Sementara itu, Nam bergerak cepat menuju rumah Samos, perasaan nya tak tenang. Setelah menunggu cukup lama Nam akhirnya berkata, "Kenapa Rena dan Rona belum pulang juga?" Mimik serius yang diperlihatkan Nam terlihat menahan geram, perasaan tak enak yang mengganjal perut dan dadanya menjadi kenyataan, ia tak sepenuhnya percaya pada Rona dan Rena. Keputusan untuk menghampiri rumah Samos adalah hal tepat yang dia lakukan.
Sora mengintip dari balik bilik papan, memperhatikan gerak-gerik diluar yang semakin gelap,memperlihatkan kedua bola matanya yang coklat dan pekat tertimpa sedikit cahaya lampu, ia tampak seperti predator yang mengintip mangsanya.
"Ayah, Ibu… Rona hilang!" Rena tergopoh-gopoh berlari pincang, menarik napas kemudian membuangnya lagi dengan begitu cepat sehingga terdengar seperti orang yang hampir sekarat, dia memasang muka cemas mengelabui keluarganya. "Ayah, Rona sedang bersamaku dalam perjalanan kesini, namun saat aku mampir membeli beberapa titipan ibu,setelah itu dia menghilang, aku sudah mencarinya kemanapun, tapi tetap tidak ketemu!" Kepiawaiannya dalam memanipulasi cerita tampak seperti sungguhan, muka polos dan jernihnya akan membuat semua orang percaya jika dia tak mungkin berbohong, lagi pula Rena tak pernah melakukan tindakan apapun yang merugikan keluarganya.
Napas berat Nam terdengar jelas pada telinga Sora, kakak iparnya itu tahu persis bagaimana rasa kecewa dan cemas bercampur menjadi satu. "Tenanglah Nam, Rona tak akan melakukan sesuatu yang merugikan kita," Sora berkata secara terang-terangan, itulah yang dicemaskan Nam.
Sementara itu,bus yang semula kosong saat memasuki kota semakin terisi penuh, tampak Rona mengerjapkan beberapa kali matanya, memastikan sudah sejak kapan dia terlelap di pundak Gavin.
"Kita sudah sampai?"
"Masih jauh, kamu bisa lanjutkan tidurmu."
"Aku ingin tahu rencana selanjut nya kemana?" Rona memandang tajam ke arah Gavin, dia lebih punya hak monopoli atas rencana mereka sebab dialah yang banyak mengambil resiko.
"Kita akan ke Makassar, bermalam semalam di pelabuhan. lalu ikut pelayaran kapal selanjutnya besok sore dengan tujuan Jakarta" Gavin menjelaskan secara rinci rute perjalanan mereka, membuat perempuan di sampingnya terdiam mendengar dan pasrah mengikuti rute yang diajukan Gavin, sebab dia pun belum pernah meninggalkan kota kelahirannya, kurangnya pengalamannya perihal perjalanan menjadikan dia layaknya anak ayam yang mengikuti induknya kemanapun ia pergi, tapi kali ini berbeda dia mengikuti cinta sejatinya, itu lebih meyakinkan hatinya semua akan baik-baik saja.
"Berapa jam lagi kita sampai?" Rona bertanya seperti anak kecil yang mengikuti tour pertama kali bersama gurunya.
"Dua setengah jam lagi," Gavin menjawab dengan malas, rasa kantuk dan lelahnya tampak seperti dia sedang tak ingin diganggu dengan pertanyaan remeh, meskipun itu dengan perempuan yang dicintainya sekalipun.
"Kamu marah, aku terlalu banyak bertanya?"
"Tidak, pejamkan lagi matamu, aku akan membangunkanmu kalau sudah sampai," Jawab Gavin ketus.
Rona bahkan bisa menanyakan secara rinci, apakah lelaki di sampingnya itu benar-benar mencintainya atau tidak, jawaban ketus gavin terdengar seperti nada saat sedang memarahi anak kecil yang banyak tanya, namun dia mengurungkan niatnya dia lebih mengikuti perintah gavin dengan sedikit rasa kesal di hati.
Malam menampakkan perangainya, perjalanan semakin menjauh dari kota kelahiran Rona, bising kendaraan yang berlalu lalang sekarang tersisa beberapa unit saja, penumpang yang sesak kini terlelap dalam tidurnya masing-masing. Begitupun Rona kembali memejamkan matanya, namun perasaan sesal muncul seketika mengacaukan hatinya.
"Gavin?!" Seorang lelaki muda menepuk pundak Gavin disebelah kanan, membuat dia tersentak hampir menjatuhkan ransel yang ada di pangkuannya. "Apa yang kamu lakukan disini?" Selidik lelaki muda itu, "dan kamu bersama perempuan?" Pertanyaan-pertanyaan Lucas yang menumpuk membuat Rona terganggu, dengan cepat dia menutup sedikit wajahnya menggunakan scarf yang digunakannya menutup sebagian kepalanya. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah jendela. Kelakuan Rona menimbulkan pertanyaan di benak lucas.
"Lucas?" Gavin memastikan sesuatu yang telah pasti, hanya untuk sedikit mencari celah menghindari pertanyaan dari Lucas.
"Apa yang kamu lakukan disini boy?" Lucas mengulang pertanyaannya seperti petugas sensus yang mengintrogasi penduduk tak tercatat.
"Seperti yang kamu lihat, aku sedang duduk." Gavin mencoba menjawab dengan nada bercanda.
"Maksudku kamu mau kemana?" Lucas tak sabar lagi, dia tahu pasti Gavin sedang mengecohnya, lelaki itu selalu menutupi kebenaran yang bahkan sudah terlihat jelas.
"Aku akan ke Makassar mengadu nasib, dan mengumpulkan berlian yang banyak. Lalu kamu, bagaimana dengan sekolahmu?" Gavin mencoba membuat lelucon, tapi tak ditanggapi oleh Lucas
"Aku baru saja akan berangkat berlayar, setelah pelayaranku selesai aku akan lulus dan bekerja sebagai ABK sungguhan."
"Baguslah, setidaknya kamu punya masa depan yang menjamin" Gavin menghela napas kemudian melanjutkan pertanyaannya, "Gimana kabar Cal dan Ibumu?" pertanyaan yang sebenarnya tak begitu ingin dia tanyakan keluar begitu saja dari bibirnya.
"Mereka baik, Cal telah duduk di bangku SMA dan sepertinya dia mulai kasmaran,'' Lucas tampak begitu antusias membicarakan adiknya itu, senyumnya mengembang lebar saat mengingat begitu konyol kelakuan Cal akhir-akhir ini. pertemuannya dengan Gavin layaknya Reuni yang dinanti-nantikannya setelah bertahun-tahun, memang sudah sejak enam tahun yang lalu mereka tak pernah bertemu, setelah keluarga Lucas memilih pindah keluar kota dan mencari kehidupan yang lebih layak, kerinduannya kepada kawan lamanya itu terlihat begitu alami. sedang Rona memaksa mendengar percakapan mereka dibalik telinganya yang tertutup scarf.
"Kamu bersama perempuan?" Lagi-lagi Lucas mengulang pertanyaannya, sembari menunjuk ke arah Rona yang sedari tadi memalingkan wajahnya ke arah jendela. Rona tersentak gerakan tiba-tiba nya seolah pertanda dia tak nyaman dengan pertanyaan itu.
"Ah tidak, aku baru saja mengenalnya saat mau naik bus ini," kilah Gavin, Rona tampak sedikit lega dengan jawaban Gavin.
'Aku kira kamu kenal dengannya, berarti dia juga berasal dari Tanah Lau?''
"Bukan, aku berasal dari Watu." Rona menjawab cepat pertanyaan Lucas tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu.
"Lalu, tujuanmu kemana?" Lucas mulai menjengkelkan.
"Jakarta.''Rona menjawab tanpa memalingkan wajah ke arah lawan bicaranya, jawaban bernada ketus membuat lelaki itu memilih berbalik bertanya kepada Gavin.
Hening, tiada percakapan yang terdengar di ruang keluarga Samos, paman Rona memaki dalam diam kelakuan keponakannya itu sudah melewati batas, tak ada tanda-tanda akan dimulainya percakapan.''Kita tak bisa berdiam diri seperti ini, Rona bisa saja pergi lebih jauh lagi," Nam membuka suara di antara dominasi suara kipas yang menderu dan jangkrik kedinginan."Kita akan mencari kemana? Kamu bahkan tak tahu Rona ada dimana!" Sora memecah suara terdengar seperti lengkingan yang tertahan."Ini semua kesalahan putrimu, seandainya saja dia tak mengajak Rona kesini, tidak mungkin Rona memiliki kesempatan untuk pergi." Nam tak sabar lagi."Kau bilang kesalahan Rena?" Sora mengerang. "Jika putrimu tau tata krama dan
Pagi sekali mereka bersiap, bahkan kokok ayam pun belum terdengar, Sora sibuk mengurus Samos yang tak dapat memilih baju apa yang pantas dipakai ke kota besar.Rena bersolek di depan cermin segiempat kecil yang ada di kamarnya, selalu menyenangkan baginya untuk bepergian jauh dan membayangkan betapa hebatnya diluar sana, di luar desanya yang begitu membosankan."Sudah jam berapa ini, kita bisa terlambat menemukan Rona!" Sora berteriak kepada seisi rumah, sedang Nam terduduk dalam keheningan, entah sejak kapan dia duduk di kursi ramping itu, matanya sembab akibat tak tidur semalaman dan terus saja meneteskan air mata.Meskipun keluarga mereka memiliki sebuah mobil tetapi sangat jarang mereka gunakan, pandangan sinis para tetangga membuat mereka sedikit cangg
Rona menghabiskan makanannya dengan lahap, pandangan mata Gavin yang hanya tertuju padanya membuat Rona memasang muka penuh tanya. Pelabuhan saat ini benar-benar sesak dan penuh."Ada apa?" Rona menaikkan alisnya mendapati Gavin tak henti-hentinya memandangnya"Tidak apa-apa, aku bahagia bisa bersama kamu seperti sekarang," Gavin berkilah sembarangan, akan tetapi di dalam lubuk hatinya ada sesal yang begitu besar, bisa saja dia tak dapat membahagiakan Rona, atau bisa saja Rona menderita karena ikut bersamanya.Setelah berjam-jam tak membuahkan hasil sedikitpun, Samos memasang muka datar namun kecewa, tak ada jawaban kemana perginya Rona. Rasa gelisah yang tertahan di hati Nam dan Sora membuka pikiran Rena sedikit, dia sedikit bersimpati dengan apa yan
Di tempat lain, Mateo mengangkat tangan dengan gestur putus asa sekaligus naik darah, gadis yang beberapa hari lalu ia pinang, melarikan diri bersama pria lain, amarah yang membuncah di ubun-ubun Mateo dia lepaskan dengan satu pukulan keras pada tembok rumahnya."Kita batalkan saja rencana pernikahannya!" Giri membuat suasana bertambah panas dan tak menentu."Tentu saja, gadis itu telah mempermalukan aku," Mateo mengepal tangannya. "Bagaimanapun juga dia harus menerima ganjarannya.''Bagian yang tak bisa hilang dari pandangan adalah Mateo seseorang yang berkuasa di desa itu, barang tentu akan memalukan Rona dengan sangat keji.Desas-desus tentang Rona yang lari bersama pria menjadi berita terhangat
Suara pekikan dan tawa bergantian memenuhi ruangan kelas. Lucas berdongeng seperti biasanya. Betapa dia telah terpukau kepada gadis yang ditemuinya di dalam bus, Gadis yang menutup kepala dan sebagian wajahnya menggunakan Scarf tampak begitu misterius, dengan lagak seorang pendongeng handal Lucas mendekatkan wajahnya yang berjerawat kepada wajah Maven."Kamu tidak tahu gadis itu, dia benar-benar menantang!" Lucas berbisik namun terdengar seperti angin yang bergerak lambat."Jangan dengar bualan gila itu Maven!" Loa menyela, "dasar pemimpi gila!" Loa tertawa begitu keras hingga memperlihatkan gigi gerahamnya yang paling akhir. Lucas tak terima, ia memutar balik wajahnya dan memasang muka menyeringai seperti hendak menelan Loa hidup-hidup.Suasana kelas semakin pan
Di kamar Rona, buku-buku yang sedari tadi telah disiapkan Rona bertumpuk memenuhi meja riasnya, cahaya mentari yang masuk melewati kisi-kisi jendelanya, berpendar transparan saat Rona menyentuhnya perlahan. perasaan yang tak dapat dijelaskan memenuhi rongga dadanya, perasaan bersemangat melebihi apapun menjalari seluruh sumsum tulangnya.Nam mengetuk pintu perlahan, memastikan bahwa putri semata wayangnya telah terjaga, "apa kamu masih tidur?" Suara lembut memasuki rongga telinga Rona, tak biasanya ibunya bersuara lembut seperti itu, seketika perasaan bergidik dan pikiran-pikiran negatif tentang pernikahan berputar-putar di kepalanya.''Rona, pamanmu mau berbicara,tolong keluarlah!" Nam mendorong pintu dengan pelan, manik matanya menangkap Rona sedang bersenang-senang dengan cahaya yang ia coba genggam.
Sedang di ruang kelas, suguhan pemandangan tumpukan kertas menambah denyut ketir pada kepala Maven, betapa ia membenci keadaan saat ia harus terjebak pada cinta masa lalunya, gerakan tangannya didominasi oleh perasaan menggebu-gebu namun pikiran nya seperti mati rasa, perasaan janggal yang setiap hari dalam setahun hidupnya selalu tentang gadis itu, telah enam tahun berlalu namun gadis itu tetap diposisi yang sama di dalam pikiran Maven.Seorang gadis berambut sebahu mencuri perhatian Maven yang tak begitu peduli dengan keadaan sekitar, suara lantang yang dikeluarkan gadis itu, tampak seperti preman yang sedang menguasai papan pengumuman, gadis yang tak tahu aturan dengan segala ambisi dan kekecewaan yang menyatu pada wajahnya menarik perhatian Maven."Maaf, bisakah aku yang duluan membaca?" Meskipun terdengar kata maaf, gadis
Rencana kepergian Rona untuk menghindari cacian buruk tetangga terhadapnya, terdengar di telinga Mateo. Awan belum sempat menggantung, cuaca sedang tak mendukung namun bara di hati Mateo memanaskan wajah dan telinganya."Berani-beraninya gadis itu meninggalkan desa ini, sedang aku yang harus menanggung malu akibat ulahnya" Mateo merasa sangat dirugikan atas tindakan Rona yang pergi bersama pria lain sedang lamarannya telah masuk ke keluarganya, betapa gadis itu juga telah memberi senyum manis kepadanya ketika ia datang melamar. Cibiran para tetangga yang menyangkut pautkan dirinya telah mencoreng nama baik Mateo, seseorang yang berkuasa ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis yang terbilang tak terlalu terpandang darinya.Kekesalan Mateo tak dapat ia tahan lagi, perasaan panas yang menjalar di sekujur tubuhnya tak dapat