Share

Pernikahan Gadis 100 Juta
Pernikahan Gadis 100 Juta
Author: eri desianto

Pilihan Tidak Adil

"Bawa ini ke depan ! " Nam mengangkat nampan berisi teko alumunium yang penuh beserta gelas-gelas kaca beraksen phoenix nan indah.

          Kemarahan yang tak dapat dijelaskan dari malam sebelumnya bahkan pada dirinya sendiri tiba-tiba membuncah, Rona menyentak nampan yang ada pada ibunya, memasang wajah tak senang kemudian beralih menjadi senyum dibuat-buat seketika saat melewati pintu dapur.

          Bayangan wajahnya di teko, terlihat bengkak setelah semalam suntuk pikiran gelisah mengambil alih jam tidurnya, Mata coklat pekat nya dihiasi gurat-gurat merah, sebuah perasaan antiklimaks yang membuat Rona sedikit canggung berhadapan dengan lelaki gendut beraroma akar wangi bercampur keringat di depannya.

                Sementara benaknya sibuk mengolah kisah agar dia dapat terbebas dari lamaran pria tersebut, sedang keluarga besar nya alih-alih mendengarkan isi pikiran Rona, mereka memilih membuka tangan lebar-lebar untuk lelaki di hadapan mereka, membuat Rona menahan geram dalam geming. 

                "Kamu sudah mendengar persyaratan untuk menikahi Rona ?" paman Rona membuka pembicaraan secara terus terang. 

               "Uang mahar 100 Juta beserta uang belanja pernikahan yang dibebankan sepenuhnya kepada keluarga pria, bukan begitu paman ? " lelaki itu memastikan syarat yang diberikan keluarga Rona. 

               Perempuan bernama Rona adalah salah satu gadis yang masih melanjutkan pendidikannya hingga tahap Sekolah Menengah Atas, sedangkan melanjutkan pendidikan hingga ranah itu adalah kemewahan bagi orang-orang di desa Rona, terlebih lagi sekolah di perkotaan membuat rumor besar di antara para tetangga bahwa Rona akan dihargai lebih tinggi dari biaya mahar gadis desa lainnya. 

            Kali ini dia menyadari bahwa sudah bersikap kaku dan kikuk terlalu lama, dan terlambat untuk melakukannya dengan wajar.

             Rona mengambil diri setelah mengirim beberapa minuman untuk para tamu, memilih mendengarkan pembicaraan kedua keluarga di balik gorden kamarnya, badannya yang langsing terkesiap saat perempuan kurus menepuk pundaknya dari belakang, senyum tipis dari perempuan ringkih itu membuat Rona sedikit dipengaruhi aura defensif. 

             "Wah, gadis seperti kamu bakal jadi nyonya kaya di kampung ini, selamat ya" 

             "Oh ya ? Sayangnya aku tidak berharap itu terjadi" 

            Perempuan ringkih itu berlalu dengan kesal, Ruth. Kakak sepupu Rona yang sangat tak menyukai Rona, karena ia dibesarkan dari didikan kampung orang tua nya, saat memasuki sekolah menengah pertama ia telah dipilihkan jodoh yang ia sendiri tak menginginkan lelaki instalatur listrik itu menjadi suaminya, namun ia tak bisa lari dari jeratan tradisi kampung mereka, bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan dan kebodohan suaminya dalam menyenangkan hatinya membuat Ruth melepaskan ikatan nya sebagai istri, kelakuannya serta merta menjadi cibiran besar para tetangga dan keluarga besarnya. 

           Peran penting pamannya dalam menyampaikan segala keperluan, kelebihan-kelebihan Rona begitu pula dengan syarat-syarat menikahi keponakannya membuat dia seperti menekankan kisah yang lebih mengarah kepada aspek komersial cerita. 

           "Rona adalah keponakan saya yang tak hanya memiliki paras yang enak dipandang, dia juga cerdas dan tidak akan membuat kecewa keluarga besarmu, nak. Sedang ia juga melanjutkan pendidikan hingga tahap sekolah menengah atas''. Paman Samos menjelaskan secara rinci kelebihan keponakan nya itu, namun ia tidak memperhatikan kejenuhan yang terlihat sepintas dari muka kroni-kroni pendamping lelaki itu.

         Bekas langkah kaki yang terdengar dari papan yang berderit mengalihkan pandangan semua orang pada wanita yang datang membawa bermacam-macam kue di tangannya, hingga ia tak dapat salah bergerak, salah sedikit ia akan menumpahkan kue-kue itu ke lantai papan rumah panggung itu.  

           Tatapan sendu dan murung Rona dari kejauhan ditangkap basah oleh Nam ibundanya, wanita berlesung pipi dan masih terlihat segar itu masih sangat pantas menggunakan sarung berwarna cerah dan baju berlengan pendek warna berbeda, membuat ia tampak seperti kue lapis yang padat.

          "Berhenti memasang muka masam seperti itu Rona, kalau kamu terus seperti itu, jodohmu benar-benar tak akan sampai, kamu ingat sudah berapa banyak pria yang menarik lamarannya karena tahu uang maharmu?" 

          "Tapi bu, bukan dia yang kumau !"

         "Gavin ! kamu mau Gavin bukan ? " Nam memicingkan matanya tanda tak setuju dengan keinginan putrinya menikah dengan lelaki yang tak mampu membawa mahar yang keluarganya setujui.

         Rona menunduk lesu, tulang lututnya menabrak kursi kayu di depannya, harapan nya pada sosok lelaki bernama Gavin itu pupus seketika, layu disemprot kata-kata pedas ibunya. 

          Bagaimanapun juga Gavin adalah lelaki yang ia inginkan, lelaki yang pertama kali membuat jantungnya berdebar dan hatinya porak-poranda, dia telah meruntuhkan sikap pemalu Rona dengan kepiawaiannya berkelakar, sehingga membuat Rona tak segan-segan tertawa lepas saat berbincang dengannya. 

        Nam selalu mengatakan jika keluarganya terbungkus dalam lapisan kesopanan yang tak kasat mata, membuat mereka menjadi keluarga terpandang di desa itu, dia berharap putrinya tak pernah mencoreng abu kemuka orang tua nya. 

        Rona bimbang menimbang diri, pikiran kalutnya membuat ia tak henti-hentinya menggeser bulir-bulir sempoa di atas mejanya. 

         Kehadiran sosok Gavin beberapa waktu lalu adalah sesuatu yang mutlak, tak ubahnya cahaya, matahari, dan oksigen bagi hidupnya. Jika memang kelak ia tak bisa bersama Gavin entah apa yang akan terjadi pada tubuhnya, bisa saja mati karena kekurangan cinta dari Gavin. 

        Nam duduk di kursi plastik berkaki bundar di samping dipan Rona, mencoba menenangkan hati Rona yang penuh kemelut akan jodoh di depan matanya, meski ia sedang membujuk Rona akan tetapi kata-kata yang dia ucap menekankan jika Rona harus siap menerima lelaki itu. 

       Rona tersedak mengusap lehernya, peluh yang keluar akibat dentuman jantungnya yang bergetar hebat dan pikirannya yang tak sejalan dengan keadaan membuat Rona sedikit menghela napas panjang di depan ibunya. 

      "Kamu mendengarkan ibu kan. Rona, Ibu harap kamu tak menjadi perempuan tua kalau bertingkah seperti itu terus"  Nam berbisik namun seakan terdengar meninggikan suara, dia menyatukan gigi atas dan bawahnya agar tak mengeluarkan suara keras dan mengganggu tamunya di luar.

     "Bu, tolong mengerti, aku tak mau dengan lelaki tua itu, dia sudah berumur dibanding aku" Rona merengek.

       "Bukannya lebih baik menikah dengan lelaki yang sudah berumur, dia bisa mengayomimu. Lagipula dia juga sudah mapan, kamu bakal hidup enak Rona"  Nam mempertahankan posisi nya untuk menguasai pembicaraan di atas putrinya. 

         Rencana melepaskan ikatan malah berbalik mencengkramnya, menjadikan Rona tak dapat menahan buncahan air mata yang sedari tadi ia jaga. 

       Nam meninggalkan Rona yang masih mempertahankan ego masa mudanya, dengan memasang senyum dibuat-buat, dia terlihat sangat tidak natural dengan akting mimik wajah itu. 

       Sedang Rona masih berkelana dalam pikirannya, kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja akan terjadi dan peluang-peluang apa saja yang dapat ia temui agar ia dapat terlepas dari lamaran lelaki berumur itu. Dia mengayuh khayalannya sampai pada titik ia menemukan Gavin dengan setangkai mawar dan senyumnya mengembang di ujung sana. Belum sempat ia meraih mawar itu, kekeh keras dari ruang tamu merusak khayalan manis itu, dia tahu pasti, percakapan itu telah menuju keputusan akhir, terdengar samar ucapan pamannya yang memastikan tanggal yang tepat untuk penyerahan uang belanja pada keluarga perempuan, dan barang tentu itu adalah puncak sebuah lamaran diterima bagi tradisi kampungnya. 

      "Kau nampak seperti tumbuhan lebat, berdaun hijau, segar dan sebentar lagi berlebah dan berbuah"

       Kata-kata manis Gavin terakhir kali dia bertemu Rona menjadikan Rona tak punya pilihan lain selain meninggalkan keluarganya dan hidup bahagia bersama Gavin. 

         Pikiran Gila Rona untuk menghilang dari keluarganya harus ia pikirkan matang-matang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status