Share

Bab 3. Apa Salahku?

Author: AshZe
last update Last Updated: 2025-01-16 11:01:32

"Yes! Akhirnya aku bebas dari rumah neraka itu!" teriak Rizal kencang. Ia bahkan melompat ke udara dengan kegirangan tanpa memikirkan perasaanku yang terluka karena perbuatannya.

Aku menghentikan langkahku seraya menatapnya dengan marah. "Kamu sengaja melakukan ini agar bebas dari rumah?"

"Iya.” Pemuda itu mengangguk tanpa merasa bersalah. “Aku sudah muak berada di rumah itu!"

"Tapi kamu menjadikanku korban, Zal!"

"Itu urusanmu sendiri, Mbak! Yang penting, rencanaku berhasil!"

Aku terduduk dengan lemas. Air mataku luruh begitu saja membanjiri kedua pipiku. Tega sekali Rizal menjadikanku korban hanya untuk kepentingannya sendiri.

“Harusnya, kamu berterimakasih padaku, Mbak.” Ia menepuk dadanya sendiri. “Berkat aku, kamu nggak dicap sebagai perawan tua lagi.”

“Tapi gara-gara kamu, aku diusir oleh ibuku sendiri dan diusir dari kampung, Zal!” teriakku frustrasi.

“Kamu justru bebas, Mbak!” Rizal ikutan berteriak. “Kamu nggak perlu menanggung hidup ibumu dan adik-adikmu yang gak tahu diuntung itu!”

Aku menyeka air mataku dengan kasar. Perkataan Rizal memang benar, aku tak perlu menanggung hidup Ibuku dan Adik-adikku lagi karena aku telah diusir secara tak terhormat. Namun, tetap saja aku belum bisa menerima kenyataan menyakitkan ini.

“Apa salahku?”

Rizal yang sudah berjalan di depanku segera menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya dan menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. “Salah?”

“Iya, apa salahku? Perempuan di luar sana banyak! Tapi, kenapa harus aku?”

Rizal mengusap wajahnya dengan kasar. Ia berjalan mendekat ke arahku dan berjongkok tepat di hadapanku. “Kamu mau tau alasannya, Mbak?”

Tangan kanannya tiba-tiba terulur menyentuh sudut mataku yang basah. “Karena kamu adalah perawan tua. Itu alasanku, Mbak!”

Aku terkejut mendengar alasan yang baru saja dilontarkan oleh Rizal. Alasan yang menurutku tidak masuk akal tapi sukses membuat ulu hatiku berdenyut nyeri.

Aku menepis tangan Rizal. “Kalau begitu, ceraikan aku sekarang juga!”

Rizal menatapku dengan tajam. “Tentu saja gak bisa!”

“Kenapa gak bisa?”

“Kamu gak perlu tahu alasannya, Mbak! Yang jelas, sampai kapanpun, aku gak akan menceraikanmu!”

***

“Kamu tinggal di kontrakan sempit ini, Mbak?” tanya Rizal, begitu aku mempersilakannya masuk ke dalam kontrakanku.

Aku hanya diam dan tak berniat menjawab pertanyaannya sama sekali.

Malam itu, dengan terpaksa, aku membawa Rizal ke kontrakanku yang berada di ibu kota.

Rizal ke luar rumah benar-benar dengan tangan kosong. Yang ia bawa hanyalah pakaian yang melekat di badannya. Walau aku marah padanya, aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja.

Mungkin, aku memang bodoh. Tapi untuk saat ini, siapa lagi yang mau menjadi temanku kecuali Rizal?

Ayah sudah tiada. Ibu mengusirku, begitupun dengan adik-adikku yang kian membenciku. Keluarga sudah tidak peduli, apalagi para tetangga di kampung. Siapa lagi yang aku harapkan saat ini kalau bukan Rizal?

Aku adalah tulang punggung keluarga yang telah menghidupi keluargaku. Tapi kenapa, aku dibuang begitu saja? Apa tidak ada sebersit rasa iba pada diriku yang mati-matian mencari pundi-pundi rupiah di kota orang hanya untuk menghidupi mereka?

Apa tak berharganya diri ini hingga dengan mudahnya, aku dibuang begitu saja oleh mereka?

Aku memukul dadaku berulang kali. Kenapa rasanya sesakit ini, ya Allah?

“Mbak, aku laper.”

Aku yang hendak menangis jadi urung gara-gara mendengar Rizal yang mengeluh lapar. Aku menoleh ke arahnya dengan kesal, tapi melihat wajahnya yang memelas dan sedikit pucat aku tidak jadi memarahinya.

Aku meletakkan tas jinjing yang kubawa dan mengambil minuman dari dispenser untuk membasahi kerongkonganku sekaligus menjernihkan pikiranku.

Tanpa berkata apapun, aku segera menuju dapur kecilku untuk membuatkannya makanan.

“Makanlah!” kataku padanya, ketika makanan telah selesai kumasak. Hanya semangkuk mie instan saja, tak ada makanan lain di kontrakanku ini.

Rizal menerima dengan senang hati. Ia bahkan langsung memakannya dengan sangat lahap bagai orang yang sudah tak makan berhari-hari.

Sebenarnya, aku ingin merasa kasihan padanya. Tapi ternyata, yang harusnya aku kasihani adalah diriku sendiri.

“Kamu di sini hidup susah, sementara ibu dan adik-adikmu hidup di kampung dengan gaya hedon, Mbak!” ujar Rizal disela makannya.

“Bulan lalu, ibumu baru saja membeli kalung sepuluh gram. Sementara kamu, di sini hidup pas-pasan, Mbak.” Lanjut Rizal lagi sambil terbatuk-batuk karena kuah mie yang cukup pedas.

Aku mengambilkannya minum dan ku letakkan di lantai dengan kasar. “Bicara sekali lagi aku tutup mulutmu pakai lem!”

Aku sengaja berkata demikian agar Rizal berhenti tak mengatakan hal itu lagi. Karena itu akan membuat hatiku semakin sakit lagi.

“Ish, sadis sekali.”

“Kalau begitu diam!”

“Iya-iya.” Rizal langsung mengatupkan mulutnya dan melanjutkan makannya.

Setelah selesai makan, Rizal terlihat hidup lagi. Energi yang sempat hilang kini kembali lagi. Bahkan, bocah menyebalkan itu sibuk mengelilingi kontrakan sempitku ini. 

Kadang, ia berhenti di depan aquarium kecilku hanya untuk melihat ikan yang berenang ke sana-sini.

Lalu, ia akan berhenti di depan dispenser air hanya untuk mengamatinya. Bahkan, setrika yang kugeletakkan di lantai tak luput dari amatannya.

Sebenarnya bocah itu Intel atau apa? Kepalaku sampai berdenyut karena terus melihatnya mondar-mandir tak jelas seperti itu.

“Daripada mondar-mandir seperti itu, sebaiknya kamu tidur, Zal!” kataku pada akhirnya karena sudah tak tahan melihatnya yang mondar-mandir seperti itu.

“Tidur? Memangnya kita nggak malam pertama dulu seperti pengantin pada umumnya?”

Aku langsung menatap Rizal dengan nyalang. “Bicara apa kamu?”

“Bercanda, Mbak.” Bocah menyebalkan itu malah tertawa. “Ngomong-ngomong, aku tidur di mana, Mbak?”

“Di depan!”

“Depan mana?”

“Depan kontrakan!”

“Haish, tega sekali.”

Aku melemparkan sebuah bantal padanya dengan kesal. Terserah dia mau tidur di mana saja, aku tak perduli!

“Mbak?” Dia memanggilku lagi. 

“Mbak?” Namun, aku memilih menutup seluruh tubuhku dengan selimut.

“Kalau dipanggil diam saja, kamu aku hamili lho, Mbak!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
fatmawati
mungkin rizal sebenarnya ada rasa sama si rara
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pernikahan Dadakan dengan Suami Menyebalkan   Bab 80. Cerita Rizal

    “Wanita lain?” Rizal terkekeh menatapku. “Mana mungkin aku punya wanita lain, Mbak!”“Lha itu Mawar.”Rizal lagi-lagi terkekeh. “Dia hanyalah mantan tunangannya Samuel.”“Mantan, tapi masih cium-ciuman.”“Oooh … yang waktu itu? Yang kamu kabur dari mansion itu, Mbak?”Aku terdiam. Aku tak mungkin berkata pada Rizal, jika hatiku saat itu benar-benar panas.“Kamu harus tahu yang sebenarnya, Mbak. Perempuan itulah yang terlebih dahulu mencium Samuel—dia memaksa Samuel untuk balikan. Namun, Samuel menolaknya. Samuel benci penghianatan.”Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Berarti … aku salah menilai Samuel? Rasa bersalah tiba-tiba menelusup jiwaku. Andai aku tidak kabur saat itu, bukankah semuanya akan baik-baik saja?Aku mengusap perutku yang kempes. Bulir-bulir bening tiba-tiba membasahi kedua pipiku. “Lho, kenapa malah menangis, Mbak?”Aku menggelengkan kepalaku seraya menyeka air mataku yang sudah mengucur dengan deras.“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Mbak.” Rizal kemudian menarikku

  • Pernikahan Dadakan dengan Suami Menyebalkan   Bab 79. Jatuhnya Tuan William

    Sudah berminggu-minggu aku terkurung di dalam rumah sakit ini. Sesekali aku keluar hanya untuk berjemur. Itu pun harus dengan penjagaan yang super ketat. Bibi Pram tiba-tiba memasuki ruangan yang kuhuni dengan tergopoh-gopoh. Kalau sudah seperti itu, ia pasti akan menyampaikan sesuatu yang penting.“Nyonya, Anda harus melihat berita hari ini di televisi!” katanya yang kini sedang sibuk mencari remote tv.“Ada apa, Bi?”Tanpa menjawab pertanyaanku, Bibi Pram yang sudah menemukan remote tiba-tiba segera menyalakan televisi dan mencari channel yang diinginkannya.Begitu mendapatkan channel tersebut, Bibi Pram langsung menyuruhku untuk melihatnya.“Pimpinan William Group telah diambil alih oleh anak semata wayangnya yang bernama Afrizal Samuelim Exel.”Aku terbelalak membaca line berita dalam channel televisi tersebut.Jadi, Samuel sudah berhasil mengambil alih pimpinan William Group?Aku segera menyimak isi berita tersebut, tampak sang pembawa acara menyampaikan isi beritanya dengan lug

  • Pernikahan Dadakan dengan Suami Menyebalkan   Bab 78. Permintaan Rara

    Kehilangan buah hati ternyata menimbulkan luka yang dalam bagiku. Aku sudah seperti orang kehilangan arah dan tidak tahu harus melakukan apa.Aku merasa hidupku seperti tidak ada artinya lagi. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh dan tak berbentuk lagi.Andai aku tidak dikurung, andai Samuel mau menyelesaikan setiap masalah tanpa amarah yang meledak. Aku rasa, kejadian buruk ini tidak akan terjadi.Bolehkah aku membencinya yang telah membuatku seperti ini?Pintu kamar rawat yang kuhuni tiba-tiba terbuka.Kukira yang datang adalah Bibi Pram. Namun, ternyata yang datang adalah laki-laki yang membuatku menjadi hampir gila seperti ini.Aku membuang muka. Aku benar-benar muak melihatnya.“Bagaimana keadaanmu?”“Puas kamu membuatku seperti ini?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kalau perlu bunuh saja aku sekalian!”Ia hanya diam. Namun, suara langkah kakinya seperti sedang menuju ke arahku. Dan secara mengejutkan, ia tiba-tiba memelukku dengan erat.Aku meronta-ronta. Untuk apa memelukku? D

  • Pernikahan Dadakan dengan Suami Menyebalkan   Bab 77. Keguguran

    Aku merasakan tubuhku diangkat seseorang yang berlari entah menuju ke mana.Dari nada teriakannya, ia terdengar panik dengan keadaanku saat ini.“Tolong selamatkan istri saya, dok!”Istri? Apa yang dimaksud adalah aku?Seseorang yang menggendong tubuhku ini terus berlari.Hingga beberapa saat kemudian, aku merasa diletakkan di sebuah tempat tidur lalu ditarik dengan tergesa-gesa oleh suara riuh orang yang tidak aku ketahui mereka itu siapa.Mataku benar-benar tidak bisa terbuka seakan ada beban berat yang menimpanya.“Bapak tunggu di luar ruangan. Kami akan berusaha menyelamatkan istri dan anak Anda!”“Lakukan yang terbaik, dok! Saya tidak mau kehilangan mereka!”Tubuhku terasa dibawa menuju ke sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas … perutku rasanya seperti sedang diremas-remas.***“Mama … Mama … bangunlah ….” kata seorang anak kecil membangunkanku yang sedang terlelap.Aku mengedarkan pandanganku. Di mana aku berada? Kenapa tempat ini semuanya berwarn

  • Pernikahan Dadakan dengan Suami Menyebalkan   Bab 76. Dikurung Lagi

    Keinginan tinggal di rumah Nenek Nur selamanya dan juga keinginan membangun tempat ini nyatanya hanyalah menjadi angan-angan semata.Pagi-pagi sekali—lebih tepatnya sehabis subuh, rumah Nenek Nur di gedor-gedor pintunya hingga mau roboh.Ketika aku membuka pintu, tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang aku ketahui mereka itu siapa langsung menyeretku agar pergi dari rumah Nenek Nur. Tidak ada yang bisa menolongku meskipun para warga yang berada di sana ingin melakukannya. Orang-orang yang membawaku ini membawa senjata tajam dan sengaja digunakan untuk menakut-nakuti mereka.Begitu hampir tiba di mobil, aku melihat sesosok laki-laki yang aku hindari tengah bersandar pada pintu mobil dengan sepuntung rokok yang berada di jemarinya.Dia menatapku tajam bak perisai yang siap menembus lawannya.Dia pikir, aku akan takut ditatap seperti itu? Tidak akan! Aku bukan Rara yang lemah seperti dulu kala! Bahkan, jika aku mati hari ini, aku siap!“Kenapa kabur?” tanyanya dingin melebihi din

  • Pernikahan Dadakan dengan Suami Menyebalkan   Bab 75. Tinggal di Rumah Nenek Nur

    Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyetop sebuah angkot ketika sudah sampai di luar.Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan ada yang mengikutiku tidak.Lagi-lagi aku bernapas lega, syukurlah tidak ada yang mengikutiku sama sekali.Sekarang, tinggal memikirkan aku harus pergi ke mana.Tiba-tiba, nama Mila melintas di pikiranku. Sepertinya, untuk sementara waktu aku akan ke rumahnya dulu.Aku segera mengeluarkan ponselku lalu menghubungi Mila.“Assalamualaikum, Rara? Ya ampuuun … ke mana saja kamu selama ini? Kenapa pesanku nggak pernah kamu balas?” cerocos Mila begitu panggilanku telah diangkatnya.“Waalaykumussallam, Mil. Nanti aku ceritakan semuanya. Kamu ada di rumah?”“Iya, aku ada di rumah. Kan, ini hari liburku!”“Oke, aku akan datang ke rumahmu.”Begitu panggilan terputus, aku segera minta turun dari angkot guna memesan taxi online menuju rumah Mila yang jaraknya sangat jauh.*Setibanya di rumah Mila, dia langsung menyambutku dengan heboh. Apalagi ketika mengetahui p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status