Nael sedang memandang layar laptopnya, tapi dalam sekejap wajahnya menghangat. Bayangan kejadian beberapa hari lalu di ruang kerjanya bersama Floryn terus berputar dalam benaknya.“Oh, sial!” umpatnya. Dia melemparkan pandangannya ke sembarang arah. “Kenapa kepikiran terus, ya?”Hari itu, jarak antara Nael dan Floryn sangat dekat. Walau sebenarnya bukan kali pertama. Namun, perasaan kemarin itu berbeda dari biasanya. Nael merasa hatinya menghangat, bahkan ada sesuatu yang menggelitik dadanya.Jujur saja, Nael tak mengerti dengan apa yang sedang ia rasakan. Kemarin ia merespons dengan sedikit ketus, karena tidak ingin perasaanya terbaca. Entah sejak kapan Nael merasa perasaannya aneh setiap dia melihat Floryn. Tangan Nael memegang dada, ia bisa merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Kedua matanya itu beralih menatap pada bingkai foto kecil di mejanya. Sebuah foto pernikahan Nael dan Floryn, yang dengan tiba-tiba i
Akhirnya Floryn mendapatkan akses untuk bisa menuju ruang kerja Nael. Ini adalah kali kedua dia berada di ruang kerja suamimya. Jika diingat, pertemuan pertama mereka sedikit canggung. Tiba-tiba saja pipi Flory memerah, dia merasa malu.“Kamu mikirin apa, Flo?” cetus Nael.Seketika Floryn tersentak dari lamunannya. “Hah? Apa?” sahutnya linglung.Nael mendekat, kemeja baru sudah tersemat di badannya. Hanya saja masih berantakan.“Kamu mikirin apa? Sampe pipimu merah? Nggak mikirin yang macam-macam selama aku ganti pakaian, kan?” tuduh Nael.“Nggak, ya!” sanggah Floryn, dia menggelengkan kepala dengan cepat. “Kamu kali yang pikirannya negatif!” Floryn balik menuduh.Senyum seringai terluksi di wajah Nael. “Terus, kenapa pipi kamu merah gitu?” tanyanya lagi.Kedua telapak tangan Floryn langsung menyentuh pipinya. Dia merasakan kehangatan dari sana.“Ngg-nggak!” Lagi, Floryn mengelak. Ia enggan untuk jujur, bahwa dirinya sedang memutar memori canggung pertemuan pertama mereka. Karena kece
Sebuah petunjuk kecil sudah cukup bagi Nael menyimpulkan; bahwa Floryn bukanlah wanita biasa. Ia belum sepenuhnya memahami benang merah dari perjajian pernikahan mereka. Namun, sati hal yang pasti, Floryn harus tetap dalam pengawasannya.Nael baru saja hendak menuju garasi mobil, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara lembut dari arah halaman rumah.“Kevin, kamu sudah mau berangkat?”Nael menoleh, ia mendapati Viona dan Ida di sana. Wajah Viona begitu tenang, tatapannya seperti menembus waktu.“Duduklah sebentar, Kevin. Aku ingin berbicara denganmu,” ucapnya lagi. Ia melihat Nael adalah suaminya.Paham dengan kondisi Viona, Nael menurut. Ia duduk di samping Viona. Namun, sebelum Viona berbicara, Nael melirik pada Ida. Seketika Ida mengangguk, lalu pergi menjauh.“Kau tahu, Kevin, aku tidak pernah berharap Floryn bisa bersanding dengan keluarga kaya. Harta bisa dicari, tapi tidak dengan kebahagiaan,” papar Viona sambil menatap dalam pada Nael.Nael terhenyak mendapati Viona b
Dengan perasaan kecewa, Zendy dan keluarganya pergi meninggalkan tumah keluarga Hartanto. Tak hanya Zendy, terlihat raut putus asa yang terlukis di wajah Axel.“Kak Nael!” seru Axel dengan tatapan membara. “Kamu tahu? Aku sudah bersusah payah membujuk pak Zendy untuk datang ke sini. Dan kamu, malah menghancurkannya!”Nael mendengus. Ia tak menjawab, hanya tatapan tajam yang dia layangkan pada adik tirinya.“Kamu itu egois, Nael. Tidak bisa menghargai usaha adikmu!” sahut Grace, wanita itu nampak marah.“Aku egois? Permintaan mereka saja yang tidak masuk di akal!” sergah Nael dengan cepat.“Bukan tidak masuk diakal, tapi pak Zendy memang tidak tahu kalau kamu sudah menikah, Nael. Harusnya kamu tidak berkata seperti tadi. Apa katamu? Menjadikan anaknya sebagai istri kedua. Pasti dia tersinggung dengan kata-katamu itu!” Albert membuka mulutnya, membela Axel.“Cih!” Nael berdecih sambil memutar bola matanya. “Memangnya aku tidak tersinggung? Melihat istriku diperlakukan tidak layak? Harus
“Bu, Ibu ingat Kak Kenneth?” tanya Floryn sambil menyisir rambut ibunya yang mulai memutih.Tidak ada jawaban apa pun dari Viona. Wanita itu memandang ke arah luar jendela. Terlihat langit ibu kota bagaikan tertelan gumpalan awan kelabu. Hujan tak berhenti, menjadi bisikan sendu yang memeluk kesedihan.“Tadi aku ketemu sama dia. Dia nanyain Ibu, katanya pengin ketemu. Cuman, aku bilang jangan sekarang. Mungkin nanti kita bisa ketemuan di luar,” tambah Floryn.“Kevin bilang hujan itu membawa berkah. Ibu jadi ingat, waktu itu baru tiga hari membuka toko, hujan turun lumayan lebat,” ucap Viona, tatapannya tak luput dari tetesan air hujan. “Awalnya toko Ibu sepi, tapi berkat hujan banyak yang menepi dan mampir ke toko kue Ibu.”Floryn hanya bisa menghela napas kencang. Apa pun yang Floryn katakan, ibunya pasti akan merespon dengan membicarakan suaminya. Sedangkan Floryn sudah mulai jengah dengan cerita Viona tentang Kevin. Masih ada perasaan kesal yang bersarang di hati, akibat tindakan s
Floryn mengerucutkan bibirnya, penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Gabby. Perempuan itu memberikan sebuah kartu berwarna keemasan. Alis Floryn tertaut. “Apa ini?” tanya Floryn bingung. Dengan wajah yang tak acuh dan bola matanya yang sedikit mendelik, Gabby berkata, “Pakai kartu ini, rapikan rambutmu di salon,” ucapnya. “Hah?” sahut Floryn bingung. Matanya menyipit, berusaha untuk menerka apa yang ada di pikiran perempuan itu. Dengusan kasar keluar dari mulut Gabby. “Cepat! Anggap ini sebagai permintaan maafku.” Dia mengibaskan kartu yang sedang dipegangnya, memaksa Floryn utuk segera menerima. Walau pikirannya masih didera perasaan bingung, Floryn menerima kartu tersebut. “Tapi, ingat! Cuman buat ke salon. Nggak ada tambahan lain!” tegas Gabby, “Iya, iya.” Floryn mencebik. Setelah itu, Gabby meninggalkan Floryn. *** “Bagaimana? Suka, Kak?” tanya seorang hairstylist di salon langganan Floryn. “Ternyata dengan rambut pendek, Kakak tetap terlihat cantik,” pujinya. Flo