Share

Bab 5

Author: Vannisa
Maggie berjalan dengan canggung dan mengikuti Edgar naik ke lantai atas. Mereka melewati lorong panjang dengan gaya arsitektur Morisia yang klasik. Suara gaunnya yang terseret di lantai kayu cokelat tua adalah satu-satunya suara yang terdengar di ruangan yang sunyi.

Edgar hanya diam saja sepanjang jalan. Saat ini, dia mengetuk pintu di ujung lorong, lalu berbalik untuk memberi tahu, "Pakaian bersihnya sudah disiapkan. Silakan masuk."

[ Makasih. ]

Edgar pun menghilang di ujung lorong. Maggie tidak bisa lagi mengenakan gaun kotor itu. Dengan napas dalam-dalam, dia membuka pintu kamar yang sedikit terbuka dengan tangan yang gemetar.

Masih dengan dekorasi bergaya Morisia klasik, ruangan yang luas ini dipenuhi dengan aroma kayu pinus yang dingin. Entah kenapa, bau itu begitu familier bagi Maggie.

Di bagian pintu masuk, ada ruang pakaian pria dengan deretan kemeja putih dan jas yang tersusun rapi. Sementara itu, meja kaca bagian tengah terisi dengan jam tangan mewah yang harganya tidak murah.

Maggie merasa seperti memasuki wilayah orang lain. Dia dengan hati-hati berdiri di tempat dan tidak berani melangkah lebih jauh. Sebab, ini adalah kamar pria.

"Kamu bakal pakai gaun kotor itu terus?" Mendengar suara itu, kenangan muncul begitu saja dalam pikiran Maggie. Dia bahkan mundur secara refleks. Itu adalah suara pria pada waktu itu.

Easton memblokir jalan keluarnya dan memandangnya dengan mata memicing. Pandangan mereka pun bertemu sebentar. Wajah Maggie langsung memucat. Tanpa sadar, dia mundur dua langkah.

Easton memegang pergelangan tangan Maggie dengan kuat. Matanya menelusuri wajah cantik yang memikat itu, lalu berhenti di perut Maggie yang rata. Ekspresinya berubah-ubah, lalu dia mendadak bertanya, "Punya siapa?"

Maggie hanya menatapnya dengan bingung. Dia sama sekali tidak mengerti maksudnya. Easton mendekat langkah demi langkah dan memaksa wanita itu terpojok di sudut lemari.

Perbedaan ukuran tubuh mereka sangat jelas. Maggie tidak bisa melawan penahanan pria itu. Yang bisa dia lakukan hanya memalingkan wajahnya dengan keras kepala untuk menghindari napas berat dan tatapan tajamnya.

Easton merangkul pinggang Maggie dengan kedua tangan, lalu mengangkatnya ke atas hingga wanita itu duduk di atas lemari dan sejajar dengannya.

Easton lalu menopang tubuh Maggie dengan kedua tangan di lemari dan menatap matanya sambil bertanya, "Itu anaknya pria liar mana?"

Maggie akhirnya memahami maksudnya. Dia dengan marah menutup perutnya, lalu menatapnya dengan penuh kebencian. Dia tetap diam, sementara Easton tidak punya kesabaran atau temperamen yang baik. Dengan kasar, dia memegang pergelangan tangan Maggie sambil menggertak, "Jawab aku."

Di ruang yang sempit itu, gaun kotor Maggie mengeluarkan bau sampanye dan kaviar yang amis. Suasana ini jelas tidak ada unsur romantisnya sama sekali.

Bau yang menyengat itu membuat Maggie merasa sangat mual. Dengan sekuat tenaga, dia mendorong pria di depannya dan berlari ke kamar mandi, lalu bersandar di wastafel dan muntah terus-menerus.

Easton berdiri di depan pintu kamar mandi. Raut wajahnya muram dan penuh pertanyaan. Dalam hati, dia tahu jawaban dari pertanyaannya. Malam itu, dia memang tidak memakai pengaman apa pun dan benar-benar membiarkan semuanya terjadi begitu saja.

Easton secara refleks mengambil sebatang rokok dan menggigit ujungnya. Hanya saja setelah melihat wajah Maggie yang pucat, dia segera membuang rokok itu.

"Jangan bermain-main dengan hal seperti ini. Aku sudah sering melihat wanita sepertimu," kata Easton dengan tenang, seolah-olah itu bukan urusannya. Dia melanjutkan, "Jangan kira bisa naik posisi cuma karena hamil. Malam itu, aku ada pakai pengaman."

Easton tidak menyebutkan bahwa dirinya dulu pernah didiagnosis mandul oleh dokter. Dia hanya membuat-buat alasan untuk menyingkirkan wanita itu.

Maggie menutup keran air dan memandang wajah dinginnya di cermin. Dia teringat ucapan Easton tentang "pria liar", lalu berbalik dengan senyum pahit.

[ Aku nggak hamil. Aku juga nggak berniat melahirkan anak dari orang seperti kamu. ]

Easton mengerutkan kening. Kesabarannya sudah hampir habis karena wanita ini. "Aku nggak ngerti, tapi jangan harap bisa naik posisi cuma karena seorang anak."

Easton pun menenangkan diri dan teringat dengan apa yang dikatakan Lucano sebelumnya. Katanya, wanita yang diatur pada malam itu sudah diberikan sejumlah uang yang sangat besar.

Jelas-jelas wanita ini dibayar untuk tidur dengannya, tetapi saat bangun malah berpura-pura seperti seseorang yang suci. Kemudian dengan penuh perhitungan, dia menyusup ke dalam pesta ulang tahun Hamdan dan memainkan trik tarik ulur.

Tindakan Maggie terhenti sejenak. Dia lalu mencari kertas dan pulpen di dalam kamar, lalu menunduk dan menulis dengan serius.

[ Tenang saja. Aku nggak akan ganggu kamu. Aku juga nggak berniat melahirkan anak untukmu. ]

Tulisan tangan Maggie tegas dan kuat, seolah-olah dia pernah mempelajari kaligrafi. Easton menatap tulisan yang melengkung di atas kertas itu. Sungguh sulit untuk mengaitkan tulisan yang indah ini dengan wanita yang tampaknya lemah dan kurus di depannya.

Easton hanya melirik sekilas, lalu meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dia memberi tahu, "Pakaiannya ada di atas ranjang. Gantilah dan keluar."

Maggie tidak berniat berdebat. Gaun yang berat dan rumit itu penuh dengan bau amis ikan dan kotoran. Setelah memastikan pria itu keluar, dia membawa pakaian itu ke kamar mandi.

Di rumah Keluarga Devantara, tidak ada pakaian wanita muda. Namun sesuai dengan perintah dari Hana, Edgar menyiapkan sebuah kebaya. Bahan dan desainnya tidak kuno, serta dijahit dengan tangan oleh tukang jahit berpengalaman.

Kebaya itu terbuat dari kain sutra biru muda yang sangat berkualitas, lalu dipotong oleh tukang dari daerah khusus dengan model lengan pendek yang terbuka di depan. Itu membuat tubuh Maggie terlihat ramping dan indah, serta begitu anggun dan memikat.

Setelah siap, Maggie keluar dengan gaun kotor di tangannya. Pria itu sudah berdiri di dekat dinding dan sepertinya kehilangan kesabaran. Hanya saja ketika mendengar suara langkah Maggie, pandangannya langsung tertuju padanya.

Easton awalnya memang kehilangan minat. Namun, urusan dengan wanita ini membuatnya menjadi gelisah dan bingung. Dia bersandar dengan malas di dinding. Setengah batang rokok masih terselip di jari-jarinya. Asapnya perlahan-lahan menghilang, lalu dia melihat dengan jelas wajah dan tubuh wanita itu ....

Kulitnya yang putih dan halus, leher panjangnya yang sempurna, rambut panjang yang diikat rapi, serta dipadukan dengan kebaya biru muda yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Pandangan Easton mengikuti lekukan tubuhnya yang bergerak naik turun di bagian dada, lalu berhenti di pinggang rampingnya, dan akhirnya di pergelangan kakinya yang tipis.

Pandangan Easton seolah ingin menelannya hidup-hidup. Maggie secara tidak sadar menutupi dirinya dengan gaun kotor itu. Ekspresi canggung dan malu wanita itu membuat Easton teringat pada malam ketika mereka tidur bersama.

Bahkan dengan pencahayaan yang remang-remang, Easton masih mengingat jelas ekspresi menggoda yang ditunjukkan wanita itu. Setiap sudut kulit tubuhnya, setiap lekukan tubuhnya, semuanya tetap teringat dengan sempurna.

Mata Maggie yang lembap, bibir merahnya, rambut panjangnya yang beraroma bunga sedap malam, ekspresi gugupnya, kuku yang mencakar punggungnya, dan gigitan di tenggorokannya ....

Easton pun menelan ludah, lalu secara tidak sadar melihat wanita yang mengenakan kebaya ini dan membandingkannya dengan wanita yang sama pada malam itu. Sungguh wanita yang penuh pesona dan daya tarik.

Keinginan Easton yang terpendam selama bertahun-tahun sepertinya terbangun kembali. Sejak peristiwa itu, dia selalu menghindari hubungan fisik dengan wanita. Malam itu hanyalah sebuah kecelakaan yang dipicu oleh alkohol. Namun wanita ini, dari ujung kepala hingga ujung kakinya, bahkan rambutnya saja bisa membangkitkan hasratnya.

Easton mematikan rokok itu dan membuangnya ke dalam sebuah benda antik yang terletak di samping koridor, seolah-olah itu adalah tempat sampah. Tindakannya membuat Maggie sedikit ragu. Dia bertanya-tanya apakah porselen biru dan putih itu adalah benda antik yang sangat berharga atau hanyalah tempat sampah miliknya.

Saat Maggie sedang berpikir diam-diam, matanya bertemu dengan pandangan sinis Easton. "Apa yang kamu lakukan untuk bisa masuk ke sini?"

Maggie berpikir sejenak. Dia ragu apakah harus mengatakan bahwa dia mewakili divisi kredit dari Bank Maxi. Tanpa sadar, dia pun menggunakan bahasa isyarat. Easton segera mendesak dengan tidak sabar, "Sudahlah, jangan pakai bahasa isyarat lagi. Aku nggak mengerti itu. Kamu lebih baik menepati janjimu."

Sebelum Maggie sempat menjawab, Easton melirik perutnya dengan dingin, lalu berbalik dan melangkah pergi.

Sementara itu, Maggie sengaja menjaga jarak dengannya. Dia mengikuti Easton dengan langkah yang tidak terlalu dekat, tetapi masih berada di belakangnya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 108

    Owen sengaja mengarahkan balik sindirannya pada pria yang tadi mencoba memecah belah. "Aku bahkan hampir lupa memberi selamat pada Pak Ollie barusan."Kalau pria itu berani menyahut, bukankah sama saja dengan mengakui di depan umum bahwa promosi yang dia dapat adalah hasil "merebut"?Di dalam lift banyak karyawan dari berbagai departemen, tetapi semua memilih bungkam. Mereka hanya saling melempar kode lewat tatapan mata. Pria itu akhirnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya nyengir dengan canggung sebelum kembali terdiam.Maggie baru sadar, pria itu ternyata adalah Ollie, Manager Departemen Pemasaran. Secara teori, memang pesaing langsungnya dalam promosi.Lift turun ke lantai bawah tanah. Mayoritas karyawan sudah keluar di lantai dasar, tersisa hanya beberapa orang saja.Maggie berjalan langsung ke tempat parkirnya dan menekan tombol unlock. Namun, Ollie tiba-tiba mengadang di depan mobilnya dan berkata dengan sinis, "Wah, mobilnya bagus juga ya. Lihat dari fiturnya ini pasti k

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 107

    Keduanya menunggu di depan lift. Di samping mereka ada beberapa rekan kerja dari departemen lain. Setelah saling menyapa singkat, suasana kembali canggung.Ding ....Lift turun ke lantai 15.Jam pulang kantor, lift penuh sesak oleh pegawai bank berseragam. Meski dari departemen berbeda, semua saling menyapa dengan akrab. Maggie menganggukkan kepala satu per satu dengan ramah, hingga akhirnya pandangannya jatuh pada seorang pria yang sedang menatapnya.Karyawan di kantor pusat bank mencapai seribu orang. Maggie jarang sekali ikut kegiatan gathering atau makan malam departemen. Lima tahun ini, dia selalu pintar menghindari berbagai acara sosial.Ada untung ruginya. Untungnya, dia tidak perlu berpura-pura ramah dan tidak perlu menguras energi untuk menjaga hubungan yang tak penting. Dia memiliki banyak ruang pribadi, bisa memakai waktunya untuk mengembangkan diri, bersantai, atau sekadar hiburan.Namun sisi buruknya juga fatal. Masuk tahun kelima bekerja, dia nyaris tidak mengenal siapa p

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 106

    Easton terluka parah, kemungkinan besar acara itu akan ditunda atau bahkan dibatalkan. Bagaimanapun, pesta akhir tahun perusahaan hanyalah acara internal. Yang paling dipedulikan karyawan hanyalah bonus dan tunjangan, ada atau tidaknya seremoni tampaknya tidak sepenting itu.Ternyata Maggie berpikir terlalu jauh. Kamis sore, tepat sebelum jam pulang, Owen tiba-tiba mendorong pintu kantornya. "Kamu nggak lupa, 'kan?"Maggie menoleh padanya dengan wajah penuh tanda tanya. Dia membuka kedua telapak tangan, lalu membaliknya.[ Apa? ]"Gala tahunan Grup Devantara. Aku tahu kamu lagi sibuk menyiapkan sidang promosi, jadi sengaja mengingatkan. Besok pagi kamu nggak perlu ke kantor. Sorenya aku jemput kamu," ujar Owen dengan ramah.Ekspresi Maggie langsung berubah dan buru-buru menggeleng keras.[ Aku sudah pindah rumah, nggak usah repot. Lagi pula aku baru beli mobil kecil buat keperluan sehari-hari, aku bisa datang sendiri. ]Gerakan tangannya cepat. Ekspresinya agak gugup dan bahkan menolak

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 105

    Easton duduk di kursi roda dengan dahi berkerut. Dia menengadahkan kedua tangan dan berkata dengan penuh keluhan, "Apa ini nggak berlebihan? Aku cuma patah tangan, bukan nggak bisa jalan."Kaeso yang mendorong kursi roda itu pun berbisik, "Tadi Bu Intan malah sempat mau minta orang pakai tandu untuk bawa Bapak turun, untung Pak Julian mencegah."Easton menghela napas, "Itu memang gayanya Bu Intan." Dia menoleh ke sekitar untuk mencari sosok Maggie. Wanita itu berjalan sendirian di belakang rombongan. Melihat pemandangan ini membuat dadanya terasa sedikit sesak."Antarkan dia pulang," ucap Easton kemudian dengan nada tidak semangat.Kaeso mengangguk. Dalam hati, dia sangat paham bahwa di keluarga sebesar ini, Maggie tidak akan bisa hidup tenang jika tidak memiliki latar belakang yang sepadan.Sebuah mobil van putih sudah menunggu di depan gedung rawat inap. Easton bangkit dengan wajah menahan sakit. Maggie spontan melangkah maju untuk membantunya, tetapi Devina mengangkat tangan dan men

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 104

    Maggie mengetik di ponselnya.[ Beli makan dan beres-beres itu nggak berat. Sarapan harus dimakan selagi hangat. ]Maggie terlihat sangat terbiasa merawat orang sakit. Easton pun teringat, dia memang punya seorang ayah angkat yang sudah lama sakit. Dari hasil penyelidikan latar belakang, tercatat bahwa setelah umur 17 tahun, Maggie kembali ke orang tua kandungnya, lalu berganti nama menjadi Maggie seperti sekarang.Namun ... bagaimana dengan sebelum 17 tahun itu? Dengan orang tua angkatnya yang berjualan ikan di pasar, kehidupan macam apa yang mereka berikan padanya? Meski hidup penuh kekurangan, Maggie jelas tumbuh dalam kasih sayang.Easton terpaku dalam pikirannya. Sorot matanya saat memandang Maggie pun dipenuhi rasa iba. Tepat saat itu, Kaeso berlari masuk dengan terengah-engah."Gawat, Pak Easton! Berita kecelakaan Bapak nggak bisa ditutupi ... barusan saya lihat di lobi lantai satu ...." Sebelum Kaeso selesai bicara, Hana sudah bergegas masuk dengan bertumpu pada tongkatnya.Eas

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 103

    Sinar matahari yang menyilaukan menembus ke dalam kamar rawat. Easton refleks mengangkat lengan kiri untuk menutupi wajahnya agar tidak terlalu silau.Rasa nyeri dan pegal di bagian bawah tubuh memaksanya tersadar sepenuhnya. Dia menoleh ke samping, lalu mendapati bahwa ranjang pendamping itu terlihat kosong. Bahkan selimutnya pun sudah dilipat rapi.Dia mencoba bangun, tapi luka di perut membuatnya sama sekali tak bisa bergerak.Easton merasa tidak terima. Nama baiknya tidak boleh sampai tercoreng hanya gara-gara aib "mengompol di ranjang rumah sakit". Dengan tekad itu, dia menggertakkan gigi menahan sakit, lalu menggunakan lengan kirinya untuk menopang tubuh dan berusaha duduk perlahan-lahan.Rasa sakit yang hebat menyerangnya dan membuat keringat dingin bercucuran di dahinya. Urat-urat di lengannya menonjol dengan jelas, menandakan betapa berat perjuangannya.Tiba-tiba Maggie berlari masuk dengan panik. Bubur yang dibawanya tumpah berceceran, tetapi dia tidak sempat memedulikannya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status