Setelah sarapan, Elena berjalan lurus menuju kamar, meninggalkan Gerald yang masih berada di meja makan. Di kamar, ia berdiri, membuka lemari. Ia memilih celana jeans gelap dan kemeja oversize berwarna krem, pakaian santai yang nyaman, sesuatu yang ia butuhkan untuk meredakan ketegangan di dadanya.
Saat ia kembali ke luar kamar dengan pakaian santai, Gerald sudah berdiri di dekat jendela ruang tengah, berbicara di telepon dengan suara rendah namun serius. Suaranya terdengar seperti perintah, penuh wibawa, dan sedikit kesal, khas seorang pemimpin yang terbiasa memberi arahan.
“Tidak, tunda semua jadwal hari ini. Aku tidak peduli berapa kerugiannya, handle saja dulu,” katanya dengan nada pendek dan tegas, tidak memberi ruang untuk bantahan. “Aku baru saja menikah, hari ini adalah hari liburku, jadi jangan ganggu aku.”
Elena berhenti, mendengarkan tanpa niat mencuri dengar. Namun satu kalimat Gerald membuatnya menahan napas, sebuah gelombang keheranan kecil menerpanya.
Aku baru saja menikah.
Bahkan Gerald, dengan segala sikap dingin dan profesionalismenya, dengan segala penekanan pada 'transaksi bisnis' yang ia ucapkan, tetap menyebutkan bahwa 'mereka telah menikah'. Bukan 'hubungan palsu'. Bukan 'kontrak sosial'. Tapi 'pernikahan'. Kata itu terasa aneh, hampir suci, diucapkan oleh pria pragmatis seperti Gerald. Apakah ia benar-benar menganggap pernikahan ini—meskipun terpaksa—sebagai bagian dari ikatan keluarga yang baru? Atau itu hanya sandiwara lain untuk percakapan teleponnya?
Gerald menoleh, menyadari Elena berdiri di sana. Matanya bertemu dengan mata Elena, dan ia mengakhiri teleponnya. Ia menyandarkan tubuh ke dinding dekat jendela, melipat tangannya di dada. “Kenapa memandangku seperti itu?” tanyanya, nada suaranya tak menunjukkan ketertarikan atau kejengkelan, hanya sebuah pertanyaan datar.
Elena terkesiap, berdehem pelan berusaha menyangkal bahwa dirinya memperhatikan Gerald yang sedang bertelepon sejak tadi. “Bukan apa-apa, hanya aneh saja bagaimana kamu bisa professional dan menjaga citra pernikahan ini dengan cukup baik.”
Gerald tersenyum miring, membuat Elena menyadari bahwa ucapannya barusan membuat Gerald besar kepala. Pria itu pasti senang mendengar Elena memujinya sebagai seseorang yang professional. Gerald lantas memasukkan handphonenya ke dalam saku celana. “Hanya sebuah formalitas. Bukankah sudah aku katakan, kalau aku bukanlah seseorang yang mencampurkan antara urusan bisnis dan perasaan.”
Elena mencibir, mengangguk kecil. “Ya. Pernikahan ini adalah bisnis bagimu, harusnya aku tidak heran,” ujarnya sebelum mendudukkan diri di sofa depan televisi. Dengan satu gerakan, Elena menyilangkan kakinya, sikap yang begitu anggun dan tertata.
Gerald menipiskan bibir, memilih untuk mendudukkan diri di sofa yang berbeda dengan Elena. Meskipun Elena sempat memberikan tatapan tajam, namun Gerald tidak memedulikannya. Lagipula, tidak ada salahnya dia duduk disana sekarang.
Begitu televisi menyala, berita pernikahan mereka langsung terpampang dengan jelas. Salah satu saluran berita hiburan menampilkan cuplikan upacara, lengkap dengan wawancara singkat beberapa tamu yang memuji-muji "keserasian" kedua mempelai. Foto-foto high-resolution dari pernikahan mereka yang sempurna, senyum yang nyaris meyakinkan, ciuman singkat di altar yang terlihat begitu romantis bagi mata awam.
"Lihat," kata Gerald, tanpa menoleh pada Elena. "Pekerjaan PR perusahaan kita memang kelas satu. Mereka bahkan membuat kita terlihat seperti pasangan yang benar-benar jatuh cinta." Ada nada ironi dalam suaranya.
Elena hanya mendengus, matanya terpaku pada layar televisi. Melihat dirinya sendiri seperti itu, tersenyum palsu di samping Gerald, membuatnya merasa muak. Ini adalah hidupnya sekarang—sebuah pertunjukan bagi publik. Harga dirinya, kebebasannya, semuanya dikorbankan demi citra dan kelangsungan Atmaja Televisi.
"Aku tidak bisa membayangkan betapa leganya perasaan orang tuaku sekarang," komentar Elena pahit, tatapannya masih ke layar televisi. "Semua masalah mereka teratasi hanya dengan satu perjanjian pernikahan." Ada nada menyalahkan yang jelas dalam suaranya, sebuah beban yang ia pikul sendiri.
Gerald tidak langsung menanggapi. Ia hanya mencondongkan tubuh ke depan, meraih remote lalu mengecilkan volume televisi, membiarkan suara mereka sendiri menggema di ruang yang terlalu mewah untuk kehangatan, terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja menikah. Gerald menoleh, memandang Elena dengan tatapan datar, namun kali ini ada sedikit ekspresi yang sulit diartikan di matanya—mungkin simpati, mungkin kelelahan yang sama.
“Bukankah itu alasan utama mereka menikahkan kita?” ujarnya tenang, nada suaranya tanpa emosi, namun sarat makna. “Untuk menyelamatkan nama. Menyelamatkan saham. Menyelamatkan harga diri masing-masing keluarga. Kita berdua adalah pion dalam permainan catur besar mereka, Elena.” Gerald tidak menunjukkan kemarahan, hanya sebuah penerimaan dingin terhadap kenyataan pahit itu.
Elena menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit apartemen itu seolah berharap bisa menemukan udara yang lebih jujur di sana, udara yang tidak dipenuhi kepalsuan. “Dan kita yang menjadi tumbalnya,” desisnya, suaranya nyaris berbisik, namun penuh dengan kepahitan. Ia mengerjap perlahan, merasakan perih di sudut matanya. “Atau lebih tepatnya… aku yang jadi tumbalnya. Aku tidak diberi pilihan sama sekali.”
Gerald menghela napas, ekspresinya berubah menjadi lelah. Ia telah mendengar keluhan ini berulang kali, baik dari Elena maupun dari dirinya sendiri dalam hati. “Berhenti menyalahkan situasi ataupun keluargamu, Elena. Dunia bisnis memang tidak memberi ruang untuk idealisme, cobalah untuk menjadi realistis sekarang,” ujar Gerald, ada sedikit nasihat dalam ucapannya, sebuah ajakan untuk beradaptasi, meskipun itu terasa kejam.
Elena mendengus kecil, kembali marah begitu mengingat dia langsung dipaksa menikah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Memang benar rasanya seperti dijadikan tumbal. Naasnya, Elena seperti dijadikan tumbal oleh orang tuanya sendiri—orang tua yang seharusnya melindunginya. Ia merasa dikhianati.
Elena terkesiap begitu volume televisi kembali dibesarkan, menyadari bahwa kini Gerald sudah mengganti channel menuju acara lain. Pria itu sepertinya suka dengan berita terkini, selalu mengikuti perkembangan dunia, jauh dari drama emosional. Perubahan saluran itu seolah menjadi penanda bahwa baginya, perdebatan tadi sudah berakhir.
Elena menoleh pada Gerald, berdehem pelan mencoba untuk santai, meskipun di dalam hatinya ia masih bergolak. "Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Gerald menipiskan bibir. “Soal pasangan masing-masing,” ujarnya tanpa basa-basi, sebelum memandang ke arah Elena. Rupanya ekspresi perempuan itu memperlihatkan keterkejutan yang tertahan. “Aku rasa kita bisa tetap menjalaninya tanpa harus mencampurkan dengan pernikahan kita.”
Elena menaikkan satu alis, terkejut dengan pernyataan Gerald. Ia tidak menduga topik itu akan dibahas secepat ini, apalagi oleh Gerald sendiri. Ada jeda sesaat sebelum ia menjawab, mencoba mencerna maksud pria itu. "Maksudmu... kita bebas menjalin hubungan dengan orang lain?" tanyanya hati-hati.
Gerald mengangguk satu kali, pelan. “Aku tahu kamu punya kehidupan sendiri sebelum ini. Dan aku tidak akan mengganggu itu. Begitupun sebaliknya. Kita hanya perlu menjaga citra di depan publik—di luar itu, kita bebas.” Ia menoleh ke arah Elena dengan tatapan yang nyaris tenang, seolah menawarkan jalan keluar yang sangat logis.
Ia melanjutkan, suaranya tenang namun penuh otoritas, seperti seorang CEO yang memberikan instruksi penting. "Aku tidak akan ikut campur urusan pribadimu, selama itu tidak mengganggu 'bisnis' ini. Tapi, kita perlu kesepakatan. Jika ada 'pihak ketiga' yang berpotensi menimbulkan keributan atau menarik perhatian media, kita harus tahu. Kita harus punya strategi untuk menanganinya. Setidaknya, jangan sampai mereka muncul di hadapan publik dan menimbulkan pertanyaan."
"Dan apa yang kamu harapkan dariku, Gerald?" Elena bertanya, mencoba mempertahankan sikap menantang.
"Aku hanya butuh jaminan bahwa tidak akan ada 'kejutan' yang membahayakan. Jika ada seseorang yang membahayakan, yang dekat denganmu, yang berpotensi menjadi masalah… maka aku perlu tahu. Hanya itu." Tatapannya menembus Elena, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sama seperti aku menjaminmu, tidak akan ada 'kejutan' dari pihakku."
Elena menghela napas, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kata-kata Gerald menusuk, namun itu adalah kenyataan yang harus ia hadapi. Hidupnya kini adalah sebuah pertunjukan, dan ia harus memerankan perannya dengan baik. Ia menoleh ke arah Gerald, yang terlihat begitu tenang dan fokus pada layar televisi. Pria itu tampak begitu terbiasa dengan sandiwara ini, seolah-olah seluruh hidupnya memang sudah diatur sedemikian rupa.
"Baiklah," kata Elena pelan, suaranya nyaris berbisik. "Aku mengerti."
******
Setelah sarapan, Elena berjalan lurus menuju kamar, meninggalkan Gerald yang masih berada di meja makan. Di kamar, ia berdiri, membuka lemari. Ia memilih celana jeans gelap dan kemeja oversize berwarna krem, pakaian santai yang nyaman, sesuatu yang ia butuhkan untuk meredakan ketegangan di dadanya.Saat ia kembali ke luar kamar dengan pakaian santai, Gerald sudah berdiri di dekat jendela ruang tengah, berbicara di telepon dengan suara rendah namun serius. Suaranya terdengar seperti perintah, penuh wibawa, dan sedikit kesal, khas seorang pemimpin yang terbiasa memberi arahan.“Tidak, tunda semua jadwal hari ini. Aku tidak peduli berapa kerugiannya, handle saja dulu,” katanya dengan nada pendek dan tegas, tidak memberi ruang untuk bantahan. “Aku baru saja menikah, hari ini adalah hari liburku, jadi jangan ganggu aku.”Elena berhenti, mendengarkan tanpa niat mencuri dengar. Namun satu kalimat Gerald membuatnya menahan napas, sebuah gelombang keheranan kecil menerpanya.Aku baru saja meni
Keesokan paginya setelah pernikahan, Elena terbangun dengan perasaan aneh yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Rasanya seperti baru saja melewati mimpi panjang yang tidak sepenuhnya nyata. Ia membuka matanya perlahan, memandangi langit-langit putih di atasnya yang asing. Bukan kamarnya. Bukan tempat tidur yang biasa ia gunakan.Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyusun potongan-potongan kesadaran. Lalu kenyataan menghantamnya—ia tidak berada di rumahnya sendiri. Ini adalah apartemen baru, kamar baru, dan yang paling sulit diterima: status barunya. Ia adalah istri seseorang. Istri dari Gerald Aiden Mahatma.Sinar matahari pagi menyelinap masuk dari celah tirai yang belum tertutup sempurna, menciptakan bayangan halus di lantai kayu. Udara kamar itu masih membawa aroma cat baru dan sedikit wangi lavender dari diffuser di sudut ruangan. Elena melirik jam di meja samping tempat tidur. Pukul 6:15 pagi. Biasanya, pada jam ini, ia sudah mulai bersiap untuk ke kantor, memb
Setelah menandatangani perjanjian pernikahan itu—sebuah lembaran kertas dingin yang kini mengikat takdirnya—Elena dan Gerald seolah bertransformasi menjadi dua orang asing yang dipaksa berbagi ruang, dibatasi oleh garis-garis tak terlihat yang lebih tebal dari dinding mana pun.Elena mengikuti Gerald dari belakang, menuju kamar yang telah dibuka pintunya—sebuah kamar tidur utama yang luas, dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap dari jendela besarnya. Kamar itu begitu rapi, seolah tidak pernah disentuh, menunggu untuk diisi."Ini kamarmu," suara Gerald memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, gestur yang sudah menjadi ciri khasnya—santai namun penuh otoritas. "Aku akan menggunakan kamar di sebelah."Elena melihat sekeliling. Kamar itu memang luas dan elegan, didominasi warna putih dan abu-abu, palet yang dipilih dengan cermat untuk memberikan kesan modern dan mewah. Namun, bagi Elena, semuanya terasa terlalu sempurna. Seperti per
Di depan altar, Gerald berdiri tegap dalam balutan jas hitamnya yang elegan. Tatapannya tetap dingin, nyaris tanpa emosi, namun sesekali ia menarik napas panjang. Hari ini bukanlah sesuatu yang ia nantikan, tetapi seperti yang sudah berkali-kali ia katakan pada dirinya sendiri—ini adalah kewajiban.Tiba-tiba, pintu utama terbuka lebar, memperlihatkan sosok pengantin wanita yang berjalan perlahan di lorong tengah. Elena menggamit lengan ayahnya, Nathaniel Atmaja, yang menuntunnya dengan penuh wibawa. Gaun putih gadingnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura elegan yang selalu melekat pada dirinya.Setiap langkahnya terasa berat. Elena hampir tidak bisa mendengar musik pernikahan yang mengiringinya, tidak peduli dengan tatapan kagum dan tepuk tangan para tamu. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu nyata.Saat akhirnya ia sampai di depan altar, Nathaniel melepaskan genggaman tangannya dan menyerahkan putrinya pada Gerald. Sejenak, mata mereka bertemu. Tid
Elena Maheswari Atmaja baru saja kembali dari perjalanan bisnis yang melelahkan di Singapura, membawa serta harapan baru untuk Atmaja Televisi, perusahaan media yang telah dibangun oleh keluarganya dengan susah payah.Sebagai putri tunggal Nathaniel Atmaja dan Devina Adeline Pramesti, Elena memikul beban besar di pundaknya.Posisi CEO Atmaja Televisi telah membentuknya menjadi seorang wanita yang dingin, tegas, dan berpendirian teguh, kualitas yang sangat dibutuhkan mengingat kondisi finansial perusahaan yang sedang merosot tajam dan hampir di ambang kebangkrutan.Namun, alih-alih sambutan hangat dan istirahat yang layak, Elena dikejutkan oleh kedatangan beberapa pria berbadan tegap yang langsung membawanya ke mobil tanpa banyak penjelasan. Perasaan tidak enak mulai menghantuinya sepanjang perjalanan, menggerogoti ketenangannya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan, firasat buruk merayap di benaknya. Apa yang sedang terjadi? Apakah ada masalah di kantor yang begitu genting hingga ia harus d