Share

Bab 4 Pagi Pertama

Author: yourayas
last update Last Updated: 2025-06-22 23:47:03

Keesokan paginya setelah pernikahan, Elena terbangun dengan perasaan aneh yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Rasanya seperti baru saja melewati mimpi panjang yang tidak sepenuhnya nyata. Ia membuka matanya perlahan, memandangi langit-langit putih di atasnya yang asing. Bukan kamarnya. Bukan tempat tidur yang biasa ia gunakan.

Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyusun potongan-potongan kesadaran. Lalu kenyataan menghantamnya—ia tidak berada di rumahnya sendiri. Ini adalah apartemen baru, kamar baru, dan yang paling sulit diterima: status barunya. Ia adalah istri seseorang. Istri dari Gerald Aiden Mahatma.

Sinar matahari pagi menyelinap masuk dari celah tirai yang belum tertutup sempurna, menciptakan bayangan halus di lantai kayu. Udara kamar itu masih membawa aroma cat baru dan sedikit wangi lavender dari diffuser di sudut ruangan. Elena melirik jam di meja samping tempat tidur. Pukul 6:15 pagi. Biasanya, pada jam ini, ia sudah mulai bersiap untuk ke kantor, membasuh wajah dan memilih pakaian kerja sambil memutar musik pelan. Tapi tidak hari ini.

Hari ini, ia memiliki satu hari penuh untuk... apa? Beristirahat? Menyesuaikan diri? Atau hanya bertahan?

Ia menghembuskan napas perlahan, meraih karet rambut di meja dan mengikat rambutnya yang berantakan menjadi sanggul longgar. Dengan langkah hati-hati, ia turun dari tempat tidur, tubuhnya masih terasa kaku karena tidur tidak nyenyak.

Dengan langkah pelan, Elena keluar dari kamar. Ia memperhatikan apartemen yang masih sepi, pertanda bahwa Gerald masih berada di kamarnya, mungkin belum bangun. Tanpa sadar, Elena bernapas lega, setidaknya dia tidak harus berbasa-basi dan menyapanya terlebih dahulu. Ia berjalan menuju dapur, mengenakan apron dengan gaya yang tampak santai, tetapi gerakannya tajam dan penuh keengganan.

Ia memecahkan telur ke dalam wajan, membiarkan suara desisan dari minyak panas memenuhi kesunyian pagi. Meski suasana hatinya sedang buruk, Elena tidak bisa mengabaikan kebiasaan lamanya untuk memasak makanan. Meskipun sebenarnya ia lebih suka makan di luar atau memesan makanan, kali ini ia merasa perlu melakukan sesuatu yang berbeda, meski hanya demi memenuhi kewajiban sebagai seorang istri, meskipun itu terasa sangat dipaksakan.

Tak lama kemudian, Gerald, yang baru keluar dari kamar tidurnya, berjalan perlahan menuju ruang makan. Rambutnya sedikit berantakan, matanya sedikit terpejam karena kelelahan. Ia berhenti di depan meja makan dan memandang Elena yang sedang memasak. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan sedikitpun tak ada rasa terkejut atau senang melihat istrinya memasak. Ia tahu bahwa ini hanya formalitas—sama seperti semua yang mereka lakukan sekarang.

Gerald mendekat dan duduk di kursi meja makan dengan malas. "Elena," suaranya datar, tanpa emosi. "Kamu tidak perlu repot-repot memasak untukku. Aku bisa makan sendiri nanti. Aku lebih suka keluar daripada harus makan masakan di apartemen ini."

Elena tidak mengalihkan pandangannya dari wajan yang sedang dipanaskan. “Jangan salah paham, Gerald. Aku tidak memasak untukmu,” ujarnya dengan nada dingin, tetap fokus pada masakannya. “Aku hanya sedang memasak untuk diriku sendiri. Kalau kamu ingin makan, silakan cari makan sendiri.”

Gerald mengangkat alisnya, terkejut dengan keangkuhan dan kejelasan dalam jawaban Elena. Ia menghela napas pelan, merasa sudah cukup bosan dengan sikap keras kepala wanita itu. “Seharusnya aku sudah tidak heran,” gumamnya pelan, tapi masih bisa didengar jelas oleh Elena.

Elena berhenti sejenak, matanya memandang Gerald sinis. “Aku tidak sejahat itu memasak hanya untuk diriku sendiri. Bukan seperti kamu yang setuju menikah tanpa bertanya kepadaku terlebih dahulu.”

Gerald menghela napas, lelah membahas ini karena sudah pernah ia jelaskan kemarin. “Orang tuamu yang tidak bertanya kepadamu, Elena. Bukan aku yang tega disini,” ujar Gerald menekankan sekali lagi.

Elena tidak dapat membantah, dengan cepat ia menaruh piring di meja makan. “Kamu bisa makan masakanku hari ini. Tapi ke depan, sebaiknya kamu juga belajar untuk hidup tanpa bergantung padaku,” ujarnya, seraya menghindar dari tatapan Gerald yang penuh kebingungan.

Gerald mematung sejenak, merasa jengkel dengan sikap Elena yang semakin angkuh dan menantang. Gerald menghela napas perlahan. “Aku juga tidak butuh bantuanmu. Sudah ku bilang, kalau aku bisa cari makan sendiri.”

Elena memilih untuk tidak menjawab. Perempuan itu duduk di kursi seberang Gerald dan mulai menyantap makanannya tanpa sedikitpun menoleh kepada pria itu.

Gerald menatap piring yang telah Elena persiapkan. Pria itu mendengus kecil, sebelum meruntuhkan gengsi mengambil sendok dan mulai memakan masakan Elena. Siapa sangka, gadis itu ternyata benar-benar bisa memasak. Setidaknya dapat menurunkan emosi Gerald pada keangkuhan gadis itu pagi ini.

“Elena,” panggil Gerald, suaranya lebih pelan. “Aku tahu kita sama-sama tidak nyaman tinggal dalam satu atap. Tapi setidaknya, lakukan apa pun yang membuatmu nyaman. Kamu bebas melakukan apa pun disini, seperti di rumahmu sendiri.”

Mereka bertukar pandang sebentar. Elena merasa aneh—seperti sedang berhadapan dengan teman serumah, bukan suami. Tapi mungkin itu lebih baik. Mereka dua orang asing yang terikat oleh keputusan dan kepentingan dua keluarga.

Elena mengangguk kecil. “Aku tahu,” katanya pelan. “Tapi jangan berharap aku akan cepat terbiasa dengan ini semua.”

Gerald tersenyum tipis. “Tuntutan yang membuat kita harus cepat terbiasa,” ujar Gerald memandang Elena yang mengangkat alis. “Semakin lama, kamu akan semakin terbiasa menjalani peranmu sebagai menantu dari keluarga Mahatma. Begitu juga denganku.”

“Maksudnya?” tanya Elena tidak mengerti.

“Akan banyak acara yang harus kita hadiri ke depannya. Mulai dari pertemuan bisnis, undangan dari client dan rekan-rekan bisni, undangan gala premiere film baruku atau acara barumu, semuanya memerlukan kita hadir berdua, Elena,” ujar Gerald dengan suara rendah.

Elena termenung sejenak, hanya memainkan sendok dalam piringnya yang masih tersisa. Gadis itu kemudian tersenyum samar, menghela napas panjang. “Mau bagaimana lagi, dari awal aku memang tidak punya pilihan, kan?”

Elena beranjak dari duduknya, berjalan menuju pantry dapur dan mulai membersihkan piring beserta alat masakan yang kotor. Di belakangnya, Gerald memandang punggung Elena dari tempatnya duduk.

Perlahan, Gerald menghela napas. Dapat melihat bahwa Elena melalui ini dengan berat. Berbeda dengan dirinya yang lebih realistis dan fleksibel mengikuti alur yang telah dibuat oleh keluarganya. Elena sepertinya tidak demikian.

Gerald menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu ada janji hari ini?” tanyanya ringan.

Elena berbalik, helaan napasnya terdengar berat dan dipaksakan. “Kenapa?” tanyanya lelah.

Gerald memandang Elena sekilas. “Aku hanya memastikan, apakah kamu ada janji atau tidak?” tanya Gerald santai, sambil menyeruput kopi yang sudah Elena siapkan. Diam-diam, pria itu merasakan kenikmatan kopi yang dibuat oleh Elena.

Elena menggeleng. “Tidak ada, bukankah kamu bilang kalau aku bisa cuti untuk hari ini? Jadi sepertinya, berdiam diri di apartemen ini bukanlah pilihan yang buruk,” jawab Elena menoleh pada Gerald yang kebetulan kembali menatapnya. “Aku butuh istirahat sejenak untuk bersiap menghadapi sandiwara lainnya.”

Gerald menipiskan bibir. Pria itu mengangkat bahu tak acuh. “Bagus, karena aku perlu berbicara denganmu pagi ini.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 139

    Hujan masih mengguyur saat lampu-lampu mobil polisi memantul di genangan air di depan gudang tua itu. Sirene terus meraung, namun bagi Gerald, semua suara terasa jauh—seolah dunia tiba-tiba mengecil hanya menyisakan satu hal di pelukannya: Elena.Ia baru saja merengkuhnya ketika tubuh itu tiba-tiba kehilangan tenaga.“Lena?” bisiknya panik.Tidak ada jawaban. Napas Elena melemah, matanya terpejam, kepalanya bersandar lemah di dada Gerald.“Lena!” serunya lagi, kali ini lebih keras. Tapi tubuh di pelukannya hanya jatuh semakin berat.Gerald langsung berjongkok, menepuk pipi Elena pelan. “Sayang, buka matamu. Lena, dengar aku, ini aku.”Masih tak ada reaksi. Panik melesat seperti arus listrik ke seluruh tubuhnya. Dengan satu gerakan, ia mengangkat Elena ke dalam gendongan. Tubuh itu terasa ringan sekali—terlalu ringan untuk ukuran wanita yang biasanya penuh semangat dan kehidupan.Lucas yang baru keluar dari gudang terkejut melihat Gerald membawa Elena. “Pak! Tim medis di jalan, mereka—

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 138

    Hujan turun deras, seperti tirai kelabu yang memisahkan dunia nyata dari mimpi buruk. Langit di atas Jakarta berwarna abu-abu pekat, petir menyambar jauh di horizon, dan angin berdesir membawa aroma logam, tanah, dan ketakutan.Di dalam sebuah gudang tua di kawasan industri yang sudah lama terbengkalai, lampu-lampu redup bergoyang tertiup angin dari celah atap yang bocor. Bayangan panjang menari di dinding karatan, menciptakan kesan menyeramkan yang membuat udara di sana semakin berat.Elena duduk di kursi besi, kedua tangannya diikat. Pergelangan tangannya perih, tapi ia terus berusaha melepaskan diri. Tubuhnya gemetar—bukan hanya karena dingin, tapi juga karena adrenalin yang membuncah tanpa henti. Napasnya pendek dan cepat, dadanya naik turun dalam irama ketakutan yang teratur.Leo berdiri tak jauh darinya, siluetnya tampak samar di bawah cahaya lampu yang bergetar. Wajahnya separuh tertutup bayangan, tapi matanya memantulkan sinar yang tak bisa disalahartikan: obsesi dan amarah yan

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 137

    Bau logam dan lembap memenuhi udara. Ruangan itu sepi, hanya terdengar suara tetes air yang jatuh dari pipa tua di langit-langit. Lampu gantung di atas kepala berkedip pelan, seakan ikut berjuang untuk tetap hidup.Udara dingin menggigit kulit. Lantai semen yang basah memantulkan cahaya kekuningan yang redup, membentuk bayangan rapuh dari tubuh Elena yang duduk di kursi besi di tengah ruangan. Tangannya terikat erat di belakang punggung, pergelangannya memerah karena tali kasar yang terus menggesek kulitnya. Nafasnya berat, tersengal, sementara keringat dan darah yang mengering di pelipisnya menyatu dengan debu.Rambut panjangnya menjuntai berantakan, menutupi sebagian wajahnya yang kini tampak pucat di bawah cahaya lampu yang tak stabil. Ia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana — jam, hari, atau mungkin minggu. Semua terasa kabur, bercampur menjadi satu kesatuan waktu yang tak berujung. Yang ia tahu hanya rasa nyeri yang datang dan pergi, nyeri yang merambat bukan hanya di t

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 136 Cari Elena

    Satu jam kemudian.Jakarta diguyur hujan deras. Lampu-lampu jalan berpendar buram di balik kaca mobil yang dipenuhi titik air.Gerald duduk di kursi belakang, ponsel di tangannya terus berdering. Lucas di depan sedang menelpon orang-orang kepercayaannya, menyebarkan perintah langsung dari Gerald Mahatma: Cari Elena. Gunakan semua sumber daya. Aku tidak peduli berapa biayanya.Gerald sendiri hanya diam, matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya berlari jauh. Tangannya menggenggam cincin pernikahan di jari manisnya. Ia menahan napas panjang, seolah mencoba bertahan dari kepanikan yang menelan seluruh tubuhnya.“Pak…” Lucas menoleh. “Saya sudah hubungi tim keamanan internal Maha Pictures, juga pihak keamanan apartemen. Semua disiagakan. Bahkan saya sudah kontak teman saya di kepolisian.”Gerald masih diam. Lalu, perlahan ia berkata, suaranya nyaris bergetar. “Kalau dia terluka, Lucas…” Ia berhenti sebentar, lalu menatap bawahannya dengan tatapan yang belum pernah terlihat sebelu

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 135 Kabar Elena Menghilang

    Langit Jakarta sore itu tampak mendung, awan kelabu menggantung berat di atas gedung-gedung tinggi. Hujan seperti menahan diri di udara, menunggu waktu untuk turun. Suasana di Atmaja Televisi pun sama suramnya — sibuk, tapi menegangkan tanpa alasan yang jelas.Elena baru saja menyelesaikan rapat dengan tim acara. Ia tampak sedikit lelah, namun tetap menjaga senyum. Beberapa kru menyapanya saat ia keluar dari ruang meeting lantai lima, dan Elena sempat melambaikan tangan dengan sopan.“El, mau gue bantu bawain dokumennya?” tanya Rani, sekretaris pribadinya.Elena menggeleng lembut. “Gak usah, Ran. Lo istirahat saja. Gue cuma mau turun ke lobby sebentar.”Rani mengangguk. “Oke, El.”Elena melangkah ke lift dengan tumpukan berkas di tangan. Pikirannya masih sibuk menimbang revisi rundown untuk acara mendatang. Ia bahkan tidak memperhatikan ketika seseorang mengenakan topi hitam dan masker wajah berdiri di dekat lift bersamanya — hanya sekadar mengira itu tamu kantor.Lift turun perlahan.

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 134 Proteksi Dari Jauh

    Udara di kota itu terasa hangat dan lembap, menyelimuti seluruh area hotel tempat Gerald menginap. Dari jendela kamar lantai dua belas, terlihat gemerlap lampu kota yang tak pernah benar-benar gelap. Tapi bagi Gerald, pemandangan itu tak memberi ketenangan apa pun.Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar laptop yang penuh laporan produksi film. Di depannya, beberapa berkas terbuka, tapi matanya kosong — pikirannya tak sepenuhnya di sini.Sebuah pesan dari Elena muncul di layar ponsel.Elena: “Sudah selesai meeting-nya?”Elena: “Jangan lupa makan malam, ya.”Gerald tersenyum tipis, lalu mengetik cepat.Gerald: “Sudah. Aku mau makan habis ini. Kamu sudah makan, Sayang?”Tak lama, balasan muncul.Elena: “Sudah. Jangan khawatir.”Namun entah kenapa, Gerald tetap tidak bisa berhenti khawatir.Ia menatap layar ponsel itu lama, jari-jarinya mengetuk ringan meja.Biasanya, setiap kali Elena mengirim pesan, ada sedikit emoji atau tanda yang menunjukkan perasaannya — entah senyum, tanda hati, a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status