Share

Bab 9: Pisau Sang Auditor

Author: Murufu
last update Last Updated: 2025-10-11 12:30:08

Fajar menyingsing di atas Istana Bunga Es, bukan membawa kehangatan, melainkan cahaya abu-abu dingin yang menyoroti kelelahan dan kekacauan dari malam yang panjang. Di balkon kantor darurat Rania, Delia berdiri dengan bahu merosot, napasnya masih terengah-engah. Di atas meja, tergeletak setumpuk tebal perkamen—laporan inventaris yang ditulis dengan tergesa-gesa, penuh dengan coretan dan noda tinta.

"Sudah... sudah selesai, Yang Mulia," kata Delia, suaranya serak. "Setiap paku. Setiap sendok. Semuanya." Dia telah menyelesaikan tugas yang mustahil itu, dan kini menunggu putusan dari sang Ratu Iblis di hadapannya.

Rania melirik tumpukan laporan itu, lalu menatap Delia. Mata kepala pelayan itu merah, rambutnya berantakan, dan ada noda jelaga di pipinya. Dia tampak hancur, tetapi dia tidak patah. Dia telah menyelesaikan tugasnya.

"Kerja bagus, Manajer Operasional," kata Rania datar, menggunakan kembali gelar yang ia berikan. "Kau memenuhi target."

Delia tampak terkejut. Dia jelas mengharapkan omelan atau hukuman lain, bukan sebuah pengakuan, meskipun pengakuan itu diucapkan tanpa emosi.

"Sekarang," lanjut Rania, mengabaikan keterkejutan Delia. "Aku tidak butuh istirahat, begitu pula kau. Ambil laporan ini, bawa Elara, dan mulailah Fase Kedua. Bandingkan setiap baris dari laporan manual ini dengan buku besar pengeluaran dari kantor Valerius. Setiap selisih, sekecil apa pun, catat di lembar terpisah dengan judul 'Daftar Penyusutan Aset'. Aku ingin laporan itu selesai saat makan siang."

Lagi-lagi sebuah perintah yang mustahil. Tapi kali ini, Delia tidak membantah. Dia hanya mengambil tumpukan perkamen itu dengan tangan gemetar dan membungkuk. "Baik, Yang Mulia." Dia telah belajar bahwa membantah tidak ada gunanya.

Saat Delia pergi untuk memulai tugas barunya, Rania beralih ke agenda berikutnya. Dia tidak tertarik pada angka-angka itu sekarang; dia sudah tahu hasilnya akan menunjukkan pencurian besar-besaran. Dia lebih tertarik pada audit personel yang ia lakukan semalam. Saatnya memotong lemak.

"Elara," panggil Rania. Gadis itu, yang juga tampak kelelahan namun bersemangat, segera menghampirinya. "Panggilkan Kapten Joric dari barak penjaga. Suruh dia menghadapku. Sendirian."

Kapten Joric adalah pria gempal berusia empat puluhan dengan wajah pemabuk dan perut buncit. Dia adalah sepupu jauh dari Marquis Valois, fakta yang selalu ia banggakan. Dia tiba di hadapan Rania dengan langkah angkuh, hanya memberikan anggukan kepala yang malas sebagai ganti penghormatan.

"Yang Mulia memanggil saya?" tanyanya, nadanya tidak sopan. "Saya sedang sibuk mengatur jadwal patroli pagi."

"Benarkah?" kata Rania, matanya yang dingin menilainya. "Karena dari pengamatan saya semalam, Anda lebih banyak berteriak kebingungan daripada mengatur. Saya telah melakukan evaluasi kinerja singkat terhadap departemen keamanan Anda, Kapten."

Wajah Joric memerah. "Evaluasi kinerja? Apa-apaan itu?"

"Itu adalah istilah untuk penilaian pekerjaanmu," jawab Rania. "Dan hasilnya sangat tidak memuaskan. Pertama, Anda gagal mengorganisir anak buah Anda untuk tugas inventarisasi, menyebabkan tumpang tindih dan membuang waktu tiga jam. Kedua, laporan dari penjaga yang jujur menyebutkan bahwa gudang senjata tidak pernah diaudit dengan benar selama enam bulan terakhir. Dan ketiga, jadwal patroli yang Anda sebut 'sibuk' itu memiliki celah keamanan selama dua jam di sayap barat, tepat setelah tengah malam. Cukup lama bagi satu peleton penyusup untuk masuk tanpa terdeteksi."

Setiap kalimat adalah fakta dingin yang menghantam Joric seperti batu. Dia ternganga, tidak tahu bagaimana harus membantah.

"Efektif per hari ini," kata Rania, nadanya final, "posisi Anda sebagai kapten penjaga Istana Bunga Es dicabut. Anda dianggap sebagai aset yang tidak kompeten. Anda akan direlokasi ke pos penjaga gerbang utara... sebagai penjaga biasa."

Kemarahan akhirnya meledak di wajah Joric. "Anda tidak bisa melakukan ini! Aku ditempatkan di sini atas perintah Marquis Valois! Anda hanyalah seorang Permaisuri terbuang yang sedang bermain ratu-ratuan!"

"Saya mungkin Permaisuri terbuang," balas Rania, "tapi saya bertindak atas mandat langsung dari Yang Mulia Kaisar untuk merestrukturisasi tempat ini. Apakah Anda ingin mempertanyakan perintah Kaisar, Tuan Joric?"

Penyebutan nama Kaisar membuat Joric sedikit gentar, tapi harga dirinya yang terluka terlalu besar. "Saya tidak menerima perintah dari seorang wanita gila!"

"Aku sudah menduga kau akan berkata begitu." Rania kemudian menoleh ke arah pintu. "Kael! Masuk!"

Seorang penjaga muda yang tegap masuk ke ruangan. Wajahnya tegang, tapi matanya fokus. Dia adalah sersan yang Rania lihat semalam dengan tenang mengorganisir timnya sendiri tanpa perintah dari Joric.

"Kael," kata Rania. "Efektif saat ini, kau diangkat menjadi Pelaksana Tugas Kapten Penjaga Istana Bunga Es. Perintah pertamamu: lucuti senjata Tuan Joric dan antarkan dia ke pos barunya di gerbang utara. Jika dia melawan, anggap itu sebagai pembangkangan terhadap perintah Kaisar."

Kael terperangah sesaat, tetapi kemudian tekad mengeras di wajahnya. Dia memberi hormat pada Rania. "Baik, Yang Mulia!"

Ini adalah puncak penghinaan bagi Joric. Digantikan oleh seorang sersan rendahan yang usianya separuh darinya. Kemarahan menguasai akal sehatnya. Dengan raungan murka, dia menarik pedangnya dari sarungnya.

"Beraninya kau, jalang!" teriaknya, mengacungkan pedangnya ke arah Rania.

Elara menjerit ngeri. Kael dan dua penjaga lain di pintu langsung menghunus pedang mereka, menciptakan barikade di depan Rania. Suasana langsung berubah dari rapat evaluasi menjadi konfrontasi berdarah.

"Turunkan senjatamu, Joric!" perintah Kael, suaranya mantap. "Jangan membuat kesalahan yang akan membuatmu kehilangan kepalamu!"

"Aku hanya menerima perintah dari Marquis Valois!" raung Joric, matanya merah karena amarah. "Dan atas namanya, aku akan memberimu pelajaran, Permaisuri Gila!"

Pedang terhunus, dan seluruh istana seolah menahan napas. Ini adalah ujian pertama bagi kekuasaan Rania. Apakah mandat dari Kaisar yang jauh di sana cukup kuat untuk menghentikan sebilah baja yang sudah di depan mata? Atau apakah pemerintahannya yang baru akan berakhir bahkan sebelum sempat dimulai?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 9: Pisau Sang Auditor

    Fajar menyingsing di atas Istana Bunga Es, bukan membawa kehangatan, melainkan cahaya abu-abu dingin yang menyoroti kelelahan dan kekacauan dari malam yang panjang. Di balkon kantor darurat Rania, Delia berdiri dengan bahu merosot, napasnya masih terengah-engah. Di atas meja, tergeletak setumpuk tebal perkamen—laporan inventaris yang ditulis dengan tergesa-gesa, penuh dengan coretan dan noda tinta."Sudah... sudah selesai, Yang Mulia," kata Delia, suaranya serak. "Setiap paku. Setiap sendok. Semuanya." Dia telah menyelesaikan tugas yang mustahil itu, dan kini menunggu putusan dari sang Ratu Iblis di hadapannya.Rania melirik tumpukan laporan itu, lalu menatap Delia. Mata kepala pelayan itu merah, rambutnya berantakan, dan ada noda jelaga di pipinya. Dia tampak hancur, tetapi dia tidak patah. Dia telah menyelesaikan tugasnya."Kerja bagus, Manajer Operasional," kata Rania datar, menggunakan kembali gelar yang ia berikan. "Kau memenuhi target."Delia tampak terkejut. Dia jelas mengharap

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 8: Malam Panjang Penghitungan

    Perintah itu menggantung di udara aula yang dingin, terasa lebih berat daripada keheningan itu sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Seratus pasang mata menatapku dari puncak tangga, lalu beralih ke Delia, yang wajahnya kini sepucat kain kafan.Menghitung ulang seluruh inventaris istana—secara manual—dalam waktu kurang dari dua belas jam bukanlah tugas yang sulit. Itu adalah tugas yang mustahil, dan semua orang di ruangan itu tahu. Itu adalah sebuah hukuman, sebuah pertunjukan kekuasaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat mereka sebelum pekerjaan dimulai.Delia adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Di hadapan seluruh staf yang selama ini ia tindas, ia membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar karena campuran antara ketakutan dan kebencian yang tertahan."Akan... akan saya laksanakan, Yang Mulia.""Bagus," jawabku, nadaku dingin dan tanpa emosi. "Rapat selesai. Kembali bekerja."Kerumunan itu bubar dalam kekacauan y

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 7: Rapat Umum Pemegang Proyek

    Perjalanan kembali ke Istana Bunga Es adalah kebalikan dari prosesi pemakaman beberapa jam yang lalu. Sepuluh Pengawal Kerajaan yang sama masih mengelilingiku dalam formasi kotak yang kaku, tetapi atmosfernya telah berubah secara fundamental. Keheningan mereka tidak lagi terasa mengancam, melainkan protektif.Kapten Pengawal berwajah bekas luka itu kini berjalan sedikit di depanku, bukan lagi sebagai seorang sipir, melainkan sebagai seorang pengawal kehormatan. Tatapannya lurus ke depan, memastikan jalan di depanku bersih. Saat kami berpapasan dengan para bangsawan dan pejabat di koridor, tatapan mereka tidak lagi berisi cemoohan. Kini yang kulihat adalah kebingungan, keterkejutan, dan secercah rasa takut yang baru.Berita menyebar lebih cepat daripada api di istana ini. Permaisuri Terbuang yang seharusnya dihukum, justru keluar dari Ruang Takhta dengan sebuah dekrit kekuasaan dari Kaisar sendiri. Aku tidak lagi dianggap sebagai mangsa; aku telah menjadi anomali, sebuah variabel tak d

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 6 : Laporan Kepada Direksi

    Keheningan yang ditinggalkan Lysander terasa berat dan dingin. Selama beberapa saat, satu-satunya suara di kantor pengurus yang pengap itu adalah isak tangis tertahan dari Elara, yang kini merosot di lantai, terlalu takut untuk berdiri. Rania sendiri tidak bergerak. Matanya terpaku pada ruang kosong tempat Lysander lenyap. Tangannya, yang beberapa saat lalu memegang buku catatan hitam yang menjadi kunci kemenangannya, kini terasa ringan dan kosong secara absurd. Senjatanya telah dicuri, tepat di depan matanya, oleh hantu yang tersenyum. Otaknya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, mencoba memasukkan data yang mustahil ini ke dalam kerangka logis. Sihir itu nyata. Itu adalah fakta pertama yang harus ia terima. Entitas dengan kekuatan tak terukur ada di istana ini. Itu fakta kedua. Dan yang paling mengerikan, entitas itu mengetahui rahasianya. Fakta ketiga. "Yang Mulia..." rintih Elara, suaranya pecah. "Si-siapa itu? Hantu? Iblis?" Rania akhirnya bergerak. Dia berjongkok di depan El

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 5 : Pemain di Luar Papan Catur

    "Cordelia." Nama itu keluar dari bibir Rania dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di keheningan kantor yang pengap. Udara di sekitarnya seolah membeku. Elara, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan bingung dan takut pada perubahan ekspresi Permaisurinya. Bagi Elara, nama itu hanyalah nama seorang Selir yang kuat. Tapi bagi Rania, nama itu adalah kunci yang membuka ruang arsip berisi penderitaan Aurelia. Semua kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan presisi yang brutal. Senyum manis Cordelia yang palsu, hadiah-hadiah kecil yang seolah penuh perhatian, bisikan-bisikan simpati yang ternyata adalah racun. Semuanya adalah bagian dari sebuah kampanye penghancuran karakter yang panjang dan terencana. Aurelia yang asli pasti akan hancur, dilumpuhkan oleh rasa sakit pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman. Tapi Rania tidak merasakan itu. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih dingin dan lebih berbahaya: kejelasan. Kem

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 4 : Bau Busuk di Atas Kertas

    Tengah malam tiba seperti kain beludru hitam yang membekap Istana Bunga Es. Keheningan begitu pekat hingga Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tenang dan terukur, kontras dengan napas Elara yang terdengar cepat dan gugup di sampingnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka berdua tampak seperti bayangan yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, mengenakan gaun paling gelap yang bisa mereka temukan. "Waktunya," bisik Rania. Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan otoritas yang membuat Elara langsung mengangguk. Misi mereka dimulai. Bergerak menyusuri koridor yang dingin terasa seratus kali lebih berbahaya di malam hari. Setiap embusan angin terdengar seperti bisikan, setiap bayangan dari obor yang berkedip-kedip tampak seperti penjaga yang bersembunyi. Rania berjalan di depan, langkahnya ringan dan penuh perhitungan, mengandalkan denah mental yang telah ia bangun. Elara mengikuti di belakangnya, membawa lentera yang ditutup kain tebal, setiap derit papan la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status