Home / Romansa / Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu / Bab 8: Malam Panjang Penghitungan

Share

Bab 8: Malam Panjang Penghitungan

Author: Murufu
last update Last Updated: 2025-10-11 08:14:35

Perintah itu menggantung di udara aula yang dingin, terasa lebih berat daripada keheningan itu sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Seratus pasang mata menatapku dari puncak tangga, lalu beralih ke Delia, yang wajahnya kini sepucat kain kafan.

Menghitung ulang seluruh inventaris istana—secara manual—dalam waktu kurang dari dua belas jam bukanlah tugas yang sulit. Itu adalah tugas yang mustahil, dan semua orang di ruangan itu tahu. Itu adalah sebuah hukuman, sebuah pertunjukan kekuasaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat mereka sebelum pekerjaan dimulai.

Delia adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Di hadapan seluruh staf yang selama ini ia tindas, ia membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar karena campuran antara ketakutan dan kebencian yang tertahan.

"Akan... akan saya laksanakan, Yang Mulia."

"Bagus," jawabku, nadaku dingin dan tanpa emosi. "Rapat selesai. Kembali bekerja."

Kerumunan itu bubar dalam kekacauan yang senyap. Tidak ada lagi bisik-bisik. Yang ada hanyalah derap langkah kaki yang tergesa-gesa dan wajah-wajah yang dipenuhi kepanikan. Malam yang panjang akan segera dimulai.

Aku tidak kembali ke kamarku. Sebaliknya, aku memerintahkan Elara untuk membawakanku sebuah kursi dan meja kecil, lalu meletakkannya di balkon yang menghadap ke halaman utama—sebuah posisi strategis yang memberiku pemandangan ke gudang, dapur, dan barak penjaga. Aku duduk di sana seperti seorang jenderal di atas bukit, mengamati medan perang di bawah.

Di bawah, neraka kecil telah dimulai. Delia, didorong oleh ketakutan akan kegagalan, berubah menjadi seorang tiran yang efisien. Teriakannya menggema di seluruh halaman, memerintahkan para kepala departemen untuk mengumpulkan tim mereka. Para juru masak dipaksa keluar dari dapur untuk menghitung setiap karung tepung dan botol anggur. Para tukang kebun diperintahkan untuk menginventarisasi setiap sekop dan cangkul. Bahkan para penjaga yang biasanya bermalas-malasan kini disuruh menghitung setiap anak panah di gudang senjata.

Cahaya obor dan lentera dinyalakan di seluruh penjuru istana, mengubah tempat yang biasanya gelap dan sunyi itu menjadi sarang lebah yang sibuk dan panik.

Aku hanya duduk diam dan mengamati. Elara berdiri di sisiku, sesekali menuangkan teh hangat untukku.

"Yang Mulia," bisiknya setelah satu jam. "Ini... ini kejam. Mereka tidak akan pernah bisa menyelesaikannya tepat waktu."

"Aku tahu," jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari pemandangan di bawah.

"Lalu... mengapa Anda melakukannya?"

Aku menoleh menatapnya, matanya yang polos dipenuhi kebingungan. "Ini bukan tentang menyelesaikan inventaris, Elara. Ini adalah sebuah tes. Sebuah audit personel."

Aku menunjuk ke arah dapur. "Lihat kepala koki itu, Tuan Gaston. Dia tidak panik. Dia membagi timnya menjadi tiga kelompok, masing-masing menghitung jenis bahan makanan yang berbeda. Dia efisien. Catat namanya. Dia adalah manajer yang kompeten."

Lalu aku menunjuk ke barak penjaga. "Sekarang lihat kapten penjaga itu. Dia hanya berteriak-teriak tanpa arah, membuat anak buahnya berlarian kebingungan. Dia tidak bisa mengatur. Dia adalah titik lemah. Catat juga namanya."

Elara mulai mengerti. Ini bukan tentang menghitung sendok. Ini tentang melihat siapa yang bisa bekerja di bawah tekanan, siapa yang bisa memimpin, dan siapa yang akan hancur. Ini adalah cara Rania Sastrawijaya melakukan restrukturisasi organisasi.

Malam semakin larut. Suara-suara teriakan dan barang-barang yang dipindahkan terus bergema. Aku melihat Delia berlari dari satu tempat ke tempat lain, rambutnya yang biasanya tersanggul rapi kini berantakan. Wajahnya dipenuhi keringat dan kelelahan. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia benar-benar bekerja.

Sekitar tengah malam, seorang penjaga berlari menghampiriku dan bersujud. "Yang Mulia! Kami menemukan sesuatu di gudang anggur!"

Aku mengangkat alisku. "Sesuatu?"

"Sebuah pintu tersembunyi di balik rak-rak anggur. Di dalamnya... ada ruangan lain. Penuh dengan barang-barang mewah. Sutra, perhiasan, anggur-anggur mahal... barang-barang yang tidak pernah tercatat di inventaris mana pun."

Aku tersenyum tipis. "Gudang pribadi milik Puan Delia dan Tuan Valerius. Tentu saja." Ini adalah bonus yang tidak kuduga. Tes ini tidak hanya mengungkap kompetensi, tetapi juga bukti kejahatan yang lebih nyata. "Segel ruangan itu. Tempatkan dua penjaga di depannya. Tidak ada yang boleh masuk atau keluar tanpa izinku."

"Baik, Yang Mulia!" Penjaga itu bergegas pergi.

Berita tentang penemuan itu menyebar seperti api di antara para staf. Kepanikan mereka kini bercampur dengan rasa takjub. Permaisuri ini tidak hanya kejam; dia juga seperti seorang penyihir yang bisa melihat semua rahasia tersembunyi. Rasa takut mereka padaku semakin dalam.

Fajar hampir menyingsing ketika Delia akhirnya datang menghadapiku. Dia tampak seperti baru saja melewati perang. Wajahnya kotor, gaunnya sobek di beberapa bagian, dan matanya merah karena kurang tidur. Dia membanting setumpuk tebal perkamen di atas mejaku.

"Sudah... sudah selesai, Yang Mulia," katanya, napasnya terengah-engah. "Setiap paku. Setiap sendok. Semuanya."

Aku melirik tumpukan laporan itu, lalu menatapnya. "Kerja bagus, Manajer Operasional," kataku datar. "Kau berhasil menyelesaikan tugasmu tepat waktu."

Delia tampak terkejut. Dia jelas mengharapkan omelan atau hukuman lain.

"Sekarang," lanjutku, "minumlah teh. Lalu, dalam satu jam, aku ingin kau berada di kantorku. Kita akan membahas temuan dari laporan ini dan merencanakan langkah selanjutnya."

Sebelum Delia bisa menjawab, aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan dia yang termangu di balkon. Elara mengikutiku dari belakang.

"Anda tidak akan memeriksa laporannya, Yang Mulia?" tanya Elara.

"Tidak sekarang," jawabku. "Laporan itu sendiri tidak penting. Yang penting adalah prosesnya. Aku sudah mendapatkan semua data yang kubutuhkan tentang orang-orangku."

Aku berhenti di depan pintu kamarku dan berbalik menghadap Elara. "Dan malam ini," kataku, "kita baru saja memecat seorang kapten penjaga."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 9: Pisau Sang Auditor

    Fajar menyingsing di atas Istana Bunga Es, bukan membawa kehangatan, melainkan cahaya abu-abu dingin yang menyoroti kelelahan dan kekacauan dari malam yang panjang. Di balkon kantor darurat Rania, Delia berdiri dengan bahu merosot, napasnya masih terengah-engah. Di atas meja, tergeletak setumpuk tebal perkamen—laporan inventaris yang ditulis dengan tergesa-gesa, penuh dengan coretan dan noda tinta."Sudah... sudah selesai, Yang Mulia," kata Delia, suaranya serak. "Setiap paku. Setiap sendok. Semuanya." Dia telah menyelesaikan tugas yang mustahil itu, dan kini menunggu putusan dari sang Ratu Iblis di hadapannya.Rania melirik tumpukan laporan itu, lalu menatap Delia. Mata kepala pelayan itu merah, rambutnya berantakan, dan ada noda jelaga di pipinya. Dia tampak hancur, tetapi dia tidak patah. Dia telah menyelesaikan tugasnya."Kerja bagus, Manajer Operasional," kata Rania datar, menggunakan kembali gelar yang ia berikan. "Kau memenuhi target."Delia tampak terkejut. Dia jelas mengharap

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 8: Malam Panjang Penghitungan

    Perintah itu menggantung di udara aula yang dingin, terasa lebih berat daripada keheningan itu sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Seratus pasang mata menatapku dari puncak tangga, lalu beralih ke Delia, yang wajahnya kini sepucat kain kafan.Menghitung ulang seluruh inventaris istana—secara manual—dalam waktu kurang dari dua belas jam bukanlah tugas yang sulit. Itu adalah tugas yang mustahil, dan semua orang di ruangan itu tahu. Itu adalah sebuah hukuman, sebuah pertunjukan kekuasaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat mereka sebelum pekerjaan dimulai.Delia adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Di hadapan seluruh staf yang selama ini ia tindas, ia membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar karena campuran antara ketakutan dan kebencian yang tertahan."Akan... akan saya laksanakan, Yang Mulia.""Bagus," jawabku, nadaku dingin dan tanpa emosi. "Rapat selesai. Kembali bekerja."Kerumunan itu bubar dalam kekacauan y

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 7: Rapat Umum Pemegang Proyek

    Perjalanan kembali ke Istana Bunga Es adalah kebalikan dari prosesi pemakaman beberapa jam yang lalu. Sepuluh Pengawal Kerajaan yang sama masih mengelilingiku dalam formasi kotak yang kaku, tetapi atmosfernya telah berubah secara fundamental. Keheningan mereka tidak lagi terasa mengancam, melainkan protektif.Kapten Pengawal berwajah bekas luka itu kini berjalan sedikit di depanku, bukan lagi sebagai seorang sipir, melainkan sebagai seorang pengawal kehormatan. Tatapannya lurus ke depan, memastikan jalan di depanku bersih. Saat kami berpapasan dengan para bangsawan dan pejabat di koridor, tatapan mereka tidak lagi berisi cemoohan. Kini yang kulihat adalah kebingungan, keterkejutan, dan secercah rasa takut yang baru.Berita menyebar lebih cepat daripada api di istana ini. Permaisuri Terbuang yang seharusnya dihukum, justru keluar dari Ruang Takhta dengan sebuah dekrit kekuasaan dari Kaisar sendiri. Aku tidak lagi dianggap sebagai mangsa; aku telah menjadi anomali, sebuah variabel tak d

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 6 : Laporan Kepada Direksi

    Keheningan yang ditinggalkan Lysander terasa berat dan dingin. Selama beberapa saat, satu-satunya suara di kantor pengurus yang pengap itu adalah isak tangis tertahan dari Elara, yang kini merosot di lantai, terlalu takut untuk berdiri. Rania sendiri tidak bergerak. Matanya terpaku pada ruang kosong tempat Lysander lenyap. Tangannya, yang beberapa saat lalu memegang buku catatan hitam yang menjadi kunci kemenangannya, kini terasa ringan dan kosong secara absurd. Senjatanya telah dicuri, tepat di depan matanya, oleh hantu yang tersenyum. Otaknya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, mencoba memasukkan data yang mustahil ini ke dalam kerangka logis. Sihir itu nyata. Itu adalah fakta pertama yang harus ia terima. Entitas dengan kekuatan tak terukur ada di istana ini. Itu fakta kedua. Dan yang paling mengerikan, entitas itu mengetahui rahasianya. Fakta ketiga. "Yang Mulia..." rintih Elara, suaranya pecah. "Si-siapa itu? Hantu? Iblis?" Rania akhirnya bergerak. Dia berjongkok di depan El

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 5 : Pemain di Luar Papan Catur

    "Cordelia." Nama itu keluar dari bibir Rania dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di keheningan kantor yang pengap. Udara di sekitarnya seolah membeku. Elara, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan bingung dan takut pada perubahan ekspresi Permaisurinya. Bagi Elara, nama itu hanyalah nama seorang Selir yang kuat. Tapi bagi Rania, nama itu adalah kunci yang membuka ruang arsip berisi penderitaan Aurelia. Semua kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan presisi yang brutal. Senyum manis Cordelia yang palsu, hadiah-hadiah kecil yang seolah penuh perhatian, bisikan-bisikan simpati yang ternyata adalah racun. Semuanya adalah bagian dari sebuah kampanye penghancuran karakter yang panjang dan terencana. Aurelia yang asli pasti akan hancur, dilumpuhkan oleh rasa sakit pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman. Tapi Rania tidak merasakan itu. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih dingin dan lebih berbahaya: kejelasan. Kem

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 4 : Bau Busuk di Atas Kertas

    Tengah malam tiba seperti kain beludru hitam yang membekap Istana Bunga Es. Keheningan begitu pekat hingga Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tenang dan terukur, kontras dengan napas Elara yang terdengar cepat dan gugup di sampingnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka berdua tampak seperti bayangan yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, mengenakan gaun paling gelap yang bisa mereka temukan. "Waktunya," bisik Rania. Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan otoritas yang membuat Elara langsung mengangguk. Misi mereka dimulai. Bergerak menyusuri koridor yang dingin terasa seratus kali lebih berbahaya di malam hari. Setiap embusan angin terdengar seperti bisikan, setiap bayangan dari obor yang berkedip-kedip tampak seperti penjaga yang bersembunyi. Rania berjalan di depan, langkahnya ringan dan penuh perhitungan, mengandalkan denah mental yang telah ia bangun. Elara mengikuti di belakangnya, membawa lentera yang ditutup kain tebal, setiap derit papan la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status