~Jeffrey~
Orang-orang mengenal aku sebagai laki-laki dingin yang tidak bisa dibaca apa maunya. Aku tidak banyak bicara sehingga sulit menemukan orang yang bisa memahami aku. Anehnya, sikapku itu justru menarik perhatian para perempuan untuk mendekati aku.
Walaupun aku tidak pernah kekurangan wanita yang bersedia untuk menjadi pacarku, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatiku. Ibu sampai khawatir aku tidak akan pernah menikah. Padahal usiaku masih dua puluh lima tahun. Aku dan Lauren selalu menganggap angin lalu keluhan Ibu tersebut. Tetapi begitu adikku menikah, dia menjadi sekutu Ibu yang ikut menyusahkan aku.
“Hei!” Seorang wanita muda menyentuh bahuku. “Maafkan aku. Tetapi sepertinya kamu salah tempat duduk.” Dia melambaikan tiket yang dia pegang.
Aku menatapnya dengan bingung, lalu melihat ke sekelilingku. Aku baru sadar bahwa aku tidak duduk di antara teman-temanku. Melihat lambaian tangan dari sudut mataku, aku menoleh dan menemukan mereka. “Maafkan aku,” ucapku kepada wanita itu. Dia hanya tersenyum manis.
Senyuman yang membuat aku tidak bisa konsentrasi menonton film yang diputar di depanku. Mataku terus menoleh ke arah dia yang duduk tidak jauh dariku. Aku tertawa ketika dia tertawa, bahkan meneteskan air mata saat dia menangis.
Begitu film usai, teman-teman menarik aku untuk segera keluar agar kami tidak berdesakan di dalam lift. Aku terpaksa mengikuti mereka sekalipun aku ingin mendekati dia dan berkenalan dengannya. Aku kehilangan dia pada malam itu.
Aku bukan pria yang punya rasa spiritual tinggi, tetapi aku berdoa dengan penuh harap pada malam itu. “Ya, Tuhan. Pertemukan aku lagi dengannya.”
Sebelum aku sempat merindukannya, sebuah tabrakan mempertemukan kami kembali. Tuhan menjawab doaku. Aku didorong oleh wanita yang berdesakan memilih sepatu yang mendapatkan potongan harga, sedangkan dia sedang berjalan melewati aku. Sebelum aku yang memintanya, dia yang terlebih dahulu mengajak bertukar nama dan nomor telepon. Aku sangat berterima kasih kepada adikku yang sudah memaksa aku menemaninya berbelanja barang diskon.
Hanya dua bulan berbincang lewat telepon dan pesan, bertemu pada akhir pekan, dan memastikan bahwa dia tidak sedang menantikan pria lain, aku meminta dipertemukan dengan orang tuanya. Dia menangis bahagia mengetahui tujuanku menemui keluarganya. Mereka langsung menyukai aku dan kami pun menikah empat bulan kemudian.
“Aku bahagia bisa menjadi istrimu, Jeff,” bisiknya pada pagi hari kami melewati malam pertama sebagai suami istri. Aku sengaja meminta acara yang sederhana agar kami tidak kelelahan pada malam harinya. Karena aku tidak bisa menunggu satu hari lagi untuk tidur bersamanya.
“Aku juga,” balasku yang segera menarik tubuhnya mendekat kepadaku.
Dia tertawa geli. “Kamu juga? Kamu bahagia menjadi istriku?” godanya. Aku tahu bahwa dia tahu apa yang aku maksudkan. Tetapi tentu saja dia akan memelintir kalimatku yang terkesan ambigu.
Ada banyak hal tentang dia yang mengejutkan aku. Dia bisa melakukan semua hal yang ibuku bisa. Dia memasak, mengurus rumah, mencuci pakaian, dan tidak satu kali pun dia mengeluhkan apa yang dia kerjakan. Aku membantu dia kapan saja aku bisa. Sayangnya, pekerjaan menuntut aku banyak melakukan dinas di luar kota.
Ketika Jax lahir, aku tidak bisa melihatnya kerepotan. Dia menolak tawaranku untuk mempekerjakan asisten rumah tangga atau pengasuh bayi. Dia lebih suka mengurus rumah sendiri, lalu menitipkan bayi kami kepada mamanya daripada wanita asing. Aku pun menurut. Selama dia bahagia, apa pun akan aku lakukan.
Pernikahan kami jauh dari drama. Aku sangat bahagia tidak salah memilih wanita yang menjadi pendamping hidupku selamanya. Walaupun aku sering meninggalkan dia sendiri di rumah, dia tidak pernah merengek kekurangan perhatian. Kebahagiaan kami bertambah ketika dia mengandung anak kami yang kedua.
“Selamat, Jenar!” Ibu memeluk istriku dengan wajah terharu. “Semoga anak kedua kalian adalah perempuan. Jadi, aku akan punya dua cucu perempuan dan dua cucu laki-laki!”
“Laki-laki atau perempuan sama saja,” kata Ayah, wajahnya bahagia melihat foto hasil USG yang dia pegang. “Yang penting cucu dan menantu kita selalu sehat.”
“Kakak pasti sedang berdoa agar anak kedua mereka laki-laki,” goda Lauren sambil mengelus perut besarnya. Bayi keduanya itu laki-laki. “Jadi, dia punya alasan untuk membuat anak lagi.”
Semua orang tertawa bahagia mendengarnya. Kedua orang tuaku, kedua mertuaku, juga adikku dan suaminya. Hanya kedua anak batita di sampingku dan adik iparku yang tidak mengerti apa pun. Hidup kami begitu damai, bahagia, dan penuh canda.
Yang tidak pernah aku duga adalah satu peristiwa yang memaksa dia mendekam di dalam penjara. Salah satu rekan kerjanya meninggal dengan benda tajam di dada kirinya. Orang yang berada di ruangan itu bersamanya adalah istriku. Entah bagaimana justru dia yang menjadi tersangka. Yang paling menyakitkan adalah dia menjadi tersangka tunggal.
Tidak ada sidik jarinya pada benda tajam tersebut. CCTV di dalam maupun luar ruangan tersebut tidak merekam kejadian itu. Tidak ada karyawan yang berada di lantai itu menurut mesin presensi pegawai otomatis selain mereka berdua. Karyawan lainnya tercatat sudah pulang.
Namun selama penyelidikan berlangsung, muncul saksi mata yang mengaku melihat istriku dan pria itu bertengkar. Yang lainnya mengaku bahwa istriku sudah lama tidak menyukai pria tersebut. Yang paling menyakitkan adalah tuduhan bahwa mereka punya hubungan gelap. Sampai anak dalam kandungan istriku diklaim sebagai anak pria yang mati itu.
“Aku tidak melakukannya,” ucap istriku dengan wajah bersimbah air mata. “Kamu harus percaya kepadaku, karena tidak ada orang lain selain keluargaku yang percaya bahwa aku tidak bersalah.”
Kami hanya dua orang dari keluarga biasa yang sama sekali tidak punya uang atau pengaruh. Jadi, yang bisa kami lakukan adalah pasrah atas setiap tuduhan tersebut. Hanya kami berdua dan orang tuanya yang bersaksi secara jujur. Keluargaku menolak untuk memberikan pernyataan mereka, karena tidak bisa menahan malu.
“Aku percaya,” kataku dengan tegas. Dia menatap aku dengan sedih, lalu mengangguk pelan.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” Pertanyaannya yang tidak bisa aku jawab.
Remy lahir saat hari-hari persidangan masih berlangsung. Istriku hanya diberi waktu beberapa hari untuk memulihkan diri sebelum hadir kembali di persidangan dan mendengarkan vonis bersalahnya. Kondisinya sebagai seorang wanita yang baru saja melahirkan tidak membuat hakim tersentuh untuk mengurangi masa penahanannya. Hanya dari kesaksian orang-orang tanpa alat bukti lainnya yang mendukung, mereka memberi label pembunuh kepada istriku.
Aku bertanggung jawab sendiri atas Jax, sedangkan Remy berada di penjara bersama ibunya sampai dia tidak lagi membutuhkan ASI. Hari pertama istriku hidup sebagai narapidana, hatiku telah mati. Aku tidak mengunjungi dia atau membawa Jax untuk menemui mamanya. Ketika Remy sudah bisa pulang ke rumah, ibu mertuaku yang menjemputnya.
“Jangan khawatir. Aku akan menjaga mereka dengan baik. Kamu bekerjalah dengan tenang,” kata Mama, menenangkan aku. Hanya dia dan Papa yang masih peduli kepadaku dan anak-anak.
Wanita malang itu meninggal karena sakit yang dideritanya. Ayah mertuaku menyusul pada tahun berikutnya. Istriku hanya bisa menangis ketika menghadiri pemakaman mereka. Kami tidak boleh berdekatan, jadi aku tidak berusaha untuk menghibur dia. Itu adalah hari terakhir aku melihatnya.
Tiga tahun setelah ayah mertuaku meninggal, istriku bebas dari penjara. Menyadari bahwa tidak ada orang yang akan menjemputnya, maka aku datang. Dina yang sudah bertahun-tahun menjadi teman tidurku memaksa untuk ikut. Aku sudah tahu apa agendanya mengikuti aku, tetapi aku membiarkan dia masuk ke mobil.
“Jangan sampai kau gagal lagi,” kata Dina dengan serius. “Kau harus memenuhi janjimu kepadaku hari ini. Ibu juga sudah berpesan agar aku memastikan kau menyelesaikan urusanmu dengannya. Dia tidak boleh pulang ke rumah kita.”
Aku hanya diam. Pikiranku terlalu fokus pada tujuan. Jantungku perlahan berdebar semakin cepat saat kami semakin dekat dengan tempat di mana dia tinggal selama empat tahun lebih. Apakah yang akan aku rasakan ketika kami bertemu lagi? Mungkinkah perasaanku untuknya masih sama setelah sekian tahun terpisah?
Wanita yang selalu bersimbah air mata pada hari-hari terakhir kami bertemu berubah menjadi wanita yang penuh dengan semangat hidup. Senyumannya mengingatkan aku kembali pada hari pertemuan pertama kami. Senyuman yang membuat aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya.
“Kau lihat dia, ‘kan? Dia kelihatan sekali tidak menyesal dengan perbuatannya. Jangan sampai dia ikut pulang dengan kita ke rumah,” bisik Dina saat kami berjalan menuju restoran. Aku mengabaikan dia dan bersyukur istriku duduk di kursi di hadapanku.
Mataku kembali memerhatikan dia saat kami makan siang. Seandainya tidak ada Dina di ruangan ini, aku sudah menyingkirkan meja yang menjadi pemisah kami. Rasa bibirnya pasti masih semanis yang aku ingat. Tubuhnya tidak kurus, tetapi juga tidak gemuk. Bila kami tidur bersama lagi, rasanya pasti seperti saat malam pertama kami. Aku yakin dia tidak tidur dengan siapa pun selama di penjara.
Dorongan itu semakin kuat ketika aku memerhatikan dia menghabiskan makan malamnya. Bibirnya, tangan, lalu tatapan matanya, aku menginginkan dia. Tetapi dia menolak permintaanku. Dia tidak mau menandatangani surat perceraian itu, maka aku masih punya hak atas tubuhnya.
Namun aku belum bisa memenuhi syarat yang dia ajukan. Dina lebih dari sekadar teman tidurku selama dia berada di penjara. Dia memegang peran penting sehingga istriku dijebloskan ke penjara. Sebelum aku berhasil membuktikan bahwa istriku tidak bersalah, aku belum bisa mengusir dia dari rumahku atau tempat tidurku.
Hai, teman-teman. Bab 5 sebenarnya sudah aku revisi. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan bab itu belum juga selesai ditinjau. Jadi, isinya tidak sama dengan bab 3. Supaya kita bisa lanjut ke bab berikutnya, aku sudah posting bab 5 di mukabuku. Ketik saja nama Meina H., ya. Bab itu akan aku hapus setelah muncul di sini. Selamat membaca, dan mohon dukungannya dengan memberi kritik dan saran, juga permata/gem jika ada. ♡ Salam sayang, Meina H.
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb