Dua Minggu kemudian Naura bisa bernapas lega, pasalnya pendekatan dengan sang ibu berjalan lancar, wanita yang sejak lama mengalami gangguan jiwa itu mulai akrab dengan dirinya."Tahu ga, Neng, Ibu tuh benci sama Si Endang, anak Ibu dibawa kabur sama istri barunya, kalau Ibu ketemu dia Ibu mau bunuh saja lelaki itu."Naura tersenyum walau dibalik itu ia menyimpan sakit yang teramat dalam, tak terbayang bagaimana sang ibu melewati malam-malam panjang penuh kerinduan pada dirinya.Naura menengadah menahan cairan yang berdesakan hendak luruh dari matanya. Akan tetapi, ia tak ingin dilihat oleh ibunya sedang bersedih.Naura harus selalu ceria di hadapan ibunya, ia harus menjadi pendengar segala keluh kesah atas derita yang sudah dikecapnya bertahun-tahun."Ibu sayang banget ya sama anak Ibu itu?" Dalam keadaan suara serak Naura bertanya."Sayang banget atuh, Neng, sayaaang banget." Mata wanita tua itu terpejam mengekspresikan rasa sayangnya pada sang putri."Dia pasti cantik ya, Bu." Naur
Feri mengusap-usap rambut tebal nan hitam istrinya. "Kasihan banget sih kamu, Yang, sabar ya insya Allah ada jalan.""Aku pengen banget pas kita ngadain resepsi nanti Ibu udah sembuh dan duduk sama kita di altar pelaminan.""Gini aja, gimana kalau kita datangkan Bi Nani ke sini, suruh dia jelasin ke Ibu kalau kamu itu anaknya yang udah besar."Seketika Naura menengadah menatap suaminya, ide yang cemerlang dan bisa ia coba."Pinter kamu, Mas, ya udah besok aku pinjem motor kamu ya buat jemput Bu Nani." Mata Naura langsung berbinar."Pinjam mobil Papa aja, nanti Mas telpon.""Ga enak, Mas, kalau minjem mobil Papa entar Kak Jeni nyindir aku lagi di status." Naura cemberut."Udahlah biarin aja kamu jangan lihat-lihat status dia, bisukan aja, dia mah iri pasti.""Ya udah deh terserah kamu, tapi yang bawa mobilnya siapa, Mas?" Naura kembali bingung.Feri langsung garuk-garuk kepala, ia sudah malas meminta bantuan Pak Anwar, kini lelaki yang selama ini mengabdi sebagai sopir pada dirinya itu
Bu Nendah telah tidur akibat reaksi obat, Naura menatap wajah bersih nan pucat yang sedang terlelap itu dengan hati yang pilu.Bu, kapankah kita bisa mengobrol berdua dan tertawa lepas bahagia?Aku sangat rindu, cepatlah sembuh, Bu.Tanpa sadar setitik air jatuh dari matanya."Sabar ya, Bu Naura, Bu Nendah sedang dalam tahap penyembuhan, sejauh ini perubahannya sangat jauh meningkat, terus dekati dia, ajak Bu Nendah untuk dekat pada Allah, misal dengarkan murotal atau dengarkan ceramah yang menyentuh hatinya."Saran dari Dokter Tika masih terngiang saat ia pulang, kali ini Naura membiarkan Feri mengantarkan Bi Nani sendiri setelah barusan membeli banyak oleh-oleh untuknya."Maaf ya, Bi, aku ga ikut nganterin, kapan-kapan main ke sini, langsung telpon aja nanti suamiku jemput," ujar Naura mengantar sampai teras rumahnya."Ga apa-apa, Neng, istirahat aja. Rumahnya bagus nanti Bibi ajak pamanmu tapi harus naik motor.""Gampang nanti aku bawa pasukan Genk motor buat jemput Bibi." Naura te
"Ya kalau udah jelas sering lihat mereka bersama berarti mereka emang bener ada hubungan, masa Ibu salah kalau ngelaporin ke Bapak, waktu itu Ibu kasihan bukan ngebet mau balikan!"Bu Rita masuk ke dalam rumah demi tak ingin terlihat cemas oleh suaminya, bagaimana pun ia takut Pak Endang akan kembali pada mantan istrinya.Gegas ia masuk ke kamar Dara dengan tergesa, putri bungsunya itu sedang fokus membuat surat lamaran kerja meski fisiknya belum pulih sempurna."Dara, coba kamu cari tahu tentang ibu kandungnya si Naura, Ibu penasaran banget dia sekarang kaya gimana."Dara gadis pemalas itu berdecak merasa terganggu dengan kehadiran sang ibu."Mau ngapain sih ah, ga penting banget," jawab Dara tanpa menoleh"Ini penting buat Ibu, bapakmu udah ketemuan sama ibunya si Naura itu, kamu mau bapakmu selingkuh sama ibunya si Naura."Dara merenung sejenak, lalu menoleh"Iya juga sih, tapi gimana cara cari tahunya, Bu?" Dara kembali fokus pada lembaran kertas di hadapannya."Ya kamu mikir lah,
"Duh capeknya," lirih Feri sambil membaringkan tubuh di sofa putih tulang itu, satu Minggu yang lalu mereka baru membelinya.Naura tersenyum hangat sambil memijat kening sang suami, pijatan itu membuat mata Feri terpejam merasakan kenikmatan yang istrinya ciptakan."Duh, Sayang, kamu cocok deh jadi tukang pijat," gumam Feri masih dengan mata terpejam."Selain jago masak istri Mas ini ternyata jago mijat sebentar lagi pasti jago goyang." Feri terkekeh.Naura langsung sebel jika Feri ngomong menjurus hal ke sana, ia mengeraskan pijatannya dengan sengaja."Aw! Ga gitu juga kali, Yang." Refleks Feri terbangun dan menatap wajah istrinya sambil merenggut."Abisnya Mas ngomong mesum terus sih, bikin sebel!""Siapa juga yang ngomong mesum, maksud Mas itu goyang gergaji, goyang inul atau goyang itik. Kamu nih yang mesum." Telunjuk Feri menuju ke Naura tanda mengejek.Mata Naura membeliak. "Tahu ah, aku mau beli kulkas beliin ya." Naura merengek manja."Siap, hari ini juga on the way, tapi kasi
"Saya udah ga mau pakai jasa Bapak lagi, tapi kalau Papa saya masih mau pakai jasa Bapak ya terserah."Pak Anwar manggut-manggut, ia terima hal menyakitkan ini karena memang sudah konsekuensi atas kecerobohannya yang selalu meminjam mobil Feri pada Alvin."Terima kasih, Nak Feri. Dipecat pun saya terima asal Nak Feri memaafkan kesalahan saya, dan Pak Bagus juga sepertinya sudah terlanjur kecewa, saya terima jika keluarga Nak Feri memutuskan memecat saya."Ada rasa perih menyelusup ke dalam hati Pak Anwar, saat ini ia butuh banyak biaya untuk anaknya, tapi yang terjadi malah kehilangan pekerjaan."Baguslah kalau Pak Anwar ngerti, saya juga minta maaf belum bisa jenguk anak Pak Anwar," ujar Feri, padahal sebenarnya ia masih kesal dengan kelakuan Alvin."Ga apa-apa, Nak, Bapak ngerti kalau gitu Bapak permisi."Feri hanya mengangguk tanpa berniat mengantarkan ke teras. Mereka berdua sempat melamun sejenak, apalagi rasa bersalah tiba-tiba hadir di hati Feri."Yang, kira-kira aku salah ga y
Sorakan dan suara tertawa pasien lain mengundang perhatian petugas jaga, mereka menghampiri ke taman belakang."Ya ampun ada apa itu? Ayo cepet." Salah satu penjaga menyeru temannya yang lain untuk melerai.Mereka sekuat tenaga melumpuhkan Bu Nendah yang sedang bringas seperti kerasukan, amarah yang terpendam berpuluh-puluh tahun lamanya kini terlampiaskan, wanita yang kini hampir sembuh dari gangguan jiwanya itu nampak belum puas, ia masih meronta ketika petugas jaga memegangi tubuhnya."Lepasin! Aku mau bunuh dia! Dia udah bawa anakku kabur!"Petugas yang lain serta dokter akhirnya berhamburan datang, mereka membantu membawa Bu Nendah ke dalam hendak diberikan suntikan penenang."Awas kamu ya nanti akan kubunuh!" teriak Bu Nendah, petugas bekerja secar gotong royong membawa Bu Nendah masuk ke dalam."Bangun, Bu, sakit banget ya." Dara terlihat khawatir dengan keadaan ibunya yang masih tergeletak di rerumputan hijau Petugas jaga menghampiri."Ibunya kenapa, Mbak? Atau mau dibawa ke
"Aku tahu Dara tuh tadi ga pingsan beneran, masa aku klitikan kakinya langsung bangun."Naura menggerutu di belakang, Feri yang sedang mengendarai motor pun berpikiran begitu, ada yang aneh dalam diri adik iparnya, masa tiba-tiba pingsan?"Mas, kayaknya Dara suka sama kamu deh." Sudah sampai di rumah pun Naura masih kepikiran tingkah adiknya itu, Feri menyenderkan punggung di sofa."Dia juga ngelamar di pabrik, Yang, kemarin pas istirahat dia nemuin aku loh."Naura sedikit terkejut, ia tahu betul seperti apa Dara, anak pemalas jangankan mencari kerja, celana dalamnya saja ibu yang mencuci, bahkan kamar berantakan pun ia cuek saja."Tuh 'kan pasti dia ada maunya, setahu aku Dara itu orangnya paling males kalau disuruh kerja."Feri nampak bingung."Menurut kamu Mas harus terima atau ga ya lamaran Dara di pabrik?" tanya Feri."Dia bilang ibunya yang menyuruh dia bekerja gantiin kamu, karena setelah kita menikah ibu ga punya pemasukan lagi," lanjut Feri.Ingin sekali Naura mengatakan tid