:-0
Shakira menatap mata Luis tanpa gentar. Otaknya memproses jawaban dengan menggunakan memori lamanya saat masih bersama Ben. Hal yang sebenarnya tidak ingin Shakira ingat lagi, namun pertanyaan Luis membuatnya harus kembali membuka kenangan menyebalkan itu.Dan Shakira tahu, Luis pasti akan meminta jawaban yang cerdas dan berbobot."Kalau menurutku, Ben nggak pernah menyerang di tempat yang sama untuk kedua kalinya, Den Mas. Dia selalu punya ide baru dan yang paling penting, dia akan menyerang dari titik terlemah yang nggak pernah kita duga."Luis menyipitkan mata, seolah menunggu Shakira melanjutkan."Laporan pemasaran Sigaret Hartadi mengalami trend positif karena Ben lagi sibuk sama pemberitaan skandalnya. Dia nggak sempat bikin berita buruk tentang sigaret Hartadi. Tapi dia punya anak buah yang selalu bekerja mencari kelemahan kompetitor."Shakira menengadah, membiarkan pikirannya berlayar ke masa lalu, saat ia masih mengenal Ben sebagai pria yang ambisius dan penuh perhitungan. Na
Di ruang kerja yang kembali hening setelah Shakira keluar, Luis menekan pelipisnya. Rahangnya masih menegang, jelas sekali ia sedang menahan amarah karena ucapan Shakira.Lemah namun tetap berani dan menantang. Seolah dia tahu bagaimana mengendalikan Luis perlahan-lahan. Padahal Luis yang ingin membuatnya mudah diatur.Beberapa detik kemudian, ia menghubungi David dari ponsel mahalnya.Suara David terdengar tegas namun tetap sopan. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”Ini sudah malam, namun David selalu terbiasa menerima panggilan Luis selama dua puluh empat jam penuh.Luis menatap foto wisudanya beberapa tahun silam dari sebuah universitas paling bergengsi di Inggris dengan suaranya yang dingin.“Shakira … dia udah mulai berani ngelawan, Vid. Dia pikir karena aku dan Ben sama-sama memperebutkan dia, makanya bisa bicara seenaknya. Lancang!”Ketika Shakira mulai keras kepala, menolak aturan-aturannya, itu seperti menyerang tatanan yang Luis anggap sudah final. Karena Luis terbiasa disanjung
“Ini Shakira. Teman lamaku,” ucap Luis datar, jelas, dan penuh penekanan di hadapan para asisten rumah tangganya. “Untuk sementara waktu, aku izinin dia tinggal di sini sama anak dan pengasuhnya. Perlakukan mereka baik-baik dan jangan banyak tanya atau cari tahu siapa dirinya.”“Baik, Den Mas,” jawab para asisten serempak.Shakira tersenyum kaku, mencoba memainkan peran sesuai arahan. Ia menunduk sedikit sebagai tanda hormat pada Luis.“Terima kasih udah menerima dan memberi kami tumpangan, Den Mas.”Ingin sekali Shakira meludah setelah mengucapkan kalimat itu. Sungguh, dia bukan perempuan yang terbiasa menjilat.Beberapa asisten melirik penasaran, tapi cepat-cepat menunduk kembali karena tatapan Luis seperti mengunci gerak mereka.Ningsih menepuk lembut bahu Shakira, memberi sinyal agar tenang. Sementara Belliza justru tampak ceria, ia melambai kecil ke salah satu asisten muda yang membalas senyum ramah padanya.Namun, di balik ketenangan itu, Shakira tahu bahwa setiap langkah dan uca
"Sekarang, kamu resmi milikku. Ingat, ini bukan soal cinta, tapi soal kekuasaan dan perlindungan.”Shakira hanya mengangguk sambil menunduk.Bagi Luis, ini adalah kemenangan strategi. Tapi bagi Shakira, ini adalah titik terdalam dari rasa kehilangan dirinya.Kemudian Shakira menerima sebuah kotak kecil beludru hitam yang disodorkan oleh David atas nama Luis. Di dalamnya, sebuah cincin berlian bermata biru berkilau di bawah cahaya lampu ruangan, seakan memantulkan setiap perasaan yang kini berkecamuk di dadanya.Matanya terpaku beberapa detik. Ada rasa asing sekaligus getir yang menyeruak. Ia tahu, cincin itu sangat mahal, bahkan mungkin salah satu yang terbaik yang bisa dibeli dengan kekayaan Hartadi.Luis meliriknya dengan senyum tipis yang lebih mirip ejekan.“Semua perempuan suka perhiasan kayak gini. Mustahil kalau kamu nggak suka.”Shakira menghela napas panjang, lalu perlahan menutup kotak cincin itu tanpa sedikit pun berusaha menyelipkannya ke jari manis. Wajahnya menegang, bibi
Hari itu berjalan lebih cepat dari yang Shakira harapkan.Udara pagi yang seharusnya sejuk justru terasa berat menekan dadanya. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana pilihan Ningsih. Tidak ada hiasan mewah, tidak ada riasan berlebihan. Wajahnya masih menunjukkan sisa lebam samar yang ditutupi oleh bedak.“Non, jangan takut. Percaya saja ini semua buat kebaikan kalian,” bisik Ningsih lembut sambil merapikan kerah gaunnya.Shakira hanya mengangguk. Di dalam hati, ia menjerit karena ini bukan pernikahan yang ia impikan, melainkan jerat yang semakin menenggelamkannya.“Non Shakira, jangan cemas. Saya akan menjaga Non kecil Belliza. Nggak usah mikir macam-macam.”Shakira menoleh, sorot matanya basah namun ada sedikit kelegaan. Ia tahu, setidaknya ada satu orang yang bisa ia percaya di tengah keterpaksaan ini.Ningsih sudah seperti bundanya sendiri. Menguatkannya ketika dia remuk redam.“Aku kayak kehilangan semuanya, Bu Ning.”“Nggak, Non. Justru dengan mengikuti apa yang De
Shakira mengusap kasar air mata di pipinya, lalu mendongak menatap Luis dengan tatapan kesal bercampur kecewa. Namun di dalam dadanya masih menyimpan bara kecil keberanian.Dia bukan sepenuhnya perempuan lemah. Bukan sekadar wanita yang bisa diatur sesuka hati.Shakira pernah menjadi putri kesayangan keluarga Paralio, keluarga terpandang yang membesarkannya dengan kasih sayang, disiplin, dan kehormatan.Hidupnya dulu penuh aturan yang jelas, tetapi bukan berarti dia pernah menjadi boneka. Dia tumbuh dengan prinsip, diajarkan untuk memilih jalannya sendiri, dan dihormati atas setiap keputusan yang dia buat.Hanya saja, semuanya berubah setelah dia memilih melepaskan diri dari keluarga Paralio karena hamil di luar nikah. Dia tidak ingin nama baik keluarga dan bisnis ayahnya hancur karena perbuatannya.Sejak saat itu, harga dirinya terkikis sedikit demi sedikit, ditelan oleh kenyataan perginya Devano tanpa mau bertanggung jawab. Lalu terjebak dalam pernikahan settingan bersama Ben yang pe