Share

BAB 4

Author: Katiram
last update Last Updated: 2025-05-26 16:04:20

BAB 4: Tawaran yang Mengguncang

Suara mesin infus berdetik perlahan di dalam ruang rawat. Di sudut ruangan, Alya duduk lemas di kursi plastik yang sudah aus. Di atas ranjang rumah sakit, ibunya terbaring lemah dengan wajah pucat dan selang oksigen menempel di hidungnya. Napasnya naik turun, tidak stabil.

Alya menggenggam tangan ibunya erat-erat. “Bu, bangun sebentar… ini Alya di sini…” bisiknya.

Ibunya tidak menjawab, hanya bergumam pelan tanpa membuka mata. Air mata Alya menetes tanpa bisa ia tahan.

Beberapa jam lalu, dokter memanggilnya ke luar dan menjelaskan dengan nada hati-hati bahwa kondisi ibunya cukup serius. Penyakit jantung yang selama ini dibiarkan tanpa pengobatan intensif sudah berkembang menjadi kritis. Butuh perawatan intensif dan obat-obatan rutin dengan biaya besar.

“Biaya awal untuk rawat inap dan tindakan darurat saat ini… sekitar 15 juta,” kata petugas administrasi rumah sakit sebelumnya. “Itu belum termasuk biaya obat-obatan dan observasi lanjutan.”

Alya hampir tidak bisa berdiri saat mendengarnya. Seluruh isi tabungannya hanya satu juta rupiah. Itu pun berasal dari sisa gajinya kerja di kafe dan honor kerja part time beberapa bulan lalu.

Ia mencoba menjelaskan ke petugas, tapi wanita di balik meja hanya mengangguk dengan wajah datar. “Kalau tidak bisa melunasi hari ini, kemungkinan besar pasien akan kami alihkan ke kelas perawatan dasar. Tapi untuk tindakan darurat tadi, harus ada yang menjamin.”

Alya nyaris menangis saat itu juga. Tapi kemudian, langkah kaki Arsen terdengar memasuki ruang administrasi. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan jas hitam panjang dan kemeja putih yang rapi. Suara sepatunya berdetak pasti di lantai rumah sakit yang dingin.

Tanpa banyak bicara, ia menghampiri meja resepsionis, mengambil dompetnya, dan mengeluarkan kartu ATM.

“Saya yang tanggung semua biayanya,” ucapnya tenang. “Masukkan atas nama Arsen Mahendra.”

Petugas resepsionis sempat terdiam sejenak. “Untuk biaya tindakan awal sebesar 15 juta, ya, Pak?”

Arsen mengangguk.

“Kalau begitu, kami proses sekarang.”

Alya yang berdiri tak jauh dari sana, hanya bisa menatap Arsen dengan mata membelalak. “Pak Arsen… kenapa—”

“Bukan saatnya kamu menolak bantuan,” potong Arsen cepat. “Fokus saja ke ibumu.”

---

Senja menjelang. Langit luar jendela rumah sakit terlihat memerah, pertanda malam akan segera tiba. Ruangan mulai sepi dari lalu lalang pengunjung. Arsen duduk di samping Alya, tangannya menyodorkan segelas teh hangat dari vending machine.

“Kamu harus minum sesuatu.”

Alya menerimanya dengan tangan gemetar. “Terima kasih… untuk semuanya.”

Arsen tidak menjawab langsung. Ia menatap kosong ke depan, lalu membuka mulutnya pelan, seolah memikirkan kalimat yang tepat.

“Aku ingin bicara serius denganmu, Alya.”

Alya menoleh perlahan.

“Ada alasan kenapa aku terus campur tangan dalam hidupmu belakangan ini. Aku tidak melakukannya karena kasihan semata. Aku… sebenarnya sedang butuh bantuanmu juga.”

Alya mengerutkan kening. “Maksudnya?”

Arsen menarik napas panjang. “Aku butuh menikah. Segera. Dan aku ingin kamu yang menjadi istri kontrakku. Pernikahan selama satu tahun. Tidak lebih.”

Alya terdiam. Matanya membelalak penuh kejutan. “Menikah? Kontrak?”

Arsen menatap mata Alya langsung. “Aku tahu ini terdengar gila. Tapi dengar dulu. Aku akan bayar semua biaya rumah sakit ibumu, seluruh biaya hidupmu selama setahun, dan memberimu uang bulanan sebesar lima belas juta rupiah. Aku juga akan bantu menyelesaikan kuliahmu.”

Alya merasa dadanya sesak. Semua yang ditawarkan Arsen terlalu besar, terlalu… nyata. Tapi juga terlalu tiba-tiba.

“Kenapa saya? Kenapa bukan orang lain?” tanya Alya, suaranya pelan.

Arsen menjawab, “Karena kamu tidak akan menuntut hal aneh-aneh. Aku tahu kamu realistis. Dan kamu tidak akan menaruh harapan cinta atau kepemilikan. Itu yang aku butuhkan…bukan pasangan hidup, tapi perjanjian. Legal, jelas, dan dingin.”

Alya menggigit bibir bawahnya. “Apa yang sebenarnya Bapak sembunyikan? Kenapa harus menikah sesegera ini?”

Arsen memejamkan mata sejenak. “Ada urusan keluarga. Kamu tidak perlu tahu detailnya. Tapi jika aku tidak menikah dalam waktu dekat, warisan dan saham keluargaku akan dialihkan pada sepupuku yang rakus dan manipulatif. Aku butuh pengakuan legal sebagai suami dari seseorang, dan kamu adalah orang yang paling masuk akal.”

Alya menatap lantai. Tawaran itu terlalu besar untuk langsung dijawab. Tapi di saat bersamaan, ibunya sedang bertarung dengan hidupnya di ruang sebelah. Dan uang, sesuatu yang tidak pernah dimiliki Alya dalam jumlah besar. tiba-tiba tersedia begitu saja, hanya dengan satu syarat: mengucap janji di hadapan penghulu.

Arsen bersandar ke kursi. “Kamu tidak harus jawab sekarang. Pikirkan baik-baik. Tapi aku butuh jawaban dalam tiga hari.”

“Dan kalau saya menolak?”

Arsen menatapnya tajam. “Aku tetap akan bantu ibumu. Tapi… semua ini hanya bisa kulakukan sekali. Setelah itu, kamu urus sendiri.”

Alya merasa seperti tercekik. Arsen tidak mengancam. Tapi nada bicaranya menyiratkan bahwa ia tidak suka bermain dua kali. Semua ada batasnya. Bahkan kebaikan pun bisa berhenti.

---

Malam itu, Alya duduk di balkon rumah sakit. Angin malam meniup rambutnya perlahan. Ia memeluk lutut, menatap lampu jalan yang berkelap-kelip dari kejauhan.

Kepalanya penuh dengan segala kemungkinan. Apa yang akan terjadi jika ia menerima? Apa yang akan dikorbankan? Nama baik? Harga diri?

Tapi… apa bedanya jika ia terus-menerus ditindas kemiskinan? Apa harga diri bisa membeli obat ibunya? Apa kehormatan bisa membayar operasi jantung?

Tetesan air mata kembali jatuh, tanpa suara. Bukan karena lemah. Tapi karena realita terlalu pahit untuk ditelan tanpa menangis.

Dari belakang, suara langkah kaki terdengar. Arsen datang dengan membawa jaket.

“Kamu belum tidur?”

Alya menggeleng.

“Masih mikirin jawabannya?” tanya Arsen, berdiri di sebelahnya.

Alya tidak menjawab. Tapi kemudian ia menoleh, dan bertanya pelan, “Kalau saya menerima… kita akan benar-benar menikah di KUA?”

Arsen mengangguk.

“Lalu tinggal di mana? Apakah saya harus tinggal bersama Anda?”

“Aku punya rumah pribadi. Tapi kita bisa atur agar kamu tetap tinggal di rumah ibumu jika kamu mau. Yang penting, secara hukum, kamu istriku.”

Alya menatap mata Arsen dalam-dalam. Dingin, tapi jujur. Ia tidak melihat kebohongan, tidak juga nafsu.

“Dan tidak ada… hubungan suami istri?” tanyanya ragu.

Arsen menggeleng. “Kontrak ini tidak melibatkan ranjang. Kecuali kamu menginginkannya…tapi aku rasa kamu tidak akan.”

Alya mengembuskan napas panjang. Semua terasa seperti drama televisi. Tapi ini nyata.

“Aku akan pikirkan lagi. Tapi terima kasih… karena sudah menyelamatkan ibu saya hari ini.”

Arsen mengangguk. “Kamu punya tiga hari. Setelah itu, kita bicara lagi.”

Ia menyerahkan jaket ke Alya, lalu berbalik dan pergi meninggalkannya dalam keheningan.

Di balik semua tawaran itu, Alya tahu satu hal: hidup tidak lagi akan sama. Dan sekarang, masa depannya benar-benar bergantung pada satu keputusan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 39

    Hari-hari yang semula terasa canggung perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut dan akrab. Hubungan Alya dan Arsen berkembang tanpa perlu banyak kata. Ada kehangatan yang hadir di setiap momen kecil: saat makan bersama, menonton berita di sofa, bahkan saat keduanya diam di ruangan yang sama.Pagi itu, saat hujan turun pelan, Alya memasukkan cucian ke dalam mesin sambil sesekali melirik ke arah Arsen yang sedang menyeduh kopi di dapur. Pria itu mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang santai. Matanya sedikit sembab, tapi senyumnya tetap ada."Hari ini kamu ada meeting?" tanya Alya sambil merapikan handuk."Nggak. Aku atur jadwal supaya bisa di rumah," jawab Arsen sambil menyerahkan cangkir kopi kepada Alya."Terima kasih," ucap Alya pelan, jari mereka bersentuhan saat mengambil cangkir, dan untuk sesaat tak ada yang bergerak."Alya," panggil Arsen dengan nada lebih dalam."Hmm?""Aku bisa peluk kamu sekarang?"Pertanyaan itu sederhana, tapi menggetarkan. Alya menatapnya. Mat

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 38

    Pagi itu terasa berbeda. Alya terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya menembus celah tirai, tapi ia sudah duduk di pinggir ranjang, mengenakan jubah tidur tipis dan menatap kosong ke arah lantai. Hatinya masih menyimpan jejak percakapan malam tadi dengan Arsen. Percakapan yang membuka pintu baru bagi perasaan yang selama ini disangkal.Ia menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Biasanya, setelah malam yang emosional, ada rasa canggung yang tertinggal. Tapi entah kenapa, pagi ini justru terasa tenang.Setelah mandi dan bersiap, Alya turun ke bawah. Di ruang makan, aroma kopi menyambutnya, dan di sana, Arsen sudah duduk dengan setelan santai, membaca laporan sambil sesekali menyeruput kopi."Pagi," sapa Arsen, kali ini dengan senyuman tipis.Alya hampir tak percaya. Ia tersenyum, meski sedikit kaku. "Pagi.""Mau kopi juga?" tawar Arsen kepada Alya."Boleh. Tapi aku buat sendiri aja." ucap Alya yang langsung pergi ke arah dapur.Arsen mengangguk, lalu kemb

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 37

    Suasana rumah itu berubah.Bukan karena warna dindingnya yang berganti, atau perabotan yang diganti. Bukan pula karena musim yang perlahan berpindah dari hujan menuju kemarau. Tapi karena sesuatu yang jauh lebih sunyi, keheningan yang baru. Sebuah jarak yang tak terlihat, namun sangat terasa di setiap sudut ruangan.Arsen benar-benar menjaga jarak.Sejak permintaan itu diucapkan Alya di kantor tempo hari, pria itu tak lagi bersikap seperti sebelumnya. Tak ada lagi sapa hangat di pagi hari. Tak ada tanya apakah Alya sudah makan, atau bagaimana harinya di kantor. Bahkan ketika mereka berada di ruangan yang sama di ruang makan atau ruang TV Arsen tetap menjaga batasan. Ia seolah hanya menjadi bayangan dalam rumah, hadir tapi nyaris tak terdengar.Alya tak pernah menyangka, sikap Arsen akan sejauh ini berubah. Ia mengira pria itu akan tetap mencandainya seperti biasa, tetap menunjukkan perhatian meski sedikit tertahan. Tapi kenyataannya... Arsen seperti membekukan dirinya sepenuhnya.Dan

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 36

    Suasana kantor kembali terasa hambar bagi Alya. Sejak keluar dari ruang Arsen sore itu, pikirannya tidak berhenti berputar. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan seperti riak di permukaan air tenang yang baru saja dijatuhkan batu kecil. Tatapan Arsen tadi siang, nada suaranya, cara pria itu menyembunyikan emosi, semuanya membuat hati Alya terasa lelah dan penuh sesak.Ia duduk di balik layar komputer, tapi laporan yang hendak diselesaikannya masih kosong. Kursor hanya berkedip di layar putih, seolah mengejek betapa kosongnya isi pikirannya saat ini.Alya menghela napas pelan. “Apa sih yang dia rasakan sebenarnya?” gumamnya lirih.---Sore menjelang malam. Jam pulang sudah lewat lima belas menit, dan kantor mulai sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, menyisakan beberapa orang yang sibuk menyelesaikan pekerjaan mendesak. Alya masih berada di meja, berpura-pura sibuk sambil menunggu waktu yang cukup agar jalanan tak terlalu macet.Ia baru saja mematikan komputer ketik

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 35

    Pagi itu, langit Jakarta memamerkan awan kelabu yang menggantung rendah. Udara terasa lebih berat dari biasanya. Arsen berdiri di depan mobil dengan pintu terbuka, menunggu Alya yang masih mengancing blazer di dekat pagar rumah.“Biarkan aku naik kendaraan umum saja Pak! Aku tidak ingin berangkat bareng sama Pak Arsen!,” gerak Alya karena dari tadi Arsen membujuknya untuk berangkat barengan.Arsen menatapnya, ekspresi tak berubah. “Aku ingin memastikan kamu aman Alya, Sopir sedang sakit sehingga dia tidak bisa mengantar kamu.”Alya tak menjawab. Ia tahu Arsen tidak mudah diubah pendiriannya saat sudah berkata seperti itu. Maka dari itu dirinya hanya mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam mobil hitam yang mesinnya sudah menyala sejak lima menit lalu.Perjalanan menuju Mahendra Corp berjalan sunyi. Di tengah jalan, Alya sempat melirik Arsen yang sibuk membaca email dari tablet kecil di samping stir mobilnya. Sisi wajah pria itu terlihat begitu tenang dan fokus. Seolah semua desas-desu

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 34

    Kembalinya Arsen ke Mahendra Corp disambut dengan suasana kantor yang tampak lebih hidup. Meski sebagian pegawai masih menahan diri untuk tidak terlalu mendekat, aura otoritatif pria itu seolah langsung mengambil alih atmosfer ruangan. Ia tak lagi hanya duduk di ruang kerjanya di rumah, tapi kini kembali memimpin langsung dari ruang eksekutifnya di lantai paling atas.Alya melihatnya sekilas saat masuk lift pagi itu. Arsen tampak tenang, mengenakan setelan abu gelap dengan dasi biru dongker. Pandangan mata mereka sempat bertemu sesaat. Senyum kecil terselip di bibir pria itu, membuat jantung Alya berdetak sedikit lebih cepat.Namun momen singkat itu segera digantikan oleh realita terkait tekanan kerja yang kembali menggunung.Di mejanya, Alya sudah mendapati tiga email masuk dari Reline. Satu perintah revisi, satu pengingat deadline, dan satu... undangan rapat besar Mahendra Corp yang akan berlangsung dua hari lagi.“Evaluasi proyek internal dan restrukturisasi alur keuangan,” gumam A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status