Share

Rencana Ibu (2)

"Mila, lihat ini!" Ibu menunjukan lokasi di mana mobil yang kendarai Mas Chandra berhenti di sebuah titik. Aku dan ibu saling pandang. Kami tahu betul daerah itu. 

"Bu, ayo susul Mas Chandra ke sana!" saat aku hendak menarik tangan Ibu, tiba-tiba dia langsung menghentikan pergerakanku.

"Tunggu, Mila! Chandra kembali pergi ke tempat lainnya. Seperti ini--"

"Ke mall," potongku cepat.

Segera kuraih tas yang tergelatak di atas sofa. Sebenarnya mesti usia kehamilanku masih kecil, tapi tetap saja ini sedikit menghambat pergerakanku.

Menyedihkan memang, di saat wanita hamil lainnya mendapatkan perhatian lebih dari laki-laki yang dicintainya, aku malah harus mendapatkan kenyataan yang begitu pahit. Di mana suamiku sendiri, ternyata sudah menikah dengan adik sahabatku sendiri.

"Ayo, pergi!" Ibu menuntunku keluar rumah, menunggu taksi pesanan kami yang akan segera tiba. Masalah Faris, dia sudah aman.

"Untung saja berjalan lancar," ucapku sambil mendaratkan bokong di teras.

"Kamu benar. Tidak usah khawatir tentang banyak hal." Ibu yang sedang berdiri langsung menoleh, menatapku sambil menyunggingkan senyuman. "Pikiran saja calon bayimu. Urusan suamimu dan wanita tidak tahu diri itu. Kita hanya tinggal menunggu hasil. Lagipula mereka sudah menjalankan tugasnya dengan baik."

"Ibu, terima kasih. Selalu ada di sampingku." Aku menghampiri ibu yang masih mematung di tempat sambil menenteng tas, memeluk tubuhnya yang sangat kuat.

"Sama-sama, Nak. Lagipula Ibu akan melakukan banyak hal untukmu. Andai saja, ayahmu masih ada. Mungkin dia sudah melakukan hal yang lebih keji dari ini."

***

Dengan tidak sabaran, Ibu terus menyuruh supir taksi untuk mempercepat laju kendaraan dan tentunya masih tetap berhati-hati, menginginkan aku sedang mengandung. 

Mesti aku membenci ayahnya, tapi tidak ada alasan lain bagiku untuk membenci calon anakku. Dia tidak tahu apa-apa, dia hanya korban dari ayahnya yang tidak bisa merasa puas hanya dengan satu wanita.

Beberapa menit kemudian, kami sampai di depan mall, tanpa menunggu waktu lagi, Ibu langsung membawaku menuju sebuah toko. 

Tepat sekali, dari kejauhan kulihat seorang wanita dan pria tengah berdiri. Wajah wanita itu terlihat sumringah, beberapa kali dia menatap deretan perhiasan yang ada di hadapannya dengan mulut yang terbuka lebar. Mungkin, bisa saja air liurnya menetes saat itu juga

Ibu terlihat mengotak-atik gawainya, sebelum akhirnya menempelkan benda tersebut di telinga.

"Pokoknya, katakan pada wanita dan pria yang ada di hadapanmu. Jika, semua perhiasan yang ada di toko itu, tiba-tiba diborong oleh seseorang."

Pelayan wanita yang ada di hadapan Mas Chandra dan Dinda terlihat bingung. Dia sedikit celingak-celinguk ke kanan dan kiri.

"Saya Rina Santoso, kamu tahu saya, 'kan? Jika kamu tidak percaya. Silahkan tanyakan saja pada Angel, pemilik toko tersebut."

Wanita itu seketika langsung terbelalak saat mendengar nama panjang Ibu. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, tapi dia terlihat seperti ketakutan.

"Jangan matikan teleponnya! Biarkan saya mendengarkan percakapan mereka."

Wanita itu sepertinya menurut, terbukti dari telepon yang sengaja masih dia pegang. 

"Mbak, pokoknya saya gak mau tahu, ya. Perhiasan itu harus kembali!" Dinda berteriak seperti orang yang sedang kesetanan. Ketika pelayan tersebut mengatakan kalimat yang ibu perintahkan. Padahal hanya perihal perhiasan saja, dia sampai selebay itu. 

"Maaf, Mbak. Tidak bisa."

"Pokoknya, harus ada!" Dinda kemudian beralih menatap Mas Chandra yang wajahnya sedikit memerah. Akibat tingkah gundiknya mungkin. "Mas, gimana dong! Aku malu sama temen-temen aku."

"Ya, mau bagaimana lagi, perhiasannya udah gak ada. Beli yang lain aja, ya, sayang," bujuk Mas Chandra dengan penuh kemesraan. Jika, bukan karena rencana ibu, aku sudah melabraknya saat ini juga.

Dinda terdiam selama beberapa saat, kemudian langsung bergelayut manja di tangan Mas Chandra. "Ya sudah, beliin aku tas aja, ya, Sayang." Dengan centilnya, Dinda menyibak rambut ke belakang. "Aku gak mau, ya, terlihat miskin di depan teman-teman."

Hampir saja aku memuntahkan isi perut ketika mendengar ucapannya. Sedikit kaya hasil jadi pelakor saja bangga. Lihat saja Dinda! Perlahan riwayatmu tamat.

Saat, Mas Chandra dan Dinda berjalan ke arah kami, aku dan Ibu bergegas masuk ke salah satu toko, berpura-pura memilih pakaian.

"Ayo, Nak!" Ibu mengajakku keluar dari persembunyian, menghampiri keduanya yang masih sibuk memilih tas mahal.

Setelah sebelumnya kembali menyusun rencana, Ibu menyuruhku untuk masuk ke toko tersebut, bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa.

"Mas, bungkus tas merah itu satu sama--" potongku dengan nada pelan, lalu di saat yang sama menunjuk tas yang diambil Dinda. "Sama itu, ya, Mas."

"Apaan, si--" ucapan Dinda seperti hilang di telan bumi, saat dia hendak melayangkan protes padaku.

"Mas, kamu ngapain di sini?" Aku berpura-pura memicingkan mata. "Dinda, kamu juga lagi apa? Ke mana suamimu? Katanya sudah menikah."

"A-aku ...."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
buat kejet jantung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status