Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menatap Rizal. "Ap-apa katamu tadi, Zal?"
Rizal bangkit dari atas tubuhku seraya menggeleng pelan. "Bukan apa-apa, Mbak!" Dia langsung pergi begitu saja meninggalkanku.
Kuseka embun di sudut mataku sembari melihat punggungnya yang berlalu. "Mimpi hidup denganku di rumah mewah bersama anak-anak yang cantik mirip aku?"
Aku salah dengar atau apa, ya?
***
Seharian ini, aku hanya mendiamkan Rizal. Namun, bocah itu tetap tidak merasa bersalah sama sekali.
Dia malah sibuk memberi makan ikan, menonton televisi sambil tertawa-tawa, bahkan kini ia terdengar asyik mengobrol dengan para tetangga.
Sungguh, dia manusia yang tidak mempunyai peri kemanusiaan!
Aku mengintip dari balik jendela. Saat ini, Rizal duduk dikerubungi oleh para Ibu-ibu. Mereka mengatakan, kalau Rizal sangatlah tampan.
Aku menyipitkan mataku memperhatikan Rizal dari kejauhan.
Tampan?
Sebenarnya, aku akui ia cukup tampan. Alisnya tebal, matanya tajam dan agak-agak kebiruan, lalu hidungnya mancung disertai dengan tahi lalat di ujung hidungnya.
Rambutnya hitam legam dengan potongan rambut ala anak muda zaman sekarang, lalu postur tubuhnya juga tinggi menjulang.
Sempurna.
Nyaris tak ada cacatnya sama sekali. Kecuali ... kelakuannya padaku yang minus.
Dia orang yang membuatku berhasil di usir dari kampung, dan orang yang berhasil merenggut kesucianku.
Benar-benar astagfirullah bocah itu!
Aku cukup lama berdiam diri di depan jendela. Sesaat, aku menyadari akan suatu hal. Kalau dipikir-pikir ... kenapa Rizal tidak ada mirip-miripnya dengan Bu Ika dan Pak Nardi?
Wajah Bu Ika dan Pak Nardi khas wajah oriental orang Indonesia. Sementara wajah Rizal seperti blesteran orang Indonesia dan orang luar negeri.
Apa jangan-jangan ....
"Oii, Mbak! Daripada ngintip di jendela, mendingan sini gabung!"
Aku tersentak dari pikiranku ketika Rizal tiba-tiba berteriak dari arah luar sembari menatapku dari seberang sana.
Buru-buru kututup tirai jendela itu. Aduh, kenapa dia tahu kalau aku sedang mengintip dari balik jendela, sih?
Aku segera membalikkan badanku. Namun, baru satu langkah berlalu, tiba-tiba sebuah tangan menarik ujung kerudungku dari balik pintu.
"Astagfirullah, Rizal!" pekikku terkejut. "Kamu kenapa hobi bikin orang jantungan, sih!"
Bocah menyebalkan itu hanya tertawa memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Salah siapa ngintip. Bintitan baru tahu rasa kamu, Mbak!"
Aku langsung merutuki kebodohanku. Ah, iya. Kenapa pula aku harus mengintip?
Rizal melebarkan daun pintu lalu beralih menarik kedua tanganku agar aku mengikutinya ke luar dan bergabung dengan para ibu-ibu yang lainnya.
"Eh ... Mbak, Rara ...," pekik Ibu-ibu itu begitu aku ke luar.
"Sebenarnya Mas Rizal ini siapa? Masa dia tadi ngaku kalau suaminya Mbak Rara."
Mulutku langsung ternganga. Kulirik sekilas ke arah Rizal yang hanya tertawa.
Tidak! Aku tak mungkin mengatakan kalau bocah menyebalkan itu adalah suamiku.
"Anu, Ibu-ibu. Sebenarnya Rizal ini adik kandung saya."
Rizal langsung menolehku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia yang sedang tertawa mendadak diam seribu bahasa.
"Saya pernah cerita kalau saya memiliki dua adik di kampung, 'kan? Nah, yang laki-laki ya ini si Rizal."
"Owalah ...," Ibu-ibu itu langsung berteriak dengan lega. Mereka percaya begitu saja dengan ucapanku.
"Lagian, saya tadi juga nggak percaya kalau Mas Rizal ini suaminya Mbak Rara," celetuk salah satu dari mereka.
"Iya, betul. Terlihat sekali perbedaan umur Mbak Rara dan Mas Rizal sangatlah jauh. Dan itu tidaklah cocok jika mereka menjadi suami dan istri!"
Aku memaksakan senyumku. Perkataan Ibu-ibu itu memang benar, hanya saja ... berhasil sedikit menusuk relung hatiku.
***
"Kamu tadi, kok, bilang ke ibu-ibu itu kalau aku adalah adikmu, Mbak?" tanya Rizal dengan nada protes ketika kami sudah kembali ke dalam kontrakan. "Masa punya suami ganteng begini gak dianggap? Parah banget kamu, Mbak!"
Aku menoleh ke arah Rizal sembari menghela napas panjang. "Kamu nggak dengar ibu-ibu tadi bilang apa?"
Rizal nampak berpikir sejenak. "Yang bilang kalau kita enggak cocok?"
Aku mengangguk.
"Cocok aja, sih, menurutku. Aku ganteng, Mbak Rara cantik, dari mana enggak cocoknya?"
Aku menajamkan indra pendengaranku. "Cantik?"
"Mbak Rara memang cantik, 'kan? Masa iya ganteng!"
Aku menarik napas panjang lagi. Apa yang aku harapkan lagi dari bocah menyebalkan itu.
"Mbak!" Ia tiba-tiba mendekat ke arahku yang otomatis membuatku memasang sikap waspada.
"Apalagi!"
"Dinner, yuk, nanti malam!"
"Dinner?"
"Hu'um. Dinner di tempat yang murah-murah aja. Mau, gak?"
Aku langsung menggelengkan kepalaku tidak mau. Kejadian semalam saja ia tak ada iktikad baik untuk meminta maaf, eh sekarang malah pakai acara mengajakku dinner.
Menyebalkan sekali, bukan?
"Sebenarnya ... aku mau minta maaf atas kejadian semalam, Mbak." Rizal menatapku dengan perasaan bersalah. "Semalam, aku dalam pengaruh alkohol, Mbak. Maafkan aku gara-gara itu aku ...."
"STOP!" Aku langsung berteriak sebelum Rizal melanjutkan kata-katanya. "Kamu sadar kalau kesalahanmu padaku itu banyak, 'kan, Zal?"
Rizal menundukkan kepalanya.
"Pertama, kamu membuatku diusir dari kampung. Kedua, kamu mengambil harta satu-satunya yang aku miliki, Zal!"
"Makanya aku minta maaf, Mbak." Ia meraih tanganku. "Lagipula, aku akan bertanggung jawab atas kesalahan yang aku lakukan padamu, Mbak! Aku sudah menjelaskan alasannya kenapa aku melakukan itu, kenapa kamu seakan menutup mata, sih, Mbak?"
“Wanita lain?” Rizal terkekeh menatapku. “Mana mungkin aku punya wanita lain, Mbak!”“Lha itu Mawar.”Rizal lagi-lagi terkekeh. “Dia hanyalah mantan tunangannya Samuel.”“Mantan, tapi masih cium-ciuman.”“Oooh … yang waktu itu? Yang kamu kabur dari mansion itu, Mbak?”Aku terdiam. Aku tak mungkin berkata pada Rizal, jika hatiku saat itu benar-benar panas.“Kamu harus tahu yang sebenarnya, Mbak. Perempuan itulah yang terlebih dahulu mencium Samuel—dia memaksa Samuel untuk balikan. Namun, Samuel menolaknya. Samuel benci penghianatan.”Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Berarti … aku salah menilai Samuel? Rasa bersalah tiba-tiba menelusup jiwaku. Andai aku tidak kabur saat itu, bukankah semuanya akan baik-baik saja?Aku mengusap perutku yang kempes. Bulir-bulir bening tiba-tiba membasahi kedua pipiku. “Lho, kenapa malah menangis, Mbak?”Aku menggelengkan kepalaku seraya menyeka air mataku yang sudah mengucur dengan deras.“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Mbak.” Rizal kemudian menarikku
Sudah berminggu-minggu aku terkurung di dalam rumah sakit ini. Sesekali aku keluar hanya untuk berjemur. Itu pun harus dengan penjagaan yang super ketat. Bibi Pram tiba-tiba memasuki ruangan yang kuhuni dengan tergopoh-gopoh. Kalau sudah seperti itu, ia pasti akan menyampaikan sesuatu yang penting.“Nyonya, Anda harus melihat berita hari ini di televisi!” katanya yang kini sedang sibuk mencari remote tv.“Ada apa, Bi?”Tanpa menjawab pertanyaanku, Bibi Pram yang sudah menemukan remote tiba-tiba segera menyalakan televisi dan mencari channel yang diinginkannya.Begitu mendapatkan channel tersebut, Bibi Pram langsung menyuruhku untuk melihatnya.“Pimpinan William Group telah diambil alih oleh anak semata wayangnya yang bernama Afrizal Samuelim Exel.”Aku terbelalak membaca line berita dalam channel televisi tersebut.Jadi, Samuel sudah berhasil mengambil alih pimpinan William Group?Aku segera menyimak isi berita tersebut, tampak sang pembawa acara menyampaikan isi beritanya dengan lug
Kehilangan buah hati ternyata menimbulkan luka yang dalam bagiku. Aku sudah seperti orang kehilangan arah dan tidak tahu harus melakukan apa.Aku merasa hidupku seperti tidak ada artinya lagi. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh dan tak berbentuk lagi.Andai aku tidak dikurung, andai Samuel mau menyelesaikan setiap masalah tanpa amarah yang meledak. Aku rasa, kejadian buruk ini tidak akan terjadi.Bolehkah aku membencinya yang telah membuatku seperti ini?Pintu kamar rawat yang kuhuni tiba-tiba terbuka.Kukira yang datang adalah Bibi Pram. Namun, ternyata yang datang adalah laki-laki yang membuatku menjadi hampir gila seperti ini.Aku membuang muka. Aku benar-benar muak melihatnya.“Bagaimana keadaanmu?”“Puas kamu membuatku seperti ini?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kalau perlu bunuh saja aku sekalian!”Ia hanya diam. Namun, suara langkah kakinya seperti sedang menuju ke arahku. Dan secara mengejutkan, ia tiba-tiba memelukku dengan erat.Aku meronta-ronta. Untuk apa memelukku? D
Aku merasakan tubuhku diangkat seseorang yang berlari entah menuju ke mana.Dari nada teriakannya, ia terdengar panik dengan keadaanku saat ini.“Tolong selamatkan istri saya, dok!”Istri? Apa yang dimaksud adalah aku?Seseorang yang menggendong tubuhku ini terus berlari.Hingga beberapa saat kemudian, aku merasa diletakkan di sebuah tempat tidur lalu ditarik dengan tergesa-gesa oleh suara riuh orang yang tidak aku ketahui mereka itu siapa.Mataku benar-benar tidak bisa terbuka seakan ada beban berat yang menimpanya.“Bapak tunggu di luar ruangan. Kami akan berusaha menyelamatkan istri dan anak Anda!”“Lakukan yang terbaik, dok! Saya tidak mau kehilangan mereka!”Tubuhku terasa dibawa menuju ke sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas … perutku rasanya seperti sedang diremas-remas.***“Mama … Mama … bangunlah ….” kata seorang anak kecil membangunkanku yang sedang terlelap.Aku mengedarkan pandanganku. Di mana aku berada? Kenapa tempat ini semuanya berwarn
Keinginan tinggal di rumah Nenek Nur selamanya dan juga keinginan membangun tempat ini nyatanya hanyalah menjadi angan-angan semata.Pagi-pagi sekali—lebih tepatnya sehabis subuh, rumah Nenek Nur di gedor-gedor pintunya hingga mau roboh.Ketika aku membuka pintu, tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang aku ketahui mereka itu siapa langsung menyeretku agar pergi dari rumah Nenek Nur. Tidak ada yang bisa menolongku meskipun para warga yang berada di sana ingin melakukannya. Orang-orang yang membawaku ini membawa senjata tajam dan sengaja digunakan untuk menakut-nakuti mereka.Begitu hampir tiba di mobil, aku melihat sesosok laki-laki yang aku hindari tengah bersandar pada pintu mobil dengan sepuntung rokok yang berada di jemarinya.Dia menatapku tajam bak perisai yang siap menembus lawannya.Dia pikir, aku akan takut ditatap seperti itu? Tidak akan! Aku bukan Rara yang lemah seperti dulu kala! Bahkan, jika aku mati hari ini, aku siap!“Kenapa kabur?” tanyanya dingin melebihi din
Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyetop sebuah angkot ketika sudah sampai di luar.Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan ada yang mengikutiku tidak.Lagi-lagi aku bernapas lega, syukurlah tidak ada yang mengikutiku sama sekali.Sekarang, tinggal memikirkan aku harus pergi ke mana.Tiba-tiba, nama Mila melintas di pikiranku. Sepertinya, untuk sementara waktu aku akan ke rumahnya dulu.Aku segera mengeluarkan ponselku lalu menghubungi Mila.“Assalamualaikum, Rara? Ya ampuuun … ke mana saja kamu selama ini? Kenapa pesanku nggak pernah kamu balas?” cerocos Mila begitu panggilanku telah diangkatnya.“Waalaykumussallam, Mil. Nanti aku ceritakan semuanya. Kamu ada di rumah?”“Iya, aku ada di rumah. Kan, ini hari liburku!”“Oke, aku akan datang ke rumahmu.”Begitu panggilan terputus, aku segera minta turun dari angkot guna memesan taxi online menuju rumah Mila yang jaraknya sangat jauh.*Setibanya di rumah Mila, dia langsung menyambutku dengan heboh. Apalagi ketika mengetahui p