Se connecterTengah malam tiba seperti kain beludru hitam yang membekap Istana Bunga Es. Keheningan begitu pekat hingga Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tenang dan terukur, kontras dengan napas Elara yang terdengar cepat dan gugup di sampingnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka berdua tampak seperti bayangan yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, mengenakan gaun paling gelap yang bisa mereka temukan.
"Waktunya," bisik Rania. Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan otoritas yang membuat Elara langsung mengangguk. Misi mereka dimulai. Bergerak menyusuri koridor yang dingin terasa seratus kali lebih berbahaya di malam hari. Setiap embusan angin terdengar seperti bisikan, setiap bayangan dari obor yang berkedip-kedip tampak seperti penjaga yang bersembunyi. Rania berjalan di depan, langkahnya ringan dan penuh perhitungan, mengandalkan denah mental yang telah ia bangun. Elara mengikuti di belakangnya, membawa lentera yang ditutup kain tebal, setiap derit papan lantai di bawah kakinya membuatnya tersentak ngeri. Mereka tiba di depan pintu kantor Pengurus Istana. Udara terasa lebih dingin di sini, seolah ruangan di baliknya menyimpan rahasia yang beku. Elara menyerahkan kunci besi itu kepada Rania, tangannya gemetar hebat. "Aku tidak bisa, Yang Mulia," bisiknya. "Tangan saya terlalu gemetar." Rania mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa. Dengan gerakan yang mantap, dia memasukkannya ke lubang kunci. Bunyi *klik* dari mekanisme kunci yang berputar terdengar begitu nyaring, seolah berteriak ke seluruh istana. Keduanya membeku, menahan napas, menunggu suara langkah kaki atau teriakan alarm. Tidak ada. Hanya keheningan. Rania mendorong pintu itu perlahan, membuka celah yang cukup untuk mereka menyelinap masuk. Bau kertas tua, debu, dan tinta yang apek langsung menyergap mereka. Kantor itu gelap dan sunyi. Setelah menutup pintu dengan hati-hati, Elara akhirnya memberanikan diri membuka sedikit kain penutup lenteranya, memancarkan lingkaran cahaya keemasan yang gemetar di tengah ruangan. Kantor itu tampak persis seperti yang Rania bayangkan: teratur dalam kekacauannya. Berkas-berkas menumpuk di meja, tetapi rak-rak buku besar yang menjulang di dinding tersusun rapi berdasarkan tahun. "Pekerjaan dimulai," kata Rania, nadanya kini sepenuhnya berubah menjadi seorang manajer proyek. "Elara, kau mulai dari rak sebelah kiri. Turunkan semua buku besar pengeluaran dari tahun ini. Letakkan di atas meja. Aku akan memeriksa catatan inventaris." Gadis itu mengangguk dan segera bekerja, gerakannya cepat karena adrenalin. Dalam beberapa menit, meja besar di tengah ruangan itu telah dipenuhi oleh buku-buku tebal berjilid kulit. Bagi Elara, itu adalah tumpukan pekerjaan yang menakutkan. Bagi Rania, itu adalah harta karun. Dia membuka buku besar pertama. Matanya memindai barisan angka dan tulisan dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Dia tidak membaca kata per kata; dia mencari anomali, pola yang tidak masuk akal. "Elara," panggil Rania setelah beberapa menit, suaranya tajam. "Buka buku inventaris dapur untuk bulan ketiga. Bacakan catatan penerimaan gandum." Elara dengan cepat menemukan halaman yang dimaksud. "Tercatat... tujuh puluh karung gandum kualitas terbaik, Yang Mulia." "Sekarang lihat buku besar pengeluaran yang kupegang," kata Rania, jarinya menunjuk sebuah baris. "Di sini tercatat pembelian seratus karung. Tiga puluh karung menghilang setiap bulan. Itu lebih dari seratus keping emas yang hilang hanya dari gandum dalam setahun." Mata Elara membelalak. "Tiga puluh karung?" "Ini baru pemanasan," gumam Rania, sudah beralih ke halaman lain. "Lihat ini. Anggaran pembelian anggur dari Wilayah Selatan. Lima puluh botol setiap dua minggu. Apakah kita pernah mengadakan pesta di sini, Elara?" "Tidak pernah, Yang Mulia. Anggur terbaik hanya disajikan untuk Puan Delia dan Tuan Valerius." "Aku yakin begitu," kata Rania sinis. "Tetapi anggur yang mereka minum mungkin hanya lima botol. Sisa empat puluh limanya dijual kembali ke pedagang di kota dengan setengah harga. Keuntungan bersih, tanpa modal." Mereka terus bekerja dalam keheningan yang tegang, hanya dipecah oleh suara lembaran kertas yang dibalik dan bisikan Rania saat dia menemukan kejanggalan lain. Pembelian sutra fiktif. Biaya perbaikan palsu. Gaji untuk penjaga yang tidak pernah ada. Bau busuk keserakahan dan pengkhianatan menguar dari setiap halaman kertas tua itu. Elara, yang pada awalnya hanya merasa takut, kini mulai merasakan gelombang kemarahan yang dingin. Uang-uang ini seharusnya bisa digunakan untuk membeli selimut yang lebih hangat untuk para pelayan, makanan yang lebih layak, atau untuk memperbaiki atap yang bocor di kamarnya. Kemarahan memberinya fokus baru. Dia tidak lagi hanya membantu karena diperintah; dia kini adalah bagian dari perlawanan ini. Setelah hampir dua jam, Rania bersandar di kursinya. Dia telah menemukan lusinan pencurian kecil hingga menengah. Cukup untuk menjebloskan Delia dan Valerius ke penjara. Tapi dia tahu ini belum semuanya. Harus ada buku catatan utamanya, sebuah buku besar bayangan tempat semua keuntungan haram ini dicatat. "Mereka tidak akan sebodoh itu menuliskannya di buku resmi," gumam Rania pada dirinya sendiri. Dia bangkit dan mulai memeriksa kantor itu dengan lebih teliti. Matanya memindai setiap sudut, setiap celah. Di balik tumpukan perkamen? Tidak ada. Di laci meja yang terkunci? Dia membukanya paksa dengan sebuah pisau surat, isinya hanya surat-surat pribadi. Lalu, matanya tertuju pada sebuah rak buku di sudut yang paling gelap. Isinya bukan buku keuangan, melainkan koleksi buku-buku puisi dan sejarah yang tampak jarang disentuh. Sebuah insting dari dunianya—di mana data paling penting seringkali disembunyikan di tempat yang paling tidak terduga—menggerakkannya. Dia menarik salah satu buku yang tebal secara acak. Buku itu terasa lebih ringan dari yang seharusnya. Dia membukanya. Halaman-halaman di dalamnya telah dilubangi, menciptakan sebuah kompartemen rahasia. Dan di dalamnya, terbaring sebuah buku catatan kecil bersampul kulit hitam. "Kena kau," bisik Rania. Dia membawa buku itu kembali ke meja. Ini bukan buku keuangan biasa. Isinya adalah kode. Nama-nama samaran dan persentase. 'Bunga Lily: 10%'. 'Burung Kenari: 5%'. 'Angin Utara: 7%'. Dan yang paling sering muncul, dengan persentase terbesar: 'Hadiah untuk Nyonya C: 25%'. "Nyonya C..." gumam Rania. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Sebuah fragmen ingatan Aurelia yang kabur melintas di benaknya—seorang wanita bangsawan cantik dengan senyum semanis madu, yang sering mengirimkan hadiah dan surat-surat simpati. Wanita yang selalu memanggil Aurelia "adikku tersayang". Selir Cordelia. Saat nama itu terbentuk di benaknya, semua kepingan puzzle langsung menyatu. Kebangkrutan House Thorne setelah Aurelia menjadi permaisuri. Rumor-rumor buruk yang tiba-tiba menyebar tentangnya. Pengasingannya yang begitu cepat dan tanpa pembelaan. Semuanya didalangi oleh 'teman' terdekatnya. "Cordelia," bisik Rania, nama itu terasa seperti racun di lidahnya. Dia telah menemukan ularnya. Dan sekarang, dia memegang peta menuju sarangnya."Kereta api tidak didesain untuk berenang, Rania. Ini hukum dasar. Besi tenggelam. Air masuk ke cerobong. Api mati. Kita mati." Finn mondar-mandir di depan cetak biru hologram yang baru saja kuproyeksikan di dinding bengkel stasiun. Wajahnya pucat, tangannya penuh oli. "Koreksi, Finn," kataku, memutar model 3D The Sovereign di udara dengan jari telunjukku. "Kereta api biasa tidak bisa berenang. Tapi The Sovereign bukan lagi kereta api. Dia adalah Amphibious Assault Vehicle." Aku menunjuk ke bagian roda kereta di hologram. "Kita akan mengganti roda besi ini dengan sistem Caterpillar Track (Rantai Tank) yang dilengkapi sirip pendorong. Ini memungkinkan kita bergerak di dasar laut yang berlumpur." Aku menunjuk ke cerobong asap. "Sistem pembakaran terbuka diganti dengan Sirkuit Hidro-Termal Tertutup. Kita tidak membuang uap ke luar. Kita mendinginkan uap itu menggunakan air laut dingin di luar dind
Di layar monitor ruang kendali The Sovereign, aku melihat mereka datang.Satu regu pengintai elit. 12 Orc dengan zirah baja hitam mengkilap, dipimpin oleh seorang Centurion (Komandan) yang tingginya hampir tiga meter. Mereka tidak membawa kapak kasar seperti Orc biasa. Mereka membawa senapan serbu otomatis dan mengenakan Visor Taktis yang menyala merah.[UNIT: ELITE SCOUT - ARES LEGION][OBJECTIVE: RECON & ELIMINATE][MORALE: 100% (FEARLESS)]Mereka bergerak dalam formasi taktis sempurna, menyusuri jalan raya utama Sektor Industri yang gelap dan berkabut."Mereka disiplin," komentar Darrius, yang sedang mengasah pedang Nightfall-nya di sudut ruangan. "Tidak ada suara langkah kaki. Mereka pembunuh profesional.""Mereka unit RTS (Real-Time Strategy)," koreksiku, mengetuk layar tablet. "Mereka diprogram untuk bertarung secara efisien. Mereka tidak takut mati, karena mereka tahu mereka bisa diproduksi ulang di pabrik."
Asap rokok di The Velvet Room berwarna merah muda dan berbau seperti stroberi sintetis. Di sekeliling kami, monster glitch minum oli dari gelas martini, mengabaikan keberadaan dua manusia yang baru saja masuk ke sarang mereka. Vox, si Pria Kepala TV, mengocok kartunya dengan gaya teatrikal. "Informasi itu mahal, Yang Mulia Admin," suara Vox berderak statis. Layar wajahnya menampilkan simbol mata uang Dollar ($) yang berputar. "Kredit Datamu (AC) belum laku di sini. Aku butuh sesuatu yang lebih... substansial." "Aku bisa memperbaiki dead pixel di layar wajahmu," tawarku santai, duduk di kursi bar sambil menyilangkan kaki. "Aku lihat kau punya lag 0.5 detik di sistem motormu. Pasti menyebalkan saat mengocok kartu, kan?" Vox berhenti. Simbol Dollar di wajahnya berganti menjadi tanda seru (!). "Kau bisa memperbaiki kode legacy?" tanyanya, nada suaranya penuh harap. "Developer sialan itu membiarkanku nge-bug sejak
Matahari ungu di atas Ibukota Runtuh baru saja terbit, tapi antrean di depan Stasiun Menara Jam sudah mengular.Aroma sup tomat segar—tomat asli dari Laboratorium Bawah Tanah—menguap ke udara, membuat perut semua orang keroncongan. Itu adalah aroma kehidupan di tengah kota mati.Tapi ada keributan di barisan depan."Apa maksudmu emas ini tidak laku?!" teriak seorang prajurit Dwarf, membanting kantong kulit berisi koin emas Kekaisaran ke atas meja distribusi makanan. Koin-koin itu berguling, berkilauan, dan... sama sekali tidak berguna.Finn, yang bertugas menjaga panci sup, menghela napas lelah. "Grom, dengarkan aku. Kita tidak punya pedagang. Kita tidak bisa membeli bir atau baju zirah baru dengan emas itu. Di sini, emas cuma batu kuning yang berat.""Tapi ini upahku selama sepuluh tahun mengabdi pada Raja Thrain!" Grom marah, wajahnya memerah. "Kau bilang hartaku sampah?"Suasana memanas. Prajurit lain mulai memegang senjata me
Pintu masuk fasilitas Aethelgard Bioscience tidak terlihat seperti pintu. Itu terlihat seperti dinding beton kosong di stasiun kereta bawah tanah yang runtuh.Tapi bagiku, dengan mata Admin yang baru saja "dikalibrasi", aku melihat garis-garis sirkuit biru yang tersembunyi di balik lumut tembok."Di sini," tunjukku.Aku menempelkan Keycard biru yang kami temukan dari mayat Scavenger semalam.BEEP.Suara elektronik yang jernih terdengar—suara yang terlalu bersih untuk dunia yang sedang kiamat ini. Beton itu bergeser, mendesis saat segel udara (airlock) terbuka setelah ribuan tahun tertutup. Udara dingin berbau antiseptik dan tanah basah berhembus keluar."Baunya seperti... rumah sakit," komentar Solon, menutup hidungnya dengan lengan jubah."Baunya seperti laboratorium," koreksiku. "Dan laboratorium berarti sumber daya."Kami masuk. Aku, Darrius, Finn, dan lima prajurit Dwarf elit.Di dalam, lampu jalur
Malam pertama di "Zona Nol" tidak gelap gulita, dan itu masalahnya.Matahari buatan yang kuatur siang tadi memang sudah terbenam, tapi langit malam di atas Ibukota Runtuh tidak memiliki bintang yang stabil. Kadang ada flicker (kedipan) cahaya putih acak, seperti lampu neon raksasa yang hampir putus.Di alun-alun stasiun Menara Jam, api unggun besar menyala. Bukan dari kayu, tapi dari tumpukan kursi plastik kuno yang kami temukan di ruang tunggu. Plastik itu terbakar dengan warna hijau kimiawi dan bau yang aneh, tapi setidaknya memberikan kehangatan.Masalah terbesar kami bukan dingin. Tapi perut."Laporan logistik," kataku, duduk di atas peti amunisi sambil memijat kening.Finn membuka buku catatan kumalnya. Wajahnya muram."Populasi: 42 orang. Sisa ransum dari kereta: 15 kotak biskuit keras dan 4 jerigen air. Di luar zona aman, air sungai berasa seperti logam cair dan ikan-ikannya... well, ikan-ikannya berenang terbalik di udara







