam tangannya yang berada di bawah mengusap paha Eve. Bukan usapan lembut yan menenangkan, tapi usapan nakal yang aneh. Sehingga Eve segera menepisnya. Ia menoleh dan melototi Bastian agar diam. Yerin mengangguk pelan—menatap suaminya
Arsen sudah kesal karena Bastian tidak kunjung membuka pintu. Bahkan panggilannya saja tidak diangkat. “Aku sudah bilang kita tidak usah ke sini. dia pasti melupakan kita, dia pasti belum pulang,” ucap Arsen pada Yerin. Yerin menggeleng. “Tunggu dulu. siapa tahu dia ketiduran.” Arsen menghela napas pelan. kemudian menarik pinggang Yerin. “Bukankah lebih baik kita di rumah saja, bermesraan selagi libur? Bukannya di sini. menunggu Bastian yang entah ke mana perginya.” Yerin mendongak. “Kata kamu dia selalu bekerja tanpa henti. Aku jadi khawatir, kita harus memastikan keadaannya dulu.” Arsen memutar bola matanya malas. Kemudian tangannya tidak sabaran menekan tombol. Berulang kali. Sampai membuatnya lelah sendiri. Arsen berkacak pinggang. “Dia sudah dewasa. Dia tidak perlu perhatian kita lagi.” Plak! “Akh!” Arsen mundur. Yerin memukul lengannya. “Dia anak kita juga,” balas Yerin. “Meskipun sudah dewasa, kita harus tetap memperhatikannya.” Sudah mengomel dengan wajah







