Share

Tujuan Jakarta

Hening, tiada percakapan yang terdengar di ruang keluarga Samos, paman Rona memaki dalam diam kelakuan keponakannya itu sudah melewati batas, tak ada tanda-tanda akan dimulainya percakapan.

''Kita tak bisa berdiam diri seperti ini, Rona bisa saja pergi lebih jauh lagi," Nam membuka suara di antara dominasi suara kipas yang menderu dan jangkrik kedinginan. 

"Kita akan mencari kemana? Kamu bahkan tak tahu Rona ada dimana!" Sora memecah suara terdengar seperti lengkingan yang tertahan. 

"Ini semua kesalahan putrimu, seandainya saja dia tak mengajak Rona kesini, tidak mungkin Rona memiliki kesempatan untuk pergi." Nam tak sabar lagi.

"Kau bilang kesalahan Rena?" Sora mengerang. "Jika putrimu tau tata krama dan bisa menjaga nama baik keluarganya tak mungkin dia pergi seperti itu!" Detak jantungnya seperti ingin meledak, matanya sengaja dia besarkan terlihat seperti drama kucing kejepit. 

Samos tak tinggal diam, lelaki ramah namun tegas itu bisa saja membuat kedua wanita di depannya terdiam tanpa kata, namun sebagai pria dia punya peran penting dalam menengahi adu mulut tersebut. Sedang Rena tak acuh, seakan tak ada yang terjadi, meski dia tahu masalah besar sedang di depan matanya.

Waktu berjalan lebih lambat, pukul sembilan malam terasa lebih mencekam dari biasanya, gigil gigi ke gigi membuat suasana semakin tak menentu. Rena tak dapat menahan kantuknya, tetapi keluarga mana yang akan tidur pulas apabila salah seorang keluarganya hilang, meskipun dia ada dalam rencana menghilangnya Rona, setidaknya dia akan memperlihatkan sisi peduli nya sedikit.

"Bagaimana jika kita ke Makassar besok pagi, Rona tak mungkin pergi hanya di sekitar sini, ambisinya ke kota besar bisa jadi tolak ukur untuk kita, bukannya dari ia kecil Rona selalu merengek ingin tinggal di kota?" Sora memberi saran yang bisa saja disanggah oleh Nam, akan tetapi sorot mata keputusasaan  Nam terlihat lebih memiliki harapan mendengar ucapan dari Sora. 

Kantuk yang tertahan di ujung mata Nam, digelayuti rasa tak sabar dan gelisah, anak perempuan semata wayangnya berani mencoreng abu ke mukanya, putri yang dia besarkan tak kekurangan sedikitpun perhatian darinya. 

"Sebaiknya kau tidur Nam, besok selepas subuh kita akan berangkat ke Makassar, tak usah kau risaukan, kita pasti bertemu Rona." 

Tentu saja, Nam berpikir mereka tak merasakan apa yang dia rasakan, Rona tak pernah pergi jauh, dia tak tahu apa-apa dan masih terlalu polos untuk berdiri sendiri diluar sana, begitu banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada Rona, gadis malang itu tak mungkin melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Tapi, rasa khawatir Nam seketika berubah menjadi kesal yang begitu dalam. Rona gadis kecil itu telah mempermalukan dirinya, apapun alasannya dia tak boleh meninggalkan rumah, tak ada alasan yang tepat untuk seorang gadis melarikan diri dari rumah. 

Sora tahu persis perasaan gelisah yang menghantui Nam, Rona sudah dianggap anak kandungnya sendiri, sedari Rona kecil dialah yang berperan penting membesarkan gadis itu, di balik sikap depresi Nam yang bertahun-tahun setelah ditinggal mati ayah Rona, gadis kecil yang punya ambisi dan cerdas itu terlihat memiliki banyak rahasia yang sengaja kemas dengan rapat, namun satu yang Sora tahu Rona sangat ingin tinggal di kota, memiliki banyak kenalan dan juga ingin berpendidikan tinggi. 

"Kau belum juga tidur?" Samos mengusap pelan tangan istrinya. Pria itu memiliki kepribadian yang dapat membuat setiap orang salah sangka, senyumnya yang hangat namun sikapnya yang dingin akan membuat orang disekelilingnya canggung jika berhadapan dengannya. 

"Aku tidak bisa tidur, Rona membuatku sangat khawatir." 

"Tidurlah, besok kita akan mencarinya" Samos mencoba menenangkan hati istrinya, "kita akan menemukan Rona besok, kita perlu tenaga untuk perjalanan besok, jadi kuharap kau bisa memperhatikan kesehatanmu.''

Ditempat lain, Bus yang ditumpangi Rona melaju perlahan memasuki kota Makassar, Rona tak henti-hentinya berdecak kagum dalam diam, matanya berbinar tampak seperti seorang anak kecil yang diajak naik bianglala oleh orang tuanya. 

"Kamu pernah ke Jakarta sebelumnya?" Lucas kembali mengakrabkan diri dengan Rona, sifat ramahnya yang tak biasa akan membuat beberapa orang akan sedikit jengkel dengan sikap sok dekatnya itu. 

"Sering, setiap tahun aku berkunjung ke rumah pamanku," Rona menjawab santai, tanpa memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia mengenal Gavin, dia berbicara seolah dia sendirilah yang melakukan perjalanan hebat itu. 

Suara Rona terdengar hilang dan timbul saat bersinggungan dengan deru mobil bus tua yang mereka tumpangi, Lucas tak dapat mendengar dengan jelas, namun dia mengangguk seakan mendengar seluruh jawaban yang dilontarkan Rona. 

"Aku akan turun di terminal depan, Institut ku ada di sekitar sini," Lucas tersenyum kecil, Gavin tahu dibalik ucapannya itu ada rasa bangga pada diri Lucas yang bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang itu. 

"Yah, aku juga akan turun di Sudiang, aku akan tinggal beberapa hari dirumah kenalan ibuku," Gavin menimpali. 

"Bagaimana denganmu Nona?" Lucas tanpa sadar bertanya lagi, Rona menjawab singkat. "Dekat pelabuhan."

Lucas menatap prihatin, gadis itu terlalu muda untuk bepergian sendirian, itulah yang pertama kali terpikir oleh otaknya saat tak mendengar seluruh jawaban yang diutarakan Rona tentang Jakarta, sebenarnya dalam lubuk hati Lucas, dia ingin sekali menawarkan jasanya untuk sekedar menemani Rona hingga ke Pelabuhan lalu memesan tiket. Tetapi wajah gadis itu terlihat menantang dan sangat angkuh membuat Lucas mengurungkan niatnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status