Home / Rumah Tangga / Pernikahan Bisnis Dua CEO / Bab 5 Percakapan Ruang Televisi

Share

Bab 5 Percakapan Ruang Televisi

Author: yourayas
last update Last Updated: 2025-06-26 21:59:44

Setelah sarapan, Elena berjalan lurus menuju kamar, meninggalkan Gerald yang masih berada di meja makan. Di kamar, ia berdiri, membuka lemari. Ia memilih celana jeans gelap dan kemeja oversize berwarna krem, pakaian santai yang nyaman, sesuatu yang ia butuhkan untuk meredakan ketegangan di dadanya.

Saat ia kembali ke luar kamar dengan pakaian santai, Gerald sudah berdiri di dekat jendela ruang tengah, berbicara di telepon dengan suara rendah namun serius. Suaranya terdengar seperti perintah, penuh wibawa, dan sedikit kesal, khas seorang pemimpin yang terbiasa memberi arahan.

“Tidak, tunda semua jadwal hari ini. Aku tidak peduli berapa kerugiannya, handle saja dulu,” katanya dengan nada pendek dan tegas, tidak memberi ruang untuk bantahan. “Aku baru saja menikah, hari ini adalah hari liburku, jadi jangan ganggu aku.”

Elena berhenti, mendengarkan tanpa niat mencuri dengar. Namun satu kalimat Gerald membuatnya menahan napas, sebuah gelombang keheranan kecil menerpanya.

Aku baru saja menikah.

Bahkan Gerald, dengan segala sikap dingin dan profesionalismenya, dengan segala penekanan pada 'transaksi bisnis' yang ia ucapkan, tetap menyebutkan bahwa 'mereka telah menikah'. Bukan 'hubungan palsu'. Bukan 'kontrak sosial'. Tapi 'pernikahan'. Kata itu terasa aneh, hampir suci, diucapkan oleh pria pragmatis seperti Gerald. Apakah ia benar-benar menganggap pernikahan ini—meskipun terpaksa—sebagai bagian dari ikatan keluarga yang baru? Atau itu hanya sandiwara lain untuk percakapan teleponnya?

Gerald menoleh, menyadari Elena berdiri di sana. Matanya bertemu dengan mata Elena, dan ia mengakhiri teleponnya. Ia menyandarkan tubuh ke dinding dekat jendela, melipat tangannya di dada. “Kenapa memandangku seperti itu?” tanyanya, nada suaranya tak menunjukkan ketertarikan atau kejengkelan, hanya sebuah pertanyaan datar.

Elena terkesiap, berdehem pelan berusaha menyangkal bahwa dirinya memperhatikan Gerald yang sedang bertelepon sejak tadi. “Bukan apa-apa, hanya aneh saja bagaimana kamu bisa professional dan menjaga citra pernikahan ini dengan cukup baik.”

Gerald tersenyum miring, membuat Elena menyadari bahwa ucapannya barusan membuat Gerald besar kepala. Pria itu pasti senang mendengar Elena memujinya sebagai seseorang yang professional. Gerald lantas memasukkan handphonenya ke dalam saku celana. “Hanya sebuah formalitas. Bukankah sudah aku katakan, kalau aku bukanlah seseorang yang mencampurkan antara urusan bisnis dan perasaan.”

Elena mencibir, mengangguk kecil. “Ya. Pernikahan ini adalah bisnis bagimu, harusnya aku tidak heran,” ujarnya sebelum mendudukkan diri di sofa depan televisi. Dengan satu gerakan, Elena menyilangkan kakinya, sikap yang begitu anggun dan tertata.

Gerald menipiskan bibir, memilih untuk mendudukkan diri di sofa yang berbeda dengan Elena. Meskipun Elena sempat memberikan tatapan tajam, namun Gerald tidak memedulikannya. Lagipula, tidak ada salahnya dia duduk disana sekarang.

Begitu televisi menyala, berita pernikahan mereka langsung terpampang dengan jelas. Salah satu saluran berita hiburan menampilkan cuplikan upacara, lengkap dengan wawancara singkat beberapa tamu yang memuji-muji "keserasian" kedua mempelai. Foto-foto high-resolution dari pernikahan mereka yang sempurna, senyum yang nyaris meyakinkan, ciuman singkat di altar yang terlihat begitu romantis bagi mata awam.

"Lihat," kata Gerald, tanpa menoleh pada Elena. "Pekerjaan PR perusahaan kita memang kelas satu. Mereka bahkan membuat kita terlihat seperti pasangan yang benar-benar jatuh cinta." Ada nada ironi dalam suaranya.

Elena hanya mendengus, matanya terpaku pada layar televisi. Melihat dirinya sendiri seperti itu, tersenyum palsu di samping Gerald, membuatnya merasa muak. Ini adalah hidupnya sekarang—sebuah pertunjukan bagi publik. Harga dirinya, kebebasannya, semuanya dikorbankan demi citra dan kelangsungan Atmaja Televisi.

"Aku tidak bisa membayangkan betapa leganya perasaan orang tuaku sekarang," komentar Elena pahit, tatapannya masih ke layar televisi. "Semua masalah mereka teratasi hanya dengan satu perjanjian pernikahan." Ada nada menyalahkan yang jelas dalam suaranya, sebuah beban yang ia pikul sendiri.

Gerald tidak langsung menanggapi. Ia hanya mencondongkan tubuh ke depan, meraih remote lalu mengecilkan volume televisi, membiarkan suara mereka sendiri menggema di ruang yang terlalu mewah untuk kehangatan, terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja menikah. Gerald menoleh, memandang Elena dengan tatapan datar, namun kali ini ada sedikit ekspresi yang sulit diartikan di matanya—mungkin simpati, mungkin kelelahan yang sama.

“Bukankah itu alasan utama mereka menikahkan kita?” ujarnya tenang, nada suaranya tanpa emosi, namun sarat makna. “Untuk menyelamatkan nama. Menyelamatkan saham. Menyelamatkan harga diri masing-masing keluarga. Kita berdua adalah pion dalam permainan catur besar mereka, Elena.” Gerald tidak menunjukkan kemarahan, hanya sebuah penerimaan dingin terhadap kenyataan pahit itu.

Elena menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit apartemen itu seolah berharap bisa menemukan udara yang lebih jujur di sana, udara yang tidak dipenuhi kepalsuan. “Dan kita yang menjadi tumbalnya,” desisnya, suaranya nyaris berbisik, namun penuh dengan kepahitan. Ia mengerjap perlahan, merasakan perih di sudut matanya. “Atau lebih tepatnya… aku yang jadi tumbalnya. Aku tidak diberi pilihan sama sekali.”

Gerald menghela napas, ekspresinya berubah menjadi lelah. Ia telah mendengar keluhan ini berulang kali, baik dari Elena maupun dari dirinya sendiri dalam hati. “Berhenti menyalahkan situasi ataupun keluargamu, Elena. Dunia bisnis memang tidak memberi ruang untuk idealisme, cobalah untuk menjadi realistis sekarang,” ujar Gerald, ada sedikit nasihat dalam ucapannya, sebuah ajakan untuk beradaptasi, meskipun itu terasa kejam.

Elena mendengus kecil, kembali marah begitu mengingat dia langsung dipaksa menikah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Memang benar rasanya seperti dijadikan tumbal. Naasnya, Elena seperti dijadikan tumbal oleh orang tuanya sendiri—orang tua yang seharusnya melindunginya. Ia merasa dikhianati.

Elena terkesiap begitu volume televisi kembali dibesarkan, menyadari bahwa kini Gerald sudah mengganti channel menuju acara lain. Pria itu sepertinya suka dengan berita terkini, selalu mengikuti perkembangan dunia, jauh dari drama emosional. Perubahan saluran itu seolah menjadi penanda bahwa baginya, perdebatan tadi sudah berakhir.

Elena menoleh pada Gerald, berdehem pelan mencoba untuk santai, meskipun di dalam hatinya ia masih bergolak. "Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Gerald menipiskan bibir. “Soal pasangan masing-masing,” ujarnya tanpa basa-basi, sebelum memandang ke arah Elena. Rupanya ekspresi perempuan itu memperlihatkan keterkejutan yang tertahan. “Aku rasa kita bisa tetap menjalaninya tanpa harus mencampurkan dengan pernikahan kita.”

Elena menaikkan satu alis, terkejut dengan pernyataan Gerald. Ia tidak menduga topik itu akan dibahas secepat ini, apalagi oleh Gerald sendiri. Ada jeda sesaat sebelum ia menjawab, mencoba mencerna maksud pria itu. "Maksudmu... kita bebas menjalin hubungan dengan orang lain?" tanyanya hati-hati.

Gerald mengangguk satu kali, pelan. “Aku tahu kamu punya kehidupan sendiri sebelum ini. Dan aku tidak akan mengganggu itu. Begitupun sebaliknya. Kita hanya perlu menjaga citra di depan publik—di luar itu, kita bebas.” Ia menoleh ke arah Elena dengan tatapan yang nyaris tenang, seolah menawarkan jalan keluar yang sangat logis.

Ia melanjutkan, suaranya tenang namun penuh otoritas, seperti seorang CEO yang memberikan instruksi penting. "Aku tidak akan ikut campur urusan pribadimu, selama itu tidak mengganggu 'bisnis' ini. Tapi, kita perlu kesepakatan. Jika ada 'pihak ketiga' yang berpotensi menimbulkan keributan atau menarik perhatian media, kita harus tahu. Kita harus punya strategi untuk menanganinya. Setidaknya, jangan sampai mereka muncul di hadapan publik dan menimbulkan pertanyaan."

"Dan apa yang kamu harapkan dariku, Gerald?" Elena bertanya, mencoba mempertahankan sikap menantang.

"Aku hanya butuh jaminan bahwa tidak akan ada 'kejutan' yang membahayakan. Jika ada seseorang yang membahayakan, yang dekat denganmu, yang berpotensi menjadi masalah… maka aku perlu tahu. Hanya itu." Tatapannya menembus Elena, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sama seperti aku menjaminmu, tidak akan ada 'kejutan' dari pihakku."

Elena menghela napas, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kata-kata Gerald menusuk, namun itu adalah kenyataan yang harus ia hadapi. Hidupnya kini adalah sebuah pertunjukan, dan ia harus memerankan perannya dengan baik. Ia menoleh ke arah Gerald, yang terlihat begitu tenang dan fokus pada layar televisi. Pria itu tampak begitu terbiasa dengan sandiwara ini, seolah-olah seluruh hidupnya memang sudah diatur sedemikian rupa.

"Baiklah," kata Elena pelan, suaranya nyaris berbisik. "Aku mengerti."

***

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 50 Pengkhiantan

    Di balik jendela besar kantornya di Atmaja Pictures, Elena Maheswari Atmaja menatap pemandangan kota, namun pandangannya hampa. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, berusaha menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Tumpukan laporan di mejanya tak lagi terlihat menarik. Angka-angka yang biasanya ia kuasai dengan mudah, kini terasa seperti barisan huruf yang tak memiliki makna. Pikirannya terus melayang kembali pada Gerald, pada kehangatannya yang tiba-tiba, pada sentuhan lembutnya di rambut, dan pada mata penuh kekhawatiran yang ia lihat pagi tadi. Namun, setiap kali pikiran itu muncul, pikiran lain yang lebih pekat dan menyakitkan segera menyusul: Leo. Keheningan Leo yang misterius.Sudah berhari-hari. Berapa lama lagi ia harus menunggu? Elena menggenggam ponselnya yang tergeletak di atas meja. Layarnya yang gelap memantulkan bayangan dirinya yang murung. Ia memutar kembali kejadian-kejadian pagi tadi.Gerald, dengan matanya yang tajam, berhasil melihat ke dalam dirinya. Gerald, si pria

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 49 Gerald Penasaran

    Siang itu, kantor Gerald dipenuhi oleh keheningan yang menyesakkan. Gerald duduk di kursi kebanggaannya, matanya terpaku pada layar komputer yang menampilkan grafik dan laporan. Namun, pikirannya jauh dari angka-angka itu. Pikirannya dipenuhi oleh Elena, oleh rahasia yang ia sembunyikan, oleh kegelisahan yang begitu kentara di wajahnya. Gerald benci perasaan ini. Ia benci ketidakberdayaan. Ia benci bahwa ada sesuatu yang penting dalam hidup Elena yang ia tidak tahu.Gerald menghela napas panjang, menekan tombol interkom di mejanya. "Lucas, masuk."Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Lucas, asisten pribadinya yang cerdas dan efisien, masuk. Lucas adalah seorang pria muda yang cerdas, selalu selangkah lebih maju, dan merupakan satu-satunya orang yang tahu hampir semua rahasia Gerald."Ada yang bisa saya bantu, Tuan Gerald?" tanya Lucas, suaranya tenang dan profesional.Gerald menatapnya. Ia tahu apa yang akan ia minta adalah sebuah pelanggaran. Pelanggaran terhadap perjanjiannya

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 48 Kekhawatiran Elena Soal Leo

    Setelah pintu kamarnya tertutup, Elena masih berdiri di tengah ruangan, merasakan kehangatan sentuhan Gerald di kepalanya. Gerakan kecil itu, bisikan lembut itu, semua terasa begitu tidak nyata. Pria yang selama ini begitu dingin dan kaku, kini menunjukkan sisi yang begitu protektif. Hati Elena, yang sudah lelah karena pertarungan emosi sepanjang hari, terasa hangat, namun juga bingung.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Pikirannya, yang sempat teralihkan oleh Gerald, kembali pada satu orang yang paling penting: Leo. Malam itu, di restoran, ia terlalu fokus pada diskusi bisnis dengan Jonathan, sehingga ia tidak sempat memeriksa ponselnya. Kekhawatiran yang sudah ia tahan selama beberapa hari terakhir kembali membanjiri dirinya.Pesan terakhirnya, yang ia kirim tiga hari lalu, hanya tercentang dua, tanpa balasan. Sebuah pesan ringan tentang jadwalnya yang padat, dan sebuah pertanyaan sederhana tentang hari Leo. Tidak ada balasan. Tidak ada telepon. Elena mencoba meneleponnya, t

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 47 Diskusi Dengan Gerald

    Malam itu, Gerald Aiden Mahatma tidak bisa fokus. Ia kembali ke apartemen mereka setelah mengantar Elena, namun pikirannya terus dipenuhi oleh satu skenario: Elena dan Jonathan Lim, duduk berdua di sebuah restoran privat di pusat kota, membahas bisnis, tertawa, dan mungkin... mengenang masa lalu. Gerald membenci pikiran itu, membenci perasaan tak berdaya yang datang bersamanya. Ia mencoba bekerja, namun dokumen di depannya tampak kabur. Ia mencoba menonton TV, tetapi acara apa pun terasa hampa.Akhirnya, ia menyerah. Gerald duduk di ruang tamu, di sofa tempat perdebatan pagi tadi terjadi, menunggu. Ia tidak menyalakan lampu utama, hanya menyisakan lampu redup dari lampu meja, menciptakan suasana yang intim dan menenangkan. Ia membuka sebuah buku tentang sejarah seni, namun matanya tidak benar-benar membaca. Ia hanya duduk di sana, dalam keheningan, menunggu Elena pulang.Gerald yang menunggu adalah pemandangan yang langka, namun malam ini, ia melakukannya dengan begitu alami, seolah i

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 46 Meet Jonathan Lim

    Malam itu, Elena tiba di sebuah restoran privat di jantung kota Jakarta, tempat ia dan Jonathan Lim sepakat untuk bertemu. Restoran itu memiliki nuansa modern minimalis dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Jonathan sudah duduk di meja mereka, tersenyum lebar saat Elena mendekat."Elena, you look as radiant as ever," sapa Jonathan, bangkit untuk menyambutnya dengan jabat tangan hangat. ("Elena, kamu terlihat secemerlang biasanya.") Matanya memancarkan kekaguman yang jelas. "Please, have a seat." ("Silakan duduk.")"Jonathan, it's good to see you again," balas Elena, senyum profesional terpasang di bibirnya. ("Jonathan, senang bertemu denganmu lagi.") Ia memilih kursi di seberang Jonathan. "Thank you for making time for this." ("Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk ini.")"For you, always," Jonathan berkata ringan, tawanya renyah. ("Untukmu, selalu.") "So, how are things settling in after the big announcement? I imagine it's been quite a whirlwind." ("Jadi, bagaimana semuanya

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 45 Diantar Gerald

    Makan siang di kantor Gerald berakhir dengan suasana yang jauh lebih ringan dari yang mereka kira. Gerald, yang biasanya menghabiskan makan siang dengan cepat, kini makan dengan santai, sesekali melirik Elena, memastikan wanita itu benar-benar menyantap salad salmon panggangnya. Keheningan di antara mereka bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang dipenuhi oleh pemahaman baru dan perhatian yang tidak terucapkan. Elena merasa nyaman, terkejut dengan sisi Gerald yang baru ia lihat. Sisi yang memaksa, tetapi dengan cara yang begitu halus.Setelah piring-piring kosong, Gerald mengakhiri makan siang mereka. Ia berdiri, mengambil jasnya yang tergantung di kursi. "Aku akan mengantarmu ke kantor."Elena terkejut. "Tidak perlu, Gerald. Aku bisa naik taksi online.""Tidak," jawab Gerald, nadanya tegas, tidak menerima bantahan. "Aku yang akan mengantarmu."Elena tidak membalas lagi. Ia tahu Gerald sudah mengambil keputusan. Ia mengambil tas tangannya, dan mereka berdua berjala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status