Seharian ini, aku bekerja dengan pikiran yang kacau balau. Gara-gara hal itu, aku banyak melakukan kesalahan sehingga mendapatkan omelan dari Bu Sinta.
“Kamu masih niat kerja nggak sih, Ra?” bentak Bu Sinta sambil berkacak pinggang ketika aku lagi-lagi memecahkan sebuah gelas. “Ma-maaf, Bu. Saya tidak sengaja.” “Gak sengaja gimana! Sudah lima gelas yang kamu pecahkan, lho! Kamu pikir itu gelasmu!” “Ma-maaf, Bu.” “Ck, bulan ini gajimu dipotong karena sudah memecahkan gelas!” Aku hanya menunduk dan tak berniat membantah perkataan Bu Sinta. Mau bagaimanapun, ini memang salahku. Tidak apa-apa jika gajiku dipotong. “Rara, sudah enggak usah diambil hati. Sini aku bantuin beresin pecahan gelasnya,” kata Mila ketika Bu Sinta sudah pergi. “Sepertinya masalahmu cukup berat. Ceritakan padaku setelah pulang kerja nanti.” Setelah pulang kerja, aku dan Mila berhenti di sebuah cafe langganan kami. Kami sengaja memilih duduk di rooftop yang cukup sepi. Mila menatapku serius, tapi dari matanya menyimpan keprihatinan yang mendalam padaku. “Jadi, apa masalahmu, Ra?” Aku menarik napas panjang. Dengan menahan sesak di dada, aku segera menceritakan masalahku padanya. “Jadi, kamu dipaksa menikah dengan laki-laki yang umurnya sepantaran dengan adik laki-lakimu lalu diusir dari kampung?” pekik Mila yang begitu terkejut ketika aku telah selesai bercerita padanya. Aku hanya bisa mengangguk lemah. “Lalu, semalam suami brondongmu itu memaksamu melakukan hubungan suami-istri?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk tanpa suara. Mengingat kejadian semalam benar-benar membuat separuh nyawaku hampir hilang. “Gila! Ini sudah seperti cerita di novel-novel yang pernah aku baca!” Mila menatapku dengan lekat. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” Aku hanya bisa menggeleng. Pikiranku saat ini sungguh buntu. “Apa aku bunuh diri saja? Hidupku sudah tak ada artinya lagi, Mil.” “Astagfirullah … bunuh diri itu dosa besar, Ra. Jangan pernah berpikir melakukan hal yang bodoh itu!” “Lalu aku harus bagaimana, Mil?” Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja sambil terisak. Tangan Mila terulur mengusap-usap bahuku untuk menenangkanku. “Mungkin, kalau aku berada di posisimu juga bingung harus melakukan apa. Tapi, bagaimanapun juga, jangan menganggap hidupmu tak berarti lagi, Ra. Kamu harus tetap menghargai dirimu sendiri. Allah tidak akan menguji kesabaran hambanya di luar batas kemampuannya.” *** Aku berjalan kembali ke kontrakan dengan langkah gontai. Ingin pergi, tapi pergi ke mana? Mila sudah berumah tangga. Cari kontrakan lain uangku sisa satu lembar. Akh, kenapa hidupku semenderita ini, ya Allah? Jujur saja, aku sungguh merasa takut ketika kontrakan yang kuhuni di depan telah terlihat. Semalam, Rizal benar-benar seperti kesetanan. Aku bahkan tidak mengenali jika itu adalah Rizal. Tatapan matanya sedingin es, dan perbuatannya sungguh tidak beradab. Apa bisa aku berumah tangga dengan laki-laki seperti itu? “Selamat datang, Mbak Rara.” Aku tersentak manakala pintu kontrakan terbuka lebar menampilkan wajah ceria Rizal. Sungguh, wajah itu benar-benar berbeda dengan dirinya yang semalam. Aku melepaskan sepatuku dan masuk begitu saja tanpa menghiraukan sapaan Rizal. “Mbak, apa aku ada salah?” Ia mengekori langkahku di belakang. “Kamu, kok cuekin aku?” Aku meletakkan tas ransel yang kubawa dengan kasar. “Kamu ngerasa gak ada salah?” Rizal menggelengkan kepalanya sok polos. “Semalam kamu gak ingat apa-apa?” Lagi-lagi Rizal menggeleng. Namun tiba-tiba ia berteriak, “semalam sepertinya aku mimpi basah, Mbak!” “Mim-mimpi ba-sah?” “Iya.” Rizal tiba-tiba berjalan mendekat ke arahku, yang membuatku langsung mundur ke belakang. “Aku semalam mimpi hal yang enak, Mbak.” Aku terus memundurkan langkahku hingga tak sadar menabrak dipan tempat tidur dan membuatku jatuh telentang di atas kasur. “Kamu mau tahu nggak, Mbak?” Saat ini, Rizal benar-benar berada di depanku, bahkan mensejajarkan tubuhnya di atasku. Aku menggeleng-geleng dengan cepat. Sudut mataku mengembun. Aku benar-benar takut kejadian semalam menimpaku lagi. Rizal kemudian berbisik sesuatu padaku dengan pelan. "Tadi malam, sebenarnya aku mimpi, aku sama Mbak hidup bahagia di rumah mewah, bersama anak yang cantik kayak Mbak."“Wanita lain?” Rizal terkekeh menatapku. “Mana mungkin aku punya wanita lain, Mbak!”“Lha itu Mawar.”Rizal lagi-lagi terkekeh. “Dia hanyalah mantan tunangannya Samuel.”“Mantan, tapi masih cium-ciuman.”“Oooh … yang waktu itu? Yang kamu kabur dari mansion itu, Mbak?”Aku terdiam. Aku tak mungkin berkata pada Rizal, jika hatiku saat itu benar-benar panas.“Kamu harus tahu yang sebenarnya, Mbak. Perempuan itulah yang terlebih dahulu mencium Samuel—dia memaksa Samuel untuk balikan. Namun, Samuel menolaknya. Samuel benci penghianatan.”Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Berarti … aku salah menilai Samuel? Rasa bersalah tiba-tiba menelusup jiwaku. Andai aku tidak kabur saat itu, bukankah semuanya akan baik-baik saja?Aku mengusap perutku yang kempes. Bulir-bulir bening tiba-tiba membasahi kedua pipiku. “Lho, kenapa malah menangis, Mbak?”Aku menggelengkan kepalaku seraya menyeka air mataku yang sudah mengucur dengan deras.“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Mbak.” Rizal kemudian menarikku
Sudah berminggu-minggu aku terkurung di dalam rumah sakit ini. Sesekali aku keluar hanya untuk berjemur. Itu pun harus dengan penjagaan yang super ketat. Bibi Pram tiba-tiba memasuki ruangan yang kuhuni dengan tergopoh-gopoh. Kalau sudah seperti itu, ia pasti akan menyampaikan sesuatu yang penting.“Nyonya, Anda harus melihat berita hari ini di televisi!” katanya yang kini sedang sibuk mencari remote tv.“Ada apa, Bi?”Tanpa menjawab pertanyaanku, Bibi Pram yang sudah menemukan remote tiba-tiba segera menyalakan televisi dan mencari channel yang diinginkannya.Begitu mendapatkan channel tersebut, Bibi Pram langsung menyuruhku untuk melihatnya.“Pimpinan William Group telah diambil alih oleh anak semata wayangnya yang bernama Afrizal Samuelim Exel.”Aku terbelalak membaca line berita dalam channel televisi tersebut.Jadi, Samuel sudah berhasil mengambil alih pimpinan William Group?Aku segera menyimak isi berita tersebut, tampak sang pembawa acara menyampaikan isi beritanya dengan lug
Kehilangan buah hati ternyata menimbulkan luka yang dalam bagiku. Aku sudah seperti orang kehilangan arah dan tidak tahu harus melakukan apa.Aku merasa hidupku seperti tidak ada artinya lagi. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh dan tak berbentuk lagi.Andai aku tidak dikurung, andai Samuel mau menyelesaikan setiap masalah tanpa amarah yang meledak. Aku rasa, kejadian buruk ini tidak akan terjadi.Bolehkah aku membencinya yang telah membuatku seperti ini?Pintu kamar rawat yang kuhuni tiba-tiba terbuka.Kukira yang datang adalah Bibi Pram. Namun, ternyata yang datang adalah laki-laki yang membuatku menjadi hampir gila seperti ini.Aku membuang muka. Aku benar-benar muak melihatnya.“Bagaimana keadaanmu?”“Puas kamu membuatku seperti ini?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kalau perlu bunuh saja aku sekalian!”Ia hanya diam. Namun, suara langkah kakinya seperti sedang menuju ke arahku. Dan secara mengejutkan, ia tiba-tiba memelukku dengan erat.Aku meronta-ronta. Untuk apa memelukku? D
Aku merasakan tubuhku diangkat seseorang yang berlari entah menuju ke mana.Dari nada teriakannya, ia terdengar panik dengan keadaanku saat ini.“Tolong selamatkan istri saya, dok!”Istri? Apa yang dimaksud adalah aku?Seseorang yang menggendong tubuhku ini terus berlari.Hingga beberapa saat kemudian, aku merasa diletakkan di sebuah tempat tidur lalu ditarik dengan tergesa-gesa oleh suara riuh orang yang tidak aku ketahui mereka itu siapa.Mataku benar-benar tidak bisa terbuka seakan ada beban berat yang menimpanya.“Bapak tunggu di luar ruangan. Kami akan berusaha menyelamatkan istri dan anak Anda!”“Lakukan yang terbaik, dok! Saya tidak mau kehilangan mereka!”Tubuhku terasa dibawa menuju ke sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas … perutku rasanya seperti sedang diremas-remas.***“Mama … Mama … bangunlah ….” kata seorang anak kecil membangunkanku yang sedang terlelap.Aku mengedarkan pandanganku. Di mana aku berada? Kenapa tempat ini semuanya berwarn
Keinginan tinggal di rumah Nenek Nur selamanya dan juga keinginan membangun tempat ini nyatanya hanyalah menjadi angan-angan semata.Pagi-pagi sekali—lebih tepatnya sehabis subuh, rumah Nenek Nur di gedor-gedor pintunya hingga mau roboh.Ketika aku membuka pintu, tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang aku ketahui mereka itu siapa langsung menyeretku agar pergi dari rumah Nenek Nur. Tidak ada yang bisa menolongku meskipun para warga yang berada di sana ingin melakukannya. Orang-orang yang membawaku ini membawa senjata tajam dan sengaja digunakan untuk menakut-nakuti mereka.Begitu hampir tiba di mobil, aku melihat sesosok laki-laki yang aku hindari tengah bersandar pada pintu mobil dengan sepuntung rokok yang berada di jemarinya.Dia menatapku tajam bak perisai yang siap menembus lawannya.Dia pikir, aku akan takut ditatap seperti itu? Tidak akan! Aku bukan Rara yang lemah seperti dulu kala! Bahkan, jika aku mati hari ini, aku siap!“Kenapa kabur?” tanyanya dingin melebihi din
Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyetop sebuah angkot ketika sudah sampai di luar.Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan ada yang mengikutiku tidak.Lagi-lagi aku bernapas lega, syukurlah tidak ada yang mengikutiku sama sekali.Sekarang, tinggal memikirkan aku harus pergi ke mana.Tiba-tiba, nama Mila melintas di pikiranku. Sepertinya, untuk sementara waktu aku akan ke rumahnya dulu.Aku segera mengeluarkan ponselku lalu menghubungi Mila.“Assalamualaikum, Rara? Ya ampuuun … ke mana saja kamu selama ini? Kenapa pesanku nggak pernah kamu balas?” cerocos Mila begitu panggilanku telah diangkatnya.“Waalaykumussallam, Mil. Nanti aku ceritakan semuanya. Kamu ada di rumah?”“Iya, aku ada di rumah. Kan, ini hari liburku!”“Oke, aku akan datang ke rumahmu.”Begitu panggilan terputus, aku segera minta turun dari angkot guna memesan taxi online menuju rumah Mila yang jaraknya sangat jauh.*Setibanya di rumah Mila, dia langsung menyambutku dengan heboh. Apalagi ketika mengetahui p