Hari berganti hari, mereka berjalan sendiri- sendiri. Hangat saat di dalam rumah tetapi dingin ketika berada di luar dan jauh dari anak-anak mereka.
Menjalani cinta yang tak sewajarnya. Manan dengan Lala dan Safia dengan Aran. Hingga suatu ketika Manan melihat sesuatu yang membuatnya terpukul. Siang itu Manan melihat Lala masuk ke dalam kamar hotel yang sama dengan Aran. Saat dimana ia harus menghadiri pertemuan dengan kliennya. Sementara itu di rumah, Safia telah menemukan kunci serep ruang kerja Manan dan ia segera membukanya. ia ingin mengumpulkan surat-surat untuk mengurus perceraiannya dengan Manan. Namun saat ia tengah mencari berkas-berkas yang akan dibutuhkan. Ia menemukan sebuah amplop coklat yang begitu menarik perhatiannya. saat melihat isinya ia begitu sangat terkejut. "Surat Cerai," bisiknya lirih "Apa Mas Manan diam-diam sudah mengurusnya? Bukankah ia menyerahkan semua itMalam semakin larut, Manan tak bisa memejamkan matanya. Berbaring di ranjang sebentar kemudian duduk lalu bangkit dan berjalan mondar-mandir. Saat hatinya gusar meraih sesuatu dan melemparkannya begitu saja. vas bunga yang pecah berhamburan kosmetik Safia yang bertebaran. Suara pecahan kaca, benda-benda yang jatuh di malam yang sunyi. Manan benar-benar menyesal dengan keputusan yang telah diambilnya. Setelah Safia pergi baru sadar, di mana hatinya berada dan untuk siapa. Badan lelah, mata merah dan pikiran berkecamuk tak tentu arah. Saat tubuhnya tak mampu lagi menahan kantuk dan lelah ia pun mengelepar di atas ranjang dengan kaki menjuntai menapak lantai. Seperti baru terpejam beberapa menit, terdengar suara ketukan pintu dan anak-anak yang berusaha membangunkannya. "Papa, bangun, ayo antar kami!" teriak mereka saling bersautan. Manan membuka matanya saat terdengar suara-suara samar di telinganya. Ia mengerjab beberapa kali untuk menghilangkan kantuknya Dengan langkah
Akran mengusap wajahnya. membersihkan wajah dari makanan yang disemburkan oleh Safia. Ia menatap dengan dalam lalu membungkuk dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga Safia. "Aku perna melihat Mas Manan melakukannya padamu, aku pun bisa lebih gila melakukan itu padamu." Mata Safia terbelalak dan ia menggeleng. Berharap ia tidak melakukan hal yang sama. Dua lelaki yang pernah begitu sangat dekat sama-sama melukainya sangat dalam. "Kalau begitu makanlah! Aku akan memperlakukanmu dengan baik," tekan Akran tepat di depan telinganya. pria itu kembali menegakkan tubuhnya lalu kembali menyodorkan sendok di depan mulut Safia. Wanita itu mau tidak mau harus menerima suapan Akran. Perlahan ia membuka mulut dan mulai mengunya makanan itu dan menelannya dengan susah payah. Terasa ada duri menyangkut di lehernya. Sementara itu Manan mulai cemas dan bingung. Hari sudah mulai petang tetap
Safia terbangun, dan ia terkejut saat melihat tangannya terikat di selah-selah ranjang yang terbuat dari kayu jati itu dan tak memakai sehelai benang pun di tubuhnya. Akran bangkit dari duduknya dan berjalan mendekatinya. "Aku sangat merindukanmu, Safia. Rindu dengan bentuk tubuhmu, rindu dengan aromamu dan sangat rindu menyentuhmu. "Aku tidak mau, kau sentuh, Akran. Aku tidak mau di sentuh oleh pria yang membunuh anakku. Kau tegah membohongiku!" teriak Safia dengan keras. "Aku terpaksa Safia. Aku harus memilih antara engkau dan ibuku. Maaf aku memilih ibuku," ucapnya seraya melepaskan pakaian. "Jangan khawatir aku akan memberikan keturunan lagi untukmu, " lanjut Akran berjalan semakin dekat. "Kau, gila!Jangan sentuh aku!" teriak Safia sambil berusaha melepaskan ikatan tangannya. "Saat kuminta baik-baik tidak bisa, maka aku akan kuminta dengan paksa," ucap Akran menyentuh tubvh bagian bawah Safia. Membelai dengan lembut membuat Safia memejamkan matanya menahan rasa yang b
Amplop coklat melayang dan isinya terburai menapar muka Aran, Pias di wajahnya terlihat sekilas saat ia terkejut lalu dengan cepat ia merubah ekspresinya. Tersenyum dengan tenang, sebab ia sudah menduga ini akan terjadi. Safia akan tahu cepat atau lambat. "Tenanglah, Safia! Akan kujelaskan," ucap seraya jemari tangannya dengan cepat menyemprotkan cairan yang ada dalam botol kecil di arah muka Safia. Beberapa saat kemudian, tubuh Safia limbung setelah menghirup aroma cairan yang terpercik di wajahnya. Aran menangkap tubuh Safia dan membawanya ke dalam kamar lalu pria itu keluar rumah menemui supir taksi, bernegoisasi sebentar. Setelah itu, taksi itu berjalan meninggalkan rumahnya. Aran meraup wajahnya dan menghelah napas berat. 'Aku tidak punya kesempatan untuk bersamamu lagi, Safia, tetapi biarkan aku memiliki keturunan denganmu sekali lagi.' Ia berjalan masuk kembali dalam rumahnya, dan melangkah dengan tenang ke dalam
Safia melempar amplop coklat ke arahnya. "Apa maksudmu menyembunyikan Semua ini, hah?!" "Katakan padaku!" teriak Safia lebih lantang seraya memukuli dada Manan dengan sekuat tenaga sambil menangis dan berteriak histeris. "Ahhhh! Kalian berdua biadap!" teriaknya lagi. Manan memegang kedua tangan Safia dan mencoba menghentikan pukulan wanita itu lalu memeluknya erat. "Tenangkan dirimu, Safia. Kau boleh memakiku sepuasmu, tetapi dengarkan aku dulu," ucap Manan lembut. "Apa lagi yang harus kudengar darimu, Mas Manan?" ucapnya lirih sebab ia tak lagi bisa berteriak. Manan memeluknyq sangat kuat. "Aku tanya padamu, Fia, apa saat itu jika aku mengatakannya kau akan percaya? Tidak Safia kau tidak akan percaya padaku. Dimatamu Akran ada pria baik, lagi pula kau baru saja kehilangan putrimu." Safia ter
Hari berganti hari, mereka berjalan sendiri- sendiri. Hangat saat di dalam rumah tetapi dingin ketika berada di luar dan jauh dari anak-anak mereka. Menjalani cinta yang tak sewajarnya. Manan dengan Lala dan Safia dengan Aran. Hingga suatu ketika Manan melihat sesuatu yang membuatnya terpukul. Siang itu Manan melihat Lala masuk ke dalam kamar hotel yang sama dengan Aran. Saat dimana ia harus menghadiri pertemuan dengan kliennya. Sementara itu di rumah, Safia telah menemukan kunci serep ruang kerja Manan dan ia segera membukanya. ia ingin mengumpulkan surat-surat untuk mengurus perceraiannya dengan Manan. Namun saat ia tengah mencari berkas-berkas yang akan dibutuhkan. Ia menemukan sebuah amplop coklat yang begitu menarik perhatiannya. saat melihat isinya ia begitu sangat terkejut. "Surat Cerai," bisiknya lirih "Apa Mas Manan diam-diam sudah mengurusnya? Bukankah ia menyerahkan semua it