Masuk"Cordelia."
Nama itu keluar dari bibir Rania dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di keheningan kantor yang pengap. Udara di sekitarnya seolah membeku. Elara, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan bingung dan takut pada perubahan ekspresi Permaisurinya. Bagi Elara, nama itu hanyalah nama seorang Selir yang kuat. Tapi bagi Rania, nama itu adalah kunci yang membuka ruang arsip berisi penderitaan Aurelia. Semua kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan presisi yang brutal. Senyum manis Cordelia yang palsu, hadiah-hadiah kecil yang seolah penuh perhatian, bisikan-bisikan simpati yang ternyata adalah racun. Semuanya adalah bagian dari sebuah kampanye penghancuran karakter yang panjang dan terencana. Aurelia yang asli pasti akan hancur, dilumpuhkan oleh rasa sakit pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman. Tapi Rania tidak merasakan itu. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih dingin dan lebih berbahaya: kejelasan. Kemarahan seorang CEO yang baru saja mengidentifikasi siapa mata-mata perusahaan yang telah membocorkan semua rahasia dagangnya. Pengkhianatan ini bukanlah luka emosional; ini adalah masalah bisnis yang harus diselesaikan. "Yang Mulia...?" Elara bertanya dengan ragu-ragu, menarik Rania dari lamunannya. Rania menatap Elara, matanya yang tadi dipenuhi keterkejutan kini telah kembali tajam dan fokus. "Artinya kita sudah tahu siapa nama ularnya, Elara," katanya, suaranya datar. "Dan sekarang, kita akan mencabut taringnya." Dia menutup buku catatan hitam kecil itu. "Kita tidak akan membawa ini. Terlalu berisiko. Kita akan menyalin semua isinya, lalu mengembalikannya tepat ke tempat kita menemukannya. Mereka tidak boleh tahu bahwa kita tahu." "Menyalin... semuanya?" mata Elara melebar ngeri. "Itu akan butuh waktu berjam-jam, Yang Mulia." "Maka kita harus mulai sekarang," kata Rania tegas. Dia baru saja akan menyerahkan buku itu pada Elara bersama dengan perkamen kosong, ketika sebuah suara ringan dan geli tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan. "Ah, Nyonya C. Selalu saja ada 'Nyonya C' dalam setiap cerita yang menarik, bukan?" Rania dan Elara membeku seketika. Jantung Rania serasa berhenti berdetak selama dua detik penuh sebelum kembali berdebar dengan kecepatan gila. Suara itu tidak datang dari koridor. Suara itu datang dari *dalam* ruangan. Perlahan, Rania memutar kepalanya ke arah sudut tergelap di kantor itu. Di sana, duduk dengan santai di atas sebuah peti kayu tua yang beberapa saat lalu kosong, adalah seorang pria. Dia mengenakan jubah gelap yang seolah menyatu dengan bayangan, kontras dengan rambutnya yang seputih salju dan matanya yang berwarna violet aneh, yang kini berkilauan geli di bawah cahaya lentera. Dia tersenyum miring, seolah sudah berada di sana sepanjang waktu, menonton pertunjukan mereka. Elara mengeluarkan pekikan tertahan dan langsung bersembunyi di belakang Rania, tubuhnya gemetar hebat. Otak Rania berpacu, mencoba memproses data yang mustahil ini. Tidak ada suara pintu. Tidak ada langkah kaki. Pria ini muncul dari ketiadaan. Sihir. Tingkat tinggi. *Analisis ancaman: tidak terukur.* "Siapa kau?" tanya Rania. Hebatnya, suaranya tetap stabil, meskipun setiap insting di tubuhnya berteriak untuk lari. "Hanya seorang penonton yang menikmati drama yang bagus," jawab pria itu, Lysander. Dia melompat turun dari peti dengan gerakan ringan yang nyaris tanpa suara. "Dan drama kalian berdua malam ini cukup menghibur. Kerja investigasi yang bagus, kuakui." Dia berjalan mendekat, senyumnya tidak pernah luntur. "Aku suka Permaisuri yang baru ini. Jauh lebih proaktif. Aurelia yang lama hanya akan menangis di kamarnya." Dia tahu. Bukan hanya tahu tentang penyusupan mereka malam ini. Dia tahu lebih banyak. "Apa maumu?" tanya Rania, tangannya tanpa sadar mencengkeram buku catatan hitam itu lebih erat. "Mauku?" Lysander berhenti beberapa langkah di depan mereka, memiringkan kepalanya. "Aku hanya ingin pertunjukannya terus berjalan. Dan sepertinya, kau baru saja menemukan naskah untuk babak selanjutnya." Matanya yang berwarna violet tertuju pada buku catatan di tangan Rania. "Omong-omong," lanjutnya, seolah sedang membahas cuaca, "jiwamu itu aneh. Berbau seperti ozon setelah badai dan... logika yang dingin. Sangat tidak cocok dengan tempat yang berdebu ini." Pengakuan itu menghantam Rania seperti tamparan. Ini bukan lagi sekadar kecurigaan. Pria ini tahu segalanya. Rahasia terbesarnya, kartu trufnya, identitasnya... semuanya telanjang di hadapan orang asing yang berbahaya ini. "Kau..." Rania memulai, tapi tidak tahu harus berkata apa. "Aku Lysander," katanya, seolah baru teringat untuk memperkenalkan diri. "Dan aku berpihak pada cerita yang menarik. Dan ceritamu, Ratu dari dunia lain, berpotensi menjadi yang paling menarik dalam satu abad terakhir." Sebelum Rania bisa bereaksi, gerakan Lysander begitu cepat hingga kabur. Dalam sekejap mata, dia sudah berada tepat di depannya, dan buku catatan hitam kecil itu telah berpindah dari tangan Rania ke tangannya. Rania bahkan tidak merasakan benda itu diambil. "Biar aku yang simpan ini," kata Lysander sambil memeriksa buku itu dengan santai. "Bukti fisik itu merepotkan dan bisa dicuri. Akan lebih aman bersamaku." Dia menatap Rania yang membeku karena terkejut. "Kau..." Dia menunjuk kepala Rania dengan buku catatan itu. "...sudah punya salinan terbaiknya di dalam sana. Gunakan itu." Dengan sebuah kedipan main-main, Lysander melangkah mundur ke dalam bayangan. "Selamat bekerja, Yang Mulia," katanya, suaranya menggema saat sosoknya melebur ke dalam kegelapan dan lenyap. Dia pergi. Sama misteriusnya seperti saat dia datang. Kantor itu kembali sunyi, hanya menyisakan suara napas Elara yang terengah-engah dan detak jantung Rania yang bergemuruh di telinganya. Tangannya masih terangkat, kosong, di tempat di mana bukti kemenangannya berada beberapa detik yang lalu. Dia telah menemukan siapa musuhnya, hanya untuk dihadapkan pada entitas lain yang jauh lebih tak terduga. Seorang pemain yang tidak terikat aturan, yang bisa mengambil apa pun yang ia mau, dan yang mengetahui rahasia paling mematikan miliknya. Permainan catur yang Rania pikir sedang ia mainkan, ternyata jauh lebih kompleks. Ada pemain ketiga di luar papan catur, yang tujuannya masih menjadi misteri."Kereta api tidak didesain untuk berenang, Rania. Ini hukum dasar. Besi tenggelam. Air masuk ke cerobong. Api mati. Kita mati." Finn mondar-mandir di depan cetak biru hologram yang baru saja kuproyeksikan di dinding bengkel stasiun. Wajahnya pucat, tangannya penuh oli. "Koreksi, Finn," kataku, memutar model 3D The Sovereign di udara dengan jari telunjukku. "Kereta api biasa tidak bisa berenang. Tapi The Sovereign bukan lagi kereta api. Dia adalah Amphibious Assault Vehicle." Aku menunjuk ke bagian roda kereta di hologram. "Kita akan mengganti roda besi ini dengan sistem Caterpillar Track (Rantai Tank) yang dilengkapi sirip pendorong. Ini memungkinkan kita bergerak di dasar laut yang berlumpur." Aku menunjuk ke cerobong asap. "Sistem pembakaran terbuka diganti dengan Sirkuit Hidro-Termal Tertutup. Kita tidak membuang uap ke luar. Kita mendinginkan uap itu menggunakan air laut dingin di luar dind
Di layar monitor ruang kendali The Sovereign, aku melihat mereka datang.Satu regu pengintai elit. 12 Orc dengan zirah baja hitam mengkilap, dipimpin oleh seorang Centurion (Komandan) yang tingginya hampir tiga meter. Mereka tidak membawa kapak kasar seperti Orc biasa. Mereka membawa senapan serbu otomatis dan mengenakan Visor Taktis yang menyala merah.[UNIT: ELITE SCOUT - ARES LEGION][OBJECTIVE: RECON & ELIMINATE][MORALE: 100% (FEARLESS)]Mereka bergerak dalam formasi taktis sempurna, menyusuri jalan raya utama Sektor Industri yang gelap dan berkabut."Mereka disiplin," komentar Darrius, yang sedang mengasah pedang Nightfall-nya di sudut ruangan. "Tidak ada suara langkah kaki. Mereka pembunuh profesional.""Mereka unit RTS (Real-Time Strategy)," koreksiku, mengetuk layar tablet. "Mereka diprogram untuk bertarung secara efisien. Mereka tidak takut mati, karena mereka tahu mereka bisa diproduksi ulang di pabrik."
Asap rokok di The Velvet Room berwarna merah muda dan berbau seperti stroberi sintetis. Di sekeliling kami, monster glitch minum oli dari gelas martini, mengabaikan keberadaan dua manusia yang baru saja masuk ke sarang mereka. Vox, si Pria Kepala TV, mengocok kartunya dengan gaya teatrikal. "Informasi itu mahal, Yang Mulia Admin," suara Vox berderak statis. Layar wajahnya menampilkan simbol mata uang Dollar ($) yang berputar. "Kredit Datamu (AC) belum laku di sini. Aku butuh sesuatu yang lebih... substansial." "Aku bisa memperbaiki dead pixel di layar wajahmu," tawarku santai, duduk di kursi bar sambil menyilangkan kaki. "Aku lihat kau punya lag 0.5 detik di sistem motormu. Pasti menyebalkan saat mengocok kartu, kan?" Vox berhenti. Simbol Dollar di wajahnya berganti menjadi tanda seru (!). "Kau bisa memperbaiki kode legacy?" tanyanya, nada suaranya penuh harap. "Developer sialan itu membiarkanku nge-bug sejak
Matahari ungu di atas Ibukota Runtuh baru saja terbit, tapi antrean di depan Stasiun Menara Jam sudah mengular.Aroma sup tomat segar—tomat asli dari Laboratorium Bawah Tanah—menguap ke udara, membuat perut semua orang keroncongan. Itu adalah aroma kehidupan di tengah kota mati.Tapi ada keributan di barisan depan."Apa maksudmu emas ini tidak laku?!" teriak seorang prajurit Dwarf, membanting kantong kulit berisi koin emas Kekaisaran ke atas meja distribusi makanan. Koin-koin itu berguling, berkilauan, dan... sama sekali tidak berguna.Finn, yang bertugas menjaga panci sup, menghela napas lelah. "Grom, dengarkan aku. Kita tidak punya pedagang. Kita tidak bisa membeli bir atau baju zirah baru dengan emas itu. Di sini, emas cuma batu kuning yang berat.""Tapi ini upahku selama sepuluh tahun mengabdi pada Raja Thrain!" Grom marah, wajahnya memerah. "Kau bilang hartaku sampah?"Suasana memanas. Prajurit lain mulai memegang senjata me
Pintu masuk fasilitas Aethelgard Bioscience tidak terlihat seperti pintu. Itu terlihat seperti dinding beton kosong di stasiun kereta bawah tanah yang runtuh.Tapi bagiku, dengan mata Admin yang baru saja "dikalibrasi", aku melihat garis-garis sirkuit biru yang tersembunyi di balik lumut tembok."Di sini," tunjukku.Aku menempelkan Keycard biru yang kami temukan dari mayat Scavenger semalam.BEEP.Suara elektronik yang jernih terdengar—suara yang terlalu bersih untuk dunia yang sedang kiamat ini. Beton itu bergeser, mendesis saat segel udara (airlock) terbuka setelah ribuan tahun tertutup. Udara dingin berbau antiseptik dan tanah basah berhembus keluar."Baunya seperti... rumah sakit," komentar Solon, menutup hidungnya dengan lengan jubah."Baunya seperti laboratorium," koreksiku. "Dan laboratorium berarti sumber daya."Kami masuk. Aku, Darrius, Finn, dan lima prajurit Dwarf elit.Di dalam, lampu jalur
Malam pertama di "Zona Nol" tidak gelap gulita, dan itu masalahnya.Matahari buatan yang kuatur siang tadi memang sudah terbenam, tapi langit malam di atas Ibukota Runtuh tidak memiliki bintang yang stabil. Kadang ada flicker (kedipan) cahaya putih acak, seperti lampu neon raksasa yang hampir putus.Di alun-alun stasiun Menara Jam, api unggun besar menyala. Bukan dari kayu, tapi dari tumpukan kursi plastik kuno yang kami temukan di ruang tunggu. Plastik itu terbakar dengan warna hijau kimiawi dan bau yang aneh, tapi setidaknya memberikan kehangatan.Masalah terbesar kami bukan dingin. Tapi perut."Laporan logistik," kataku, duduk di atas peti amunisi sambil memijat kening.Finn membuka buku catatan kumalnya. Wajahnya muram."Populasi: 42 orang. Sisa ransum dari kereta: 15 kotak biskuit keras dan 4 jerigen air. Di luar zona aman, air sungai berasa seperti logam cair dan ikan-ikannya... well, ikan-ikannya berenang terbalik di udara







