Kening Moreau bertaut dalam mendapati pemandangan di hadapannya. Sempat mengira Abihirt-lah yang mengetuk pintu rumah dan membawa anak – anak pulang, tetapi dia mendeteksi ada sesuatu yang salah ketika—sudah lama sekali—dan sekarang menatap wajah Roki lebih daripada jelas.
Ekspresi pria itu tampak takut; ragu, tetapi juga terdapat keterkejutan yang kentara. Sesuatu dalam diri Moreau mendadak diingatkan saat – saat di mana dia merasakan firasat buruk. “Bagaimana kau bisa ada di sini?” Bahkan bisa mendengar sendiri betapa suaranya sayup – sayup terdengar gemetar. “Abi mengirimkan alamat rumah-mu kepadaku.” Sebelah alis Moreau terangkat tinggi. Sedikit memahami bahwa Abihirt tidak akan melakukan hal tersebut tanpa alasan jelas. “Dia ada di mana sekarang?” dan memutuskan untuk kembali bertanya. Roki sempat meringis sambil menggaruk tengok yang tak gatal. “Rumah sakit.” Barangkali pria itu sudah bisa menebak reaksi seperti apa yang akan dia tJika kedatangan Robby semalam merupakan bagian dari suatu kebetulan tak terduga, Moreau masih bisa memahaminya. Hanya saja, kali ini, dia tidak mengerti bagaimana pria itu tetap memutuskan untuk melangkahkan kaki lebih dekat, ketika Abihirt dalam keadaan sadar dan anak – anak yang masih sibuk terhadap kegiatan mereka—bermain dengan tangan kosong—yang terpenting adalah berdua.Ganjil membayangkan bahwa Abihirt tidak pernah menyukai pria itu, tetapi Robby masih diliputi kebutuhan yang sama. Sekarang, posisi mereka nyaris tak berjarak. Robby menjulang tinggi di hadapannya dan Moreau harus paling tidak ... memberi sambutan ramah. Hal yang jelas sangat bertolak belakang dari Abihirt yang masih berbaring. Sebaliknya, wajah mantan suami Barbara berpaling—menatap tepat lurus ke arah jendela.Moreau tidak bisa menghadapi situasi canggung secara berlebihan. Barangkali keberadaan Robby bisa dijadikan prospek agar dia dan Abihirt bisa bicara berdua, tanpa harus
“Mommy bilang ... kau adalah daddy kami yang asli. Apakah itu benar?”Wajah Arias melongok melewati tubuh Lore, seolah memang dibutuhkan kepastian dari kedua belah pihak. Moreau tidak tahu apa yang bisa dia katakan. Abihirt jelas terkejut, mengingat kesepakatan yang telah mereka buat. Sebaiknya pria itu tidak benar – benar berpikir dia akan mengatakan hal ini kepada anak – anak. Sekarang ... menatap ke arahnya cukup lama, seakan – akan Abihirt juga perlu mempertimbangkan kebenaran secara langsung.“Aku memberi tahu mereka,” itu yang Moreau katakan sembari memberi senyum kepada anak – anak.Tidak tahu akan diperlukan waktu berapa lama bagi Abihirt untuk benar – benar mencerna apa yang sudah telanjur terjadi. Masih belum ada jawaban, meski perlahan ... pria itu mengerjap dan melirik anak – anak skeptis.“Apa Mommy benar, Daddy?”Giliran Lore mengambil alih. Abihirt tidak akan bisa membuat
“Mommy, kenapa kita ada di sini? Apa aku akan disuntik lagi?”Arias yang malang. Selalu merasa ketakutan ketika mereka menginjakkan kaki ke rumah sakit. Terkadang, suasana seperti ini sangat meremas perasaannya, tetapi Moreau selalu ingin bocah lelaki itu tegar menghadapi situasi—yang memang, sering kali sangat sulit untuk dipahami.“Tidak, Sayang. Kau tidak akan disuntik. Bukankah Mommy bilang kalau kita akan bertemu Daddy?”“Apa Daddy sakit?”“Ya, Daddy harus dirawat sementara waktu di sini.”Moreau tersenyum tipis ketika akhirnya harus memutuskan kontak mata bersama Arias. Mereka masih berjalan tentatif menuju ruang rawat. Belum ada informasi tambahan. Lagi pula, dia belum sempat menukar nomor telepon—ntah itu dari ponsel Gabriel atau milik Abihirt langsung. Mungkin nanti. Saat situasi mulai terkendali.Mereka sudah benar – benar dekat, kebetulan. Moreau hanya perlu mengulu
“Bagaimana kabar Tuan Abi? Apa dia baik – baik saja?” Demikian yang Caroline tanyakan ketika kali pertama Moreau menginjakkan kaki di rumah. Dia sudah menunggu sepanjang malam. Berharap akan ada saat – saat di mana Abihirt membuka mata, tetapi tidak, sehingga memutuskan untuk kembali—pulang sesaat demi mencari sedikit ketenangan dari anak – anak. Hanya mereka yang paling tidak ... bisa membuat Moreau merasa lebih baik. Biasanya, di waktu seperti ini Lore dan Arias sedang bermain. Mungkin tidak apa – apa, dia rasa, menatap Caroline skeptis sambil melangkahkan kaki. Wanita paruh baya itu dapat dipastikan membuntuti ke mana dia akan pergi. Tidak mungkin membiarkan pertanyaan yang diajukan beberapa saat lalu, dibiarkan menggantung di antara mereka—terlalu lama. Sambil menghela napas kasar. Moreau segera berkata, “Dia belum siuman, Caroline. Aku tidak tahu apa yang membuatnya butuh waktu lebih lama.” Itu sudah cukup menjelaskan bagaimana situasi di antara mereka
“Maaf jika aku mengganggumu, Moreau.”Suara Robby kali pertama menyelesaikan keheningan di antara mereka. Moreau akan berusaha mengerti, meski pelbagai pertanyaan yang sama masih menggantung serius di balik bahunya.“Bagaimana kau bisa ada di sini?”Itu yang pada akhirnya dia ajukan. Robby tampak menunduk untuk beberapa saat. Memang hanya sebentar. Mereka kembali dihadapkan kebutuhan melakukan kontak mata. Betapa Moreau perlu disergap usaha keras ketika mencoba memahami bagaimana Robby menatapnya dengan cara tidak biasa. Dia tak bisa memungkiri bahwa pria itu terlihat menahan diri, seakan diliputi satu prospek untuk tetap merahasiakan beberapa hal.“Aku tadi pergi ke rumah-mu, karena saat ingin menemuimu di klub ... kau ternyata tidak ada di sana. Tidak pernah menduga kalau ada seorang pria—aku tidak begitu mengenalnya dari belakang.”Ada jeda beberapa saat. Ntahlah, Moreau merasa seolah Robby sedang menunggu saat &n
“Ms, apa yang Anda lakukan?” Moreau masih terisak parah, tetapi secara tak terduga ... suara Gabriel muncul ... menarik perhatiannya supaya kembali ke permukaan. Butuh usaha keras sekadar menenangkan diri. Ketika berhasil melakukannya, secara tentatif pula Moreau memutuskan untuk mengangkat wajah. Dia menekan kelopak mata sendiri terlalu kuat; sekarang dampaknya, pemandangan di sekitar cukup buram dan diperlukan waktu beberapa saat sekadar melihat situasi yang sedang dihadapi lebih jelas. Moreau menelan ludah kasar setelah menoleh dan justru mendapati Gabriel menjulang tinggi di belakang—sambil memegangi segelas kopi, seolah tidak terjadi apa pun; dan pria itu tidak menyesali sebuah kehilangan “Abi ... aku menangisi Abi.” Dengan polosnya Moreau menambahkan jawaban, tetapi dia malah mendapati Gabriel mengangkat sebelah alis tinggi. Barangkali ada sesuatu yang salah? Benak Moreau bertanya – tanya; naluri murni dalam dirinya mendesak untuk berpikir