Share

Bagian 4

"Gue dijodohin, kemungkinan bakal nikah dalam waktu dua sampai tiga bulan ke depan," ucap Kanara.

Perempuan di depannya melotot kaget, ia berusaha meneguk airnya di mulutnya dengan susah payah. Merasa tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya. "Jangan bohong lo! Masa tiba-tiba banget sih?"

Kanara menghela napasnya, "Gue gak bohong. Semuanya memang tiba-tiba, bahkan gue sama dia baru kenal semingguan ini."

"Dan lo mau aja?! Lo baru putus dari Randi lho, apa gak trauma buat menjalin hubungan sama orang baru? Apalagi ini pernikahan, bayangin lo harus hidup sama dia seumur hidup, Ra! Bayangin!" seru Alea kesal.

"Gue tau," jawab Kanara seadanya.

Alea makin tak habis pikir dibuatnya, ia memukul meja pelan, bermaksud menyadarkan Kanara tentang pilihannya. "Lo serius nerima perjodohan itu? Sama orang asing, Ra, bayangin lo nikah sama orang asing!"

"Dia bukan orang asing lagi di mata gue, Al.  Namanya Mas Arayi, dia baik, ganteng, perhatian, dan gue rasa gue udah mulai naksir sama dia. Jadi, kenapa gue harus nolak?" balas Kanara anteng.

Alea menepuk jidatnya, ia menyandarkan badannya pada sandaran kursi seraya menatap Kanara aneh. "Cuma gara-gara itu? Cuma gara-gara itu lo nerima perjodohannya?"

Kanara mengangguk polos.

Alea mendengkus kasar. "Lo itu emang bodoh kalau udah menyangkut cowok ya, Ra? Ingat, lo pernah jatuh cinta sama Randi karna di mata lo dia baik, perhatian dan segalanya. Tapi apa? Ujung-ujungnya dia morotin dan selingkuhin lo kan? Lo gak mau belajar dari kesalahan apa gimana sih?!"

"Lo bandingin Randi sama orang yang mau dijodohin sama gue tuh gak apple to apple, Ra. Mas Arayi, orang yang mau dijodohin sama gue, dia beda jauh sama Randi. Dia lebih tua dari gue tujuh tahun, dia dewasa, udah bisa mimpin perusahaan sendiri, dan yang terpenting dia pilihan orang tua gue dan dia kaya. Jadi gue gak perlu khawatir."

Alea menutup matanya, ia menarik napas lalu mengeluarkannya. Matanya melotot memandang Kanara, seakan memberi perempuan itu sebuah pemahaman. "Oke dia kaya dan dia gak bakal morotin lo. Tapi, gimana sama perasaannya? Dia suka gak sama lo? Jangan sampai nanti lo nyesel gara-gara dia gak cinta sama lo. Kita sebagai perempuan tuh butuh dicintai lho, Ra."

Kanara berdecak sebal mendengar perkataan yang dilontarkan Alea padanya. Ia bersedekap, balas memandang Alea dengan kepala miring. "Kami memang sama-sama belum punya perasaan, tapi dia pernah bilang sama gue buat jatuh cinta bareng. Jadi gue gak perlu takut."

Alea diam mendengar itu, ia memainkan bibir bawahnya dengan gigi, lalu melayangkan tanya, "Lo udah cinta belum sama dia?"

Kanara menggeleng, "Cinta sih belum, kalau naksir udah."

"Kalau dia?"

Kanara mengendikkan bahunya, "Gak tau."

Alea kembali mendengkus, "Harus lo pastiin dong, Ra, tanya sama dia. Walaupun banyak kemungkinan baik yang akan datang, lo tetep harus waspada sama kemungkinan terburuknya."

Dahi Kanara berlipat mendengar itu, "Kemungkinan terburuk kaya gimana?"

"Semacam .... gimana kalau dia gak pernah bisa jatuh cinta sama lo?"

...

"Kanara gimana?" Pertanyaan Araya dari seberang sana menyambut indra pendengaran Arayi. Lelaki itu memarkirkan mobilnya ke dalam garasi, lalu keluar dari mobil seraya membawa tas laptop miliknya.

"Baik," jawab Arayi. Kakinya berjalan memasuki rumah yang ia huni selama kurang lebih tiga tahun. Rumah yang akan ia tinggali bersama Kanara setelah menikah nanti.

"Udah mulai suka belum sama dia?" tanya Araya kembali.

Ada jeda setelah pertanyaan yang dilontarkan sang kembaran selagi Arayi meletakkan tas laptopnya ke dalam ruang kerja pribadinya yang ada di rumah. Setelahnya ia berjalan menuju dapur untuk sekedar mengambil minum.

"Dia lumayan menarik. Orangnya cerewet dan manis, cantik juga. Gue gak bohong kalau gue cukup tertarik sama dia. Cuma kalau ditanya udah cinta atau belum, gue gak bisa jawab," kata Arayi setelah menandaskan segelas air.

"Lo gak bisa jawab karna lo memang belum mencintai dia, kan?" tebak Araya yang tepat sasaran.

Arayi bergumam sebagai jawaban, ia lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya untuk segera membersihkan diri. Namun, langkahnya terhenti di tengah jalan saat melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Kernyitan di keningnya muncul dengan rasa penasaran. Arayi ingat bahwa ia tidak menyewa pembantu untuk membersihkan kamarnya. Lalu, kalau begitu siapa yang masuk ke kamarnya sekarang?

"Udah dulu ya, gue mau mandi," ucap Arayi sebelum mematikan panggilannya.

Ia kemudian melanjutkan langkahnya. Pintu kamarnya ia buka dengan lebar tatkala menemukan sang ibu yang sedang membersihkan kamarnya.

"Ma? Kok di sini?" tanya Arayi keheranan.

Wina menoleh, lalu memberikan senyum pada sang putra. "Mama mau bersih-bersih doang kok, soalnya kamar kamu kelihatan kotor banget."

"Kotor? Padahal aku bersihin kamarku setiap hari," kata Arayi. Lelaki itu menatap sekeliling kamarnya yang tampak berbeda setelah dibersihkan oleh Wina.

"Ya, kotor banget di mata Mama," balas Wina dengan makna tersirat.

Arayi mengernyit heran, lalu perhatiannya jatuh pada atas nakas yang terlihat kosong. "Ma, foto yang ada di atas nakas Mama taruh di mana?" 

"Udah Mama buang," jawab Wina enteng.

Arayi kontan membelalakkan matanya mendengar itu. "Kenapa dibuang?" tanya Arayi, terdengar seperti protes.

"Karna gak penting."

Helaan napas terdengar, Arayi mengusap wajahnya yang berubah frustasi. Ia berusaha mengatur emosinya agar tetap stabil meskipun rasanya ia sangat ingin marah. "Tapi itu foto aku sama-"

"Sama wanita itu, Mama tau." Sebelum Arayi menyelesaikan kalimatnya, Wina telah lebih dulu memotong.

"Terus kenapa Mama buang? Aku cuma punya satu foto itu aja, Ma, gak ada foto yang lain," ujar Arayi dengan napas berat.

"Terus kenapa? Foto itu bukan hal yang penting lagi buat kamu, Arayi. Beberapa bulan lagi kamu akan menikah, dan kamu akan membawa Kanara ke sini. Apa pantas buat kamu masih memajang foto kamu dengan wanita lain sedangkan ada Kanara di sini? Bagaimana nanti perasaan Kanara kalau tau? Kamu gak memikirkan itu?" balas Wina panjang.

"Tapi, Ma-"

"Kamu setuju dijodohin dengan Kanara, itu artinya kamu juga harus ikut aturan Mama." Tampak raut tak suka di wajahnya yang membuat Arayi tak bisa untuk melawan. Lelaki itu hanya bisa menghela napasnya dengan perasaan yang tak bisa diartikan.

Masalahnya, itu adalah satu-satunya kenangan Arayi bersama Andriana.

"Setelah menikah dengan Kanara, kamu tidak boleh membahas sesuatu yang berhubungan dengan wanita itu di depan Kanara. Jangan kasar dan jangan sampai kamu menyakiti hati Kanara. Kalau kamu melanggar ucapan Mama, kamu akan tau akibatnya, Arayi."

"Aku udah tiga puluh tahun, aku udah dewasa, Ma. Aku lebih dari tau harus bersikap seperti apa terlepas dari ada atau tidaknya aturan Mama," ucap Arayi. Ia meremas jari-jari tangannya untuk meluapkan emosi yang tertahan di dada. 

"Mama tau kamu sudah cukup dewasa untuk itu. Tapi kamu juga harus tau kalau kamu bodoh jika itu menyangkut tentang masa lalu kamu, Arayi. Jangan sampai wanita itu menjadi bumerang untuk hubungan kamu dengan Kanara kedepannya. Cukup fokus pada Kanara, mengerti?"

Arayi menghembuskan napasnya berat, lalu mengangguk, "Ya."

"Sekarang, mulai lah melupakan wanita itu dan cintai lah Kanara. Karna sebentar lagi, Kanara lah yang akan menggantikan posisi wanita itu di hidup kamu," ucap Wina yang lagi-lagi dibalas anggukan oleh Arayi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status