"Memangnya kenapa? Aku hanya punya pakaian ini didalam lemariku."
Aruna melihat isi lemari Calvin yang hanya dipenuhi oleh kemeja kerja dan juga jas tergantung rapi. Aruna sampai bingung, apakah dia akan menggunakan kemeja Calvin untuk tidur. "Bagaimana dengan pintu ini? Apakah isinya juga pakaian kerjamu?" "Buka saja. Aku tidak ingat apakah masih ada pakaian yang tertinggal disini." Aruna membuka pintu yang lain dan melihat deretan pakaian yang tersusun rapi. Aruna sampai menyerah dan pasrah untuk memakai kemeja Calvin untuk tidur tapi dia melihat warna yang berbeda dideretan pakaian putih yang terlipat rapi. "Bagaimana dengan ini? Sepertinya ini bisa aku gunakan." "Terserah padamu saja." Aruna mengambil sebuah baju kaos dengan ukuran yang cukup besar jika digunakannya. Aruna langsung masuk ke dalam kamar mandi dan melepas semua pakaiannya. Aruna mencoba mencari peralatan mandi yang bisa digunakannya. Disana hanya ada peralatan mandi milik Calvin. Aruna menyentuh dan mencium aroma dari sabun dan sampo milik Calvin. Aruna menutup matanya seolah Calvin ada di dekatnya saat ini. "Peralatan mandinya ada didalam lemari jika kamu ingin menggunakannya." Teriak Calvin dari luar. Aruna sudah terlanjur menggunakan sabun dan sampo milik Calvin. "Aromanya!" Ucap Aruna dalam hati. Aruna tersadar ketika otaknya sudah berpikiran kotor ketika mencium aroma yang sama dengan tubuh Calvin. "Apa yang kamu pikirkan Aruna! Otakmu mulai kotor, Aruna." Aruna memukul kepalanya seakan membetulkan bagian otak yang salah. Aruna selesai mandi dan membuka pintu kamar mandi. Saat pintu itu terbuka Calvin yang sedang berbicara menggunakan ponselnya menatap ke arah Aruna yang keluar hanya menggunakan baju kaos yang pernah Calvin pakai sebelumnya. Baju kaos yang longgar, pendek dan rambut Aruna yang basah membuat Aruna tampak seksi saat ini. "Nanti aku hubungi kembali." Calvin memutuskan pembicaraannta dengan seseorang karena dia sudah mulai tidak fokus. Aruna melangkah ke arah Calvin. Semakin Aruna mendekat, Calvin semakin jelas melihat bagian dalam dari kaos yang digunakan Aruna. Bagian ujun9 dada Aruna terlihat jelas karena Aruna sama sekali tidak memakai pakaian dalam bagian atas. Calvin menatap Aruna membuat jantungnya berdetak tidak normal. Calvin tidak bisa seperti ini, dia memutar badannya dan berjalan ke arah kamar mandi. "Aku akan mandi! Jika kamu ingin istirahat lebih dulu, lakukanlah." "Disini? Di ranjang ini?" "Kamu pikir akan tidur dimana? Jika kamu mau tidur dilantai, silahkan saja." "Lalu kamu akan tidur dimana?" "Menurutmu?" "Kita........" Aruna menunjuk langsung ke ranjang yang akan mereka gunakan. "Jika kamu tidak mau tidur bersama denganku, maka kamu bisa tidur dimana saja asal didalam kamar ini." Calvin melangkah masuk ke dalam kamar mandi karena dia tidak sanggup menatap Aruna terlalu lama. Calvin merasa ada yang tidak beres dengan dirinya saat ini. Calvin membanting pintu kamar mandi dengan cukup kuat yang membuat Aruna kaget. "Kenapa dia yang marah? Harusnya aku yang marah karena tidur berdua dengannya." Aruna naik ke atas kasur untuk tidur. Aruna menarik selimut untuk memejamkan matanya. Sedangkan Calvin yang ada di dalam kamar mandi masih bersender di pintu kamar mandi memegang jantungnya. "Kenapa dengan jantungku? Kenapa detaknya sangat cepat? Apa aku mengalami sakit jantung?" Calvin berusaha menenangkan dirinya, tapi Calvin kembali terbayang wajah Aruna yang menggoda dengan kaki yang mulus, wajah natural, rambut yang basah dan paling menggoyahkan iman seorang Calvin Adelio Darwish ketika dia tanpa sengaja melihat ke arah dada Aruna yang terlihat jelas bagian ujungnya. "Shit! Kenapa aku membayangkannya lagi. Aku harus menenangkan diriku. Aku tidak bisa seperti ini." Calvin menyalakan kran air untuk berendam dan merilekskan dirinya. Cukup lama Calvin berendam dengan aroma terapi yang menemaninya. Calvin keluar dari kamar mandi dan melihat Aruna sudah tertidur lelap di atas kasur. Calvin berdiri memegang handuk menatap ada seorang wanita cantik tidur diatas ranjangnya. Calvin ingin istirahat, tapi Calvin sudah membuat perjanjian dengan Aruna untuk tidak saling menyentuh selama pernikahan mereka terjalin. Calvin perlahan mengambil bantal dan guling untuk tidur di sofa kecil yang ada di kamarnya. *** Tok! Tok! "Tuan Calvin!" Panggil Vivi yang datang pagi sekali untuk mengantarkan pakain Aruna yang telah dipesan Calvin semalam. Calvin terbangun dan melihat ke arah kasur. Dia melihat Aruna masih tidur, tapi pandangan Calvin kini tertuju pada kaki putih mulus Aruna. Selimut yang dipakainya semalam oleh Aruna sudah terlepas. "Kenapa wanita ini selalu membuat jantungku berdetak tidak normal?" Calvin sedikit kesal ketika bangun pagi sudah melihat hal yang membuat jantungnya tidak normal. Calvin langsung membuang muka dan berdiri untuk membuka pintu kamar menemui Vivi. "Tuan! Ini bagu Nyonya dan juga baju anda." "Terima kasih Vivi. Minta Rico menyiapkan mobil segera, setelah Aruna bangun kita kembali kerumahku." "Baik Tuan." Calvin menutup pintu dan berbalik menghadap ke arah Aruna. "Calvin!" Sapa Aruna. Calvin kaget dan menjatuhkan tas yang dipegangnya. "Kamu membuatku terkejut. Kapan kamu bangun?" "Aku baru bangun saat mendengarmu berbicara. Siapa tadi yang datang?" Posisi Aruna yang tepat ada didepan Calvin sambil mengikat rambutnya membuat Calvin merasa tidak nyaman. Calvin melihat paha Aruna dengan jelas dan juga melihat kecantikan Aruna saat pagi hari. Calvin langsung melangkah menghindar dari Aruna. "Calvin!" "Hmm!" "Aku bertanya, siapa yang datang? Dan ini, apakah pakaian ganti kita?" "Iya. Itu pakaianmu dan pakaianku juga. Mandilah segera, kita akan kembali pulang pagi ini juga." "Baiklah! Tapi...." Aruna melangkah mendekati Calvin. "Tetap disana dan jangan mendekat." "Kenapa?" "Tidak ada. Aku mau mandi lebih dulu." Calvin meninggalkan Aruna yang tampak kebingungan karena tidak tahu kenapa Calvin bertingkah aneh kepadanya.Calvin duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar kencang, wajahnya merah padam saat Aruna menatapnya tajam. Mata Aruna tak berkedip, menelusuri setiap gerak-geriknya yang canggung. "Apa sebenarnya niatmu ada di sini, dekat aku saat aku tidur?" suara Aruna pelan tapi penuh makna, membuat Calvin hampir kehilangan kata-kata. Tubuh Calvin sedikit mundur, seolah ingin menjauh agar niatnya untuk mencium Aruna tidak ketahuan, namun Aruna sepertinya menyelidik apa yang ingin dilakukan Calvin. "Aku... aku cuma ingin merapikan rambutmu," jawab Calvin terbata-bata sambil berdiri untuk menjauhi Aruna. "Kalau rambutmu nutupin hidung, kamu pasti susah napas saat tidur." Aruna duduk tegak, tangannya meraba-raba rambutnya dengan ragu, matanya menyimpan pertanyaan yang belum terjawab. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, Calvin tiba-tiba menarik napas panjang dan berkata dengan nada serius, "Malam ini aku tidak tidur di ru
"Ada apa dengannya? Semakin aneh! Tapi tidak masalah dia pergi lebih cepat dari pada dia terus menanyai soal Ayahnya dan aku tidak tahu harus mengatakan apa." Aruna juga ikut masuk ke dalam rumah. Aruna memilih ke dapur untuk bertanya kepada pelayan apa yang akan mereka siapkan untuk makan malam. Tuan Darwish melangkah keluar dari rumah putranya dengan wajah memerah dan alis berkerut tajam. Rasa kesal menguasai seluruh tubuhnya setelah usahanya mengancam Aruna agar menjauh dari Calvin gagal total. Dalam bisikannya yang penuh amarah, ia mengutuk wanita itu dengan kata-kata kasar yang nyaris tak terkendali. Begitu sampai di mobil, tangan besarnya mencengkeram setir dengan erat, lalu tiba-tiba memukulnya keras hingga terdengar dentuman nyaring. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak teratur, tanda jelas luapan emosi yang membara di dalam dirinya. “Sialan! Wanita itu pikir dia siapa? Aku tak akan diam saja!” geramnya sambil menggertakkan
Aruna menatap kertas yang terlipat rapi di tangannya, angka besar di cek itu seolah berkilau memanggil-manggil hasrat dan kebingungan sekaligus. Matanya membelalak, jantungnya berdegup tak menentu. "Apa maksud Ayah dengan ini?" suaranya terdengar lirih, namun ada getar ketegangan yang sulit disembunyikan. Tuan Darwish yang berdiri di hadapannya, malah mengalihkan pandangan ke taman luas yang dibangun Calvin, napasnya panjang sebelum akhirnya menatap tajam ke arah Aruna. "Aku tidak suka kau memanggilku ayah. Aku tidak mengakui kau sebagai menantuku," ucapnya dingin, kata-katanya menusuk seperti pisau yang membuat Aruna tercekat. Aruna terdiam, matanya menunduk, dada sesak seolah beban penolakan itu menekan seluruh tubuhnya. Hatinya hancur, tapi tak ada setetes air mata yang jatuh. Dia tahu, dalam diam itu, dia dianggap asing, bahkan oleh pria yang seharusnya menjadi keluarga walaupun pernikahan ini hanya sebuah pernikahan dengan perjanjian.
Stevani melangkah keluar dari sebuah kafe yang tidak terlalu ramai bahkan tidak begitu dikenal orang. Stevani sengaja membuat janji dengan Paman Darwish dilokasi itu agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh siapapun. Stevani keluar dengan mata yang bersinar penuh kemenangan setelah berhasil mengajak Ayah Calvin terjerat dalam rencana liciknya. Wajahnya yang tadinya tegang kini berubah menjadi senyum tipis penuh arti. Tak jauh dari situ, sosok Harry sudah menunggu dengan sabar, mengenakan jaket kulit hitam yang menambah pesonanya sebagai model majalah dewasa. Tanpa ragu, Stevani mendekat dan berjabat tangan erat dengan Harry. Tangannya yang lentik menyentuh tangan pria itu seolah memberi sinyal bahwa mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan. Dengan gerakan lembut, Stevani memberikan kecupan ringan di pipi kiri Harry, kemudian beralih ke pipi kanannya. Senyum manisnya merekah sempurna, memperlihatkan kepercayaan diri yang memikat. Kemu
Rico menatap Calvin dengan mata membelalak, jantungnya seolah berhenti sejenak saat pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Tubuhnya yang biasanya tenang kini gemetar halus, bibirnya sulit membuka untuk menjawab. Calvin, yang berdiri disamping Rico namun matanya menatap tajam penuh harap, mulai menunjukkan tanda ketidaksabaran. “Rico, pernah tidak kamu merasakan jantungmu berdetak kencang saat dekat dengan wanita?” tanya Calvin lagi dengan nada yang lebih mendesak. Rico akhirnya mengangguk pelan, suara seraknya keluar, “Pernah… saat aku dekat dengan wanita yang aku sukai.” Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Calvin menyeringai kecil, lalu membalikkan pertanyaan, “Yang lain?" "Maksud Tuan?""Maksudku apakah ada yang lain selain menyukai wanita? Aku rasa itu tidak masuk dalam masalahku.""Bagaimana Tuan bisa begitu yakin? Apakah Tuan sudah menganalisanya saat di kondisi yang berbeda? atau apakah Tuan pernah mengalami hal sepertu itu jika berhadapan dengan wanita yang t
Aruna tidak menemukan Calvin setelah selesai mandi. Calvin bahkan tidak meninggalkan pesan kemana dia pergi. Aruna keluar dari kamar dan berjalan turun ke lantai bawah. "Kamu sudah bangun?" sapa Nyonya Sabrina ketika melihat menantunya turun dengan wajah lebih segar. "Sudah Ibu! Apakah kamu melihat Calvin?" "Calvin? Apa dia tidak mengatakan akan pergi kemana?" Aruna menggelengkan kepalanya, "Calvin tadi sudah pergi dengan terburu-buru bersama Rico untuk urusan pekerjaan. Dia hanya menitip pesan kepadaku agar disampaikan kepadamu." Nyonya Sabrina mengajak Aruna berjalan ke ruang makan untuk mengajak menantunya sarapan pagi. "Calvin mengatakan jika kamu masih ingin disini maka nanti sore dia akan menjemputmu. Tapi jika kamu ingin kembali pulang, maka supir yang akan mengantarkanmu." Aruna sudah duduk dikursi dan Nyonya Sabrina mulai menyajikan sarapan yang telah dibuatnya. Tidak berapa lama Tuan Alex ikut bergabung dan duduk di kursi kebesarannya. "Pagi Tuan!" sapa Aruna y