Share

Bab 6 Rahasia Gerald

Author: yourayas
last update Last Updated: 2025-06-27 21:32:01

Percakapan pada pagi menuju siang itu telah selesai. Tidak ada perlawanan ataupun bantahan dari bibir Elena. Membuat Gerald cukup mengerti bahwa kesepakatan yang terjadi beberapa menit lalu akan menguntungkan perempuan itu.

Tatapan Gerald terpaku, memandang punggung Elena yang hilang dibalik pintu. Perempuan itu berjalan masuk ke kamarnya dengan langkah tegas, seakan tidak ingin berlama-lama dengan Gerald. Menyisakan ruangan televisi yang lebih tenang dari sebelumnya.

Gerald menyandarkan punggungnya di sofa, masih memperhatikan layar televisi. Kali ini pada channel Atmaja Televisi yang memiliki program berita paling menarik dan modern saat ini. Harus diakui, pekerjaan Elena sebagai CEO memang sangat baik.

Bertepatan dengan iklan yang terputar pada layar, handphone Gerald yang terletak diatas meja turut menyala. Menampilkan sebuah notifikasi pesan. Helaan napas Gerald terdengar, melihat notifikasi paling atas.

Clara Angelina: send a photo

Clara Angelina: wow, cukup asing rasanya sekarang harus memanggilmu ‘suami orang’

Gerald kembali menghela napas. Memilih untuk tidak membalas pesan-pesan tersebut, tetapi langsung menekan tombol dial. Ada beberapa hal yang tidak cukup dibahas melalui pesan. Terkadang harus dibicarakan.

Tak lama, sambungan telepon itu diterima. Gerald tersenyum tipis. “Kamu mau bertemu? Sepertinya kita perlu membahas sesuatu,” ujar Gerald tanpa banyak prolog di depan. Seperti kebiasaannya.

“Datanglah ke apartemenku.”

Gerald tersenyum tipis. “Fine,” sambungan telepon itu diputus oleh penerima, seperti tidak ingin bernegosiasi lama-lama. Gerald meraih remote televisi dan mematikannya, berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

***

Perjalanan menuju apartemen Clara tidak memakan waktu yang lama. Gerald mengemudikan mobilnya dengan tenang, pikirannya sibuk menyusun poin-poin yang perlu dibahas dengan Clara. Clara adalah Chief Creative Officer (CCO) di Maha Pictures. Posisi Clara menempatkannya begitu dekat dengan Gerald. Clara merupakan tangan kanan Gerald dalam segala urusan kreatif dan strategi perusahaan.

Hubungan mereka adalah jalinan kompleks antara rekan bisnis dan sahabat lama. Lebih kompleks dari itu, beberapa orang yang mengenal mereka, menyebutkan bahwa hubungan Gerald dan Clara adalah sebagai 'teman tidur'. Sebuah pengaturan yang tidak terucap namun saling dipahami, memenuhi kebutuhan tanpa ikatan emosional yang rumit.

Setelah memarkir mobil, Gerald berjalan menuju lobi apartemen. Dirinya langsung disambut oleh tatapan resepsionis yang sudah mengenalnya. Gerald mengangguk sekilas sebelum naik ke lantai dua belas, tempat unit apartemen Clara berada.

Pintu unit terbuka bahkan sebelum Gerald sempat mengetuk. Clara berdiri di ambang pintu, mengenakan oversized hoodie dan celana training abu-abu. Rambut hitamnya diikat asal-asalan, menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan sesi olahraganya. Senyum tipis terukir di bibirnya, namun matanya memancarkan sesuatu yang lebih dari sekadar sapaan ramah.

“Tumben cepat sekali?” nadanya santai seperti biasa, merentangkan tangan menyambut Gerald ke dalam pelukan.

Gerald tersenyum, membalas pelukan Clara dan mengusap rambutnya pelan. “Kamu tahu, aku paling tidak suka membuang waktu,” jawab Gerald sambil melangkah memasuki apartemen Clara yang selalu rapi dengan sentuhan minimalis yang elegan.

Clara menutup pintu dan berbalik, bersandar pada daun pintu sambil melipat tangannya di dada. “Jadi, apa yang begitu penting hingga harus dibahas langsung dan tidak bisa lewat pesan?” Matanya menyorot Gerald, mencoba membaca ekspresi di wajah pria itu.

Gerald berjalan menuju sofa di ruang tamu, menjatuhkan diri dengan nyaman. “Pesanmu… ‘suami orang’. Itu yang ingin kubahas.”

Clara tertawa kecil, suara tawanya sedikit serak. “Memangnya kenapa? Bukankah itu kenyataan?” Ia melangkah ke dapur kecil, mengambil cangkir dari rak. “Mau kopi?”

“Boleh,” Gerald mengangguk. “Tapi serius, Clara. Aku tahu kamu bukan tipe orang yang mudah mengungkit hal-hal sensitif seperti itu. Apa maksud di balik pesanmu? Dan foto yang kamu kirim…”

Clara menuangkan kopi ke dalam dua cangkir dengan tenang. “Tidak ada maksud apa-apa, Gerald. Aku hanya… sedikit terkejut. Kita sudah cukup dekat, bahkan terlalu dekat untuk hal-hal yang tidak diketahui orang awam. Dan tiba-tiba kamu menikah dengan Elena Atmaja, tanpa kabar, tanpa undangan, tanpa pemberitahuan sedikitpun kepadaku. Bahkan aku tahu dari media massa, lengkap dengan foto-foto mesra kalian.”

Clara mendekat, membawa dua cangkir kopi dan meletakkannya di meja. “Duduklah. Jangan seperti ingin cepat kabur. Kecuali kamu ingin mingle.” Ada senyum menggoda di bibirnya.

Gerlad meraih cangkirnya, menghirup aroma kopi. “Aku tidak berniat untuk kabur. Dan, kamu perlu tahu, Clara,” ujar Gerald menyesap kopinya sebelum memandang Clara. “Pernikahan ini… bukan seperti yang kamu bayangkan.”

Clara mengangkat alisnya. “Oh ya? Lalu seperti apa? Pernikahan bisnis? Pernikahan karena perjodohan konyol dari orang tua kalian yang super ambisius? Aku sudah menduga. Tapi tetap saja, Gerald. Pada akhirnya, kamu melakukannya. Tanpa memberitahuku sebelumnya. Bahkan… malam itu.” Clara menatapnya tajam, mengacu pada malam terakhir mereka bersama sebelum berita pernikahannya tersebar.

Gerald menghela napas. “Maaf. Aku salah karena tidak memberitahu secara langsung. Tapi, ini memang hanya pernikahan bisnis, Clara. Dan aku… tidak berada pada posisi aman untuk bisa menolak.

“Seorang Gerald Aiden Mahatma tidak bisa menolak?” Clara menggelengkan kepala, ada sedikit kekecewaan dan rasa dikhiniati tersirat di suaranya. “Aku tahu kamu tidak akan mau melakukan sesuatu yang tidak menguntungkanmu. Jadi, apa keuntunganmu dari pernikahan ini? Selain tentu saja, akses ke seluruh jaringan Atmaja Group yang kamu idam-idamkan sejak dulu?”

Gerald meletakkan cangkirnya. “Itu salah satunya. Jaringan Atmaja Group akan membuka banyak pintu untuk bisnis perfilmanku. Tapi lebih dari itu, Clara. Ini juga tentang masa depanku, masa depan keluarga. Ada beberapa hal yang tidak bisa kubagikan secara detail padamu, setidaknya untuk saat ini.” Ia menatap Clara serius. “Tapi satu hal yang perlu kau tahu, ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Ini adalah sebuah kesepakatan.”

“Kesepakatan apa?” Clara memajukan tubuhnya, rasa ingin tahu menguasai dirinya.

Gerald ragu sejenak. “Kami tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Ini pernikahan di atas kertas. Hanya untuk tujuan bisnis, dan beberapa urusan keluarga. Tidak ada ikatan emosional, tidak ada kewajiban layaknya suami istri pada umumnya. Kami bahkan tidur di kamar terpisah.”

Clara mendengarkan dengan saksama. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Jadi, kamu ingin mengatakan bahwa statusmu sebagai ‘suami orang’ itu hanya sebatas gelar belaka? Dan… tidak akan mempengaruhi arrangement kita?” Pertanyaan terakhir itu dilontarkannya dengan nada rendah, hanya untuk telinga Gerald.

“Kurang lebih seperti itu,” Gerald mengangguk, mengerti maksud tersirat Clara. “Dan aku ingin kamu memahaminya. Kita… kita tetap bisa seperti biasa. Tidak ada yang berubah di antara kita. Asal kamu mau.”

Clara mengangkat alis. “Bagaimana kamu yakin, tidak ada yang berubah?” Clara tertawa kecil, ada sedikit getir di dalamnya.

Gerald menyadari maksud Clara. “Hubungan kita di perusahaan sangat dekat, Clara. CEO dan CCO adalah kesatuan yang solid dan tidak akan berubah.” Ia menghentikan ucapannya sejenak, menatap Clara. “Aku datang kesini untuk membahasanya. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman. Aku akan memastikan bahwa Elena tidak akan pernah curiga.”

Clara tersenyum, senyum nakal yang biasa ia tunjukkan saat mencoba menggoda Gerald, namun kali ini ada sedikit kecurigaan di dalamnya. “Kamu takut dia cemburu? Atau kamu takut dia akan menuntut ‘kewajiban’mu sebagai suami?”

“Bukan itu masalahnya,” Gerald membalas. “Aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman. Aku tidak ingin ini menjadi rumit dari yang seharusnya. Kau tahu aku benci drama.”

Clara mengangguk perlahan. “Aku mengerti. Jadi, intinya kau ingin memastikan aku tidak akan bertindak di luar batas, begitu? Tidak akan menuntut lebih? Dan tidak akan mengganggu status pernikahanmu yang… convenient ini?”

“Aku hanya ingin kita tetap berada di jalur yang sama,” Gerald menjawab tegas. “Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya. Aku tidak ingin mendengar desas-desus yang salah. Dan aku ingin kamu tahu, bahwa ini tidak mengubah keinginan itu,” Gerald sedikit mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah.

“Jadi, kau datang ke sini hanya untuk mengklarifikasi statusmu sebagai ‘suami orang’ yang tidak sungguhan dan memastikan arrangement kita tetap berjalan?” Clara terkekeh, ada nada pedih dalam tawanya. “Baiklah, aku menghargai itu. Setidaknya kau masih menganggapku penting untuk memberitahuku secara langsung, dan masih menginginkanku.”

“Tentu saja kamu penting, Clara,” Gerald berujar pelan, menatap mata Clara. Ada kehangatan dalam tatapannya yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. “Aku tidak akan membiarkan pernikahan ini merusak itu. Dan ya, aku masih menginginkanmu, jika kamu masih mau.”

Clara balas menatap Gerald. Ada jeda panjang di antara mereka, diisi oleh keheningan yang sarat makna. Sebuah keheningan yang hanya bisa tercipta di antara dua orang yang telah berbagi begitu banyak hal dalam hidup. “Baiklah, Gerald,” Clara memecah keheningan. “Aku pegang janjimu. Dan aku juga berjanji padamu, aku tidak akan membuat masalah. Aku akan bersikap profesional. Tapi jika kau butuh tempat untuk bersembunyi dari kenyataan, dan dari… kewajibanmu, apartemenku selalu terbuka untukmu.” Clara mengedipkan mata.

Gerald tersenyum tipis, sebuah senyum lega yang langka. “Terima kasih, Clara. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu.” Ia bangkit dari sofa. “Aku rasa, itu saja yang ingin kubicarakan.”

“Secepat itu?” Clara mengangkat alis.

Gerald mengangguk. “Ya. Ini masih hari pertama. Aku tidak ingin ada wartawan ataupun publik yang melihat.”

Clara menipiskan bibir, mengetahui pentingnya posisi keluarga Mahatma dan Atmaja di negeri ini. Ia mengantar Gerald sampai ke pintu. “Baiklah. Hati-hati di jalan, suami orang.”

Gerald menggelengkan kepala, senyum kecil di bibirnya. “Sampai nanti, Clara.” Gerald kembali memberikan pelukannya kepada Clara. Setelahnya, ia berbalik dan berjalan menuju lift, meninggalkan Clara yang maisih berada di ambang pintu.

Hubungan mereka memang tidak akan pernah sesederhana ‘teman’ atau bahkan hanya ‘teman tidur’. Dan Gerald tahu, Clara akan selalu menjadi satu-satunya wanita yang benar-benar memahami setiap sisi dirinya, bahkan sisi yang ia sembunyikan dari semua orang, sekaligus menjadi pilar penting dalam karier dan kehidupan pribadinya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 36 Kamu Terlihat Cantik

    Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Hari pengumuman akuisisi Atmaja Televisi oleh Mahatma Entertainment. Sejak pagi, apartemen Gerald terasa dipenuhi aura ketegangan yang elektrik. Elena menghabiskan sebagian besar waktu di kamarnya, melakukan panggilan terakhir, memeriksa presentasi, dan mencoba menenangkan diri dari gejolak batin yang tak henti-hentinya. Gaun deep emerald green yang Gerald pilihkan tergantung rapi di lemari, menanti untuk dikenakan.Elena sedang memoles sentuhan terakhir pada riasannya. Matanya tampak lebih dalam dan misterius dengan sentuhan smokey eye tipis, bibirnya dipulas warna nude lembut. Rambutnya sudah ditata rapi dalam sanggul tinggi, menunjukkan leher jenjangnya yang anggun. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, sebuah sosok yang asing namun familiar. Ini adalah Elena versi publik, versi sempurna yang dibutuhkan Gerald.Ia mengambil gaun zamrud itu dari gantungan. Kain satin dingin meluncur mulus di kulitnya saat ia mengenakannya. Seketika, ia merasa gaun it

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 35 Menunggu

    Malam itu, setelah Gerald mengantar Elena kembali ke kantornya, apartemen mewah di puncak gedung pencakar langit itu terasa sepi, namun tidak lagi kosong. Gerald memarkir mobilnya di basement, lalu naik lift dengan langkah-langkah yang, entah mengapa, terasa lebih berat dari biasanya. Ia seharusnya bisa langsung menuju kamarnya, bersantai, membaca laporan, dan mempersiapkan mental untuk hari besar esok. Itulah rutinitasnya. Itulah yang selalu ia lakukan.Namun, malam ini berbeda. Pikiran Gerald terus-menerus kembali pada Elena. Pada gaun zamrud itu, bagaimana gaun itu meluncur anggun di tubuh Elena, bagaimana warna itu menghidupkan matanya, dan bagaimana ia sendiri—Gerald Aiden Mahatma—merasa terpukau. Ia membenci perasaan tidak terkendali ini. Ia membenci fakta bahwa Elena, yang seharusnya hanya menjadi bagian dari kontrak bisnisnya, kini begitu kuat menguasai benaknya.Ia masuk ke apartemen. Lampu di ruang tamu utama masih mati. Keheningan menyambutnya. Gerald bisa saja langsung ke

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 34 Ajakan Makan Siang

    Ketika Elena kembali ke area showroom, Gerald sudah berdiri di meja kasir, kartu kreditnya berada di tangan. Ia tidak bertanya harga. Ia tidak ragu. Ia hanya membeli."Sudah?" Gerald bertanya begitu Elena mendekat, nadanya kembali datar. Ia sudah berdiri di meja kasir, kartu kreditnya baru saja ditarik dari mesin, seolah ia tak sabar untuk meninggalkan tempat itu. "Kita bisa pergi."Gerald tidak menunggu jawaban Elena. Ia hanya berbalik dan berjalan menuju pintu butik. Elena, masih sedikit limbung oleh intensitas momen yang baru saja berlalu, mengikuti di belakangnya. Gerald membuka pintu penumpang untuk Elena, sebuah isyarat yang tidak biasa dari pria itu. Gerald menutup pintu dengan suara pelan, lalu berputar dan masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil menyala, meraung pelan, sebelum melaju mulus membelah jalanan Jakarta yang mulai ramai.Mobil bergerak perlahan di tengah kemacetan kota. Gerald menatap jalanan dengan serius, namun, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Elena, yang

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 33 Gaun Deep Emerald Green

    Siang harinya, setelah perdebatan dengan Leo beserta banyaknya dokumen yang perlu ia tinjau sebelum pengumuman akuisisi besok malam, Elena masih berada di ruangannya dengan segelas kopi yang masih dingin. Berulang kali dia memegang pelipisnya, sedikit pusing dengan banyaknya dokumen yang perlu ia tangani.Ditengah itu semua, telepon di meja Elena berdering. Itu adalah nomor pribadi Gerald. Elena mengangkatnya dengan sedikit bingung. Tidak biasanya pria itu menghubunginya lebih dulu."Elena," suara Gerald terdengar tegas di ujung sana. "Pastikan jadwalmu kosong siang ini pukul dua."Elena mengernyitkan dahinya. "Ada apa, Gerald? Aku ada jadwal rapat dengan tim promosi sore ini.""Batalkan," Gerald membalas tanpa basa-basi. "Aku ingin kamu ikut ke butik."Elena terdiam? Ia selalu mengelola penampilannya sendiri, memilih busana untuk setiap acara, disesuaikan dengan peran dan citra yang ingin ia sampaikan. Gerald tidak pernah mencampuri urusan ini. "Untuk apa?" tanyanya, nada suaranya se

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 32 Hubungan Toxic Elena dan Leo

    Pagi hari terasa seperti fajar yang membawa beban ganda bagi Elena. Secara profesional, ia merasa bersemangat untuk pekan yang akan datang—pengumuman akuisisi Atmaja Pictures oleh Mahatma Entertainment adalah puncak kariernya yang gemilang. Namun, secara pribadi, jiwanya terasa tercabik. Bayangan wajah terluka Leo di pelataran gereja, kontras dengan khotbah Pastor yang menusuk tentang hati yang terpecah, terus menghantuinya. Dan, anehnya, pujian tak terduga dari Gerald di hadapan orang tuanya telah menambahkan lapisan kerumitan baru pada ikatan palsu mereka.Ia duduk di kursi kerjanya yang ergonomis di kantornya yang mewah di pusat kota Jakarta, menatap layar monitor yang menampilkan detail-detail terakhir untuk acara hari Selasa. Jemarinya menari di atas keyboard, mengetik email dengan cekatan.Ponsel di mejanya tiba-tiba bergetar, menampilkan nama yang seketika membuat jantungnya berdesir tak nyaman, namun juga membawa sedikit rasa rindu yang terlarang: Leo. Elena menatap nama itu s

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 31 Makan Siang Keluarga

    Mereka duduk mengelilingi meja makan bundar berukir, yang dilapisi taplak brokat mewah. Aroma hidangan modern yang dimasak oleh Isabella memenuhi ruang makan, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan ketegangan tak terlihat antara Gerald dan Elena. Percakapan mengalir santai tentang topik umum, seperti cuaca dan rencana liburan keluarga yang belum terealisasi, sampai akhirnya Darius mengarahkan pembicaraan ke wilayah yang lebih familiar bagi Gerald.“Gerald,” Darius memulai, menyesap teh melatinya sambil menatap Gerald. "Dengar-dengar proyek film barumu akan segera masuk pra-produksi penuh, Gerald?" Darius kini menoleh, mengalihkan topik ke hal yang lebih 'aman'. "Liam Alexander adalah aktor yang hebat. Mama dan Papa sudah tidak sabar menunggu hasilnya."Gerald merasa lega. Ini adalah wilayahnya. "Iya, Pa. Kami akan mulai bekerja keras minggu depan. Liam memang aset yang luar biasa." Ia tidak menyebutkan masalah kampanye promosi yang sempat membuatnya pusing, atau bagaimana ide E

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status