Natasya mengucek matanya ketika baru bangun di ruang piket. Ia menguap lebar-lebar sambil mengumpulkan nyawa.
“Ini gak ada tiba-tiba duit sekoper gitu buat gue?” Natasya turun dari ranjang tingkat. Ia menyambar handuk dan pouch berisi sabun dan alat kebersihan lainnya. Ia harus segera mandi karena satu jam lagi ada praktek rawat jalan menemani Abian. Untungnya kamar mandi sedang kosong, sehingga ia bisa mandi dengan cepat. Saat rambutnya masih berantakkan, ia buru-buru keluar untuk mengeringkan rambut. Namun baru sampai lorong, tubuhnya membeku melihat perempuan paruh baya yang pingsan. Natasya jongkok, ia memeriksa nadi tangan dan leher, “Ibu! Bu, bisa dengar suara saya?” Ketika ada perawat yang lewat, ia langsung minta bantuan untuk sama-sama membawa pasien ke UGD. Di depan UGD, dengan keadaan rambut masih basah dan belum menyisir, Natasya dikejutkan dengan suara panggilan dari dalam. Ia masuk dan menghampiri ranjang. “Ibu sudah sadar?” Ibu itu menggenggam kedua tangan Natasya, “Terima kasih sudah membantu mama, ya?” Natasya mengernyit, “Ma-ma?” “Panggil saja mama, jangan ibu.” Natasya merasa aneh harus memanggil orang asing dengan sebutan sakral, tapi ia terpaksa menurut, “I-iya, mama." “Mama!” seseorang berteriak dari arah pintu masuk UGD, “Mama gak papa? Kok mama bisa pingsan sih? Mama pusing? Apa yang mama rasain?” “Nah, ini dokter utama mama dateng.” Natasya lupa caranya menutup mulut ketika orang yang memanggil mama berdiri disampingnya. Ia baru sadar, wajah mereka mirip. Jangan-jangan orang ini anak asli si ibu? Bukan asal kenal seperti dirinya? “Dokter Abian?” Abian melirik, “Kamu ngapain disini? Pake tangannya dipegang mama saya lagi.” ia melepaskan genggaman mama dari tangan Natasya. “Bi, mama kesini karena denger kamu akhirnya mau operasi lagi, dan semua gara-gara dokter Natasya. Tapi mama malah pingsan karena tiba-tiba aja dada mama sakit. Dan kamu harus tahu alasan mama datang kesini untuk apa.” “Buat apa, ma?” “Buat ketemu dokter Natasya. Mama mau bilang makasih.” “Ma, gak usah lah. Aku udah bilang makasih kok sama dia.” “Mama mau menyampaikan langsung. Mama juga mau—” ucapannya menggantung, tapi Abian tidak bertanya. “Mama mau dokter Natasya nikah sama kamu.” Deg! Natasya melotot, Abian apalagi. Pokoknya Abian terlihat paling amit-amit menikahi dokter residennya sendiri, seolah tidak level. “Ma!” “Mama gak suka dengan calon kamu. Kalau kamu maksa, mama gak mau operasi Jantung sesuai kemauan kamu.” Abian tampak gelisah, “Ma, jangan gitu dong. Natasya itu—” ia melirik Natasya, “Kamu sudah punya pacar ‘kan?” Natasya diam sejenak. Ia menangkap sebelah alis Abian yang bergerak seolah memberi kode, “I-iya, saya sudah punya pacar.” “Pacar ‘kan bisa putus. Natasya itu adalah menantu idaman mama. Bi, tolong lah kamu pertimbangkan.” “Ma, emang Aca kenapa? Aca jauh bisa menjadi istri dan menantu yang baik untuk mama.” Aca? Natasya mengernyit. Jadi si dokter setengah Harimau ini benar punya pacar toh? Ia pikir Abian berbohong padanya. “Keputusan mama sudah bulat. Mama mau Natasya yang menjadi menantu mama. Titik. Sudah sana, kamu bukannya harus bersiap?” Abian mengatur nafasnya, “Aku pergi, ma. Ayo dokter Natasya.” “Natasya biar disini sama mama.” “Ma! Dia residen aku. Mama pikir rumah sakit ini punya mama, bisa klaim Natasya semau mama? Dia harus nemenin aku!” Mama melotot, “Iya juga. Ya sudah, calon menantu mama, kamu ikut calon suami kamu, ya. Nanti kita ketemu lagi—mmm, nanti malam, oke?” Natasya tidak tahu harus menjawab apa. Abian menatap ponselnya, “Pasien pertama sudah tunggu, kita kesana sekarang.” Di dalam poli, Abian terus marah-marah karena sedang ada perbaikan sistem, sehingga ia harus manual mencari rekam medis pasien. Natasya dan perawat asisten hanya saling lirik. Mereka sudah biasa menghadapi amarah Abian yang bagai ibu tiri. “Panggil pasien berikutnya.” “Baik, dok.” Pasien berusia tiga puluh tahun, laki-laki. Ia duduk dihadapan Abian menceritakan hasil kontrol terakhir dan keluhan yang dirasakan saat ini. “Obatnya sudah diminum sesuai aturan?” tanya Abian. “Hmm...” “Kalau memang tidak mau sembuh, tidak perlu berobat.” “Obatnya pait, dok, saya gak suka.” “Mas pikir obat penderita jantung lain manis seperti permen? Sama saja, tapi mereka tetap minum tanpa protes. Lain kali habiskan obat. Dan jangan begadang.” “Tapi dua minggu ini saya taruhan nonton bola, dok. Kalau gak begadang saya—gak tahu skornya dong.” “Lihat saja di berita pagi-pagi.” Abian memutar layar monitor pada pasien, “Mas lihat, ada pembengkakan jantung yang lebih besar dari satu bulan lalu. Kalau terus begini saya harus tingkatkan obat diuretiknya dua kali lipat. Kurangi begadang, minumnya dibatasi, dan—habiskan obat. Ada yang mau ditanyakan?” “Saya—mau minta surat pindah ke dokter jantung lain, apa boleh, dok?” tanya pasien hati-hati. “Memang kenapa dengan saya?” Pasien itu melirik Natasya dan perawat, “Saya ‘kan sakit jantung, saya merasa sesak saat melakukan aktivitas berat saja dan—saat bertemu dokter. Mungkin kalau saya pindah dokter, keluhan saya bisa berkurang.” Natasya dan perawat menahan tawa mendengar keluhan pasien. “Baik, saya buatkan segera. Kalau sudah pindah dokter masih seperti ini hasil rontgentnya, saya akan marah. Saya masih akan pantau. Obat masih yang sama, pantangan makan dan kegiatan juga masih yang sama. Semoga lekas sembuh.” Pasien terakhir keluar. Abian mereganggkan ototnya sambil membuka ponsel. Ia bangkit sekaligus membuat Natasya dan perawat kaget. Tok-Tok-Tok “Itu siapa? Bukannya pasien barusan itu terakhir?” tanya Natasya. “Masuk.” seru Abian. Seorang berjas dokter nyengir kuda menatap Abian, lalu tersenyum sok manis ke arah Natasya, “Dokter Natasya, kita makan bareng yuk. Sekalian saya—ada yang mau dibicarakan.” Abian tersenyum, “Cocok. Gue ikut.” Irvan, sahabat Abian mengernyit, “Tumben. Kesambet serangga apaan lo mau gabung makan sama kita?” Natasya, Abian dan Irvan duduk bertiga di kantin. Irvan tak henti menceritakan pasiennya di poli bedah umum, yakni pasien yang memeriksakan Ambien pada dirinya. Dua orang lainnya yang mendengarkan berhenti makan. Abian menaruh sendok dengan marah, “Van, kita lagi makan. Berhenti bahas gituan.” “Sori.” Irvan melirik Natasya, “Malam ini kamu jaga malam gak, Sya?” “Enggak, dok. Dokter mau pakai jasa saya?” Irvan mengangguk semangat, “Kamu bisa?” “Bisa, dok. Langsung taken sekarang aja, biar gak keduluan yang lain.” “Oke.” Irvan mengambil ponselnya dengan cepat, “Udah, Sya.” Abian jadi ingat dengan ucapan mama tadi pagi, yang mengajak Natasya bertemu nanti malam, “Van, lo kan pake jasa dokter Natasya. Lo bayar ‘kan? Nah, gue—mau pake jasa kalian. Gue bayar.” “Maksud dokter?” tanya Natasya keheranan.Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,