"Aku akan membantumu asal kamu mau mengikuti semua permintaanku serta syarat yang aku berikan." Sebuah pernyataan yang keluar dari mulut seorang Calvin Adelio Darwish kepada wanita yang tanpa sengaja masuk ke dalam mobilnya dalam keadaan berlumur darah. Apakah Aruna akan menerima tawaran yang disampaikan oleh Calvin? Atau Aruna menolaknya? Lalu apa yang menjadi alasan Aruna masuk ke dalam mobil pria yang tidak dikenal?
Lihat lebih banyak"Tidak! Tidak! Aku tidak sengaja melakukannya." Ucap wanita yang tangannya dipenuhi oleh darah segar sambil menggerakkan kepalanya.
Tok! Tok! "Tidak, tidak, tidak... siapa itu?" Kepanikannya saat pintu kamar hotel di ketuk. Tok! Tok! "Tuan!" Panggil seseorang dari balik pintu. "Jangan, jangan buka pintunya.. tolong, jangan..." Aruna sangat panik dan juga ketakutan. Aruna melihat sekeliling kamar, mencari tempat untuk bersembunyi atau menghilangkan bukti tapi dia kembali fokus dengan tubuh yang tergeletak dilantai dengan pisau yang ada disamping pria itu. "Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa ketahuan... aku tidak bisa dituduh sebagai pembunuh... Aku tidak sengaja melakukannya." Aruna mencoba membersihkan noda darah sebanyak mungkin, tapi masih banyak yang terlihat dan dia semakin panik ketika ketukan pintu terus terdengar. "Tuan! Apakah anda baik-baik saja?" Tanya pria yang mulai curiga dengan situasi didalam kamar Bosnya. "Tolong, tolong jangan biarkan mereka menemukan aku... tolong..." Aruna mencoba berdoa sambil menenangkan dirinya. Aruna mencoba berpikir langkah apa yang harus dilakukannya saat ini. "Tenang Aruna! Kamu tidak boleh sampai ketahuan atau hidupmu akan hancur." Aruna menarik nafas dan menatap kembali ke arah tubuh pria yang ada dilantai. Merasa sudah tenang, Aruna menarik nafas dan menghembuskannya. "Bosmu sedang tidur, Tuan. Jadi jangan mengganggunya." Teriak Aruna dengan tangan yang gemetar mencoba menahan rasa paniknya saat ini. "Baik Nona. Tapi bisakan kamu menyampaikan pesan agar segera menghubungiku?" "Akan aku sampaikan. Jadi sebaiknya jangan ganggu tidurnya." Aruna sampai menggigit bibir bawah menahan rasa takut dan juga panik saat ini. Pria itu segera pergi dan percaya dengan ucapan Aruna. Mendengar langkah kaki yang perlahan menjauh, Aruna sedikit lega. Dia kembali memutar otaknya untuk bisa segera keluar dari sana. Aruna bernapas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, "Aku harus keluar dari sini tanpa ketahuan." Aruna mengambil pisau yang ada dilantai dan memasukkannya ke dalam long coat yang dipakainya sambil memeriksa apakah ada sesuatu yang bisa memberatkan dirinya lagi. Aruna perlahan membuka pintu kamar sambil melirik ke arah koridor hotel untuk memastikan tidak ada orang disana. Aruna menutup pintu kamar dengan pelan sambil menunduk untuk tidak bisa tertangkap kamera CCTV di koridor. Aruna: _melihat koridor kosong dan berlari ke lift untuk keluar dari hotel tanpa ada yang mengetahuinya. Aruna berjalan cepat dan tidak menoleh ke belakang, mencoba tidak menarik perhatian dari siapapun. Ting! Pintu lift terbuka ketika dia sudah sampai di lobi hotel. Jantung Aruna berdetak sangat kencang ketika dia melihat banyak orang di hotel. Langkah kaki Aruna terasa berat tapi dia harus segera meninggalkan tempat itu. Long coat yang digunakannya langsung di tarik untuk menutupi pakaian yang terkena noda darah. Aruna berjalan sedikit menunduk agar wajahnya tidak terlihat. Aruna terus berjalan hingga dia melihat asisten pria yang tewas itu ada di lobi hotel sambil berbicara dengan ponselnya. Aruna panik dan segera berjalan dengan cepat untuk keluar dari hotel. Sampai di depan hotel, Aruna tanpa berpikir panjang masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam. "Cepat jalan, Tuan." Ucapnya tanpa melihat isi didalam mobil. Pria yang ada disamping Aruna duduk tenang sambil menatap diri Aruna yang berantakan. Bahkan supir yang duduk dibalik kemudi tidak menghiraukan perintah Aruna. "Tunggu apa lagi, Tuan? Cepat jalankan mobilnya." Perintah Aruna dengan sedikit memaksa tanpa melihat sama sekali karena dia masih fokus memperhatikan asisten pria terbunuh itu yang kini ada di luar hotel dekat dengan mobil yang ditumpangi Aruna. "Hmm!" Suara itu membuat Aruna sadar kalau dirinya tidak sendirian di dalam mobil. Aruna dengan perlahan membalikkan badannya dan melihat suara siapa yang didengarnya. Saat Aruna melihat ada sosok pria disampingnya, Aruna kembali kaget. "Maaf! Aku salah naik mobil." Aruna berniat keluar dari mobil itu tapi dia melihat asisten pria hidung belang itu mendekatinya. Aruna kembali menutup pintu dan menyembunyikan wajahnya. Melihat situasi yang aneh ini, Calvin sudah paham jika wanita yang masuk ke dalam mobilnya sedang terlibat masalah. Tok! Tok! Asisten itu mengetuk kaca jendela milik Calvin. Aruna yang melihatnya menjadi ketakutan. "Jangan buka! Jangan buka!" Minta Aruna sambil memohon kepada Calvin. Supir Calvin sempat melirik ke arah spion menunggu perintah bosnya. Tapi Aruna terus memohon kepada Calvin sambil berlinang air mata. Calvin melihat ada ketakutan, panik dan juga cemas di mata Aruna. "Aku mohon kepadamu, Tuan. Jangan buka jendelanya. Tolong aku! Aku tidak mau pria itu melihatku ada disini." Saat Aruna memohon kepada Calvin, disanalah Calvin melihat pakaian Aruna dan juga tangannya terdapat noda darah. Calvin tahu ada sesuatu yang terjadi dengan wanita yang memohon kepadanya itu. Calvin menggerakkan tangannya tapi Aruna langsung memegang tangan Calvin. "Aku mohon Tuan, jangan buka kaca jendelanya. Aku akan melakukan apa saja asal kamu mau membantuku." Mendengar ucapan Aruna yang tulus kepadanya, Calvin menepis tangan Aruna dan mengambil sapu tangan dibalik jas yang dipakainya. Calvin belum mengatakan apapun, dia masih membersihkan tangannya dari bekas pegangan tangan Aruna yang ada noda darah. "Kamu mau melakukan apa saja?" "Ya! Aku akan melakukan apa saja asal Tuan jangan membuka kaca jendela itu." Senyuman mengembang di bibir Calvin. Dia terlihat seperti mendapatkan sebuah keberuntungan yang tepat malam ini. "Baiklah! Aku akan membantumu." "Terima kasih, Tuan." Jari telunjuk Calvin terangkat dan mengarah kepada Aruna. "Semuanya tidak gratis, Nona. Aku akan membantumu asal kamu mau mengikuti dan menerima syarat yang aku berikan. Bagaimana?" "Syarat? Syarat apa?" Tanya Aruna kaget sekaligus tidak percaya jika ada orang yang membantu tanpa ketulusan hati. "Aku akan mengatakannya jika kamu mengatakan setuju terlebih dahulu." "Aku harus tahu apa syaratnya sebelum aku memutuskannya." Mendengar Aruna mulai berargumen dengannya, Calvin menepuk pundak supirnya untuk segera membuka kaca jendela. Baru beberapa senti kaca jendela terbuka, Aruna langsung panik dan mengatakan, "Baiklah! Baiklah! Aku setuju dengan semua syarat yang Tuan sampaikan. Tapi aku mohon tutup kembali kaca jendela itu." Calvin kembali memberi kode dengan menggerakkan kepalanya agar supir segera keluar dan menemui pria yang sejak tadi mengetuk kaca jendela mobilnya. "Aku sudah membantumu. Maka tidak ada kata mundur lagi. Aku akan mengatakan semua syarat yang ingin kamu tepati." Dengan terpaksa Aruna menganggukkan kepala dengan pelan sambil melihat asisten pria hidung belang itu mulai menjauh dari mobil Calvin. "Katakanlah! Aku akan menepati dan mengikuti syarat yang Tuan katakan." Calvin tersenyum manis dan dia merasa sudah menemukan jalan keluar dari masalahnya sendiri. "Ayo jalan!" Memerintahkan supirnya untuk segera pergi dari sana.Calvin duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar kencang, wajahnya merah padam saat Aruna menatapnya tajam. Mata Aruna tak berkedip, menelusuri setiap gerak-geriknya yang canggung. "Apa sebenarnya niatmu ada di sini, dekat aku saat aku tidur?" suara Aruna pelan tapi penuh makna, membuat Calvin hampir kehilangan kata-kata. Tubuh Calvin sedikit mundur, seolah ingin menjauh agar niatnya untuk mencium Aruna tidak ketahuan, namun Aruna sepertinya menyelidik apa yang ingin dilakukan Calvin. "Aku... aku cuma ingin merapikan rambutmu," jawab Calvin terbata-bata sambil berdiri untuk menjauhi Aruna. "Kalau rambutmu nutupin hidung, kamu pasti susah napas saat tidur." Aruna duduk tegak, tangannya meraba-raba rambutnya dengan ragu, matanya menyimpan pertanyaan yang belum terjawab. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, Calvin tiba-tiba menarik napas panjang dan berkata dengan nada serius, "Malam ini aku tidak tidur di ru
"Ada apa dengannya? Semakin aneh! Tapi tidak masalah dia pergi lebih cepat dari pada dia terus menanyai soal Ayahnya dan aku tidak tahu harus mengatakan apa." Aruna juga ikut masuk ke dalam rumah. Aruna memilih ke dapur untuk bertanya kepada pelayan apa yang akan mereka siapkan untuk makan malam. Tuan Darwish melangkah keluar dari rumah putranya dengan wajah memerah dan alis berkerut tajam. Rasa kesal menguasai seluruh tubuhnya setelah usahanya mengancam Aruna agar menjauh dari Calvin gagal total. Dalam bisikannya yang penuh amarah, ia mengutuk wanita itu dengan kata-kata kasar yang nyaris tak terkendali. Begitu sampai di mobil, tangan besarnya mencengkeram setir dengan erat, lalu tiba-tiba memukulnya keras hingga terdengar dentuman nyaring. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak teratur, tanda jelas luapan emosi yang membara di dalam dirinya. “Sialan! Wanita itu pikir dia siapa? Aku tak akan diam saja!” geramnya sambil menggertakkan
Aruna menatap kertas yang terlipat rapi di tangannya, angka besar di cek itu seolah berkilau memanggil-manggil hasrat dan kebingungan sekaligus. Matanya membelalak, jantungnya berdegup tak menentu. "Apa maksud Ayah dengan ini?" suaranya terdengar lirih, namun ada getar ketegangan yang sulit disembunyikan. Tuan Darwish yang berdiri di hadapannya, malah mengalihkan pandangan ke taman luas yang dibangun Calvin, napasnya panjang sebelum akhirnya menatap tajam ke arah Aruna. "Aku tidak suka kau memanggilku ayah. Aku tidak mengakui kau sebagai menantuku," ucapnya dingin, kata-katanya menusuk seperti pisau yang membuat Aruna tercekat. Aruna terdiam, matanya menunduk, dada sesak seolah beban penolakan itu menekan seluruh tubuhnya. Hatinya hancur, tapi tak ada setetes air mata yang jatuh. Dia tahu, dalam diam itu, dia dianggap asing, bahkan oleh pria yang seharusnya menjadi keluarga walaupun pernikahan ini hanya sebuah pernikahan dengan perjanjian.
Stevani melangkah keluar dari sebuah kafe yang tidak terlalu ramai bahkan tidak begitu dikenal orang. Stevani sengaja membuat janji dengan Paman Darwish dilokasi itu agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh siapapun. Stevani keluar dengan mata yang bersinar penuh kemenangan setelah berhasil mengajak Ayah Calvin terjerat dalam rencana liciknya. Wajahnya yang tadinya tegang kini berubah menjadi senyum tipis penuh arti. Tak jauh dari situ, sosok Harry sudah menunggu dengan sabar, mengenakan jaket kulit hitam yang menambah pesonanya sebagai model majalah dewasa. Tanpa ragu, Stevani mendekat dan berjabat tangan erat dengan Harry. Tangannya yang lentik menyentuh tangan pria itu seolah memberi sinyal bahwa mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan. Dengan gerakan lembut, Stevani memberikan kecupan ringan di pipi kiri Harry, kemudian beralih ke pipi kanannya. Senyum manisnya merekah sempurna, memperlihatkan kepercayaan diri yang memikat. Kemu
Rico menatap Calvin dengan mata membelalak, jantungnya seolah berhenti sejenak saat pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Tubuhnya yang biasanya tenang kini gemetar halus, bibirnya sulit membuka untuk menjawab. Calvin, yang berdiri disamping Rico namun matanya menatap tajam penuh harap, mulai menunjukkan tanda ketidaksabaran. “Rico, pernah tidak kamu merasakan jantungmu berdetak kencang saat dekat dengan wanita?” tanya Calvin lagi dengan nada yang lebih mendesak. Rico akhirnya mengangguk pelan, suara seraknya keluar, “Pernah… saat aku dekat dengan wanita yang aku sukai.” Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Calvin menyeringai kecil, lalu membalikkan pertanyaan, “Yang lain?" "Maksud Tuan?""Maksudku apakah ada yang lain selain menyukai wanita? Aku rasa itu tidak masuk dalam masalahku.""Bagaimana Tuan bisa begitu yakin? Apakah Tuan sudah menganalisanya saat di kondisi yang berbeda? atau apakah Tuan pernah mengalami hal sepertu itu jika berhadapan dengan wanita yang t
Aruna tidak menemukan Calvin setelah selesai mandi. Calvin bahkan tidak meninggalkan pesan kemana dia pergi. Aruna keluar dari kamar dan berjalan turun ke lantai bawah. "Kamu sudah bangun?" sapa Nyonya Sabrina ketika melihat menantunya turun dengan wajah lebih segar. "Sudah Ibu! Apakah kamu melihat Calvin?" "Calvin? Apa dia tidak mengatakan akan pergi kemana?" Aruna menggelengkan kepalanya, "Calvin tadi sudah pergi dengan terburu-buru bersama Rico untuk urusan pekerjaan. Dia hanya menitip pesan kepadaku agar disampaikan kepadamu." Nyonya Sabrina mengajak Aruna berjalan ke ruang makan untuk mengajak menantunya sarapan pagi. "Calvin mengatakan jika kamu masih ingin disini maka nanti sore dia akan menjemputmu. Tapi jika kamu ingin kembali pulang, maka supir yang akan mengantarkanmu." Aruna sudah duduk dikursi dan Nyonya Sabrina mulai menyajikan sarapan yang telah dibuatnya. Tidak berapa lama Tuan Alex ikut bergabung dan duduk di kursi kebesarannya. "Pagi Tuan!" sapa Aruna y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen