"Chandra, apa yang kamu lakukan di sini?" Kali ini Ibu keluar, mengagetkan dua sejoli yang sedang dimabuk cinta.
"Ah, i--itu, Bu, aku akan membelikan Mila dan Ibu hadiah, tapi karena kalian datang kemari, jadinya gagal, deh," bohong Mas Chandra sambil bersikap seolah-olah merasa kecewa.
Dih! Berani sekali dia berbohong seperti itu.
"Begitu, ya, jadi kami boleh dong, pilih-pilih tas di sini?" tanya ibu dengan mata berbinar. Sungguh, Ibu benar-benar sangat pintar.
Sementara itu, Dinda yang berdiri di samping Mas Chandra terlihat mati kutu. Mampus kamu Dinda! Ini baru permulaan.
"Tentu saja, pilih-pilih saja. Terserah kalian mau beli yang bagaimana."
"Bu, ini bagus. Kenapa tidak pilih itu saja?" ucap Dinda sambil menyerahkan tas yang ada di tangannya.
Kulihat Ibu tidak menghiraukan Dinda, dia lebih memilih melihat tas tersebut satu persatu.
"Bu, itu--"
"Ada apa, Chandra? Sudah, Ibu sedang sibuk," jawab ibu dengan nada ketus.
Kembali aku menatap Dinda yang sedang memainkan bola mata, tapi saat dia menyadari tatapanku, dia bersikap seperti biasa lagi.
"Ibu, mau pilih yang itu, gak?" Dinda menghampiri ibu, menggandeng tangannya secara tiba-tiba.
Mungkin, dulu ibu menganggapmu anak, Dinda. Tapi, aku pikir tidak dengan sekarang.
Tentu saja ibu kaget, dia bahkan sampai menatap Dinda tajam. Kemudian, hal yang tidak disangka-sangka terjadi, ibu langsung menghempaskan tangan Dinda dengan kasar.
"Apaan, sih! So, akrab banget," ucap ibu tak kalah ketus, dia langsung menghampiriku. "Nak, itu bagus. Ibu, mau itu, ya."
"Iya, Bu. Aku juga pengen yang di sebelahnya."
Dari sudut mata, kulihat Dinda sempat menatapku sinis. Mungkin dia syirik, perlakuan Ibu padanya sedikit berbeda.
"Kok, belinya banyak banget, sih?" gerutu Mas Chandra sambil menatap ibu dan aku secara bergantian. Saat kamu sama-sama menenteng tiga buah tas mahal.
"Ya, gak papa, dong. 'Kan, kamu bekerja untuk kami, dari pada nanti tidak dipakai dan malah tergoda wanita apa tuh, ibu lupa namanya, Mila." Ibu melirikku yang sedang mengarahkan pandangan ke berbagai arah.
"Pelakor, Bu. Artinya perebut suami orang."
Ibu langsung manggut-manggut ketika mendengar jawabanku.
"Benar! 'Kan bahaya. Mana banyak berkeliaran di mana-mana tuh wanita gak tahu diri." Ibu sengaja menekankan ucapannya diakhir kalimat.
Seperti mendapat pukulan telak, Dinda langsung menunduk dalam sambil memainkan kakinya. Baru beberapa detik kemudian, dia kembali mendongak. Bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun.
Sontak, aku langsung tercengang ketika melihat tingkahnya. Memang benar, wanita itu urat malunya sudah putus.
"Chandra! Mana ATM-mu, Ibu mau bayar tas," tambah Ibu sambil menengadahkan tangannya di depan Mas Chandra.
Hanya dalam hitungan detik, uang Mas Chandra lenyap begitu saja. Ibu sengaja tidak kembali memberikan ATM itu padanya melainkan padaku.
"Terima kasih." Ibu menyerahkan tas itu pada Mas Chandra. "Bawain, ya!"
Tanpa diduga-duga, ibu langsung menarik tangan Mas Chandra. Tapi, belum sempat kami kembali melangkah, ibu menoleh ke arah Dinda yang masih mematung.
"Dinda, nanti malam aku ingin mengajakmu makan malam di rumah kami. Bukan tanpa alasan, tapi karena kamu adalah adik sahabatku, jadi tidak ada salahnya jika aku mengundangmu ke acara Anniversary pernikahanku dengan Mas Chandra," ucapku saat melihat Dinda masih terdiam di dalam toko, wajahnya terlihat masam.
"Oh iya, jangan lupa bawa suamimu, ya! Perkenalkan pada kami," tambah Ibu dengan intonasi tinggi.
***
Setelah mengajak berkeliling mall dan belanja beberapa barang lainnya, akhirnya aku memilih untuk pulang. Selama itu juga, Mas Chandra tidak banyak bicara. Mungkin dia kesal, karena gagal memberikan hadiah pada sang pujaan hati.
"Bu, sudah pesan makanan belum?" tanyaku pada ibu, sementara itu Mas Chandra yang duduk di sampingku fokus mengendarai kendaraan..
"Tenang saja! Kamu jangan pikirkan apapun," balas Ibu dengan santainya. "Ah, Ibu benar-benar penasaran dengan suami Dinda. Dia tidak tahu diri, setelah Ibu membantunya, dia malah tidak mengundang Ibu pada acara pernikahannya."
"Memangnya, Ibu tahu dari mana Dinda sudah menikah?" Akhirnya suara yang ditunggu-tunggu pun terdengar.
"Sosial medianyalah," jawab Ibu sedikit judes.
"Mas, mau minum, gak?" tawarku sambil menyodorkan sebotol air mineral. "Tumben, wajah kamu pucat banget. Sakit, ya, Mas?"
"Tidak, Sayang. Mungkin aku masuk angin, Mil."
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu kembali menyimpan botol air mineral ke dasbor mobil, kemudian kembali sibuk pada gawai.
"Eh, kok, Dinda unggah foto di sosial media, captionnya berbunyi, kalau dia kesal sama dua orang perempuan." Aku menoleh ke Ibu dengan mata sedikit menyipit.
"Mungkin, itu captionnya iseng aja, Sayang," ucap Mas Chandra pelan.
"Halah, iseng apaan. Paling tuh cewek cari sensasi aja, biar banyak yang kasian gitu sama dia." Akhir-akhir ini, ucapan Ibu lebih pedas dari cabe rawit.
"Apa jangan-jangan, itu maksudnya ke aku sama Ibu, ya?"
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah."Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya."Tidak ada, aku baik-baik saja."Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
"Mau apa kalian ke sini?"Aku yang sedang asyik memainkan ponsel, lantas menoleh. Hari ini di rumah, hanya ada aku dan Ibu, sementara Faris pergi menginap dari kemarin dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda dia akan segera pulang."Pergi! Untuk apa kalian menginjakkan kaki di sini."Mendengar Ibu yang terus berteriak, aku langsung menyimpan ponsel di atas meja dan segera bergegas keluar rumah.Kondisi Ibu memang belum sepenuhnya pulih. Lusa, Rama datang ke sini dan memeriksa kesehatan Ibu. Katanya Ibu hanya banyak pikiran dan kecapean saja, jadinya penyakit darah tingginya ikut kumat.Seketika aku langsung merasa bersalah pada Ibu, karena gara-gara aku, kondisinya jadi memburuk seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku dari ambang pintu, saat melihat Ibu sedang berdiri di depan pagar.Aku sedikit menyipit, ketika meli
"Mil, barusan siapa? Kayaknya itu bukan mobil Rama." Ibu yang baru saja pulang dari supermarket lantas langsung bertanya."Bram."Seketika Ibu langsung terbelalak saat mendengar ucapanku. "Apa! Untuk apa dia datang kemari? Mila, kamu tidak apa-apa, 'kan. Maksud ibu, dia tidak melakukan tindak kejahatan seperti waktu itu.""Tidak, Bu. Bram datang untuk meminta maaf."Ibu yang sedang berdiri, segera menghempaskan tubuh ke atas sopa. Hembusan napas berat terdengar, dia beberapa melirikku yang masih mematung."Rasanya Ibu tidak ingin percaya padamu. Tapi ... ah, yasudahlah syukur jika dia tidak melakukan kejahatan padamu."Seketika aku langsung menyunggingkan senyuman sambil menghampiri Ibu yang wajahnya nampak masam.Tanpa basa-basi, aku langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkanku sampai bertaruh nyawa. Wanita paruh baya yang
"Bram! Apa yang membawamu datang kemari?" tanyaku pada sosok pria berkemeja biru dongker yang di padukan langsung dengan celana jeans hitam. "Tidak ada. Aku ... hanya ingin berkunjung saja." Aku mengangguk pelan, lalu segera mempersilahkan Bram masuk. Sebenarnya, aku sedikit takut dengannya, takut dia merencanakan hal buruk seperti beberapa saat yang lalu. Seperti menyadari ketakutanku, Bram langsung berkata, "Tidak usah takut atau canggung denganku. Aku kemari untuk meminta maaf padamu soal kejadian yang telah menimpamu." Aku sempat terdiam selama beberapa saat, sebenarnya aku masih marah dan kesal dengannya. Bagaimana bisa, Bram bertindak gila seperti itu, ditambah lagi posisiku saat itu sedang mengandung. Jika di pikirkan kembali, ingin sekali rasanya aku mencabik wajah dan mulutnya yang seenak jidatnya meminta maaf, padahal tindakannya sudah hampir mengancam n
"Rama, kapan kamu datang?" tanyaku pada sosok dokter muda yang tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah. Penampilannya memang tidak jauh berbeda dari biasanya, tetap sama.Tampan dan menawan."Mungkin setengah jam yang lalu," jawab Rama sambil menoleh ke arahku, tidak lupa kedua sudut bibirnya ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.Aku menghampiri keduanya, lalu duduk tepat di hadapan Rama. "Ah, begitu. Maaf, aku baru sempat menemuimu sekarang. Tadi, aku harus mengurus Faris terlebih dahulu.""Tidak apa-apa, Mila. Aku paham keadaanmu. Tapi, Faris di mana? Kenapa dia tidak kelihatan." Rama nampak celingak-celinguk, memperhatikan seisi ruangan."Faris sedang bermain sepeda-sepedaan di taman belakang. Kamu mau menemuinya?""Tentu saja." Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, tapi Rama nampak begitu berbinar. "Tan, saya permisi dulu, ya!"