Share

Bab 5

"Saya terima nikah dan kawinnya Gendhis Ayuningtyas dengan maskawin uang tunai senilai delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah, dibayar tunai." ucap Dewandraru dalam satu tarikan nafas.

"Gimana saksi? Sah?" tanya penghulu.

"Sah!" jawab para saksi bersamaan.

"Alhamdulillah." ucap penghulu diikuti hampir seluruh orang yang ada disana, kemudian dilanjutkan dengan doa.

Tak terkecuali Dewa, tangannya menengadah keatas seolah ia sedang memanjatkan doa yang terbaik untuk pernikahannya, meskipun pada kenyataan ia justru sedang meruntuki dirinya sendiri, dan menyesali semuanya.

"Alhamdulillah kalian sekarang telah resmi menjadi pasangan suami istri, kalau sudah begini kalian boleh melakukan hubungan suami istri dengan halal, hanya saja ingat, jangan juga disembaranga tempat, lebih baik jika dilakukan dirumah saja," ucap Dukuh Paino setengah menyidir.

Seluruh warga yang mendengarpun bersorak bahagia, sebab diyakini dengan begini kampung mereka akan segera terbebas dari petaka ataupun musibah.

Setelah bersalam-salaman dengan kedua orang tau, serta seluruh perangkat desa ditempat itu, kini mereka semua diperkenankan untuk pulang, dan permasalahan ini dianggap selesai. Tak lupa mereka semua turut medoakan agar pernikahan Dewa dan Gendhis langgeng hingga maut memisahkan.

Malam beranjak semakin larut, setelah tuntutan warga telah dilaksanakan, Ningrum meminta pada Putranya untuk mengantarkan wanita yang saat ini telah resmi menjadi istrinya, dan juga kedua orang tuanya untuk pulang kerumah mereka.

Ningrum memang telah meminta Pak Joko, supir pribadi anaknya untuk mengantarkan mobil Dewa ke rumah Pak Dukuh Paino, dan saat ini kedua keluarga itu tengah berbincang di halaman rumah dukuh Paino yang mulai sepi.

"Maaf ya Pak, Bu, untuk malam ini kami belum bisa berkunjung kerumah Bapak dan Ibu, kita semua tahu bahwa pernikahan ini terjadi sangat cepat. Insya Allah kami akan berkunjung lain waktu, mohon dimengerti ya Pak, Bu," tutur Rajasa sopan meminta pengertian dari pihak besannya.

"Tidak apa apa Pak, kami paham kok, nggak masalah, tapi kapanpun keluarga Bapak dan Ibu hendak datang berkunjung kami akan menerima dengan senang hati, bukan begitu Bu?" ucap Suroto---Ayah kandung Gendhis meminta persetujuan istrinya, Marni.

"Betul Pak, monggo kapan saja mau berkunjung, pintu rumah kami akan selalu terbuka dengan lebar." tentu saja Marni mengucapkan itu dengan tersenyum lebar, mengingat besannya adalah seorang yang kaya raya.

"Baik, Terima Kasih sebelumnya, insya Allah kami akan berkunjung kesana," timpal Ningrum tersenyum lebar.

"Dan mungkin nanti kami akan undang Bapak dan Ibu juga untuk makan malam bersama dengan keluarga kami, ya ... bisa dianggap sebagai syukuran kecil-kecilan atas pernikahan putra putri kita ini, sekaligus perkenalan keluarga agar lebih akrab, gimana Pa?" sambung Ningrum tanpa terlebih dahulu meminta pendapat sang suami, membuat lelaki berusia setengah abad itu gelagepan.

"Eh, ehm iya Pak, Bu." jawabnya sekenanya.

"Mama ngapain sih pake acara syukuran segala? Memang mau dibawa kemana pernikahan ini nanti, hufft," batin Dewa, mendengkus kesal.

"Baik Pa, Bu, insya Allah kami akan datang nanti." Suroto menjawab dengan sopan.

"Oh ya Nduk, Gendhis. kamu kan sudah sah resmi menjadi istri Dewa, mulai malam ini kamu harus tinggal bersama suami kamu ya Nduk. jadi, nanti bawa sekalian barang-barang kamu untuk pindah kerumah Dewa.

Ndak usah khawatir, Dewa sudah punya rumah sendiri kok, nggak tinggal sana Mama, jadi kamu bisa lebih leluasa ngurusin suami kamu, ya toh Pak." lagi, Ningrum meminta persetujuan sang suami.

"Nah betul kata Mama, Papa setuju, mau bagaimanapun pernikahan ini terjadi, sekarang nyatanya kalian sudah menjadi pasangan suami istri yang sah, jadi sudah seharusnya kalian ini tinggal bareng. Gimana Pak, Bu, setuju?"

Suroto dan Marni mengangguk, lalu saling melempar pandang dan tersenyum senang, "Kami setuju Pak, Bu."

"Tapi Pak, Bu, aku ndak bisa tidur kalau nggak dirumah," sanggah Gendhis menolak secara halus.

"Itu hanya kebiasaan saja Nduk, nanti juga kalau kamu sudah terbiasa dirumah Nak Dewa kamu juga pules tidurnya," rayu Marni menatap wajah putrinya yang menggeleng pelan sebab menolak.

"Betul kata Ibumu Nduk, ini hanya soal kebiasaan aja, mau ya, ayolah nduk."

Gendhis tak punya pilihan lain selain menurut, gadis yang saat ini terlihat semakin cantik dengan balutan kebayar berwarna putih tulang lengkap dengan jarik, akhirnya mengangguk tanda setuju.

"Ya Allah bagaimana ini, masa aku harus tinggal serumah dengan lelaki yang nggak aku kenal, gimana kalau dia berniat macam-macam, tapi sepertinya nggak mungkin sih, dia terlihat seperti cowok baik-baik, tadi juga dia yang paling kekeuh memberikan penjelasan kepada warga kampung," Gendhis membatin seraya melihat Dewa dari ujung Kaki hingga ujung kepala.

Ya semoga saja dia nggak nafsu sama aku, tapi gimana kalau dia adalah cowok brengsek, dari luarnya saja kelihatan baik padahal aslinya dia adalah cowok yang doyanan pada cewek, apalagi dia orang kaya sudah barang tentu pergaulannya juga bebas, astaga gimana ini," pikir Gendhis cemas dalam hatinya.

***RI

Semua barang-barang yang terbilang cukup penting bagi Gendhis, telah disiapkannya, dan di masukkan ke dalam mobil mewah milik Dewa.

Setelahnya, sepasang suami istri yang baru saja menikah itu berpamitan dengan kedua orang tua Gendhis. Meski dengan wajah datarnya, namun Dewa tetap sopan di depan Suroto dan Marni, hal itu tentunya menjadi point tersendiri bagi orang tua Gendhis.

Setelah cupika cupiki dengan kedua orang tuanya dan sedikit memberikan wejangan pada anak gadisnya, Suroto akhirnya melepaskan kepergian Putri kesayangannya untuk tinggal dengan suaminya.

"Nggak nyangka ya Bu, kalau malam ini kita bakal menikahkan Gendhis," ucap Suroto menatap mobil Dewa yang mulai menjauhi kediaman tempat tinggalnya.

"Iya Pak, tapi nggak apa-apa, ibu senang kok sebab kita punya menantu seperti Nak Dewa," jawab Marni sumringah.

"Kamu bu ... bu, materi saja yang kamu pikirkan."

"Ealah, itu penting lho Pak, minimal Ibu lega, sebab kehidupan anak kita Gendhis bisa terjamin sekarang, syukur-syukur kita ikut kecipratan nantinya Pak."

"Wis to bu, anak kita baru juga menikah, kasih waktu mereka mereka dulu untuk saling berkenalan dan dekat, lha kok malah sudah minta kecipratan materi." protes Suroto dengan logat jawanya yang khas.

"Apa Bapak percaya mereka memang nggak kenal, gimana kalau mereka itu memang dekat, dan apa yang diduga warga itu benar? Nah lho gimana Pak."

"Kamu ini lho bu, sama anak sendiri kok ya nggak percaya, kaya nggak kenal saja, menurutmu apa mungkin Gendhis bisa melakukam hal-hal kaya gitu?

Lha wong kita semua juga sudah tahu bahwa cowok yang sedang dekat dengan Gendhis itu Bagas, bukan Nak Dewa. Lha kok mosok bisa sih tau-tau Gendhis malah berbuat mesum sama orang lain, itu namanya kamu menuduh anak kamu sendiri bu." ujar Suroto tak suka, Ia membela sang anak sebab yakin kalau pendapat warga hanyalab salah sangka semata.

"Ya sudah, terserahlah Pak, yang penting sekarang Ibu senang punya menantu Nak Dewa, dari pada Bagas," kilah Marni seraya masuk kedalam rumah meninggalkan sang suami yang masih mematung diteras rumahnya.

Sementara itu, Mobil Dewa membelah jalanan malam kota sleman, tak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut keduanya selama perjalanan menuju rumah orang tua Dewa, keduanya sibuk dalam pikirannya masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status