Sudah hampir satu jam lamanya Xavier menunggu kedatangan seseorang di ruang kerja salah satu dokter forensik wanita yang pernah ia kencani. Namun, Wanita itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya hingga saat ini. Ini sudah ke sepuluh kalinya Xavier memutar pergelangan tangannya. Kembali melirik arloji, menghitung setiap detik dan menit yang berlalu. Sialnya terasa lama dan membuatnya mual. Dua orang lain yang merupakan dokter Koas, diam-diam menaruh perhatian. Raut wajah serius seakan sengaja dipamerkan untuk memberikan citra yang baik di hadapan seorang jaksa muda yang terkenal dengan ketegasannya ini. Ceklek. Suara langkah terburu-buru disusul dengan suara kenop pintu yang dibuka, membuat Xavier menoleh. Di sana, Rossie menyandarkan tubuhnya pada sisi bingkai pintu. Napas tersengal seperti habis lari marathon. “Xavier, maaf sudah membuatmu menunggu,” kata Rossie di tengah napas yang terasa di ujung tenggorokkan. Butuh waktu untuk menjangkau ruang kerja ini dari ruang otop
Dua buah manik mata keoranyean menatap sendu pada layar ponsel yang sejak tadi dalam genggaman. Seorang wanita duduk di balik jendela yang membatasi dirinya dengan hiruk pikuk orang-orang yang mencari tempat berteduh. Rintik hujan semakin mendukung perasaannya saat ini. Patah hati terdalam sepanjang sejarah perjalanan cinta Aurora. Bahkan segelas cappucino panas tak mampu melegakan sedikit saja sesak di dada. “Kemana kamu pergi Hyunjin? Kenapa kamu menghilang begitu saja? Apa salahku?” Pertanyaan-pertanyaan itu sontak keluar dari bibir titip yang dipoles lipgloss warna baby pink. Duduk sendiri di sudut cafe, Aurora masih menyimpan banyak teka-teki dalam benaknya. Kepergian sang kekasih membuat separuh nyawanya seolah dicabut paksa. Sudah Dua tahun, sang kekasih hilang entah kemana. Tanpa pamit bahkan tanpa memberikan petunjuk apapun. “Permisi, satu kentang goreng, silahkan, selamat menikmati,” ucap seorang pelayan cafe mengantarkan pesanan Aurora. Lamunannya tentang Hyunjin seket
Lima orang tim forensik keluar dari ruang rapat di ujung lorong. Dua diantaranya adalah sosok senior, melangkah lebih dulu disusul Rossie dan Javier di belakang mereka. Salah satu dokter senior berbalik ketika teringat sesuatu, yang lantas juga menghentikan langkah sepasang sahabat itu. “Kalian berdua, tolong berikan laporan kasus ini padaku segera. Pihak kepolisian akan menutup kasus jika terbukti kasus ini murni kecelakaan,” katanya. Tatapan pria berusia sekitar empat puluh tahun, kilau rambut putih yang nampak malu-malu diantara rambutnya yang hitam, dan sneli putih bertuliskan nama Frans. “Baik, dok. Kami usahakan laporan akan selesai kurang dari satu minggu. Bukan begitu, Ros?” itu Javier yang menjawab. Menoleh ke arah sosok wanita yang melamun sepanjang rapat–Rossie. Perlu upaya menyenggol lengan Rossie lebih dulu untuk membuatnya sadar akan realita. “I-iya, dok.”“Kamu kenapa kelihatan nggak fokus begitu? Nggak enak badan?” Lima pasang mata di sekitar Rossie kini menatapny
Pagi hari sudah menyapa Xavier dengan sinar matahari yang menyelinap masuk dari sela-sela tirai jendela kamarnya. Bunyi alarm dari ponsel terus menggema beberapa kali tetapi Xavier masih betah bergumul di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi hampir sebagian tubuhnya. Segenap tenaga dikumpulkan, sebelah tangannya meraba sisi lain tempat tidur, mencari ponsel dan menekan ikon merah di layar. Baru jam enam pagi tapi rasanya baru sebentar ia memejamkan mata. Setelah membaca lebih dari dua ratus halaman buku hasil karya papanya. Sebuah kenyataan baru terkuak. Membuat kepala Xavier mendadak pening semalam dan memutuskan untuk tidur. “Akh! Kepalaku sakit banget!” Xavier mengerang. Kepalanya terasa berat. Sebelah tangannya menyanggah tubuh, sedangkan sau tangan lain memegangi kepala. Pandangan Xavier memudar. Kurang tidur adalah alasan utama Xavier bangu tidur dalam keadaan tidak segar seperti sekarang. Meski sakit kepala dan peningnya cukup membatasi pergerakannya, Xavier teta
“Terima kasih karena sudah memberikan aku tempat untuk menenangkan diri, Nyonya Mi Ra. Lain kali, mainlah ke unitku. Aku mengundangmu minum teh bersama.” Dua orang wanita berbeda generasi berjalan bersisian menuju pintu. Sebelum benar-benar membuka pembatas antara unit apartemen miliknya dan koridor di luar sana. “Pasti. Aku pasti akan mengunjungi nanti. Aku senang bisa mengenalmu, Nova.”“Aku juga senang bisa mengenalmu, nyonya Mi Ra. Maafkan sikapku yang sempat mencurigaimu,” kata Nova. Raut wajah bersalah menjadi beban paling berat yang Nova pikul saat ini. Terlalu banyak ditempa oleh rasa sakit membuat Nova hampir tidak memiliki sedikitpun celah dalam hatinya untuk mempercayai orang baru. Semua orang yang ia temui seakan berpotensi menyakitinya. Meninggalkan jejak luka yang begitu dalam di benaknya hingga membuat Nova trauma. Senyum tulus Mi Ra mengusik sedikit rasa bersalah. Pun, memaki Nova dengan sisi rasa bersalah yang tidak kunjung pudar. “Kalau begitu, aku pergi dulu. S
“Berita duka cita. Pada hari ini, keluarga besar Vineta Furniture harus kehilangan atasan tercinta kita, Pak Reno. Beliau meninggal dunia tadi malam karena kecelakaan. Manajemen memutuskan untuk menghentikan operasional serentak hari ini untuk memberikan penghormatan terakhir pada beliau. Saya harap semua karyawan meluangkan waktu untuk ikut pergi melayat ke rumah mendiang Pak Reno siang ini.” Jena menahan napas saat setiap kata terucap dari mulut sang manajer. Pria tampan itu berdiri di ujung meja di ruang rapat berkapasitas dua puluh orang ini. Wibawa Nathan bahkan masih mampu menghipnotis semua mata orang-orang yang ada di sana. Tidak terkecuali Jena. Jena hanyalah sebagian kecil dari sederetan jabatan yang disanding oleh orang-orang di ruangan ini. Hanya seorang asisten manajer baru yang direkrut seminggu lalu. Peluh di pelipis Jena mengalir deras. Dadanya mendadak sesak namun situasi memaksanya untuk tetap terlihat baik-baik saja. “Jena,” panggil Nathan. Pria itu memiringkan
"Vira? Apakah kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Ameera serta sentuhannya di tangan Vira mengagetkan wanita itu. Sejak menginjakkan kaki di restoran favorit mereka, Vira lebih banyak diam. Ameera tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Vira. Diamnya wanita itu lantas membuat suasana berubah menjadi canggung. "A-aku tidak apa-apa. Hanya sedang berpikir, perbedaan waktu antara New York dengan Jakarta cukup jauh. Jadi aku sedang berpikir bagaimana cara kita menghabiskan waktu secara virtual. Bukankah Itu mengasyikkan?" Senyum Vira mengembang. Terlihat hangat dan meneduhkan. "Aku tidak menyangka kamu akan memikirkannya sejauh itu.""Tentu aku harus memikirkan setiap hal tentang persahabatan kita. Aku tidak ingin kita hilang kontak setelah berjauhan." Harapan demi harapan terus diucapkan hingga menimbulkan rasa takut akan sebuah perpisahan.Mendengar itu Ameera semakin dilema. Perasaannya dimainkan oleh gelombang keraguan dalam dada. Meski begitu, Ameera tidak ingin kegel
Nova membisu, meski tahu tuduhan yang Mark layangkan padanya tidak memiliki dasar. Jauh di dalam lubuk hatinya ia mengerang. Sakit hati. “Sudah aku duga, kamu menyukai sepupuku.” Mark menyambung lagi. Raut wajahnya kecut, bahkan ia tak sungkan memalingkan wajahnya ke arah lain. Semakin menggebu menunjukkan kekecewaannya pada Nova.“Ini semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan, Mark. Dengarkan aku dulu. Bukankah seharusnya saat ini aku yang marah padamu?” Mark diam. Otot-otot di wajah yang semula menegang kini mengendur. “K-kenapa harus kamu yang marah? Jelas-jelas hari ini kamu kabur dari rumah sakit hanya demi menemui Mario. Sedangkan kamu tahu sebentar lagi kita akan menikah. Anak kita juga menunggu kamu di rumah sakit.” Sekali lagi, Mark berhasil membuat mental Nova hampir jatuh. Astaga! Apakah pria ini tidak bisa sedikit saja berpikir positif? Baru bertemu selama beberapa menit saja, Mark sudah berhasil membuat Nova geram setengah mati. Sikap posesif Mark tidak bisa diganggu