MasukPercakapan pada pagi menuju siang itu telah selesai. Tidak ada perlawanan ataupun bantahan dari bibir Elena. Membuat Gerald cukup mengerti bahwa kesepakatan yang terjadi beberapa menit lalu akan menguntungkan perempuan itu.
Tatapan Gerald terpaku, memandang punggung Elena yang hilang dibalik pintu. Perempuan itu berjalan masuk ke kamarnya dengan langkah tegas, seakan tidak ingin berlama-lama dengan Gerald. Menyisakan ruangan televisi yang lebih tenang dari sebelumnya.
Gerald menyandarkan punggungnya di sofa, masih memperhatikan layar televisi. Kali ini pada channel Atmaja Televisi yang memiliki program berita paling menarik dan modern saat ini. Harus diakui, pekerjaan Elena sebagai CEO memang sangat baik.
Bertepatan dengan iklan yang terputar pada layar, handphone Gerald yang terletak diatas meja turut menyala. Menampilkan sebuah notifikasi pesan. Helaan napas Gerald terdengar, melihat notifikasi paling atas.
Clara Angelina: send a photo
Clara Angelina: wow, cukup asing rasanya sekarang harus memanggilmu ‘suami orang’
Gerald kembali menghela napas. Memilih untuk tidak membalas pesan-pesan tersebut, tetapi langsung menekan tombol dial. Ada beberapa hal yang tidak cukup dibahas melalui pesan. Terkadang harus dibicarakan.
Tak lama, sambungan telepon itu diterima. Gerald tersenyum tipis. “Kamu mau bertemu? Sepertinya kita perlu membahas sesuatu,” ujar Gerald tanpa banyak prolog di depan. Seperti kebiasaannya.
“Datanglah ke apartemenku.”
Gerald tersenyum tipis. “Fine,” sambungan telepon itu diputus oleh penerima, seperti tidak ingin bernegosiasi lama-lama. Gerald meraih remote televisi dan mematikannya, berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
***
Perjalanan menuju apartemen Clara tidak memakan waktu yang lama. Gerald mengemudikan mobilnya dengan tenang, pikirannya sibuk menyusun poin-poin yang perlu dibahas dengan Clara. Clara adalah Chief Creative Officer (CCO) di Maha Pictures. Posisi Clara menempatkannya begitu dekat dengan Gerald. Clara merupakan tangan kanan Gerald dalam segala urusan kreatif dan strategi perusahaan.
Hubungan mereka adalah jalinan kompleks antara rekan bisnis dan sahabat lama. Lebih kompleks dari itu, beberapa orang yang mengenal mereka, menyebutkan bahwa hubungan Gerald dan Clara adalah sebagai 'teman tidur'. Sebuah pengaturan yang tidak terucap namun saling dipahami, memenuhi kebutuhan tanpa ikatan emosional yang rumit.
Setelah memarkir mobil, Gerald berjalan menuju lobi apartemen. Dirinya langsung disambut oleh tatapan resepsionis yang sudah mengenalnya. Gerald mengangguk sekilas sebelum naik ke lantai dua belas, tempat unit apartemen Clara berada.
Pintu unit terbuka bahkan sebelum Gerald sempat mengetuk. Clara berdiri di ambang pintu, mengenakan oversized hoodie dan celana training abu-abu. Rambut hitamnya diikat asal-asalan, menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan sesi olahraganya. Senyum tipis terukir di bibirnya, namun matanya memancarkan sesuatu yang lebih dari sekadar sapaan ramah.
“Tumben cepat sekali?” nadanya santai seperti biasa, merentangkan tangan menyambut Gerald ke dalam pelukan.
Gerald tersenyum, membalas pelukan Clara dan mengusap rambutnya pelan. “Kamu tahu, aku paling tidak suka membuang waktu,” jawab Gerald sambil melangkah memasuki apartemen Clara yang selalu rapi dengan sentuhan minimalis yang elegan.
Clara menutup pintu dan berbalik, bersandar pada daun pintu sambil melipat tangannya di dada. “Jadi, apa yang begitu penting hingga harus dibahas langsung dan tidak bisa lewat pesan?” Matanya menyorot Gerald, mencoba membaca ekspresi di wajah pria itu.
Gerald berjalan menuju sofa di ruang tamu, menjatuhkan diri dengan nyaman. “Pesanmu… ‘suami orang’. Itu yang ingin kubahas.”
Clara tertawa kecil, suara tawanya sedikit serak. “Memangnya kenapa? Bukankah itu kenyataan?” Ia melangkah ke dapur kecil, mengambil cangkir dari rak. “Mau kopi?”
“Boleh,” Gerald mengangguk. “Tapi serius, Clara. Aku tahu kamu bukan tipe orang yang mudah mengungkit hal-hal sensitif seperti itu. Apa maksud di balik pesanmu? Dan foto yang kamu kirim…”
Clara menuangkan kopi ke dalam dua cangkir dengan tenang. “Tidak ada maksud apa-apa, Gerald. Aku hanya… sedikit terkejut. Kita sudah cukup dekat, bahkan terlalu dekat untuk hal-hal yang tidak diketahui orang awam. Dan tiba-tiba kamu menikah dengan Elena Atmaja, tanpa kabar, tanpa undangan, tanpa pemberitahuan sedikitpun kepadaku. Bahkan aku tahu dari media massa, lengkap dengan foto-foto mesra kalian.”
Clara mendekat, membawa dua cangkir kopi dan meletakkannya di meja. “Duduklah. Jangan seperti ingin cepat kabur. Kecuali kamu ingin mingle.” Ada senyum menggoda di bibirnya.
Gerlad meraih cangkirnya, menghirup aroma kopi. “Aku tidak berniat untuk kabur. Dan, kamu perlu tahu, Clara,” ujar Gerald menyesap kopinya sebelum memandang Clara. “Pernikahan ini… bukan seperti yang kamu bayangkan.”
Clara mengangkat alisnya. “Oh ya? Lalu seperti apa? Pernikahan bisnis? Pernikahan karena perjodohan konyol dari orang tua kalian yang super ambisius? Aku sudah menduga. Tapi tetap saja, Gerald. Pada akhirnya, kamu melakukannya. Tanpa memberitahuku sebelumnya. Bahkan… malam itu.” Clara menatapnya tajam, mengacu pada malam terakhir mereka bersama sebelum berita pernikahannya tersebar.
Gerald menghela napas. “Maaf. Aku salah karena tidak memberitahu secara langsung. Tapi, ini memang hanya pernikahan bisnis, Clara. Dan aku… tidak berada pada posisi aman untuk bisa menolak.
“Seorang Gerald Aiden Mahatma tidak bisa menolak?” Clara menggelengkan kepala, ada sedikit kekecewaan dan rasa dikhiniati tersirat di suaranya. “Aku tahu kamu tidak akan mau melakukan sesuatu yang tidak menguntungkanmu. Jadi, apa keuntunganmu dari pernikahan ini? Selain tentu saja, akses ke seluruh jaringan Atmaja Group yang kamu idam-idamkan sejak dulu?”
Gerald meletakkan cangkirnya. “Itu salah satunya. Jaringan Atmaja Group akan membuka banyak pintu untuk bisnis perfilmanku. Tapi lebih dari itu, Clara. Ini juga tentang masa depanku, masa depan keluarga. Ada beberapa hal yang tidak bisa kubagikan secara detail padamu, setidaknya untuk saat ini.” Ia menatap Clara serius. “Tapi satu hal yang perlu kau tahu, ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Ini adalah sebuah kesepakatan.”
“Kesepakatan apa?” Clara memajukan tubuhnya, rasa ingin tahu menguasai dirinya.
Gerald ragu sejenak. “Kami tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Ini pernikahan di atas kertas. Hanya untuk tujuan bisnis, dan beberapa urusan keluarga. Tidak ada ikatan emosional, tidak ada kewajiban layaknya suami istri pada umumnya. Kami bahkan tidur di kamar terpisah.”
Clara mendengarkan dengan saksama. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Jadi, kamu ingin mengatakan bahwa statusmu sebagai ‘suami orang’ itu hanya sebatas gelar belaka? Dan… tidak akan mempengaruhi arrangement kita?” Pertanyaan terakhir itu dilontarkannya dengan nada rendah, hanya untuk telinga Gerald.
“Kurang lebih seperti itu,” Gerald mengangguk, mengerti maksud tersirat Clara. “Dan aku ingin kamu memahaminya. Kita… kita tetap bisa seperti biasa. Tidak ada yang berubah di antara kita. Asal kamu mau.”
Clara mengangkat alis. “Bagaimana kamu yakin, tidak ada yang berubah?” Clara tertawa kecil, ada sedikit getir di dalamnya.
Gerald menyadari maksud Clara. “Hubungan kita di perusahaan sangat dekat, Clara. CEO dan CCO adalah kesatuan yang solid dan tidak akan berubah.” Ia menghentikan ucapannya sejenak, menatap Clara. “Aku datang kesini untuk membahasanya. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman. Aku akan memastikan bahwa Elena tidak akan pernah curiga.”
Clara tersenyum, senyum nakal yang biasa ia tunjukkan saat mencoba menggoda Gerald, namun kali ini ada sedikit kecurigaan di dalamnya. “Kamu takut dia cemburu? Atau kamu takut dia akan menuntut ‘kewajiban’mu sebagai suami?”
“Bukan itu masalahnya,” Gerald membalas. “Aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman. Aku tidak ingin ini menjadi rumit dari yang seharusnya. Kau tahu aku benci drama.”
Clara mengangguk perlahan. “Aku mengerti. Jadi, intinya kau ingin memastikan aku tidak akan bertindak di luar batas, begitu? Tidak akan menuntut lebih? Dan tidak akan mengganggu status pernikahanmu yang… convenient ini?”
“Aku hanya ingin kita tetap berada di jalur yang sama,” Gerald menjawab tegas. “Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya. Aku tidak ingin mendengar desas-desus yang salah. Dan aku ingin kamu tahu, bahwa ini tidak mengubah keinginan itu,” Gerald sedikit mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah.
“Jadi, kau datang ke sini hanya untuk mengklarifikasi statusmu sebagai ‘suami orang’ yang tidak sungguhan dan memastikan arrangement kita tetap berjalan?” Clara terkekeh, ada nada pedih dalam tawanya. “Baiklah, aku menghargai itu. Setidaknya kau masih menganggapku penting untuk memberitahuku secara langsung, dan masih menginginkanku.”
“Tentu saja kamu penting, Clara,” Gerald berujar pelan, menatap mata Clara. Ada kehangatan dalam tatapannya yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. “Aku tidak akan membiarkan pernikahan ini merusak itu. Dan ya, aku masih menginginkanmu, jika kamu masih mau.”
Clara balas menatap Gerald. Ada jeda panjang di antara mereka, diisi oleh keheningan yang sarat makna. Sebuah keheningan yang hanya bisa tercipta di antara dua orang yang telah berbagi begitu banyak hal dalam hidup. “Baiklah, Gerald,” Clara memecah keheningan. “Aku pegang janjimu. Dan aku juga berjanji padamu, aku tidak akan membuat masalah. Aku akan bersikap profesional. Tapi jika kau butuh tempat untuk bersembunyi dari kenyataan, dan dari… kewajibanmu, apartemenku selalu terbuka untukmu.” Clara mengedipkan mata.
Gerald tersenyum tipis, sebuah senyum lega yang langka. “Terima kasih, Clara. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu.” Ia bangkit dari sofa. “Aku rasa, itu saja yang ingin kubicarakan.”
“Secepat itu?” Clara mengangkat alis.
Gerald mengangguk. “Ya. Ini masih hari pertama. Aku tidak ingin ada wartawan ataupun publik yang melihat.”
Clara menipiskan bibir, mengetahui pentingnya posisi keluarga Mahatma dan Atmaja di negeri ini. Ia mengantar Gerald sampai ke pintu. “Baiklah. Hati-hati di jalan, suami orang.”
Gerald menggelengkan kepala, senyum kecil di bibirnya. “Sampai nanti, Clara.” Gerald kembali memberikan pelukannya kepada Clara. Setelahnya, ia berbalik dan berjalan menuju lift, meninggalkan Clara yang maisih berada di ambang pintu.
Hubungan mereka memang tidak akan pernah sesederhana ‘teman’ atau bahkan hanya ‘teman tidur’. Dan Gerald tahu, Clara akan selalu menjadi satu-satunya wanita yang benar-benar memahami setiap sisi dirinya, bahkan sisi yang ia sembunyikan dari semua orang, sekaligus menjadi pilar penting dalam karier dan kehidupan pribadinya.
***
Satu jam kemudian.Jakarta diguyur hujan deras. Lampu-lampu jalan berpendar buram di balik kaca mobil yang dipenuhi titik air.Gerald duduk di kursi belakang, ponsel di tangannya terus berdering. Lucas di depan sedang menelpon orang-orang kepercayaannya, menyebarkan perintah langsung dari Gerald Mahatma: Cari Elena. Gunakan semua sumber daya. Aku tidak peduli berapa biayanya.Gerald sendiri hanya diam, matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya berlari jauh. Tangannya menggenggam cincin pernikahan di jari manisnya. Ia menahan napas panjang, seolah mencoba bertahan dari kepanikan yang menelan seluruh tubuhnya.“Pak…” Lucas menoleh. “Saya sudah hubungi tim keamanan internal Maha Pictures, juga pihak keamanan apartemen. Semua disiagakan. Bahkan saya sudah kontak teman saya di kepolisian.”Gerald masih diam. Lalu, perlahan ia berkata, suaranya nyaris bergetar. “Kalau dia terluka, Lucas…” Ia berhenti sebentar, lalu menatap bawahannya dengan tatapan yang belum pernah terlihat sebelu
Langit Jakarta sore itu tampak mendung, awan kelabu menggantung berat di atas gedung-gedung tinggi. Hujan seperti menahan diri di udara, menunggu waktu untuk turun. Suasana di Atmaja Televisi pun sama suramnya — sibuk, tapi menegangkan tanpa alasan yang jelas.Elena baru saja menyelesaikan rapat dengan tim acara. Ia tampak sedikit lelah, namun tetap menjaga senyum. Beberapa kru menyapanya saat ia keluar dari ruang meeting lantai lima, dan Elena sempat melambaikan tangan dengan sopan.“Bu Elena, mau saya bantu bawakan dokumennya?” tanya Rani, sekretaris pribadinya.Elena menggeleng lembut. “Tidak perlu, Ran. Kamu istirahat saja. Aku hanya mau turun ke lobby sebentar.”Rani mengangguk. “Baik, Bu.”Elena melangkah ke lift dengan tumpukan berkas di tangan. Pikirannya masih sibuk menimbang revisi rundown untuk acara mendatang. Ia bahkan tidak memperhatikan ketika seseorang mengenakan topi hitam dan masker wajah berdiri di dekat lift bersamanya — hanya sekadar mengira itu tamu kantor.Lift
Udara di kota itu terasa hangat dan lembap, menyelimuti seluruh area hotel tempat Gerald menginap. Dari jendela kamar lantai dua belas, terlihat gemerlap lampu kota yang tak pernah benar-benar gelap. Tapi bagi Gerald, pemandangan itu tak memberi ketenangan apa pun.Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar laptop yang penuh laporan produksi film. Di depannya, beberapa berkas terbuka, tapi matanya kosong — pikirannya tak sepenuhnya di sini.Sebuah pesan dari Elena muncul di layar ponsel.Elena: “Sudah selesai meeting-nya?”Elena: “Jangan lupa makan malam, ya.”Gerald tersenyum tipis, lalu mengetik cepat.Gerald: “Sudah. Aku mau makan habis ini. Kamu sudah makan, Sayang?”Tak lama, balasan muncul.Elena: “Sudah. Jangan khawatir.”Namun entah kenapa, Gerald tetap tidak bisa berhenti khawatir.Ia menatap layar ponsel itu lama, jari-jarinya mengetuk ringan meja.Biasanya, setiap kali Elena mengirim pesan, ada sedikit emoji atau tanda yang menunjukkan perasaannya — entah senyum, tanda hati, a
Udara sore di Jakarta perlahan berubah lembap. Hujan baru saja turun sebentar, meninggalkan aroma tanah basah yang lembut menembus jendela apartemen. Langit tampak pucat keabu-abuan, dan cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menandakan datangnya malam yang tenang.Elena sedang di dapur, menyiapkan teh chamomile — minuman favorit Gerald setiap kali ia merasa tegang menjelang perjalanan jauh. Sementara dari arah ruang kerja, terdengar suara suaminya sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon, suaranya berat dan tegas, khas Gerald ketika berbicara urusan bisnis.Tak lama kemudian, pintu ruang kerja terbuka. Gerald keluar, masih mengenakan kemeja biru tua yang bagian lengannya digulung sampai siku. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan ketenangan yang hanya ia miliki.Elena menoleh sekilas, tersenyum kecil. “Sudah selesai rapat virtualnya?”Gerald mengangguk sambil duduk di kursi makan. “Ya, baru saja. Tapi… ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”Nada suaranya
Dua hari setelah pertemuan itu di Café Aurelia, Clara masih belum tenang.Setiap kali ponselnya bergetar, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.Ia tahu Leo akan menghubunginya lagi — dan entah kenapa, sebagian dari dirinya menunggu hal itu terjadi.Dan benar saja.Sore itu, saat ruang rapat Maha Pictures baru saja kosong dan Gerald kembali ke ruang kerjanya, notifikasi pesan masuk membuat Clara menghentikan langkahnya.LEO: “Sudah waktunya kau membuktikan dirimu berguna.”Clara menatap layar lama, jemarinya kaku.Ia menatap pintu ruang kerja Gerald yang tertutup rapat, lalu menjawab cepat.CLARA: “Apa maksudmu?”LEO: “Aku butuh sesuatu yang hanya bisa kau dapatkan — jadwal Gerald selama dua minggu ke depan.”Clara menelan ludah. Jadwal pribadi Gerald?Itu bukan hal yang sulit untuknya — Lucas, sekretaris pribadi Gerald, sering menyalin file jadwal untuknya jika ada urusan produksi atau promosi. Tapi sekarang, tujuannya berbeda.Tujuan ini… berbahaya.CLARA: “Untuk apa kau mem
Pagi itu Jakarta terasa tenang. Sinar matahari menyusup dari balik tirai kamar, menyentuh permukaan selimut dengan lembut. Suara burung yang bertengger di balkon terdengar samar bercampur dengan dengung pelan mesin pendingin udara.Elena membuka mata pelan. Cahaya hangat menimpa wajahnya, dan pandangan pertama yang ia lihat adalah Gerald — masih tertidur di sebelahnya, tubuhnya miring menghadapnya. Napasnya tenang, dalam, dan bibirnya sedikit terbuka.Elena tersenyum kecil. Ia memperhatikan wajah itu beberapa detik — garis rahang yang tegas, rambut sedikit berantakan, dan ekspresi damai yang jarang muncul di wajah seorang CEO yang selalu tampil tangguh. Ia lalu duduk perlahan, memastikan tidak membangunkannya, dan meraih ponsel di nakas.Notifikasi muncul beruntun — beberapa pesan kerja dari tim Atmaja Televisi, jadwal meeting, dan satu notifikasi yang membuatnya tiba-tiba berhenti bergerak.Nomor tak dikenal.Pesan itu hanya satu baris.“Kalian terlihat bahagia kemarin malam. Tapi ak







