Share

Bab 2

Ana menghela napas saat kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di otaknya. Keningnya mengernyit saat mengarahkan pandangan ke samping karena tidak menemukan laki-laki yang tadi pagi resmi menjadi suaminya.

Hanya pernikahan sederhana yang mereka jalani. Akad nikah dilakukan di masjid dekat penjara. Entah bagaimana Arjuna berhasil membuat ayah Ana menjadi wali pernikahan mereka.

Akad nikah itu hanya dihadiri oleh kakek Arjuna, seorang pengacara yang bertugas sebagai saksi dan juga petugas KUA, serta orang-orang yang mengawal ayah Ana.

Ana sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, yang penting mereka sudah sah. Meski sehari sebelumnya, Arjuna menawarkan sebuah perjanjian yang langsung ditolak Ana. Sebuah pernikahan kontrak.

Kenapa? Jelas karena Ana tidak mau mempermainkan sebuah ikatan suci. Seperti apapun sikapnya, dia tetaplah seorang hamba yang takut dosa. Untuk saat ini biarlah nantinya pernikahan ini mengalir dengan sendirinya.

Ana berdecak kesal saat tiba-tiba rasa haus menyerang. Membuatnya mau tidak mau harus meninggalkan kamar super luas dengan dinding berwarna putih ini, menuju ke lantai bawah.

Menapaki tangga berwarna coklat, Ana mengamati ruangan bawah yang tampak sepi. Tentu saja waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, jadi bisa dipastikan semua orang telah tertidur.

Mata Ana menyipit saat melihat cahaya dari kamar yang pintunya sedikit terbuka. Awalnya dia tak mau peduli. Sampai kemudian mendengar suara yang cukup familiar di telinganya. 

Pelan, Ana melangkahkan kaki ke arah itu. Samar-samar terdengar orang berdebat saat langkah kakinya semakin dekat. Dia tau ini salah. Namun, dia merasa ada dorongan untuk melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu.

"Sampai kapan kalian menikah?"

Telinga Ana menangkap suara perempuan yang terdengar penuh amarah. Sepertinya akan ada hal besar yang akan dia ketahui.

"Entahlah."

"Entahlah kamu bilang?!"

Ana terpaku, saat dari celah pintu melihat suaminya berada di sana bersama perempuan cantik—si pemilik kamar.

"Dia ngga mau membuat perjanjian apapun. Jadi aku ngga bisa mastiin kapan pernikahan ini akan berakhir." 

Ana berdecak pelan kala suaminya menjelaskan dengan lembut pada wanita di depannya. Tanpa perlu menjadi cerdas, dia tentu bisa menebak apa hubungan di antara keduanya.

Tanpa sadar bibirnya mencebik. Pria yang setiap hari menunjukkan raut tak ramah, ternyata bisa bersikap manis juga. Dasar bucin!

"Kamu harus membuat target kapan pernikahan kalian berakhir. Dan itu harus secepatnya!"

"Tenanglah. Setelah aku mendapatkan warisan kakek, ini semua akan berakhir. Kamu jangan kuatir."

Ana terpaku, menatap suaminya memeluk wanita berambut panjang itu. Dari awal dia tau, pasti ada sesuatu yang membuat laki-laki itu melamarnya. Namun, tidak menyangka kalau dirinya harus terlibat drama ala-ala sinteron yang biasanya ditonton oleh pekerja di sini.

Membalik tubuh, Ana menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya, senyum misterius tergambar di bibirnya. "Baiklah. Akan aku ikuti permainan kalian. Dan kita lihat, siapa nanti yang akan menang."

***

Arjuna terkejut saat melihat istrinya tengah bersandar di kepala ranjang, dengan rambut legamnya terurai indah. Ya, ini memang untuk pertama kalinya dia melihat wanita itu tidak menutup kepala, karena sehari-hari Ana selalu menggunakan kerudung. Tadi saja setelah akad selesai, wanita itu tidak melepas kerudungnya.

Lalu sekarang entah mengapa, matanya seperti enggan beralih. Bahkan panca indranya terus memperhatikan gerakan Ana yang sedang menggulir ponsel, gerakan wanita itu yang menyampirkan rambut di belakang telinga juga tidak luput dari penglihatannya.

Sial! Dia kenapa? Tidak mungkin 'kan dia terpesona?

Menggeleng kasar untuk mendapatkan kesadaran, Arjuna berjalan mendekati ranjang. "Kamu tidur di sana?" tanyanya sambil menunjuk tempat tidur super luas yang kini di tempati Ana.

"Tentu saja," jawab Ana tenang. Entah mengapa hal itu justru membuat Arjuna tiba-tiba kesal.

"Tidurlah di sofabed! Aku yang akan tidur di kasur!" perintahnya.

Ana tersenyum tipis, yang terasa menyeramkan di mata Arjuna. "Kenapa harus saya yang pindah? Bukan Anda?"

Jawaban sang istri membuat kekesalan Arjuna memuncak. Rasanya dia ingin mengumpati kakeknya saat ini, bagaiamana bisa pria tua itu malah memilihkan perempuan tak tahu diri sebagai istrinya?

"Ini kamarku! Jelas aku berhak tidur di sana!"

"Kalau Anda lupa, kita sudah menikah tadi pagi. Jadi tidur di sini juga merupakan hak saya. Bukan begitu Mas Arjuna?" balas Ana dengan menyebutkan nama sang suami dengan penuh penekanan.

Arjuna mendengkus kencang, tapi tidak membalas membalas ucapan istrinya. Malas jika harus berdebat saat tubuhnya sudah lelah.

Laki-laki itu justru naik ke tempat tidur. Merebahkan diri, lalu tidur membelakangi sang istri. "Awas kalau kamu macam-macam!" peringatnya, sebelum menutup seluruh tubuh dengan selimut.

Ana menggeleng pelan, tidak habis pikir dengan sikap sang suami. Benar-benar seperti bocah!

Tidur dengan posisi yang sama dengan Arjuna, Ana merasa matanya enggan terpejam kembali. Karena kini pikirannya sedang merancang rencana, bagaimana melawan Arjuna dan kekasih gelapnya itu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status