Se connecterPerintah itu menggantung di udara aula yang dingin, terasa lebih berat daripada keheningan itu sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Seratus pasang mata menatapku dari puncak tangga, lalu beralih ke Delia, yang wajahnya kini sepucat kain kafan.
Menghitung ulang seluruh inventaris istana—secara manual—dalam waktu kurang dari dua belas jam bukanlah tugas yang sulit. Itu adalah tugas yang mustahil, dan semua orang di ruangan itu tahu. Itu adalah sebuah hukuman, sebuah pertunjukan kekuasaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat mereka sebelum pekerjaan dimulai. Delia adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Di hadapan seluruh staf yang selama ini ia tindas, ia membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar karena campuran antara ketakutan dan kebencian yang tertahan. "Akan... akan saya laksanakan, Yang Mulia." "Bagus," jawabku, nadaku dingin dan tanpa emosi. "Rapat selesai. Kembali bekerja." Kerumunan itu bubar dalam kekacauan yang senyap. Tidak ada lagi bisik-bisik. Yang ada hanyalah derap langkah kaki yang tergesa-gesa dan wajah-wajah yang dipenuhi kepanikan. Malam yang panjang akan segera dimulai. Aku tidak kembali ke kamarku. Sebaliknya, aku memerintahkan Elara untuk membawakanku sebuah kursi dan meja kecil, lalu meletakkannya di balkon yang menghadap ke halaman utama—sebuah posisi strategis yang memberiku pemandangan ke gudang, dapur, dan barak penjaga. Aku duduk di sana seperti seorang jenderal di atas bukit, mengamati medan perang di bawah. Di bawah, neraka kecil telah dimulai. Delia, didorong oleh ketakutan akan kegagalan, berubah menjadi seorang tiran yang efisien. Teriakannya menggema di seluruh halaman, memerintahkan para kepala departemen untuk mengumpulkan tim mereka. Para juru masak dipaksa keluar dari dapur untuk menghitung setiap karung tepung dan botol anggur. Para tukang kebun diperintahkan untuk menginventarisasi setiap sekop dan cangkul. Bahkan para penjaga yang biasanya bermalas-malasan kini disuruh menghitung setiap anak panah di gudang senjata. Cahaya obor dan lentera dinyalakan di seluruh penjuru istana, mengubah tempat yang biasanya gelap dan sunyi itu menjadi sarang lebah yang sibuk dan panik. Aku hanya duduk diam dan mengamati. Elara berdiri di sisiku, sesekali menuangkan teh hangat untukku. "Yang Mulia," bisiknya setelah satu jam. "Ini... ini kejam. Mereka tidak akan pernah bisa menyelesaikannya tepat waktu." "Aku tahu," jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari pemandangan di bawah. "Lalu... mengapa Anda melakukannya?" Aku menoleh menatapnya, matanya yang polos dipenuhi kebingungan. "Ini bukan tentang menyelesaikan inventaris, Elara. Ini adalah sebuah tes. Sebuah audit personel." Aku menunjuk ke arah dapur. "Lihat kepala koki itu, Tuan Gaston. Dia tidak panik. Dia membagi timnya menjadi tiga kelompok, masing-masing menghitung jenis bahan makanan yang berbeda. Dia efisien. Catat namanya. Dia adalah manajer yang kompeten." Lalu aku menunjuk ke barak penjaga. "Sekarang lihat kapten penjaga itu. Dia hanya berteriak-teriak tanpa arah, membuat anak buahnya berlarian kebingungan. Dia tidak bisa mengatur. Dia adalah titik lemah. Catat juga namanya." Elara mulai mengerti. Ini bukan tentang menghitung sendok. Ini tentang melihat siapa yang bisa bekerja di bawah tekanan, siapa yang bisa memimpin, dan siapa yang akan hancur. Ini adalah cara Rania Sastrawijaya melakukan restrukturisasi organisasi. Malam semakin larut. Suara-suara teriakan dan barang-barang yang dipindahkan terus bergema. Aku melihat Delia berlari dari satu tempat ke tempat lain, rambutnya yang biasanya tersanggul rapi kini berantakan. Wajahnya dipenuhi keringat dan kelelahan. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia benar-benar bekerja. Sekitar tengah malam, seorang penjaga berlari menghampiriku dan bersujud. "Yang Mulia! Kami menemukan sesuatu di gudang anggur!" Aku mengangkat alisku. "Sesuatu?" "Sebuah pintu tersembunyi di balik rak-rak anggur. Di dalamnya... ada ruangan lain. Penuh dengan barang-barang mewah. Sutra, perhiasan, anggur-anggur mahal... barang-barang yang tidak pernah tercatat di inventaris mana pun." Aku tersenyum tipis. "Gudang pribadi milik Puan Delia dan Tuan Valerius. Tentu saja." Ini adalah bonus yang tidak kuduga. Tes ini tidak hanya mengungkap kompetensi, tetapi juga bukti kejahatan yang lebih nyata. "Segel ruangan itu. Tempatkan dua penjaga di depannya. Tidak ada yang boleh masuk atau keluar tanpa izinku." "Baik, Yang Mulia!" Penjaga itu bergegas pergi. Berita tentang penemuan itu menyebar seperti api di antara para staf. Kepanikan mereka kini bercampur dengan rasa takjub. Permaisuri ini tidak hanya kejam; dia juga seperti seorang penyihir yang bisa melihat semua rahasia tersembunyi. Rasa takut mereka padaku semakin dalam. Fajar hampir menyingsing ketika Delia akhirnya datang menghadapiku. Dia tampak seperti baru saja melewati perang. Wajahnya kotor, gaunnya sobek di beberapa bagian, dan matanya merah karena kurang tidur. Dia membanting setumpuk tebal perkamen di atas mejaku. "Sudah... sudah selesai, Yang Mulia," katanya, napasnya terengah-engah. "Setiap paku. Setiap sendok. Semuanya." Aku melirik tumpukan laporan itu, lalu menatapnya. "Kerja bagus, Manajer Operasional," kataku datar. "Kau berhasil menyelesaikan tugasmu tepat waktu." Delia tampak terkejut. Dia jelas mengharapkan omelan atau hukuman lain. "Sekarang," lanjutku, "minumlah teh. Lalu, dalam satu jam, aku ingin kau berada di kantorku. Kita akan membahas temuan dari laporan ini dan merencanakan langkah selanjutnya." Sebelum Delia bisa menjawab, aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan dia yang termangu di balkon. Elara mengikutiku dari belakang. "Anda tidak akan memeriksa laporannya, Yang Mulia?" tanya Elara. "Tidak sekarang," jawabku. "Laporan itu sendiri tidak penting. Yang penting adalah prosesnya. Aku sudah mendapatkan semua data yang kubutuhkan tentang orang-orangku." Aku berhenti di depan pintu kamarku dan berbalik menghadap Elara. "Dan malam ini," kataku, "kita baru saja memecat seorang kapten penjaga.""Kereta api tidak didesain untuk berenang, Rania. Ini hukum dasar. Besi tenggelam. Air masuk ke cerobong. Api mati. Kita mati." Finn mondar-mandir di depan cetak biru hologram yang baru saja kuproyeksikan di dinding bengkel stasiun. Wajahnya pucat, tangannya penuh oli. "Koreksi, Finn," kataku, memutar model 3D The Sovereign di udara dengan jari telunjukku. "Kereta api biasa tidak bisa berenang. Tapi The Sovereign bukan lagi kereta api. Dia adalah Amphibious Assault Vehicle." Aku menunjuk ke bagian roda kereta di hologram. "Kita akan mengganti roda besi ini dengan sistem Caterpillar Track (Rantai Tank) yang dilengkapi sirip pendorong. Ini memungkinkan kita bergerak di dasar laut yang berlumpur." Aku menunjuk ke cerobong asap. "Sistem pembakaran terbuka diganti dengan Sirkuit Hidro-Termal Tertutup. Kita tidak membuang uap ke luar. Kita mendinginkan uap itu menggunakan air laut dingin di luar dind
Di layar monitor ruang kendali The Sovereign, aku melihat mereka datang.Satu regu pengintai elit. 12 Orc dengan zirah baja hitam mengkilap, dipimpin oleh seorang Centurion (Komandan) yang tingginya hampir tiga meter. Mereka tidak membawa kapak kasar seperti Orc biasa. Mereka membawa senapan serbu otomatis dan mengenakan Visor Taktis yang menyala merah.[UNIT: ELITE SCOUT - ARES LEGION][OBJECTIVE: RECON & ELIMINATE][MORALE: 100% (FEARLESS)]Mereka bergerak dalam formasi taktis sempurna, menyusuri jalan raya utama Sektor Industri yang gelap dan berkabut."Mereka disiplin," komentar Darrius, yang sedang mengasah pedang Nightfall-nya di sudut ruangan. "Tidak ada suara langkah kaki. Mereka pembunuh profesional.""Mereka unit RTS (Real-Time Strategy)," koreksiku, mengetuk layar tablet. "Mereka diprogram untuk bertarung secara efisien. Mereka tidak takut mati, karena mereka tahu mereka bisa diproduksi ulang di pabrik."
Asap rokok di The Velvet Room berwarna merah muda dan berbau seperti stroberi sintetis. Di sekeliling kami, monster glitch minum oli dari gelas martini, mengabaikan keberadaan dua manusia yang baru saja masuk ke sarang mereka. Vox, si Pria Kepala TV, mengocok kartunya dengan gaya teatrikal. "Informasi itu mahal, Yang Mulia Admin," suara Vox berderak statis. Layar wajahnya menampilkan simbol mata uang Dollar ($) yang berputar. "Kredit Datamu (AC) belum laku di sini. Aku butuh sesuatu yang lebih... substansial." "Aku bisa memperbaiki dead pixel di layar wajahmu," tawarku santai, duduk di kursi bar sambil menyilangkan kaki. "Aku lihat kau punya lag 0.5 detik di sistem motormu. Pasti menyebalkan saat mengocok kartu, kan?" Vox berhenti. Simbol Dollar di wajahnya berganti menjadi tanda seru (!). "Kau bisa memperbaiki kode legacy?" tanyanya, nada suaranya penuh harap. "Developer sialan itu membiarkanku nge-bug sejak
Matahari ungu di atas Ibukota Runtuh baru saja terbit, tapi antrean di depan Stasiun Menara Jam sudah mengular.Aroma sup tomat segar—tomat asli dari Laboratorium Bawah Tanah—menguap ke udara, membuat perut semua orang keroncongan. Itu adalah aroma kehidupan di tengah kota mati.Tapi ada keributan di barisan depan."Apa maksudmu emas ini tidak laku?!" teriak seorang prajurit Dwarf, membanting kantong kulit berisi koin emas Kekaisaran ke atas meja distribusi makanan. Koin-koin itu berguling, berkilauan, dan... sama sekali tidak berguna.Finn, yang bertugas menjaga panci sup, menghela napas lelah. "Grom, dengarkan aku. Kita tidak punya pedagang. Kita tidak bisa membeli bir atau baju zirah baru dengan emas itu. Di sini, emas cuma batu kuning yang berat.""Tapi ini upahku selama sepuluh tahun mengabdi pada Raja Thrain!" Grom marah, wajahnya memerah. "Kau bilang hartaku sampah?"Suasana memanas. Prajurit lain mulai memegang senjata me
Pintu masuk fasilitas Aethelgard Bioscience tidak terlihat seperti pintu. Itu terlihat seperti dinding beton kosong di stasiun kereta bawah tanah yang runtuh.Tapi bagiku, dengan mata Admin yang baru saja "dikalibrasi", aku melihat garis-garis sirkuit biru yang tersembunyi di balik lumut tembok."Di sini," tunjukku.Aku menempelkan Keycard biru yang kami temukan dari mayat Scavenger semalam.BEEP.Suara elektronik yang jernih terdengar—suara yang terlalu bersih untuk dunia yang sedang kiamat ini. Beton itu bergeser, mendesis saat segel udara (airlock) terbuka setelah ribuan tahun tertutup. Udara dingin berbau antiseptik dan tanah basah berhembus keluar."Baunya seperti... rumah sakit," komentar Solon, menutup hidungnya dengan lengan jubah."Baunya seperti laboratorium," koreksiku. "Dan laboratorium berarti sumber daya."Kami masuk. Aku, Darrius, Finn, dan lima prajurit Dwarf elit.Di dalam, lampu jalur
Malam pertama di "Zona Nol" tidak gelap gulita, dan itu masalahnya.Matahari buatan yang kuatur siang tadi memang sudah terbenam, tapi langit malam di atas Ibukota Runtuh tidak memiliki bintang yang stabil. Kadang ada flicker (kedipan) cahaya putih acak, seperti lampu neon raksasa yang hampir putus.Di alun-alun stasiun Menara Jam, api unggun besar menyala. Bukan dari kayu, tapi dari tumpukan kursi plastik kuno yang kami temukan di ruang tunggu. Plastik itu terbakar dengan warna hijau kimiawi dan bau yang aneh, tapi setidaknya memberikan kehangatan.Masalah terbesar kami bukan dingin. Tapi perut."Laporan logistik," kataku, duduk di atas peti amunisi sambil memijat kening.Finn membuka buku catatan kumalnya. Wajahnya muram."Populasi: 42 orang. Sisa ransum dari kereta: 15 kotak biskuit keras dan 4 jerigen air. Di luar zona aman, air sungai berasa seperti logam cair dan ikan-ikannya... well, ikan-ikannya berenang terbalik di udara







