LOGINTiktok @_destiangraeni
Kegelisahan Aulya tidak nyata karena ternyata rumah keluarga Ibrahim tetap tampak harmonis tanpa kehadiran orangtuanya. Namun, perasaan malu tetap menyelimuti hatinya. Hari ini hujan turun sangat deras, udara dingin menusuk lewat pori-pori. Aulya menyelimuti dirinya dengan kain tebal, cuaca hari ini juga digunakan sebagai alasan untuk menjaga jarak dari kedua mertuanya karena perasaan malu yang selalu menghantuinya.Sementara, Alvan duduk bersama Ibrahim dan Aisyah dengan teh di antara mereka. Laki-laki menyampaikan perasaan Aulya pada keduanya. "Aulya tidak perlu malu ...," jawab Ibrahim dengan santai seiring menyeruput tehnya. Aisyah melanjutkan, "Mungkin Umi juga akan seperti itu jika menjadi Aul, tapi mungkin Aul belum bisa mengontrol perasaan seperti itu." Wanita ini terkekeh seiring menyiapkan segelas teh juga camilan di atas nampan. "Umi akan temani Aul. Kita tidak boleh membiarkan Aul tersiksa dengan perasaannya sendiri."Wajah teduh Aisyah selalu menggambarkan jika Aulya te
Zayden dan Alvan bertemu di lapangan basket. Keduanya saling memandang dengan sengit. “Saya yang akan menang!” ucap Zayden dengan memasang wajah angkuh.Alvan menyahut datar, tetapi tatapannya penuh ambisi dan keyakinan. “Mungkin saya masih bisa mengalah dalam permainan, tapi kalau tentang pernikahan, saya akan memperjuangkan Aul sampai akhir!”Tatapan Zayden semakin mengiris, tetapi suaranya tenang. “Perjuangkan saja Aulya sampai kamu menyerah karena Aulya tetap Venus, punya saya.” Seringainya berkibar.Penat, itu yang dirasakan Alvan. Maka, dia memulai permainan tunggal ini. Pertandingan satu lawan satu hanya dirinya dan Zayden.Kedua lelaki yang memperebutkan skor adalah idol kampus, jadi dengan cepat mengundang penonton kaum hawa maupun kaum adam, begitupun dengan Aulya.“Al!” cemas mengambang di hati dan pikiran Aulya. “Al, kenapa harus main basket, kenapa juga harus lawan Zayden. Gimana kondisi kamu ..., saya takut Zayden menyerang kelemahan kamu ....”‘Mata’ itu adalah kelemaha
Hari berikutnya tiba, maka hari ini Aulya mendapatkan telepon dari Niana. Nada suaranya menekan. “Sayang, kamu ini bagaimana. Mama sama Papa sudah bilang, jangan lupa misi kamu di sana, tapi kenapa sekarang Abinya Alvan jadi tahu dan mengundang kami datang!”“Jangan salahkan Venus ...,” rengeknya.“Mama bukan menyalahkan kamu. Tapi sekarang masalah ini jadi melebar. Mama sama Papa tidak ingin masalah ini berkepanjangan.”“Yang namanya perceraian pasti melibatkan orangtua kan, jadi wajar dong, Ma. Tapi ....” Aulya ragu mengatakan keputusannya.Namun, Niana tidak peduli pada kata setelah ‘Tapi.’ Dia hanya peduli pada perceraian Aulya dan Alvan. “Iya, tapi rencana Mama sama Papa jadi berantakan karena orangtua Alvan tahu lebih awal. Tadinya kami akan datang dan langsung menyelesaikan perceraian. Bukan bicara panjang lebar untuk mempertahankan pernikahan.”Suara Aulya diliputi kekhawatiran, tetapi juga bahagia karena keputusanya mempertahan pernikahan mendapat dukungan dari mertua serta s
Hari ini berbeda dari biasanya karena terjadi pertemuan penting antara Ibrahim dan Aisyah bersama Alvan dan Aulya.Suara Ibrahim menjadi yang pertama mengisi ruangan dan terdengar menggema di telinga Alvan dan Aulya. “Kenapa kalian baru pulang?”Alvan menatap ayahnya saat menjawab walaupun sebelumnya wajahnya sedikit menunduk, “Kami minta maaf, Abi. Kemarin kita pergi mendadak dan mendadak tidak pulang. Kemarin kami menginap.”“Kenapa harus menginap?”Lagi, atmosfer ruangan terasa sangat aneh, dingin. Walaupun saat ini Alvan dan Aulya belum mengetahui maksud Ibrahim mengundang mereka ke ruangan ini. Apa karena kemarin mereka tidak pulang? Tapi harusnya ini sudah bukan hal baru.Lagi, Alvan yang menjawab, “Kalau pulang mungkin akan terlalu malam.”“Terlalu malam atau kalian sengaja menghindari kami, orangtua kalian!” Volume suara Ibrahim bertambah, termasuk ketegasannya hingga membuat Alvan dan Aulya yakin jika saat ini terdapat sesuatu yang belum mereka ketahui.Alvan menyahut santun
“Zayden, kita harus bicara!” ucap tegas Aulya tanpa senyuman, justru raut wajahnya sangat dingin.Zayden menyahut dengan suara lembut disertai senyuman hangat, “Bicara apa?”“Tentang perceraian saya sama Al!” Amarah dilukis Aulya dalam wajah cantiknya, tetapi sikap Zayden tidak berubah.“Saya siap mendengarkan.” Senyuman Zayden semakin hangat.Sejenak, Aulya memandangi sepasang mata Zayden yang hitam legam dan dalam hingga terlihat misterius.“Saya tidak mau bercerai sama Al. Jadi tolong berhenti mengharapkan saya dan bilang sama orangtua kamu, kita tidak akan pernah bercerai!”Aulya pikir Zayden akan terluka dan menunjukan isi hatinya dalam ekspresi seperti yang pernah dilihatnya, tetapi dugaannya salah. Laki-laki ini sangat tegar dan tenang. “Saya akan tetap menunggu kamu. Lagian, bukan saya yang mau kalian bercerai, tapi Mama sama Papa kamu.”“Tapi pasti kamu juga, kan!”Tentu saja Zayden tidak akan mengaku untuk menjaga nama baiknya di hadapan gadis yang diinginkannya. “Jangan nud
Pagi ini raut wajah Aulya sangat cemas setelah membaca chat yang dikirim ibunya semalam. [Papa sudah bicara pada Ustaz tentang perceraian kalian.]Titik-titik keringat dingin bermunculan di puncak dahi Aulya. “Aul tidak mau cerai sama Al ..., tapi kan Aul juga tidak mungkin jadi anak durhaka!”Perasaan gelisah yang menyelimuti hati Aulya semakin tebal tatkala Niana kembali mengirimkan chat setelah tahu putrinya membaca chat semalam. [Jangan lupa misi kamu di sana. Ingat, jangan terbuai oleh apapun yang dilakukan Alvan!]Aulya memperbanyak istigfar yang dilantunkan di dalam hati karena sedang berada di kamar mandi, di depan wastafel.Kedua kelopak matanya tertutup saat Aulya mencoba mencari jalan keluar dari masalah ini hingga akhirnya menemukan solusi yang menurutnya paling mudah. “Saya harus bicara sama Zayden. Saya harus berhasil buat Zayden benci dan akhirnya berhenti menunggu saya cerai sama Al!”Tekadnya sekuat karang di lautan, tetapi ciut seketika saat menatap wajah Alvan karen







