Share

Bab 4

Jam menunjukkan pulul 21.15. Meski begitu, suasana dirumah Kepala Dukuh Tirto masih nampak ramai. Warga masih berkumpul ditempat disana, demi memastikan pernikahan dadakan itu tetap berlangsung.

Gendhis sudah tampak cantik dalam balutan kebaya sederhana, dengan jilbab berwarna sedana dengan kebayanya.

Gadis yang sebentar lagi akan menikah itu, kemudian memutar memorinya. Mengingat kejadian sore tadi yang dalam sekejap saja merubah nasibnya.

Sore itu, Gendhis sangat bersemangat untuk berangkat kerumah pintar, sebab ia membawa beberapa judul buku cerita baru yang didapatnya dari sumbangan salah satu sahabat, dan sejak pagi Gendhis sudah sangat tak sabar ingin cepat sampai di rumpin.

"Rasanya sangat membahagiakan ketika melihat wajah anak-anak itu berseri, dan tersenyum bahagia sebab bisa membaca judul cerita baru.

Tak hanya itu dalam bayanganku juga anak-anak itu saling berebutan demi bisa membaca terlebih dulu, hal yang memang layak terjadi pada anak-anak namum terkadang membuat hatiku pun bahagia melihat tingkah mereka yang polos," Gumam Gendhis, seraya membayangakan reaksi anak-anak tersebut kala mendapatkan buku bacaan baru.

Namun, sekarang semua itu rasanya menjadi sebuah penyesalan yang mendalam, dalam hati Gendhis.

"Andai sore itu aku menuruti omongan Bapak, untuk tak nekat pergi kerumah pintar, mungkin pernikahan ini tak akan pernah terjadi." pikir Gendhis penuh sesal.

Teringat percakapan antara Gendhis dan Bapak kandungnya, sesaat sebelum gadis itu nekat untuk berangkat kerumpin.

"Langit sudah gelap, mau hujan ini Nduk, lebih baik jangan pergi." ucap Bahri---Ayah kandung Gendhis, yang saat itu baru saja pulang kerja. Lelaki paruh baya itu mencoba menghalangi niat anak hadisnya untuk pergi ke rumpin, mengajar.

"Nggak apa-apa Pak, biar aku naik ojek online saja biar cepat, semoga sampai disana belum hujan ya." kekeuh Gendhis tetap nekat dan tak mengindahkan nasehat sang ayah.

"Apa nggak bisa di tunda nduk, cuacanya benar-benar nggak mendukung, bapak khawatir lho ini."

"Nggak bisa Pak, kasian anak-anak, nereka sudah lama menunggu buku cerita baru, Bapak jangan khawatir ya, nanti sampai rumpin aku kabarin, biar Bapak tenang," jawab Gendhis mencoba meyakinkan bapaknya.

Tak berselang lama ojek online yang dipesan Gendhis sudah sampai, setelah berpamitan pada Bapak dan Ibu, ia pun segera pergi dengan hati yang senang.

Namun sayang, ditengah jalan ojek online yang ditumpangi Gendhis mengalami ban bocor, sehingga dengan terpaksa ia turun di tengah perjalanan, padahal jarak menuju rumpin masih lumayan jauh.

Bersamaan dengan itu hujan mulai turun, makin lama makin deras, bagaikan air bak yang ditumpah.

Gendhis berusaha untuk lari mencari tempat untuk berteduh, dan tak jauh dari situ ia melihat sebuah gubuk bekas warung angkringan, akhirnya ia memutuskan untuk berteduh disana, namun siapa sangka keputusanmya itu justru membawanya terjebak dalam pernikahan.

Masih sangat jelas ingatannya, suara teriakan warga desa yang menuduhnya dan lelaki bernama Dewa, telah melakukan mesum ditemoay itu.

Saat itu bahkan seucap kata pun tak sanggup Gendhis katakan, lidahnya mendadak kelu, mulutnya terkunci, ia hanya bisa menangis, meratapi semua tuduhan yang di tujukan padanya dan lelaki yang bahkan tak dikenalnya sebelumnya.

Gendhis juga mendengar dengan jelas kalimat demi kalimat yang Dewa ucapkan. Lelaki itu berusaha membela diri, dan juga membelanya. namun sayang, warga desa tak mau mendengar penjelasan apapun dari keduanya, malah menganggap adanya badai dan hujan deras yang terjadi, akibat murka dari sang maha pencipta akibat ulah sepasang laki-laki dan perempuan yang tak saling kenal itu.

Semua sia-sia, sejurus kemudian warga meminta Gendhis dan Dewa menghubungi keluarga mereka masing-masing, untuk segera menikahkan mereka di tempat itu, dan saat itu juga, agar desa mereka terhindar dari malapetaka, begitu keyakinan warga saat itu.

Tepat pukul 7 malam saat Gendhis akhirnya menelpon Pak Bahri untuk meminta orang tua nya segera datang.

[Kenapa baru ngabarin Bapak jam segini Nduk, kamu baru sampai di rumpin ya.] kata Bapak begitu sambungan teleponnya dan Gendhis tersambung.

Wajah Bahri seketika berubah saat mendengar dari balik telp, suara Gendhis yang terisak.

[Kamu kenapa Nduk, apa yang terjadi, kenapa menangis, ] seketika Bapak mendadak khawatir dan panik.

[ Sekarang juga Bapak sama Ibu kerumah Pak Dukuh, di desa Tirta aku tunggu disini Pak, tolong Gendhis. ] ucapku memohon ditengah isak tangisanku,

Dan tanpa ba bi bu lagi segera Gandhis mengakhiri saja panggilan telp itu.

Gendhis masih terus saja menangis ketika kedua orang taunya tiba dirumah kepala dukuh.

Ketika Ibunya mendekat, ia langsung saja memeluk tubuh kurus Ibunya, yang saat itu terlihat jelas sedang kebingungan, cemas bercampur panik. Ditambah teriakan warga dari arah luar, benar-benar membuat mental Gendhis menjadi down.

Pah Bahar dan istrinya, terus saja bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, namun Gendhis tetap saja tak sanggup untuk bicara. Hingga akhirnya Pak Dukuh Tirta sendiri yang menceritakan semuanya pada orang tua Gendhis.

"Nggak mungkin Pak Dukuh, nggak mungkin anak saya berbuat mesum, apalagi dikampung orang lain, bahkan ditempat sembarang, nggak mungkin Pak Dukuh ...." sanggah Pak Bahar berusaha menyangkal.

"Namun pada kenyataannya memang seperti itu Pak, anak Bapak dan pemuda ini bermaksiat dikampung kami, Bapak lihat, buktinya dia bahkan sudah tak memakai bajunya," jawab Dukuh Paino kekeuh menunjuk kearah Dewa.

"Tidak Pak ... ini tak benar, ini tak seperti yang Bapak-bapak bayangkan, saya melepas baju karena ingin mengganti baju saja yang basah karena kehujanan, bukan karena berbuat mesum, tolong Pak Dukuh ... tolong dengerkan dulu penjelasan kami," sangkal pemuda yang tak jauh dariku mencoba menjelasakan.

"Kamu yakin kan nggak berbuat mesum pada anak saya? Atau jangan-jangan kamu yang mencoba melakukan pelecehan pada anak saya? Ha!" Pak Bahar tak terima, ia justru makin memperkeruh keadaan dengan menuduh pemuda itu, dan justru semakin membuat Pak Dukuh terus mendesak agar mereka segera dinikahkan.

"Ya Allah kenapa nggak ada satu orang pun yang percaya, tolonglah dengakan dulu penjelasan saya, ini tak adil, kami bahkan tak saling mengenal bagaimana kami dituntut untuk menikah." gumam pemuda itu berkeluh, memohon keadilan.

Gendhis menolah ke arah lelaki itu dengan pandangan mengiba, dan juga salut. Sebab, Dewa tak henti-hentinya berusaha menjelaskan keadaan yang sebenarnya, meski hasilnya tetap saja nihil.

Belum hilang rasa takut Gendhis, tiba-tiba saja gadis itu, kini juga harus berhadapan dengan orang tua Dewa.

Dari penampilan orang tua serta Dewa sendiri, sangat jelas terlihat bahwa keluarga mereka adalah orang yang sangat kaya raya, juga terpandang, dan itu semakin membuat Gendhis insecure.

Namun semua sungguh diluar dugaan Gendhis, saat wanita paruh baya yang baru saja siuman, mendekat padanya, dan menatap Gendhis penuh arti. Sontak saja membuat detak jantung Gendhis serasa ingin berhenti.

Ya. Gendhis sangat ketakutan dibuatnya.

Di saat bersamaan, entah kekuatan dari mana yang datang, hingga akhirnya membuat Gendhis berani angkat bicara.

Gendhis mencoba menjelaskan, namun Ibu kandung Dewa itu tak menghiraukannya, ia justru menanyakan nama gadis dihadapannya dengan tutur kata yang lembut dan sopan.

Seketika Gendhis pun menjadi lebih tenang, saat segaris senyuman tipis tergambar di bibir wanita yang melahirkan Dewa itu.

Tak hanya itu saja, semua orang pun dibuat terkejut saat beliau pada akhirnya menerima permintaan warga untuk menikahi putranya dengan Gendhis.

Aneh memang, karena Ningrum juga bahkan menawari Gendhis untuk memakai kebayanya yang katanya seadanya. Gendhis bisa merasakan ketulusan dari wanita itu. Meskipun jauh dalam lubuk hatinya yang terdalam, sejuta tanya bersarang di benaknya.

"Apakah ada alasan lainnya kenapa Ibu Ningrum setuju untuk menikahkan putranya denganku, yang hanya gadis dari desa?" Batin Gendhis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status