“Kak hentikan!”
Suara erangan dan desahan memenuhi seisi kamar mewah itu, sore hari di kediaman Fariz dilalui dengan pergulatan panas dengan lawan yang tak sebanding, seorang gadis belia harus mengimbangi permainan pria dewasa, suaminya. Berulang kali Nesya memohon agar Fariz menyudahi aktivitasnya, namun pria itu seakan menghilangkan pendengarannya.
“Aku mohon, Kak. Berhenti!” lirih Nesya seraya menggenggam erat sprei berwarna putih itu. Bahkan lututnya hampir copot karena kegiatannya yang sudah dilakukan berjam-jam tanpa jeda, gadis itu kelelahan, namun berbeda dengan Fariz yang tampak puas karena bisa menyalurkan hasratnya.
Nesya terjebak dengan manusia licik itu, Fariz tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyiksa Nesya yang tentunya menguntungkan dirinya. Saat Nesya memilih akan mengerjakan pekerjaan rumah tanpa makan, namun Fariz justru membalikkan keadaan. Dia memaksa Nesya agar membawanya terbang menuju surga dunia, tak p
Keesokan harinya, Nesya berjalan mengendap-endap menuju pintu utama. Gadis itu sudah membulatkan tekadnya untuk pergi dari neraka ini, jam masih menunjukkan pukul 04.00 pagi, tidak banyak yang dia bawa. Nesya hanya membawa dompet kecil yang ia selipkan di sakunya. Fariz pun tidak tahu menahu mengenai rencana kabur perdana itu, dengan tenangnya dia tertidur tanpa tahu bahwa Nesya sudah berhasil lolos dari gerbang yang menjulang tinggi itu.“Ayo Nesya, kamu pasti bisa!” Nesya berlari dengan langkah yang terseok-seok, ia masih merasakan nyeri di area intinya akibat ulah Fariz kemarin.Setelah dirasa cukup jauh, Nesya mulai memperlambat langkahnya, matanya melirik kesana ke mari. Sepi, hanya itu yang dilihat Nesya, namun dia tetap berusaha tenang, menyingkirkan rasa takutnya yang malah datang di saat yang tidak tepat.Mendekati area pasar, dimana sudah banyak orang-orang yang berlalu lalang. Nesya baru busa bernafas lega, meskipun dia tidak tahu posisiny
“Nesya Latisha...” suara berat nan menyeramkan itu membuat Nesya menelan ludah kasar. Tubuhnya langsung lemas setelah melihat Fariz yang sudah berdiri di belakangnya. Menghentikan gerakan menyantap nasi goreng dibayar cuci piring berjam-jam, rupanya Nesya benar-benar menjahili anak buah suaminya. Gadis itu merajuk karena tiba-tiba menginginkan nasi goreng, namun sialnya, anak buah Fariz sudah tidak punya uang lagi. Alhasil dia membuat perjanjian dengan pemilik warung dengan mengorbankan lelaki tampan tak bersalah itu.“Dan kau, apa yang kamu lakukan di sana?” manik elangnya menatap tajam pada anak buahnya yang ternyata bernama Radit.“Saya lagi nyari pahala Bos, barangkali saya mendapat keberanian untuk menyumpal mulut istri anda!” ujarnya seraya melempar spons dengan kasar, lelaki itu menggerutu. Bagaimana bisa dia terjebak dengan pasutri sableng yang selalu menyusahkannya?“Coba katakan sekali lagi!” Fariz member
Sore ini, Nesya perlahan membuka matanya. Setelah berjam-jam menangis meski tak tahu penyebabnya membuat rasa kantuk menyerangnya hingga berakhir ketiduran sampai sore menyapa. Dilihatnya manusia tak berakhlak yang tengah fokus pada laptop di depannya, Nesya mengintip, barangkali dia memergoki suaminya tengah melihat deretan kaum hawa dengan pakaian seksi. Namun tidak sesuai dugaan, karena layar laptop itu terpampang tabel-tabel yang ia tidak tahu fungsinya apa.“Bagaimana tidurnya??” tanya Fariz tanpa melirik Nesya, bahkan tangannya masih menari-nari di atas keyboard itu.“Tidak buruk, hanya saja aku merasa ngeri karena tidur ditemani monster ganas!” celetuk Nesya membuat Fariz langsung melotot arahnya.“Coba ulangi, aku tidak dengar!” Fariz berdiri kemudian berjalan mendekati Nesya, entah kenapa dia tidak suka dengan ucapan Nesya yang mengatakannya monster.“Ah tidak, aku mengatakan kalau tidurku sangat nyenyak,
Setelah malam itu, entah kenapa sifat Fariz perlahan berubah, dia tidak lagi memperlakukan Nesya semena-mena, apa itu karena dia sudah bisa berdamai dengan masa lalu atau semata-mata hanya karena calon anaknya yang kini dikandung Nesya. Entahlah, Nesya tidak begitu peduli, dia merasa senang jika hidupnya terlepas dari bayang-bayang penyiksaan. Namun sayangnya, kondisi fisiknya belakangan ini melemah, seperti pada saat ini, suasana kelas yang kondusif, namun tidak untuk kelas Nesya. Desas-desus mulai terdengar, disaat Nesya harus bolak-balik ke toilet lantaran rasa mual yang terasa secara terus menerus.“Kamu benar-benar nggak papa kan??” Fabian menyusul Nesya, menunggunya di depan toilet, kebetulan juga toilet siswa dan siswi letaknya bersebelahan. Dahi pemuda itu mengkerut, mendengar sahabatnya yang muntah-muntah di dalam toilet.“Nesya..” matanya melotot, melihat Nesya seperti mayat hidup, wajah yang setiap hari berseri-seri itu terlihat pucat
“Kenapa ha? Kenapa??” Fabian menatap Nesya dengan tatapan yang susah diartikan, jelas dia kecewa saat mengetahui jika sahabatnya hamil yang ia pikir masih lajang. Harapannya untuk menjadi pasangan Nesya seketika sirna.“A-aku..” Nesya tak mampu melanjutkan ucapannya, gadis itu masih terus menangis. Dia bingung antara harus senang atau sedih.“Ceritakan semuanya, bukankah kita sahabat?” pemuda itu mulai bisa mengendalikan egonya, besar rasa kecewanya namun tak bisa mengalahkan rasa cinta yang sudah tertanam rapi di hatinya pada gadis cantik itu, Fabian merengkuh tubuh mungil yang sedang rapuh tersebut, mendekapnya dalam kenyamanan, membiarkan calon ibu muda itu menumpahkan kesedihannya.Dengan berderai air mata, Nesya menceritakan semuanya, sebuah untaian kalimat yang di dalamnya mengandung makna yang mendalam, menggambarkan betapa tertekannya Nesya selama ini. Isak tangis yang terdengar memilukan, bagaikan ribuan panah yang me
Hanya bisa menghela nafas karena harus mendengar tangisan beserta curhatan hati seorang istri dari bosnya. Namun seketika Radit panik bukan main saat tiba-tiba Nesya tak sadarkan diri, beberapa kali dia menepuk pipi gadis itu, hingga akhirnya pria itu yakin bahwa Nesya benar-benar pingsan dan membawanya ke klinik terdekat.“Apa??” Radit membulatkan matanya tak percaya, sesekali dia melirik Nesya dengan atribut sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Pria itu terkejut saat mendengarkan penjelasan dokter yang menangani Nesya.‘Hamil? Apa mereka melakukan atas dasar suka sama suka? Atau ini memang skenario Tuan Fariz?’ Pria yang dikenal sebagai tangan kanan Fariz itu tampak berpikir, ia bahkan tidak sadar bahwa Nesya sudah tidak berada di sana.“Maaf Mas, apa Anda tidak ingin menyusul istri Anda??”“Istri?” Radit mengernyitkan dahinya, bagaimana bisa dia dikatakan mempunyai istri jika menikah saja belum. Namun
Jika Nesya kini sedang berdebat perihal roti dengan anak buahnya, berbeda dengan Fariz yang dilanda kebingungan memilih istri atau perempuan yang dicintainya, di satu sisi dia ingat bahwa dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah, tapi di sisi lain, ada perempuan yang kini datang menagih janjinya.“Bukankah dulu kamu berjanji jika suatu saat nanti aku sudah sukses, maka kita akan menikah. Apa kamu masih mencintaiku seperti dulu?”Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Fariz, bohong jika Fariz sudah melupakan cintanya pada gadis berparas ayu itu, selain berpendidikan tinggi, gadis yang bernama Clara itu juga kini sudah berhasil menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang model. Tapi janji tetaplah janji, Fariz mengira jika Clara sudah melupakan janji itu, janji di mana jika Clara sudah sukses, barulah mereka melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Memang berat rasanya saat Fariz membiarkan orang terkasihnya untuk mengej
“Apa kakak akan pergi?” Nesya bertanya pada Radit yang sudah hendak keluar dari rumah itu.“Iya, aku akan mengatakan pada Tuan kalau aku tidak bis menemukanmu.” Radit tersenyum kecut, dia sudah membayangkan dirinya akan menjadi samsak hidup saat sudah berhadapan dengan Fariz.“Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu tidak rela membantuku?” Nesya melotot tajam seraya berkacak pinggang, Radit pun semakin kesal, apa mungkin karena hidup berdampingan dengan Fariz membuat Nesya menyebalkan seperti ini.“Tapi...” raut wajah Nesya mendadak sedih, dengan bibir yang ditekuk, gadis itu ragu untuk mengutarakan maksudnya.“Apa?” lelaki tampan itu mengangkat sebelah alisnya, meski jujur dia sudah lelah menghadapi Nesya yang sedari tadi menyusahkannya.“Bisakah kakak tinggal di sini?? Aku takut jika berada di rumah sendirian, dan kenapa kakak membuat rumah seperti di hutan begini?” Nesya menata