"Bawa ini ke depan ! " Nam mengangkat nampan berisi teko alumunium yang penuh beserta gelas-gelas kaca beraksen phoenix nan indah.
Kemarahan yang tak dapat dijelaskan dari malam sebelumnya bahkan pada dirinya sendiri tiba-tiba membuncah, Rona menyentak nampan yang ada pada ibunya, memasang wajah tak senang kemudian beralih menjadi senyum dibuat-buat seketika saat melewati pintu dapur.
Bayangan wajahnya di teko, terlihat bengkak setelah semalam suntuk pikiran gelisah mengambil alih jam tidurnya, Mata coklat pekat nya dihiasi gurat-gurat merah, sebuah perasaan antiklimaks yang membuat Rona sedikit canggung berhadapan dengan lelaki gendut beraroma akar wangi bercampur keringat di depannya.
Sementara benaknya sibuk mengolah kisah agar dia dapat terbebas dari lamaran pria tersebut, sedang keluarga besar nya alih-alih mendengarkan isi pikiran Rona, mereka memilih membuka tangan lebar-lebar untuk lelaki di hadapan mereka, membuat Rona menahan geram dalam geming.
"Kamu sudah mendengar persyaratan untuk menikahi Rona ?" paman Rona membuka pembicaraan secara terus terang.
"Uang mahar 100 Juta beserta uang belanja pernikahan yang dibebankan sepenuhnya kepada keluarga pria, bukan begitu paman ? " lelaki itu memastikan syarat yang diberikan keluarga Rona.
Perempuan bernama Rona adalah salah satu gadis yang masih melanjutkan pendidikannya hingga tahap Sekolah Menengah Atas, sedangkan melanjutkan pendidikan hingga ranah itu adalah kemewahan bagi orang-orang di desa Rona, terlebih lagi sekolah di perkotaan membuat rumor besar di antara para tetangga bahwa Rona akan dihargai lebih tinggi dari biaya mahar gadis desa lainnya.
Kali ini dia menyadari bahwa sudah bersikap kaku dan kikuk terlalu lama, dan terlambat untuk melakukannya dengan wajar.
Rona mengambil diri setelah mengirim beberapa minuman untuk para tamu, memilih mendengarkan pembicaraan kedua keluarga di balik gorden kamarnya, badannya yang langsing terkesiap saat perempuan kurus menepuk pundaknya dari belakang, senyum tipis dari perempuan ringkih itu membuat Rona sedikit dipengaruhi aura defensif.
"Wah, gadis seperti kamu bakal jadi nyonya kaya di kampung ini, selamat ya"
"Oh ya ? Sayangnya aku tidak berharap itu terjadi"
Perempuan ringkih itu berlalu dengan kesal, Ruth. Kakak sepupu Rona yang sangat tak menyukai Rona, karena ia dibesarkan dari didikan kampung orang tua nya, saat memasuki sekolah menengah pertama ia telah dipilihkan jodoh yang ia sendiri tak menginginkan lelaki instalatur listrik itu menjadi suaminya, namun ia tak bisa lari dari jeratan tradisi kampung mereka, bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan dan kebodohan suaminya dalam menyenangkan hatinya membuat Ruth melepaskan ikatan nya sebagai istri, kelakuannya serta merta menjadi cibiran besar para tetangga dan keluarga besarnya.
Peran penting pamannya dalam menyampaikan segala keperluan, kelebihan-kelebihan Rona begitu pula dengan syarat-syarat menikahi keponakannya membuat dia seperti menekankan kisah yang lebih mengarah kepada aspek komersial cerita.
"Rona adalah keponakan saya yang tak hanya memiliki paras yang enak dipandang, dia juga cerdas dan tidak akan membuat kecewa keluarga besarmu, nak. Sedang ia juga melanjutkan pendidikan hingga tahap sekolah menengah atas''. Paman Samos menjelaskan secara rinci kelebihan keponakan nya itu, namun ia tidak memperhatikan kejenuhan yang terlihat sepintas dari muka kroni-kroni pendamping lelaki itu.
Bekas langkah kaki yang terdengar dari papan yang berderit mengalihkan pandangan semua orang pada wanita yang datang membawa bermacam-macam kue di tangannya, hingga ia tak dapat salah bergerak, salah sedikit ia akan menumpahkan kue-kue itu ke lantai papan rumah panggung itu.
Tatapan sendu dan murung Rona dari kejauhan ditangkap basah oleh Nam ibundanya, wanita berlesung pipi dan masih terlihat segar itu masih sangat pantas menggunakan sarung berwarna cerah dan baju berlengan pendek warna berbeda, membuat ia tampak seperti kue lapis yang padat.
"Berhenti memasang muka masam seperti itu Rona, kalau kamu terus seperti itu, jodohmu benar-benar tak akan sampai, kamu ingat sudah berapa banyak pria yang menarik lamarannya karena tahu uang maharmu?"
"Tapi bu, bukan dia yang kumau !"
"Gavin ! kamu mau Gavin bukan ? " Nam memicingkan matanya tanda tak setuju dengan keinginan putrinya menikah dengan lelaki yang tak mampu membawa mahar yang keluarganya setujui.
Rona menunduk lesu, tulang lututnya menabrak kursi kayu di depannya, harapan nya pada sosok lelaki bernama Gavin itu pupus seketika, layu disemprot kata-kata pedas ibunya.
Bagaimanapun juga Gavin adalah lelaki yang ia inginkan, lelaki yang pertama kali membuat jantungnya berdebar dan hatinya porak-poranda, dia telah meruntuhkan sikap pemalu Rona dengan kepiawaiannya berkelakar, sehingga membuat Rona tak segan-segan tertawa lepas saat berbincang dengannya.
Nam selalu mengatakan jika keluarganya terbungkus dalam lapisan kesopanan yang tak kasat mata, membuat mereka menjadi keluarga terpandang di desa itu, dia berharap putrinya tak pernah mencoreng abu kemuka orang tua nya.
Rona bimbang menimbang diri, pikiran kalutnya membuat ia tak henti-hentinya menggeser bulir-bulir sempoa di atas mejanya.
Kehadiran sosok Gavin beberapa waktu lalu adalah sesuatu yang mutlak, tak ubahnya cahaya, matahari, dan oksigen bagi hidupnya. Jika memang kelak ia tak bisa bersama Gavin entah apa yang akan terjadi pada tubuhnya, bisa saja mati karena kekurangan cinta dari Gavin.
Nam duduk di kursi plastik berkaki bundar di samping dipan Rona, mencoba menenangkan hati Rona yang penuh kemelut akan jodoh di depan matanya, meski ia sedang membujuk Rona akan tetapi kata-kata yang dia ucap menekankan jika Rona harus siap menerima lelaki itu.
Rona tersedak mengusap lehernya, peluh yang keluar akibat dentuman jantungnya yang bergetar hebat dan pikirannya yang tak sejalan dengan keadaan membuat Rona sedikit menghela napas panjang di depan ibunya.
"Kamu mendengarkan ibu kan. Rona, Ibu harap kamu tak menjadi perempuan tua kalau bertingkah seperti itu terus" Nam berbisik namun seakan terdengar meninggikan suara, dia menyatukan gigi atas dan bawahnya agar tak mengeluarkan suara keras dan mengganggu tamunya di luar.
"Bu, tolong mengerti, aku tak mau dengan lelaki tua itu, dia sudah berumur dibanding aku" Rona merengek.
"Bukannya lebih baik menikah dengan lelaki yang sudah berumur, dia bisa mengayomimu. Lagipula dia juga sudah mapan, kamu bakal hidup enak Rona" Nam mempertahankan posisi nya untuk menguasai pembicaraan di atas putrinya.
Rencana melepaskan ikatan malah berbalik mencengkramnya, menjadikan Rona tak dapat menahan buncahan air mata yang sedari tadi ia jaga.
Nam meninggalkan Rona yang masih mempertahankan ego masa mudanya, dengan memasang senyum dibuat-buat, dia terlihat sangat tidak natural dengan akting mimik wajah itu.
Sedang Rona masih berkelana dalam pikirannya, kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja akan terjadi dan peluang-peluang apa saja yang dapat ia temui agar ia dapat terlepas dari lamaran lelaki berumur itu. Dia mengayuh khayalannya sampai pada titik ia menemukan Gavin dengan setangkai mawar dan senyumnya mengembang di ujung sana. Belum sempat ia meraih mawar itu, kekeh keras dari ruang tamu merusak khayalan manis itu, dia tahu pasti, percakapan itu telah menuju keputusan akhir, terdengar samar ucapan pamannya yang memastikan tanggal yang tepat untuk penyerahan uang belanja pada keluarga perempuan, dan barang tentu itu adalah puncak sebuah lamaran diterima bagi tradisi kampungnya.
"Kau nampak seperti tumbuhan lebat, berdaun hijau, segar dan sebentar lagi berlebah dan berbuah"
Kata-kata manis Gavin terakhir kali dia bertemu Rona menjadikan Rona tak punya pilihan lain selain meninggalkan keluarganya dan hidup bahagia bersama Gavin.
Pikiran Gila Rona untuk menghilang dari keluarganya harus ia pikirkan matang-matang.
''Apa kamu memiliki cukup tabungan dan keberanian untuk melarikan diri dari rumah, Apa kamu siap dengan segala konsekuensi yang akan kamu terima nanti Rona ? Gejolak batin Rona seketika menguasai alam bawah sadarnya, salah satu pertanda buruk bagi disentri perutnya.Tumpukan baju berserakan di seluruh penjuru kamar, tampak seperti terjadi pelelangan baju di tempat itu, dia tersenyum saat memikirkan kebahagiaan yang akan di jalaninya bersama Gavin, lelaki tegap itu telah menghilangkan setengah dari kewarasannya. Dia telah membuat janji tiga puluh menit lalu, nomor ponsel Gavin yang tak dimilikinya membuat ia harus memohon kepada Rena untuk menyampaikan pesannya kepada Gavin."Kata nya iya, kita bertemu di depan balai desa, hari ini hari Rabu, tidak banyak orang disana, kita d
Sementara itu, Nam bergerak cepat menuju rumah Samos, perasaan nya tak tenang. Setelah menunggu cukup lama Nam akhirnya berkata, "Kenapa Rena dan Rona belum pulang juga?" Mimik serius yang diperlihatkan Nam terlihat menahan geram, perasaan tak enak yang mengganjal perut dan dadanya menjadi kenyataan, ia tak sepenuhnya percaya pada Rona dan Rena. Keputusan untuk menghampiri rumah Samos adalah hal tepat yang dia lakukan.Sora mengintip dari balik bilik papan, memperhatikan gerak-gerik diluar yang semakin gelap,memperlihatkan kedua bola matanya yang coklat dan pekat tertimpa sedikit cahaya lampu, ia tampak seperti predator yang mengintip mangsanya."Ayah, Ibu… Rona hilang!" Rena tergopoh-gopoh berlari pincang, menarik napas kemudian membuangnya lagi dengan begitu cepat sehingga terdengar seperti orang yang hampir sekarat, d
Hening, tiada percakapan yang terdengar di ruang keluarga Samos, paman Rona memaki dalam diam kelakuan keponakannya itu sudah melewati batas, tak ada tanda-tanda akan dimulainya percakapan.''Kita tak bisa berdiam diri seperti ini, Rona bisa saja pergi lebih jauh lagi," Nam membuka suara di antara dominasi suara kipas yang menderu dan jangkrik kedinginan."Kita akan mencari kemana? Kamu bahkan tak tahu Rona ada dimana!" Sora memecah suara terdengar seperti lengkingan yang tertahan."Ini semua kesalahan putrimu, seandainya saja dia tak mengajak Rona kesini, tidak mungkin Rona memiliki kesempatan untuk pergi." Nam tak sabar lagi."Kau bilang kesalahan Rena?" Sora mengerang. "Jika putrimu tau tata krama dan
Pagi sekali mereka bersiap, bahkan kokok ayam pun belum terdengar, Sora sibuk mengurus Samos yang tak dapat memilih baju apa yang pantas dipakai ke kota besar.Rena bersolek di depan cermin segiempat kecil yang ada di kamarnya, selalu menyenangkan baginya untuk bepergian jauh dan membayangkan betapa hebatnya diluar sana, di luar desanya yang begitu membosankan."Sudah jam berapa ini, kita bisa terlambat menemukan Rona!" Sora berteriak kepada seisi rumah, sedang Nam terduduk dalam keheningan, entah sejak kapan dia duduk di kursi ramping itu, matanya sembab akibat tak tidur semalaman dan terus saja meneteskan air mata.Meskipun keluarga mereka memiliki sebuah mobil tetapi sangat jarang mereka gunakan, pandangan sinis para tetangga membuat mereka sedikit cangg
Rona menghabiskan makanannya dengan lahap, pandangan mata Gavin yang hanya tertuju padanya membuat Rona memasang muka penuh tanya. Pelabuhan saat ini benar-benar sesak dan penuh."Ada apa?" Rona menaikkan alisnya mendapati Gavin tak henti-hentinya memandangnya"Tidak apa-apa, aku bahagia bisa bersama kamu seperti sekarang," Gavin berkilah sembarangan, akan tetapi di dalam lubuk hatinya ada sesal yang begitu besar, bisa saja dia tak dapat membahagiakan Rona, atau bisa saja Rona menderita karena ikut bersamanya.Setelah berjam-jam tak membuahkan hasil sedikitpun, Samos memasang muka datar namun kecewa, tak ada jawaban kemana perginya Rona. Rasa gelisah yang tertahan di hati Nam dan Sora membuka pikiran Rena sedikit, dia sedikit bersimpati dengan apa yan
Di tempat lain, Mateo mengangkat tangan dengan gestur putus asa sekaligus naik darah, gadis yang beberapa hari lalu ia pinang, melarikan diri bersama pria lain, amarah yang membuncah di ubun-ubun Mateo dia lepaskan dengan satu pukulan keras pada tembok rumahnya."Kita batalkan saja rencana pernikahannya!" Giri membuat suasana bertambah panas dan tak menentu."Tentu saja, gadis itu telah mempermalukan aku," Mateo mengepal tangannya. "Bagaimanapun juga dia harus menerima ganjarannya.''Bagian yang tak bisa hilang dari pandangan adalah Mateo seseorang yang berkuasa di desa itu, barang tentu akan memalukan Rona dengan sangat keji.Desas-desus tentang Rona yang lari bersama pria menjadi berita terhangat
Suara pekikan dan tawa bergantian memenuhi ruangan kelas. Lucas berdongeng seperti biasanya. Betapa dia telah terpukau kepada gadis yang ditemuinya di dalam bus, Gadis yang menutup kepala dan sebagian wajahnya menggunakan Scarf tampak begitu misterius, dengan lagak seorang pendongeng handal Lucas mendekatkan wajahnya yang berjerawat kepada wajah Maven."Kamu tidak tahu gadis itu, dia benar-benar menantang!" Lucas berbisik namun terdengar seperti angin yang bergerak lambat."Jangan dengar bualan gila itu Maven!" Loa menyela, "dasar pemimpi gila!" Loa tertawa begitu keras hingga memperlihatkan gigi gerahamnya yang paling akhir. Lucas tak terima, ia memutar balik wajahnya dan memasang muka menyeringai seperti hendak menelan Loa hidup-hidup.Suasana kelas semakin pan
Di kamar Rona, buku-buku yang sedari tadi telah disiapkan Rona bertumpuk memenuhi meja riasnya, cahaya mentari yang masuk melewati kisi-kisi jendelanya, berpendar transparan saat Rona menyentuhnya perlahan. perasaan yang tak dapat dijelaskan memenuhi rongga dadanya, perasaan bersemangat melebihi apapun menjalari seluruh sumsum tulangnya.Nam mengetuk pintu perlahan, memastikan bahwa putri semata wayangnya telah terjaga, "apa kamu masih tidur?" Suara lembut memasuki rongga telinga Rona, tak biasanya ibunya bersuara lembut seperti itu, seketika perasaan bergidik dan pikiran-pikiran negatif tentang pernikahan berputar-putar di kepalanya.''Rona, pamanmu mau berbicara,tolong keluarlah!" Nam mendorong pintu dengan pelan, manik matanya menangkap Rona sedang bersenang-senang dengan cahaya yang ia coba genggam.