Note: novel tentang Kavita dan Ezra ada di buku terpisah, ya! Jangan lupa subscribe, like, komen dan share!
Wajah Roni langsung merah padam dan meminta sekretaris untuk mengantarkan tamunya ke ruangan rapat.“Anda jangan sok polos seperti anak sekolah,” sela Saga dengan berani. “Apa maksud foto di postingan grup media sosial? Anda itu bukan ibu aku! Ngapain Ayah bawa dia ke kantor?”Roni tertegun sebentar, tapi dia tetap berusaha tenang saat menghadapi kemarahan salah satu anak kandungnya ini.Selama Roni diam, Saga masih menatap tajam dengan sudut matanya. Satu tangannya tetap terjulur di atas bahu Saga yang tinggi dan lebar.“Kamu tidak perlu berlebihan,” kata Roni meminta Saga untuk masuk ke ruangan. “Itu cuma postingan random saja, tidak lebih.”“Postingan random dengan mengungkapkan fakta kalau Ayah ternyata mengkhianati Ibu?” Saga menggelengkan kepalanya. “Aku nggak bodoh Yah, nggak mungkin nggak terjadi apa-apa sama kalian berdua ...”“Saga, sopan sedikit.” Roni menegur. “Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya ibu kamu sendiri.”Saga yang sedang dikuasai amarahnya langsung melayan
“Enggak, jangan sampai kami terganggu gara-gara perbuatan ayah!” komentarnya. “Aku nggak menyangka ayah bertindak terlalu jauh ...”“Makanya kamu tidak perlu memikirkan masalah orang lain lagi,” ucap Siska sambil memperhatikan buku yang sedang dibaca Saga. “Kamu belajar saja yang rajin, ya?”“Iya,” jawab Saga. “Aku harus lulus dengan nilai yang maksimal.”Siska mengambil buku pelajaran Saga dan mengajaknya tanya jawab agar materi yang dipelajarinya bisa meresap dalam kepalanya. Alih-alih berkonsentrasi menjawab pertanyaan yang diberikan, Saga malah memikirkan wajah Ririn yang menyebalkan itu.Malam itu untuk kesekian kalinya Siska tidur di kamarnya yang lama. Dia tergolek lemas setelah selesai membersihkan seluruh ruangan yang kotor karena lama tidak ditinggali. Siska memejamkan mata dan berharap agar dirinya lekas terlelap sampai esok pagi, tapi bayangan Roni langsung hadir dan mengganggunya. Terbayang kembali di ingatannya saat mereka tinggal bersama, bagaimana Roni mencurahkan per
“Karena yang aku cari adalah istri tangguh yang setia,” sahut Roni tidak kalah angkuh. “Bukan istri yang setiap hari ganti pose di depan kamera ponsel terus menerus.”Ririn belum sempat menjawab karena saat itu pintu lift terbuka dan Roni tanpa membuang waktu lagi segera memasukinya.“Itu tadi istri kedua Roni kan?” tanya Pasha ketika dia dan Siska duduk di kursi yang sudah disediakan penanggung jawab acara.“Kamu betul,” jawab Siska. “Dialah orang yang paling ingin aku tendang dari kehidupan ini.”Pasha mengangguk paham.“Jadi dia yang membuat Roni berpaling sama kamu,” komentarnya.“Entahlah, aku masih tidak tahu pasti alasan Roni menduakan aku.” Siska mengangkat bahunya. “Kamu lihat sendiri aku bisa kasih dia tiga anak, karir dia meroket tinggi ... Aku kurang apa sih?”Pasha tersenyum kecil.“Kamu kurang beruntung, Sis.” Dia berkomentar sambil membetulkan posisi duduknya. Siska hanya mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa, dia masih cukup terkejut dengan kehadiran Roni dan istri k
“Entah,” geleng Roni tetap tenang. “Aku cuma memberi tahu alasan kenapa aku lebih suka Siska jadi pegawai daripada pebisnis. Setidaknya aku bisa tetap mampu bersaing secara sehat dan unggul tanpa perlu menjatuhkan istriku sendiri.”“Ngerti apa aku soal persaingan?” hardik Ririn. “Aku baru saja mengenal dunia bisnis, itupun kamu kurang fokus karena masih memikirkan urusan Siska. Jadi jangan menghakimi aku untuk sesuatu yang tidak kamu ketahui!”Setelah selesai menyembur Roni dengan kemarahan, Ririn beranjak pergi untuk menyambut temannya yang sudah dalam perjalanan menuju rumah.“Kelakuan seperti itu kok ngaku-ngaku bisa jadi istri yang lebih baik dari Siska?” gumam Roni sambil geleng-geleng kepala. “Wanita jaman sekarang ....”Siang itu Siska menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Kavita di mejanya setelah jam makan usai.“Vit, apa aku boleh mengetahui data penjualan kita beberapa bulan ini?” tanya Siska ragu-ragu.Kavita mengangkat wajahnya dan memandang Siska dengan saksama.“Tapi
Siska mengangkat bahu sambil tersenyum simpul.“Entahlah, aku cuma tidak mau konsumen memilih produk lain!” katanya bersemangat. “Dan aku kaget saat Pak Ezra memberikan bonus karena penjualannya meningkat.”“Oh ya?” sahut Pasha. “Pasti mereka memutuskan untuk beli di tempat kakakku karena terpesona sama kamu, Sis.”“Pasha! Jangan bilang begitu!” sergah Siska dengan wajah malu. “Aku cuma berusaha bersikap profesional dalam bekerja.”Pasha tertawa kecil.“Kamu memang memesona, Sis. Dari dulu sampai sekarang,” ucapnya sungguh-sungguh. “Oh ya, akhir minggu ini kita jalan-jalan ke pasar malam yuk? Mau tidak?”“Boleh, boleh!” angguk Siska antusias. “Sudah lama aku tidak pernah ke pasar malam lagi.”“Oke, ajak juga anak-anak kamu ya?” ujar Pasha sambil menghentikan salah seorang pelayan yang kebetulan lewat untuk memesan sesuatu.Selagi menunggu, Siska membaca pesan yang dikirimkan Roni untuknya dengan kening berkerut. Dia sudah telanjur membuat janji untuk pergi bersama Pasha dan tidak mung
Siska dan Pasha hanya tersenyum simpul saat melihat anak-anak remaja itu begitu gembira.“Ayo kita jalan sekarang,” ajak Pasha kemudian, Siska mengangguk dan membiarkan anak-anaknya berpencar dalam pengawasan Saga.Berhubung sedang weekend, pasar malam itu begitu penuh sesak dengan lautan manusia dari berbagai umur dan gender. Banyak orang yang mendirikan stan jualan seperti pernak-pernik, pakaian, sepatu dan hiburan mulai dari rumah hantu, kereta hias untuk mengelilingi area pasar malam, dan masih banyak lagi.“Mau jajan apa, Sis?” tanya Pasha. “Harum manis? Atau ... itu ada burger mini, mirip di sekolah kita dulu.”Pasha menunjuk penjual yang sedang membuat beberapa pesanan burger yang mengantre di depannya.“Boleh, aku beli itu aja.” Siska mengangguk setuju. “Kamu sendiri?”“Ya samalah,” sahut Pasha. “Yuk, kita ke sana.”Siska berjalan di samping Kalandra dan ikut mengantre sementara Pasha sudah memesan empat kue leker besar kepada penjualnya.“Aku yang pesan minum ya, Sha?” ujar S
“Ayah sudah berangkat kerja?” tanya Cilla dengan nada cemberut. “Sudah, dari tadi.” Ririn menjawab sambil mengangguk dengan wajah curiga.“Oke, aku mau lihat keterampilan Tante sebagai ibu baru aku.” Cilla melipat kedua tangannya dan berkata lambat-lambat kepada Ririn. “Tapi Tante jangan salah paham, aku melakukannya karena ingin memastikan bahwa ayahku tidak salah memilih istri.”“Ah, iya ...” gumam Ririn muak, dia berharap semoga ini bukan awal dari serangkaian mimpi buruk yang akan menghadangnya selama tinggal di rumah istri pertama suaminya.Sesaat berikutnya Ririn mengikuti Cilla berjalan mengelilingi rumah dan kadang berbelok tajam tanpa tahu dirinya mau dibawa ke mana. Tanpa bertanya pun Ririn tahu jika Cilla sengaja berputar untuk pergi ke tempat tujuannya.“Nah Tante, aku ingin sekali melihat bagaimana biasanya Tante memasak untuk ayah aku.” Cilla membawa Ririn ke dapur setelah berputar-putar. Dia meminta semua pelayan yang sedang sibuk bekerja untuk menyingkir setelah itu d
Siska baru saja tiba di rumah ketika melihat Ririn yang dipapah oleh asisten rumah tangganya.“Kenapa dia?” tanya Siska datar kepada Saga.“Ngeluh kecapekan, katanya ...” jawab Saga sambil meletakkan tangannya di bahu Cilla. “Capek, tapi masih bisa ngomel sama Cilla.”Siska memandang Cilla yang wajahnya pucat.“Ibu kan sudah bilang jangan cari masalah sama Tante Ririn kan?” tanya Siska datar. “Cukup ayah kalian saja yang berurusan sama dia, kita tidak perlu ikut-ikutan. Mengerti?”“Tapi, Bu ...” Cilla bertukar pandang dengan Saga. “Aku nggak suka Tante itu ada di sini, aku benci sama dia.”Siska diam saja meskipun dalam hati juga merasakan kebencian yang serupa, tapi dia tidak boleh mengajari anak-anaknya untuk membenci Ririn secara terang-terangan. Sementara itu Ririn sendiri sudah sangat tersiksa dengan perlakuan anak sambungnya kepadanya dan siap untuk mengadukan hal ini kepada Roni saat dia pulang kerja nanti.Sore harinya, tepat ketika mobil yang dikemudikan Roni tiba di halaman