Keesokan paginya setelah pernikahan, Elena terbangun dengan perasaan aneh yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Rasanya seperti baru saja melewati mimpi panjang yang tidak sepenuhnya nyata. Ia membuka matanya perlahan, memandangi langit-langit putih di atasnya yang asing. Bukan kamarnya. Bukan tempat tidur yang biasa ia gunakan.
Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyusun potongan-potongan kesadaran. Lalu kenyataan menghantamnya—ia tidak berada di rumahnya sendiri. Ini adalah apartemen baru, kamar baru, dan yang paling sulit diterima: status barunya. Ia adalah istri seseorang. Istri dari Gerald Aiden Mahatma. Sinar matahari pagi menyelinap masuk dari celah tirai yang belum tertutup sempurna, menciptakan bayangan halus di lantai kayu. Udara kamar itu masih membawa aroma cat baru dan sedikit wangi lavender dari diffuser di sudut ruangan. Elena melirik jam di meja samping tempat tidur. Pukul 6:15 pagi. Biasanya, pada jam ini, ia sudah mulai bersiap untuk ke kantor, membasuh wajah dan memilih pakaian kerja sambil memutar musik pelan. Tapi tidak hari ini. Hari ini, ia memiliki satu hari penuh untuk... apa? Beristirahat? Menyesuaikan diri? Atau hanya bertahan? Ia menghembuskan napas perlahan, meraih karet rambut di meja dan mengikat rambutnya yang berantakan menjadi sanggul longgar. Dengan langkah hati-hati, ia turun dari tempat tidur, tubuhnya masih terasa kaku karena tidur tidak nyenyak. Dengan langkah pelan, Elena keluar dari kamar. Ia memperhatikan apartemen yang masih sepi, pertanda bahwa Gerald masih berada di kamarnya, mungkin belum bangun. Tanpa sadar, Elena bernapas lega, setidaknya dia tidak harus berbasa-basi dan menyapanya terlebih dahulu. Ia berjalan menuju dapur, mengenakan apron dengan gaya yang tampak santai, tetapi gerakannya tajam dan penuh keengganan. Ia memecahkan telur ke dalam wajan, membiarkan suara desisan dari minyak panas memenuhi kesunyian pagi. Meski suasana hatinya sedang buruk, Elena tidak bisa mengabaikan kebiasaan lamanya untuk memasak makanan. Meskipun sebenarnya ia lebih suka makan di luar atau memesan makanan, kali ini ia merasa perlu melakukan sesuatu yang berbeda, meski hanya demi memenuhi kewajiban sebagai seorang istri, meskipun itu terasa sangat dipaksakan. Tak lama kemudian, Gerald, yang baru keluar dari kamar tidurnya, berjalan perlahan menuju ruang makan. Rambutnya sedikit berantakan, matanya sedikit terpejam karena kelelahan. Ia berhenti di depan meja makan dan memandang Elena yang sedang memasak. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan sedikitpun tak ada rasa terkejut atau senang melihat istrinya memasak. Ia tahu bahwa ini hanya formalitas—sama seperti semua yang mereka lakukan sekarang. Gerald mendekat dan duduk di kursi meja makan dengan malas. "Elena," suaranya datar, tanpa emosi. "Kamu tidak perlu repot-repot memasak untukku. Aku bisa makan sendiri nanti. Aku lebih suka keluar daripada harus makan masakan di apartemen ini." Elena tidak mengalihkan pandangannya dari wajan yang sedang dipanaskan. “Jangan salah paham, Gerald. Aku tidak memasak untukmu,” ujarnya dengan nada dingin, tetap fokus pada masakannya. “Aku hanya sedang memasak untuk diriku sendiri. Kalau kamu ingin makan, silakan cari makan sendiri.” Gerald mengangkat alisnya, terkejut dengan keangkuhan dan kejelasan dalam jawaban Elena. Ia menghela napas pelan, merasa sudah cukup bosan dengan sikap keras kepala wanita itu. “Seharusnya aku sudah tidak heran,” gumamnya pelan, tapi masih bisa didengar jelas oleh Elena. Elena berhenti sejenak, matanya memandang Gerald sinis. “Aku tidak sejahat itu memasak hanya untuk diriku sendiri. Bukan seperti kamu yang setuju menikah tanpa bertanya kepadaku terlebih dahulu.” Gerald menghela napas, lelah membahas ini karena sudah pernah ia jelaskan kemarin. “Orang tuamu yang tidak bertanya kepadamu, Elena. Bukan aku yang tega disini,” ujar Gerald menekankan sekali lagi. Elena tidak dapat membantah, dengan cepat ia menaruh piring di meja makan. “Kamu bisa makan masakanku hari ini. Tapi ke depan, sebaiknya kamu juga belajar untuk hidup tanpa bergantung padaku,” ujarnya, seraya menghindar dari tatapan Gerald yang penuh kebingungan. Gerald mematung sejenak, merasa jengkel dengan sikap Elena yang semakin angkuh dan menantang. Gerald menghela napas perlahan. “Aku juga tidak butuh bantuanmu. Sudah ku bilang, kalau aku bisa cari makan sendiri.” Elena memilih untuk tidak menjawab. Perempuan itu duduk di kursi seberang Gerald dan mulai menyantap makanannya tanpa sedikitpun menoleh kepada pria itu. Gerald menatap piring yang telah Elena persiapkan. Pria itu mendengus kecil, sebelum meruntuhkan gengsi mengambil sendok dan mulai memakan masakan Elena. Siapa sangka, gadis itu ternyata benar-benar bisa memasak. Setidaknya dapat menurunkan emosi Gerald pada keangkuhan gadis itu pagi ini. “Elena,” panggil Gerald, suaranya lebih pelan. “Aku tahu kita sama-sama tidak nyaman tinggal dalam satu atap. Tapi setidaknya, lakukan apa pun yang membuatmu nyaman. Kamu bebas melakukan apa pun disini, seperti di rumahmu sendiri.” Mereka bertukar pandang sebentar. Elena merasa aneh—seperti sedang berhadapan dengan teman serumah, bukan suami. Tapi mungkin itu lebih baik. Mereka dua orang asing yang terikat oleh keputusan dan kepentingan dua keluarga. Elena mengangguk kecil. “Aku tahu,” katanya pelan. “Tapi jangan berharap aku akan cepat terbiasa dengan ini semua.” Gerald tersenyum tipis. “Tuntutan yang membuat kita harus cepat terbiasa,” ujar Gerald memandang Elena yang mengangkat alis. “Semakin lama, kamu akan semakin terbiasa menjalani peranmu sebagai menantu dari keluarga Mahatma. Begitu juga denganku.” “Maksudnya?” tanya Elena tidak mengerti. “Akan banyak acara yang harus kita hadiri ke depannya. Mulai dari pertemuan bisnis, undangan dari client dan rekan-rekan bisni, undangan gala premiere film baruku atau acara barumu, semuanya memerlukan kita hadir berdua, Elena,” ujar Gerald dengan suara rendah. Elena termenung sejenak, hanya memainkan sendok dalam piringnya yang masih tersisa. Gadis itu kemudian tersenyum samar, menghela napas panjang. “Mau bagaimana lagi, dari awal aku memang tidak punya pilihan, kan?” Elena beranjak dari duduknya, berjalan menuju pantry dapur dan mulai membersihkan piring beserta alat masakan yang kotor. Di belakangnya, Gerald memandang punggung Elena dari tempatnya duduk. Perlahan, Gerald menghela napas. Dapat melihat bahwa Elena melalui ini dengan berat. Berbeda dengan dirinya yang lebih realistis dan fleksibel mengikuti alur yang telah dibuat oleh keluarganya. Elena sepertinya tidak demikian. Gerald menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu ada janji hari ini?” tanyanya ringan. Elena berbalik, helaan napasnya terdengar berat dan dipaksakan. “Kenapa?” tanyanya lelah. Gerald memandang Elena sekilas. “Aku hanya memastikan, apakah kamu ada janji atau tidak?” tanya Gerald santai, sambil menyeruput kopi yang sudah Elena siapkan. Diam-diam, pria itu merasakan kenikmatan kopi yang dibuat oleh Elena. Elena menggeleng. “Tidak ada, bukankah kamu bilang kalau aku bisa cuti untuk hari ini? Jadi sepertinya, berdiam diri di apartemen ini bukanlah pilihan yang buruk,” jawab Elena menoleh pada Gerald yang kebetulan kembali menatapnya. “Aku butuh istirahat sejenak untuk bersiap menghadapi sandiwara lainnya.” Gerald menipiskan bibir. Pria itu mengangkat bahu tak acuh. “Bagus, karena aku perlu berbicara denganmu pagi ini.” ***Setelah sarapan, Elena berjalan lurus menuju kamar, meninggalkan Gerald yang masih berada di meja makan. Di kamar, ia berdiri, membuka lemari. Ia memilih celana jeans gelap dan kemeja oversize berwarna krem, pakaian santai yang nyaman, sesuatu yang ia butuhkan untuk meredakan ketegangan di dadanya.Saat ia kembali ke luar kamar dengan pakaian santai, Gerald sudah berdiri di dekat jendela ruang tengah, berbicara di telepon dengan suara rendah namun serius. Suaranya terdengar seperti perintah, penuh wibawa, dan sedikit kesal, khas seorang pemimpin yang terbiasa memberi arahan.“Tidak, tunda semua jadwal hari ini. Aku tidak peduli berapa kerugiannya, handle saja dulu,” katanya dengan nada pendek dan tegas, tidak memberi ruang untuk bantahan. “Aku baru saja menikah, hari ini adalah hari liburku, jadi jangan ganggu aku.”Elena berhenti, mendengarkan tanpa niat mencuri dengar. Namun satu kalimat Gerald membuatnya menahan napas, sebuah gelombang keheranan kecil menerpanya.Aku baru saja meni
Keesokan paginya setelah pernikahan, Elena terbangun dengan perasaan aneh yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Rasanya seperti baru saja melewati mimpi panjang yang tidak sepenuhnya nyata. Ia membuka matanya perlahan, memandangi langit-langit putih di atasnya yang asing. Bukan kamarnya. Bukan tempat tidur yang biasa ia gunakan.Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyusun potongan-potongan kesadaran. Lalu kenyataan menghantamnya—ia tidak berada di rumahnya sendiri. Ini adalah apartemen baru, kamar baru, dan yang paling sulit diterima: status barunya. Ia adalah istri seseorang. Istri dari Gerald Aiden Mahatma.Sinar matahari pagi menyelinap masuk dari celah tirai yang belum tertutup sempurna, menciptakan bayangan halus di lantai kayu. Udara kamar itu masih membawa aroma cat baru dan sedikit wangi lavender dari diffuser di sudut ruangan. Elena melirik jam di meja samping tempat tidur. Pukul 6:15 pagi. Biasanya, pada jam ini, ia sudah mulai bersiap untuk ke kantor, memb
Setelah menandatangani perjanjian pernikahan itu—sebuah lembaran kertas dingin yang kini mengikat takdirnya—Elena dan Gerald seolah bertransformasi menjadi dua orang asing yang dipaksa berbagi ruang, dibatasi oleh garis-garis tak terlihat yang lebih tebal dari dinding mana pun.Elena mengikuti Gerald dari belakang, menuju kamar yang telah dibuka pintunya—sebuah kamar tidur utama yang luas, dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap dari jendela besarnya. Kamar itu begitu rapi, seolah tidak pernah disentuh, menunggu untuk diisi."Ini kamarmu," suara Gerald memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, gestur yang sudah menjadi ciri khasnya—santai namun penuh otoritas. "Aku akan menggunakan kamar di sebelah."Elena melihat sekeliling. Kamar itu memang luas dan elegan, didominasi warna putih dan abu-abu, palet yang dipilih dengan cermat untuk memberikan kesan modern dan mewah. Namun, bagi Elena, semuanya terasa terlalu sempurna. Seperti per
Di depan altar, Gerald berdiri tegap dalam balutan jas hitamnya yang elegan. Tatapannya tetap dingin, nyaris tanpa emosi, namun sesekali ia menarik napas panjang. Hari ini bukanlah sesuatu yang ia nantikan, tetapi seperti yang sudah berkali-kali ia katakan pada dirinya sendiri—ini adalah kewajiban.Tiba-tiba, pintu utama terbuka lebar, memperlihatkan sosok pengantin wanita yang berjalan perlahan di lorong tengah. Elena menggamit lengan ayahnya, Nathaniel Atmaja, yang menuntunnya dengan penuh wibawa. Gaun putih gadingnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura elegan yang selalu melekat pada dirinya.Setiap langkahnya terasa berat. Elena hampir tidak bisa mendengar musik pernikahan yang mengiringinya, tidak peduli dengan tatapan kagum dan tepuk tangan para tamu. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu nyata.Saat akhirnya ia sampai di depan altar, Nathaniel melepaskan genggaman tangannya dan menyerahkan putrinya pada Gerald. Sejenak, mata mereka bertemu. Tid
Elena Maheswari Atmaja baru saja kembali dari perjalanan bisnis yang melelahkan di Singapura, membawa serta harapan baru untuk Atmaja Televisi, perusahaan media yang telah dibangun oleh keluarganya dengan susah payah.Sebagai putri tunggal Nathaniel Atmaja dan Devina Adeline Pramesti, Elena memikul beban besar di pundaknya.Posisi CEO Atmaja Televisi telah membentuknya menjadi seorang wanita yang dingin, tegas, dan berpendirian teguh, kualitas yang sangat dibutuhkan mengingat kondisi finansial perusahaan yang sedang merosot tajam dan hampir di ambang kebangkrutan.Namun, alih-alih sambutan hangat dan istirahat yang layak, Elena dikejutkan oleh kedatangan beberapa pria berbadan tegap yang langsung membawanya ke mobil tanpa banyak penjelasan. Perasaan tidak enak mulai menghantuinya sepanjang perjalanan, menggerogoti ketenangannya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan, firasat buruk merayap di benaknya. Apa yang sedang terjadi? Apakah ada masalah di kantor yang begitu genting hingga ia harus d