Bab 4. Merasa Tertindas

Aku membuka selimut yang membungkus tubuhku dengan kasar lalu menatap Rizal dengan geram. “Apalagi, sih, Zal? Bisa jangan ganggu aku terus? Aku capek, aku mau tidur! Besok aku kerja!”

Rizal kemudian memperlihatkan bantal yang dipegangnya padaku. “Bantalnya bisa tukar nggak, Mbak? Masa aku tidur pakai bantal gambar helo kiti, yang benar saja kamu, Mbak!”

Aku menghela napas panjang. Perkara bantal saja jadi masalah. Memangnya, kalau dia memakai bantal bergambar helo kiti, jenis kelaminnya bakalan berubah? Tidak, ‘kan?

Segera kuambil sebuah bantal polos di sampingku lalu aku lemparkan padanya.

“Nah, gini, dong!” Dia segera berlalu dari hadapanku ke ruang depan.

Segera kubaringkan diriku di tempat tidur lagi. Aku sudah sangat lelah dan butuh istirahat. Kejadian hari ini benar-benar menguras semua tenagaku. Barangkali, ketika aku tidur, beban hidupku sedikit berkurang.

“Mbak?” tiba-tiba bocah menyebalkan itu memanggilku lagi. 

Buru-buru kutarik selimutku dan pura-pura tertidur dengan harapan dia tidak menggangguku lagi.

“Kipas angin gak ada lagi, Mbak? Aku kegerahan banget.”

Aku masih terdiam, pokoknya aku akan berpura-pura sudah tidur.

“Kalau gitu aku buka baju aja, ya?”

Aku semakin merapatkan mataku dan enggan menanggapinya.

“Mbaaak!” Tiba-tiba, ia melompat ke samping tempat tidurku dalam keadaan bertelanjang dada. “Mbak, aku tidur di sini aja biar dapat kipas, ya?”

“Huwaaa!!!” Aku langsung berteriak histeris dan mendorong tubuh Rizal agar menjauh dariku. 

Dan gara-gara hal itu, semalaman aku tidak bisa tidur dengan nyenyak hingga terbitlah lingkaran hitam di mataku.

Sungguh, Rizal adalah makhluk paling menyebalkan di dunia ini!

***

“Mata bengkak disertai lingkaran hitam di bawahnya. Hmm … aku tebak, semalam kamu habis menangis dan kurang tidur.” ujar seorang perempuan berkacamata yang berjalan ke arahku.

Perempuan berkacamata itu bernama Mila. Dia adalah rekan satu kerjaan yang cukup dekat denganku. Bahkan, ia adalah satu-satunya orang yang paham akan keadaan keluargaku.

“Kamu bertengkar lagi dengan ibu dan adikmu?” Ia melanjutkan pertanyaannya lagi.

Aku hanya terdiam, sebenarnya bukan hanya karena hal itu. Namun, banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Ibu, saudara-saudaraku, dan sekarang ketambahan oleh Rizal.

“Oke, oke … kamu bisa cerita padaku kalau sudah siap. Aku ambilkan minum dulu, ya.” Tanpa menunggu persetujuanku, Mila sudah melesat menuju pantry.

“Taraaa … coklat panas untuk yang sedang punya masalah.” Mila tersenyum cerah sembari meletakkan secangkir coklat panas di depanku saat ini.

“Terimakasih, Mila.”

“Sama-sama.” Mila tersenyum padaku. “Aku mau beli pengharum ruangan dulu, ya. Sebentar lagi jam kerja dimulai. Kamu jangan loyo lagi!”

Aku tersenyum menatap Mila yang selalu bersemangat itu. “Baiklah.”

Setelah kepergian Mila, pikiranku menerawang jauh ke depan memikirkan nasib hidupku kedepannya seperti apa.

Terkadang, aku ingin berhenti bekerja menjadi cleaning service di perusahaan ini. 

Selain sudah lelah, aku ingin mencari gaji di atas UMR. Namun, dengan hanya mempunyai ijazah SMP, aku rasa akan sangat sulit mencari pekerjaan lain di zaman sekarang yang patokannya adalah umur dan juga pendidikan.

Aku menghela napas panjang. Di umurku yang sudah tidak muda lagi. Mungkin, seumur hidup aku akan terjebak bekerja di tempat ini selamanya.

Punya suami juga pengangguran. Apa yang bisa aku harapkan kalau tidak bekerja sendiri?

“Rara, tolong kamu cuci semua piring yang ada di rak, ya!” perintah Bu Sinta yang baru saja datang. Bu Sinta adalah ketua cleaning service tempatku bekerja.

“Semua, Bu?” tanyaku ragu. Karena jumlah piring dalam rak tentulah banyak sekali. Biasanya, piring-piring tersebut digunakan jika ada acara besar-besaran di perusahaan.

“Iya.”

“Tapi, bukankah semua piring yang ada di rak masih bersih, Bu?”

Bu Sinta menatapku dengan jengah. “Iya, sih. Tapi, itu sudah tersimpan cukup lama, dan pasti sudah bau apek.”

Aku termangu. Salah satu alasan aku ingin berhenti bekerja yang lainnya adalah karena wanita berumur setengah abad itu. Dia selalu menyuruhku melakukan hal yang memberatkanku bahkan ketika jam kerja belum dimulai.

“Malah bengong, kamu nggak mau?”

“Ah, i-iya baik, Bu.” Segera aku beranjak dari tempat dudukku menuju area dapur untuk melakukan perintahnya.

Terkadang, aku merasa hidupku seakan selalu tertindas terus menerus. Sebenarnya, apa salahku, ya Allah?