Ernest merasa jantungnya berdebar-debar kencang, dia juga sudah mulai sulit mengendalikan diri. Yang ada di otaknya kali ini hanya pintu unit rumahnya, dia harus kembali masuk. Tangan kanan pria itu sudah terulur meraih kenop pintu."Ernest, kami ingin mewawancarai mu!"Salah satu awak media sudah berhasil mendekat, dia menyodorkan handphone untuk merekam hasil wawancara. Ernest semakin panik, dia semakin kesulitan mengendalikan emosi. Pria itu memilih diam, hal itu dilihat oleh Hiraya. Dia merasakan ada yang janggal dari sikap Ernest. "Hiraya bisa kah kau urus ini dulu?" Tanya Ernest yang berbisik di telinga Hiraya. Perempuan itu menoleh, dia tidak terlalu paham tapi memilih untuk mengangguk. "Tentu," jawabnya. Setelah itu Hiraya menoleh pada awak media yang sudah berkumpul didepan mereka di jarak kurang dari dua meter. "Nona Hiraya, kau istri Ernest. Kami juga ingin meminta keterangan mu!"Hiraya tersenyum sekilas,"Tentu saja tapi sepertinya tidak sekarang. Hari ini Ernest ada j
Montgomery, nama media massa yang saat ini ada di dalam kepala Hiraya. Perempuan itu tengah berpikir keras apa kira-kira alasan yang tepat untuk dia datang ke tempat itu. "Hiraya," panggil Ernest cukup keras ketika dia sudah selesai melakukan pemotretan. Hiraya yang tengah melamun pun terlonjak kaget. "I-iya?" "Ada apa denganmu, kenapa malah melamun?" Tanya Ernest yang kini berdiri didepannya. Hiraya tersenyum kikuk, dia kemudian menjawab pelan. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya terkejut," jawabnya sembari berjalan keluar dari gedung pemotretan. Ernest juga berjalan dibelakangnya, "Tadi aku sudah memanggilmu dengan pelan, tapi kau tidak dengar jadi aku sedikit mengeraskan suaraku." "Jadi kau sudah selesai sejak tadi?" Hiraya bertanya sembari menoleh dan berhenti tepat di basement gedung. Ernest pun mengangguk, karena setidaknya dia sudah selesai sejak tiga puluh menit lalu. "Ya, aku selesai di jam setengah dua tadi. Dan sekarang sudah jam dua siang."Hiraya menepuk dahinya sendiri,
Hiraya terkejut, dia diam beberapa saat. Nama detektif bayaran itu cukup familiar ditelinganya. Ernest yang menyadari adanya perubahan ekspresi dalam diri Hiraya pun ikut berhenti, dia menoleh pada perempuan disampingnya itu dengan wajah penuh tanda tanya. "Ada apa Hiraya, kau mengenal nama itu?" Tanya Ernest. Hiraya segera menggeleng, kesadaran kembali menamparnya setelah tadi sibuk dengan pikirannya sendiri. "Tidak, aku tidak mengenalnya. Hanya saja aku cukup terkejut Tuan Hong Dae sampai menyewa detektif bayaran juga," kilah Hiraya. Padahal sebenarnya, Hiraya bukan hanya mengenal nama detektif bayaran itu. Tapi lebih dari sekedar kenal, dia malah bekerja sama dengannya. "Oh begitu ya," balas Ernest sembari kembali berjalan mengikuti asisten bosnya itu. Ketiganya lalu sampai, Chung Seo mengetuk pintu ruangan Hwang Dong Hae terlebih dahulu, sinyal bahwa ada yang ingin masuk. Tok tok tok!"Tuan, Ernest dan Hiraya izin masuk." Lee Chung Seo memberi tahu, tapi masih ada di dekat
Hae Sun mengerutkan keningnya dalam, dia saja tidak bisa mengenali pira dalam rekaman cctv itu dengan sekali lihat. Bagaimana bisa Hiraya mengenalinya dengan mudah. "Jangan mengada-ada, coba lihat baik-baik dulu. Jangan sampai nanti kita malah salah tuduh," ucapnya memperingatkan. Hiraya memutar bola matanya malas, sebenarnya apa yang dikatakan Hae Sun ada benarnya. Tapi, Hiraya tidak bohong soal pria itu yang tampak familiar. "Bagaimana sudah kau perhatikan baik-baik?" tanya Hae Sun lagi. Hiraya mengangguk, "Sudah." "Memangnya kau kenal pria ini?" Hae Sun memperhatikan wajah Hiraya dengan seksama. "Aku tidak mengenalinya, tapi jujur saja pria ini benar-benar tidak asing bagiku. Sepertinya aku pernah melihat postur tubuh seseorang yang persis seperti ini," jelas Hiraya dengan jujur. "Ah mungkin hanya sebatas mirip," tandas Hae Sun. Karena memang dia tidak mau mengandalkan insting saja dalam penyelidikan. Bisa-bisa, dia salah menangkap pelaku. Hae Sun lalu melipat tangannya dide
Ernest tidak segera menjawab pertanyaan dari dua rekannya dan juga Yoshi, dia malah berlari menuju kamarnya dan mengetuk pintu cukup kencang. Pria itu bermaksud untuk memberitahu Hiraya lebih dulu terkait apa yang dia ketahui. Tok tok tok!"Hiraya buka pintunya, Hiraya ada yang ingin aku bicarakan padamu!" Seru Ernest sembari terus mengetuk pintu dengan keras. Untungnya tidak perlu waktu lama, Hiraya sudah keluar dan menghentikan aksi heboh Ernest. Gadis itu bingung saat melihat wajah Ernest yangs sangat serius, tapi juga ada kemarahan yang tersirat di sana. "Ada apa?" tanya Hiraya dengan nada yang tenang, dia juga menoleh ke arah balkon tempat teman-teman Ernest berada, bermaksud mencari tahu lewat mereka. Ernest memegang pundak Hiraya bahkan sedikit menekannya, emosi pria itu bisa Hiraya rasakan hanya dengan gestur tubuh dan juga nafasnya yang memburu. "Ini soal skandal mu?" tanya Hiraya hati-hati, karena memang skandal itu membuat Ernest semakin sensitif. Ernest mengangguk me
Di pagi harinya, Hiraya sudah bersiap pagi-pagi buta. Bahkan Ernest saja sampai terkejut dengan sikap gadis itu pagi ini. "Ya Tuhan, Hiraya apa kau tidak tidur?" Tanyanya begitu melihat Hiraya sudah berdandan rapi dan tengah menyiapkan keperluannya untuk agenda hari ini. Gadis itu mendongak, dia malah tertawa kecil dan menghentikan kegiatannya. "Tentu saja aku tidur, hanya saja aku bangun jam tiga tadi." Ernest malah geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan gadis asli Indonesia itu. "Kau mempersiapkan keperluan ku, memangnya ada jadwal lain hari ini selain bertemu dengan Aeri?" Tanyanya sembari duduk di depan Hiraya yang masih berkutat dengan kegiatannya. "Hmm iya, semalam rupanya aku mendapat email dari penulis Shinhwa bahwa dia memintamu datang ke kantornya. katanya dia akan merekomendasikan dirimu untuk pemain utama di drama terbaru garapannya." Hiraya menjelaskan dengan rinci. "Kalau begitu baiklah, aku akan bersiap. Jam berapa kita bertemu penulis Shinhwa dan bertemu A
Mendengar penuturan Hiraya, Aeri langsung naik pitam. Rahang perempuan itu mengeras dan tangannya mengepal kuat. Hiraya bisa melihat kemarahan yang tertahan dari lawan bicaranya. Akan tetapi, sebisa mungkin Aeri menetralkan ekspresi wajahnya. Dia malah tersenyum miring, menatap tajam ke arah istri mantan kekasihnya itu. "Oh benarkah? Aib apa yang kau maksud sebenarnya." Aeri berkata dengan tenang. Bahkan dia juga sempat meminum kopi latte yang memang dia pesan sebelumnya. Kini Hiraya yang balas tersenyum, dia kemudian membuka tas branded miliknya dan mengambil beberapa lembar foto-foto. Sedangkan Ernest sendiri tengah berdiri di samping Hiraya, memastikan kalau perempuan itu akan aman berhadapan dengan perempuan penuh tipu muslihat seperti Aeri. "Mungkin kau bisa lihat foto-foto ini baru akan paham," ucap Hiraya sambil menggeser foto-foto itu agar lebih dekat dengan jangkauan Aeri. Mata gadis asli Jepang itu menyipit memastikan apa yang dia lihat adalah benar. "I-ini fotoku, baga
Setelah membereskan skandal itu dan membiarkan Diamond Entertainment mengambil alih masalah tersebut. Kini Ernest dan Hiraya pulang bersama, keduanya duduk berdampingan di kabin belakang dengan perasaan yang jauh lebih lega. "Terimakasih banyak," ucap Ernest tiba-tiba di tengah perjalanan pulang keduanya. Hiraya yang semula menatap keluar jendela mobil sontak menoleh, dia memasang wajah polos. "Terimakasih untuk apa?" tanyanya. "Terimakasih karena sudah membantuku keluar dari masalah ini. Berkat kau, semua masalah yang terjadi akibat skandal itu dapat terselesaikan." Ernest berkata dengan tulus, dia juga menatap wajah Hiraya dalam-dalam. Seolah-olah tengah menyelami manik mata hitam milik gadis disampingnya. Hiraya yang ditatap seperti itu mematung sepersekian detik. Dia takjub, atau mungkin juga gugup?Karena tatapan yang dalam serta teduh itu sangat memabukkan. Apalagi dipadukan dengan wajah Ernest yang tampan paripurna. Gadis mana yang tidak akan luluh karenanya?"Ah i-itu bukan