“Kau tidak seharusnya berbuat ulah di hadapan paman-mu. Jangan lupa kalau kita sangat membutuhkannya. Mau kau memberi makan apa calon istrimu nanti, jika sampai Abi tidak mau lagi peduli terhadap apa pun yang kau lakukan?”
Masih cukup pagi, tetapi Moreau yakin sedang tak salah mengenali suara seseorang yang nyaris menyerupai peringatan; bisikan; dan hal – hal relevan. Dia hanya berniat pergi ke dapur, sempat menemukan ayah sambungnya masih tidur di ruang tamu, tetapi berpikir bahwa Barbara akan segera keluar kamar. Seharusnya memang tidak memiliki urusan apa pun bersama pria itu untuk saat ini. Bahkan pembicaraan sepasang ibu dan anak di dapur, yang melibatkan Abihirt juga tak ingin ditambahkan ke dalam daftar kepentingan. Hanya saja ada sebuah anggapan tentang mendengar suatu berita secara utuh. Percakapan Gloriya dan Froy tentu akan tetap dilanjutkan, dan di sinilah Moreau memilih diam, mengobservasi apa yang mungkin bisa dia terima dengan baik. “Percuma saj“Jika Abi tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menawarkan bantuan. Bukankah itu bagus? Artinya dia peduli kepada mereka.” Pernyataan ini mungkin sedikit sumbang terhadap apa yang Moreau pikirkan. Sering terlibat bersama Abihirt barangkali membuatnya belajar cara menjadi kontradiktif. Sedikit mengagumkan bahwa secara perlahan dia tahu bagaimana untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Biarkan Roger melanjutkan hal—tergambang di antara mereka, supaya dapat dipelajari lebih lengkap. “Aku rasa kau seharusnya sudah tahu kalau Abi dan Gloriya tidak satu ibu. Mereka bahkan tidak seharusnya akrab dan tidak bersama sedari kecil. Hanya kebetulan Abi menjadi pengusaha sukses dan wanita itu mulai terus mendekatinya.” Dia tahu tentang hal itu: baru tahu. Namun, sikap Gloriya tidak terlihat seperti demikian, pada awalnya. Moreau mungkin tidak akan percaya apa yang baru saja dikatakan Roger, andai dia tak mendengar sendiri bagaimana wanita itu terus membujuk Froy untuk
Moreau mengerjap, sesaat mengedarkan pandangan dengan gelisah, lalu kembali melakukan kontak mata bersama Barbara. “Aku—tidak. Aku mencarimu. Kupikir tadi kau bersama Abi, tapi tidak ada. Aku juga tidak berani mendatanginya.” Dia bicara setengah gugup, sedikit tersenyum, berharap Barbara tidak akan memikirkan sesuatu lebih jauh saat perhatian wanita itu kembali beralih pada satu titik di sana. “Sudah ada aku di depanmu, apa yang mau kau katakan?” Ntah harus diliputi perasaan lega atau tidak, tetapi Moreau menelan ludah kasar memikirkan sesuatu secara tiba – tiba. Apa yang bisa dia katakan bahwa sebenarnya dia tak mencari siapa pun, tak ingin mengatakan apa pun. Semua telanjur. Barbara sedang menunggu sembari sesekali menata ikatan rambut dengan hati – hati. Wanita tersebut baru saja mandi, itulah mengapa tidak terlihat pada awalnya. “Tidak jadi, Mom. Tadi sempat ingin meminta bantuanmu, tapi aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Bibir Moreau menipis gugup
“Kau yakin bisa mengurus semuanya sendiri, Darling? Aku dan Gloriya mungkin pergi cukup lama. Kami akan berbelanja beberapa hal yang dibutuhkan. Hadiah untuk rekan kerjaku juga tidak akan terlewatkan. Jangan lupa panaskan sup kentangmu jika ingin makan, mengerti?” Sudah cukup siang, Barbara segera merenggut tas yang diletakkan di pinggir ranjang sembari memperhatikan setiap detil kegiatan suaminya. Abihirt tidak sekali pun meninggalkan perhatian dari layar monitor. Dia akan berusaha memahami bagaimana pria itu terlalu sibuk, meski sesaat ekspresi dari wajah tampan di sana seperti mengernyit ganjil saat mendengar kata ‘hadiah’ terucap. Mencoba untuk tidak terpengaruh. Barbara segera melekukkan senyum tipis, lalu menghampiri pria yang tidak menanggapi kata – katanya. Dia menjatukan kecupan ringan pada rahang yang terasa kasar. Sedikit mengusapnya saat Abihirt melirik dengan singkat. “Jangan terlalu memaksakan diri saat kau sedang sakit. Ingat untuk istirahat. Ada Gab
Suara Barbara sudah setengah kesal. Betapa dia berusaha keras tidak meledakkan kemarahan terhadap beberapa kekonyolan Froy. Prasangka buruk membuatnya hampir turut memikirkan hal – hal tidak semestinya, tetapi kali ini tidak akan lagi terjerembab ke dalam urusan tidak menyenangkan. Abihirt sudah menegaskan bahwa pria tersebut tidak memperhatikan seseorang dari rupa kecantikan. Mereka menikah, itu yang harus selalu di jaga. “Tapi, Bibi—“ Bagaimanapun, tampaknya Froy masih berusaha menyela. Sanggahan—nyaris, segera tertahan di ujung tenggorokan ketika Gloriya angkat bicara. “Apa yang tadi kukatakan kepadamu, Froy? Jangan mencari masalah. Biarkan pamanmu tenang dengan urusan pekerjaannya. Kau tidak lihat Abi sibuk tadi? Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak macam – macam.” Tidak ada yang lebih penting dari urusan melakukan perjalanan. Terlebih, dia sudah merasakan sedikit dampak dari sikap Abihirt yang sungguh melipatgandakan setelan pabrik pria itu. Tidak banya
Mengintip. Mula – mula itu yang dilakukan, kemudian menahan napas menemukan Abihirt ada di ruang tamu bersama Roger dengan posisi saling berhadapan. Paling penting adalah ... ayah sambungnya mengambil posisi begitu pas untuk membelakangi dua kamar. Ntahlah, sepertinya ada kebetulan yang dapat Moreau sampaikan. Dia menelusuri ekspresi serius Roger. Kebetulan, rambut pria itu terlihat sedang membasah lembab, segar, persis baru saja menyelesaikan ritual mandi. Sesaat, Moreau menelan ludah kasar. Tidak benar – benar yakin apakah perlu mengatakan sesuatu, yang membuat situasi terasa sayup – sayup dan tidak pula terlalu hening. Iris matanya cukup lama terpaku pada sebentuk bahu Abihirt; pada helai rambut yang disisir dengan rapi. Pria itu seperti memiliki daya tarik begitu dahsyat. Dia nyaris melupakan niat awal jika tidak segera sadar ke permukaan. Meski harus mengambil interupsi, tetapi tampaknya tidak akan cukup merusak perhatian dari dua pria yang sedang bermain ca
Sebelah alis hitam tebal yang tumbuh dengan rapi terangkat hampir benar – benar samar. Moreau tidak tahu pemikiran seperti apa—sedang bersarang di puncak kepala ayah sambungnya, tetapi dia sungguh tidak pernah bisa mempelajari apa pun mengenai pria itu. Terlalu jauh. Terlalu penuh oleh barisan dinding tinggi. Atau sebaiknya dia menyadari bahwa kesalahan paling terjal di sini adalah tubuhnya secara tidak langsung menjabarkan keputusan Abihirt yang cenderung mencekik. Moreau segera mengerjap beberapa kali. Berusaha menghindari kontak mata, meski desakan di ujung tenggorokan mendorong agar mengatakan sesuatu. “Bolehkah aku?” Dia bertanya untuk kebutuhan yang masih relevan. Menunggu beberapa saat—cukup lama, kemudian suara serak dan dalam ayah sambungnya mencuak ke permukaan. “Masuklah.” Buru – buru bukan sikap yang Moreau harapkan. Dia tersenyum. Segera beranjak pergi ke kamar pilihan ibunya sambil mengetatkan sentuhan pada ujung lilitan di bagian dada. S
Moreau menengadah, gugup, menelan ludah kasar mendapati ayah sambungnya ternyata begitu dekat. Pria itu menjulang seperti tiang. Menatap diliputi sorot mata kelabu yang akan melahap. Ada sesuatu yang salahkah? Sambil bertanya – tanya ... tidak ada jawaban spesifik untuk melengkapi sisa ketegangan di antara mereka. Moreau merasa seolah dia akan terdampar di jurang terjal; tertahan; dan harus berpegangan erat supaya tidak makin tergelincir jauh. “Apa yang kau lihat tadi?” Suara serak dan dalam pria itu akhirnya bersuara, menyiratkan kesan tertentu yang tidak dapat Moreau pahami seutuhnya. Dia sedikit gelagapan dan berharap dapat menemukan jawaban dengan cepat. “Tidak ada.” Hanya itu, sambil memberi gestur berpegangan erat pada handur di depan dada. Namun, karena itulah Moreau sadar bahwa dia telah memancing perhatian Abihirt sehingga pria tersebut menatap lurus dengan wajah menunduk di sana. “Mengapa tidak kenakan pakaianmu saat bicara kepada Roger
“Abi, turunkan aku.” Moreau bersuara. Berharap ini tidak akan semakin buruk dari bayangannya. Tidak lebih buruk saat kekhawatiran terhadap langkah Abihirt sudah mendekati pintu kamar. Pria itu tak memberi tanggapan apa pun. Terus menderap hingga satu hal pasti terasa sangat mencolok. “Abi—“ Debaran bertalu – talu keras seakan ingin membuat jantung Moreau melompat keluar. Keputusan Abihirt untuk pergi ke kamarnya tidak termasuk ke dalam daftar, tetapi juga bukan hal yang mengasingkan. Seakan mereka butuh sesuatu dilampiaskan dan beranjak dengan harapan paling terjal. Kamar dikunci begitu instan—persis satu bagian yang tidak dapat Moreau bayangkan dengan baik. Dia masih tak berdaya saat Abihirt membawa mereka menuju ranjang. Tubuhnya jatuh telentang, sedangkan pria itu menjulang diliputi sorot mata yang tajam. “Kau mau apa?” tanya Moreau hati – hati. Dia berusaha beringsut mundur, tetapi celakalah ... lilitan handuk di tubuhnya segera tergoler lepas.
“Aku akan masuk. Kau janji tidak akan lama?” tanya Moreau. Terlalu lama berdiam diri di dalam mobil bukan prospek bagus. Mereka memang tiba sesaat setelah Juan mengajukan pertanyaan. “Aku janji tidak akan lama. Hanya mengambil beberapa pakaian dan keperluanku saja.” Benar. Moreau meminta Juan untuk menginap lagi. Menemaninya sampai merasa lebih baik dan bisa melakukan segala aktifitas sendiri. Mobil yang Barbara katakan sudah siap dari proses perbaikan ... memang sudah di kirim ke rumah ini. Hanya saja, dia sudah terbiasa bersama Juan yang selalu menyetir. “Kalau begitu hati – hati di jalan. Jangan ngebut, kau mengerti?” “Ya, Amiga. Tidak perlu khawatir.” Moreau tersenyum tipis, kemudian memutuskan untuk membuka sabuk pengaman. Dia melambaikan tangan setelah menginjakkan kaki di halaman depan rumah. Menunggu sampai mobil Juan hilang dari tikungan, baru melanjutkan langkah membuka pintu yang tampak sedikit ... aneh. Kening Moreau mengernyit, mengin
“Jadi kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam Abihirt persis begitu dekat. Lagi – lagi Barbara menelan ludah kasar, bahkan segera tersentak saat ruang untuk beranjak mundur telah habis dibatasi dinding kamar. Napas Barbara segera tercekat diliputi tangan kasar Abihirt yang mencekiknya dengan hebat. Pria itu kalap. Hampir tidak pernah ada tindakan mengerikan seperti ini, dan Barbara tidak bisa melakukan apa pun ... selain berharap Abihirt akan segera sadar. “Aku yakin kau juga sudah tahu kalau keputusan untuk menikahimu hanyalah ajang pembalasan dendam. Sekarang kau akan merasakan semua akibat dari perbuatanmu di masa lalu.” Di mata kelabu itu, sungguh tidak ada ampun. Barbara bisa melihat dengan sangat jelas bahwa Abihirt luar biasa membencinya. Ternyata begitu banyak topeng penyelematan, meski saat ini ... semua akan diselesaikan hingga tuntas. Barbara memejam sebentar. Cengkeraman Abihirt masih cukup memberinya kesempatan bicara. Dia mati – matian men
Ujung tenggorokan Barbara seakan tercekat membayangkan pernikahan ini adalah ajang balas dendam. Dia tidak sedang mengenakan kostum penyesalan. Apa yang terjadi 20 tahun lalu adalah murni atas ketertarikan seseorang terhadap seseorang lainnya. Dia memang ... tahu bahwa Soares Villur Alcaraz telah memiliki istri. Begitu pula dengan mendiang suaminya, Jeremias Riveri. Namun, kematian Vanesia adalah gambaran tidak terpikirkan. Dia merasa .... ketika Soares akan memilihnya, itu merupakan bentuk keajaiban yang pantas. Mereka sempat merencanakan pernikahan setelah kematian Vanesia, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Rasa bosan ... hal tersebut dapat dipahami. Lagi pula, bersama Soares, Barbara sudah mendapat apa yang dia inginkan. Kemudian, dia mulai mengejar Jeremias. Semua terjadi seperti itu. Abihirt .... Barbara tidak bisa diam begitu saja. Perhatiannya mengedar ke pelbagai arah. Dia sebaiknya menggeledah supaya menemukan petunju
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal