“Emily, waktunya shopping,” kata Hugo.
Aku masih terdiam. Siapakah “dia” yang mereka maksud tadi. Aku tidak mungkin bertanya kepada David, dan akan berbahaya jika aku langsung bertanya kepada Hugo.
“Shopping?” tanyaku.
Hugo menganggukkan kepala. Dia berjalan ke arahku. Gerak bola matanya melihatku dari ujung rambut ke ujung kakiku.
“Kau terlihat sexy. Tapi kau perlu baju baru,” kata Hugo.
“Tidak, terima kasih. Aku tidak terlalu suka belanja,” balasku.
“Emily, jika kau terus berpakaian seperti itu aku tidak bisa menahan diriku untuk-”
“Oke. Ayo shopping!” sahutku cepat. Aku seperti berada di kandang predator. Mata Hugo seperti memiliki kekuatan super tembus pandang dan dia baru saja menelanjangiku.
Aku mendengar Hugo berpura-pura mendesah kecewa. Wajahnya menahan senyum yang menggelikan. Dia sangat menikmatinya ketika menggodaku.
Aku berlari ke kamar dan mengambil tasku dan segera kembali ke ruang depan. Hugo sudah siap dengan wajah tampannya.
“Hugo, kau tahu aku bukan pelacurmu,” kataku dengan ketus.
“Harusnya aku yang berkata begitu,” kata Hugo dengan santai.
Aku hanya melirik ke arahnya. Kami keluar apartemen menuju garasi. Dan masih seperti biasanya, Hugo membukakan pintu mobil untukku.
“Miss. Hale, silahkan…” godanya
Aku hanya diam sambil menggelengkan kepalaku. Jangan sampai aku terjebak pada fantasi yang berlebihan. Aku harus menjaga akal sehatku. Hugo tidak mungkin benar-benar menyukaiku.
Hugo menghentikan mobilnya di Rodeo Drive. Itu adalah surganya para pecinta fashion. Seandainya aku tidak sedang bersama Hugo, aku pasti sudah menggila. Bahkan aku bisa menghabiskan uang Theo dalam sehari.
Kami berjalan menyusuri shopping street mewah yang terkenal di Hollywood itu. Beberapa kali aku melepas tangan Hugo yang terus menggandengku, namun Hugo terus meraih tanganku kembali. Apakah dia lupa dia adalah celebrity chef?
Hugo menyuruhku membeli apapun yang aku mau. Namun Hugo tidak memperbolehkanku berganti pakaian dengan yang baru. Aku sangat jengkel dibuatnya. Dan semakin aku jengkel, semakin dia terlihat bahagia.
“Hugo, berhenti membelikanku baju. Aku juga seorang milyader, ingat?” kata ku memprotes sikap Hugo.
Dia hanya tertawa. Aku berusaha menikmati shopping dadakan yang sangat boros ini. Wajahku menjadi secerah matahari ketika aku mencoba pakaian yang bagus, atau sepatu, tas, kaca mata dan semua yang ada di sana
Akhirnya aku kewalahan. Hugo terus menerus memberiku banyak barang untuk dicoba. Entah untuk keberapa kalinya aku berlenggak-lenggok bak fashion model di ruang pas VIP untuk mencoba pakaian high branded dan aksesoris lain. Sementara Hugo berlagak seperti komentator fashion di Hollywood.
Banyak orang meminta foto bersama Hugo dan tumben sekali dia ramah meladeni itu semua. Sungguh Hugo yang berbeda. Aku harus berhenti beberapa kali bahkan membantu mengambilkan foto untuk mereka.
“Kau melakukan pekerjaan dengan baik, personal asistenku,” ledek Hugo.
Aku berusaha menahan emosi dan tetap tersenyum di depan para penggemarnya.
“Are you hungry, Baby?” tanya Hugo menggodaku.
“Shut up,” jawabku singkat.
“Saatnya dinner date,” kata Hugo.
Aku baru tersadar hari sudah petang. Hugo menarikku dalam pelukannya dan berjalan sambil memelukku ke sebuah restaurant.
Kami berhenti di Casa Madera Restaurant yang sangat cantik. Aku bisa melihat city view dari jendela kastil melengkung khas gaya abad pertengahan yang terbuka.
Ah, bagaimana hatiku tidak meleleh. Malam itu sangat romantis. Satu hal yang bahkan aku tidak sanggup mendebatnya adalah kenyataan bahwa pemandangan terbaik malam itu ada di depanku. Aku mencuri pandang ke arah Hugo Sebastian Hart yang duduk di kursi seberang. Dia menatapku dengan seyum tipis yang menawan.
Hugo selalu berhasil membuatku banyak bicara. Dia menjadikan telepon Felix sebagai alasan untuk bertanya macam-macam mengenai pekerjaan
Itu adalah trik Hugo agar aku tidak merasa kikuk. Dia membuat kami seolah adalah business partner. Rasanya menyenangkan ketika mengetahui bahwa Hugo terus melibatkanku dalam banyak urusan di perusahaan.
Dia tidak menunjukkan gelagat ingin mengakuisisi warisan Theo yang jatuh kepadaku. Belum ada benang merah yang jelas antara misteri kematian Theo dan keterlibatan Hugo.
Misiku untuk waspada terhadap gerak-gerik Hugo juga sangat tidak mudah. Aku enggan mengakuinya, tapi sepertinya aku jatuh hati kepada Hugo.
Selesai shopping dan makan malam, Hugo memintaku kembali ke apartemennya namun aku menolak. Aku butuh bernafas dari Hugo.
“Kau tidak perlu mengantarku ke atas,” kataku sambil menata barang-barang belanjaanku.
“Biar aku membantumu,” sahutnya.
Hugo berjalan mengikutiku di sepanjang koridor. Setibanya di depan apartemenku, aku terdiam sesaat. Jantungku berdegup cepat. Aku shock! Mataku terpaku melihat pintu apartemenku yang rusak seperti habis dijebol.
“Emily?” Suara Hugo menyadarkanku. Aku menoleh ke arahnya. Mataku tidak bisa berbohong.
Hugo mengikuti arah pandanganku ke pintu apartemenku yang rusak. Dia menjatuhkan semua barang yang dibawa. Hugo mendekat dan menarik badanku menjauh dari pintu.
“Tunggu disini,” kata Hugo dengan tenang.
Aku diam dan mulai berpikir. Aku tidak membawa senjata. Begitu juga dengan Hugo. Siapa orang yang ingin mencelakaiku?
Hugo mulai membuka pintu dan masuk ke apartemenku dengan hati-hati. Aku tidak tahu persis apa yang dia lakukan. Tiba-tiba lampu ruangan menyala.
Aku tidak sabar dan ingin tahu. Dengan segenap keberanian, aku masuk ke dalam apartemen menyusul Hugo.
Mataku tak percaya pada apa yang kulihat. Apartemenku berantakan. Seseorang mengobrak-abrik seisi ruangan seakan mereka baru saja mencari harta karun.
Semua barang-barangku berceceran di sofa, karpet dan memenuhi lantai. Bibirku bergetar menahan rasa marah dan takut.
“Emily, tetap disitu,” kata Hugo. Aku tidak peduli, aku semakin masuk ke dalam ruangan. Aku geram bagaimana bisa seseorang berani masuk ke dalam apartemenku dan membuat semua keributan itu.
Entah benar atau tidak tapi instingku berkata bahwa Hugo ada kaitannya dengan kejadian itu.
Aku dalam bahaya.
“Apa kau sudah gila?” Aku menjauhkan wajahku dari Benjamin. Dia masih merapatkan tubuhnya. Kedua tangannya merengkuh pinggangku. Dia benar-benar tidak peduli apapun. “Tidak ada CCTV disini,” sahutnya. Benjamin benar-benar membuat skandal ini menjadi sesuatu yang sangat serius. Harus kuakui aku sedikit menikmati tantangan ini, namun aku harus lebih hati-hati. “Aku tau. Tapi bukan berarti kau bisa berbuat semaumu. Kenapa kau sudah datang?” tanyaku mengalihkan perhatiannya. “Apa lagi? Tentu saja agar aku bisa mengunjungi kantor barumu.” Ben akhirnya melepaskan pelukannya dan merebahkan tubuhnya di sofa. “Ruangan ini dulu juga seperti ruanganku sendiri. Apa kau tau Theo memiliki ruangan rahasia?” Pertanyaan Ben membuatku melirik ke arahnya. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Theo menghabiskan hampir sebagian waktunya di gedung ini. Ada penthouse di lantai atas yang sering dia gunakan untuk istirahat. Anehnya karyawan disini hampir tidak ada yang melihat Theo. Melihat kebiasaannya, dia pas
Aku masih menunggu jawaban Hugo. Apakah dia akan membiarkanku menjadi pengacara Hugo, atau dia akan melarangku seperti sebelumnya. Hugo memandangku dengan tatapan dingin. Aku sudah tidak menemukan lagi dimana tatapan Hugo yang penuh cinta kepadaku sebelumnya. “Sepertinya kau sudah mulai akrab dengan Benjamin, Emily.” Kata-kata Hugo membuat jantung Emily mulai berdebar. “Entahlah, ku pikir juga begitu. Dia mencarimu. Aku mencarimu. Tapi justru aku dan dia yang bertemu karena kami tidak tau kemana kau pergi,” jawab Emily dengan nada bicara menyindir. “Kau mencari masalah yang seharusnya tidak harus kau temui karena aku sudah berusaha menjauhkan dari semua itu. Tapi sepertinya usahaku sia-sia. Kau benar. Kau berhak tau apapun mulai dari sekarang. Semakin lama kau semakin salah paham. Baiklah, mengapa kita tidak makan malam bersama dengan Benjamin. Layaknya sebuah keluarga,” kata Hugo. Aku terkejut mendengar rencana Hugo untuk mengadakan makan malam bersama Benjamin. Kami bertiga akan
“Sampai kapan kau akan memelukku, Ben? Seseorang bisa saja memergoki kita,” kataku. Aku sudah menyerah untuk mencoba melepaskan diri dari Benjamin yang tiba-tiba memelukku dari belakang. “Anak-anak berada di rumah barat bersama Mathilde. Hugo masih akan kembali saat akhir pekan. Kenapa kau tidak bisa tenang, Em?” keluh Benjamin. “Tidakkah kau sadar saat ini aku sedang berselingkuh dengan adik iparku sendiri?” balasku. Menyebutkan kata berselingkuh membuatku ngeri. “Berselingkuh? Emily, kau tau Hugo tidak benar-benar mencintaimu. Dia menikahimu karena rasa bersalahnya kepada Theo. Dan kau pemilik saham utama. Berselingkuh? Yang benar saja,” jawab Benjamin. Aku masih merasakan sedikit sakit hati saat Benjamin mengatakan bahwa Hugo tidak benar-benar mencintaiku. “Aku berpikir apa yang kita lakukan kemarin adalah kesalahan saja. Dan kita tidak akan mengulanginya,” kataku lirih sambil menghela nafasnya. Benjamin mendekatkan bibirnya ke telingaku, dia masih memeluk tubuhku dari belaka
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Kita juga harus menunda keberangkatan kita ke Afrika karena ada masalah di Kimberly,” jawab Ben. Kurasa dia meneleponku bukan untuk mengajakku ke Afrika. Ada urusan lain yang dia inginkan dariku. “Apa maksudmu? Kenapa kita ada masalah dengan Kimberly?” tanyaku. Semua berlian yang diperjualbelikan di hampir seluruh dunia harus memiliki sertifikat dari organisasi Kimberly buatan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka bertugas untuk memastikan bahwa berlian yang dijual perusahaan-perusahaan perhiasan adalah hasil dari penambangan legal. “Tidak semua berlian yang kita peroleh adalah berlian bebas konflik. Sebagian adalah berlian berdarah,” kata Ben. Kurasakan kakiku gemetar mendengar informasi dari Ben. Oh God. Apa yang telah mereka semua lakukan selama ini? “Em, dengarkan aku. Aku juga baru mengetahuinya. Tapi kita hanya perusahaan pembeli. Kita akan menyalahkan penjual yang memberikan berlian dari daerah konflik. Aku tidak bisa sembarangan menyer
Ben membalas tamparanku dengan ciuman yang kasar dan keras. Tubuhku reflek memberontak. Namun Ben mencengkeram erat kedua tanganku hingga aku tidak bisa bergerak. Aku tak berdaya menghadapi Ben yang terus melumat habis bibirku. Tenagaku melemah. Perlawananku tidak ada artinya. Namun saat Ben mencium leherku, aku merasakan getaran yang hebat di sekujur tubuhku. “Emily, aku lebih pantas untukmu. Kau akan bahagia bersamaku. Kau dan aku. Kita bersama akan menaklukkan semuanya. Percayalah padaku.” Ben menatapku tajam. Dia bicara kepadaku sambil memegang kedua pipiku untuk memastikan aku mendengar ucapannya. Mataku nanar melihat Ben seakan aku sedang beradu pandang dengan Hugo, laki-laki yang pernah membuatku tergila-gila. Mata sayu Benjamin membuat hatiku ragu. Pandangannya dalam dan tajam. Sosok yang selama ini datang di setiap mimpi burukku berubah dari seoramg monster menjadi bajingan liar yang menawan. Sial! Aku pasti sudah gila.Ben mendekatkan bibirnya yang gemetar oleh desahan n
“Kau dengr aku, Em. Tinggalkan Hugo dan pergi bersamaku.” Benjamin mengulangi perkataan yang sama sekali tidak masuk akal untukku. Ini seperti kisah drama telenovela murahan. Aku jelas tidak ingin mengiyakan, namun terlalu takut untuk menolak. Bagaimana jika Benjamin berbuat nekat?Belum ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Dadaku sesak penuh penyesalan karena keputusanku yang salah kaprah. Suasana menjadi hening dan menegangkan. Aku tidak mendengar pergerakan Benjamin. Tiba-tiba kedua tangan Benjamin memegang lenganku. Dia berada di depanku. Sepertinya dia sedang berjongkok menghadap ke arahku. Perlahan tangannya mulai membuka tali penutup mataku. Aku mengerjap beberapa kali, kemudian mataku beradu pandang dengan mata tajam Benjamin. Sepasang mata yang terlihat tidak mengenal rasa takut. Benjamin belum melepaskan kedua tanganku yang masih terikat u kursi. “Maafkan aku, Emily. Seharusnya kau mengenalku lebih dulu. Tapi kematian Theo sangatlah tidak mudah. Jika saja kita berte