Share

BAB 5

Author: Katiram
last update Last Updated: 2025-05-26 16:04:46

BAB 5: Janji di Bawah Langit Senja

Deru mesin infus menyatu dengan suara napas berat yang keluar dari dada ibu Alya. Di ruangan rumah sakit yang senyap, hanya ada bunyi detak jantung yang terekam dari alat monitor, serta langkah-langkah kaki suster yang sesekali berlalu-lalang di lorong. Alya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan tampak rapuh.

"Ibu...," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya sembab karena menangis sepanjang malam.

Ibu Alya membuka matanya perlahan. Sorot matanya lemah namun tetap hangat. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tidak bersuara. "Alya… kamu belum pulang?"

Alya menggeleng pelan. "Alya di sini aja, Bu. Temenin Ibu. Nggak usah mikirin apa-apa lagi."

Ibu Alya menghela napas lemah. “Kamu harus kuliah. Kamu harus kerja. Jangan sampai semua terbengkalai cuma karena Ibu…”

Alya menunduk, suaranya bergetar. "Bu, jangan bilang gitu. Ibu tahu kan, Alya nggak punya siapa-siapa lagi selain Ibu."

Hening. Suara alat medis kembali mendominasi ruangan. Alya menatap wajah ibunya yang pucat, tubuh yang dulu begitu kuat kini terbaring lemah. Di dalam hatinya, pertempuran terjadi hebat. Arsen telah menawarkan pernikahan, lengkap dengan janji perlindungan dan dukungan finansial. Tapi apakah itu keputusan yang benar?

"Ibu... kalau... kalau ada hal yang harus Alya lakukan demi kesehatan Ibu... Alya lakukan ya?" tanyanya dengan suara parau.

Ibu Alya menoleh, meski perlahan. "Selama itu tidak membuatmu kehilangan harga diri, Nak. Lakukanlah."

Kata-kata itu menjadi restu yang tak tertulis. Alya mengusap pipi ibunya lalu mencium tangannya. “Alya cuma ingin Ibu sehat lagi. Itu saja.”

---

Senja mulai turun ketika Alya duduk di sebuah taman kecil dekat rumah sakit. Langit berwarna jingga lembut, dan udara sore membawa aroma rerumputan yang baru disiram. Di tangannya ada map berisi fotokopi hasil pemeriksaan ibunya, yang menegaskan bahwa jantung sang ibu semakin lemah dan butuh perawatan intensif dalam waktu lama.

Tak lama kemudian, Arsen datang. Pria itu mengenakan kemeja gelap dengan jas kasual dan celana panjang hitam. Seperti biasa, ekspresinya dingin dan tenang, namun ada sorot perhatian di matanya saat ia melihat Alya.

"Kamu memintaku datang," katanya to the point sambil duduk di samping Alya di bangku taman.

Alya menoleh. “Saya… sudah memikirkannya, Pak. Saya setuju untuk menikah.”

Arsen mengangguk tanpa ekspresi terkejut. “Aku menghargai keputusanmu. Tapi aku akan tetap membacakan poin-poinnya sebelum kita lanjut ke proses resmi.”

Ia mengeluarkan dokumen dari dalam tas jinjing hitamnya dan menyodorkannya kepada Alya.

“Kontrak ini menyatakan bahwa pernikahan akan berlangsung selama satu tahun. Tidak akan ada keterlibatan emosional atau fisik kecuali disepakati bersama. Kamu akan menerima uang bulanan lima belas juta rupiah. Biaya rumah sakit ibumu dan seluruh kebutuhan medis ditanggung penuh olehku. Tidak ada publikasi, tidak ada campur tangan pihak luar. Setelah satu tahun, kita bercerai secara resmi.”

Alya membacanya perlahan. Hatinya mencelos membaca bagian demi bagian, namun ia tetap berusaha fokus. “Tidak ada syarat aneh lainnya?” tanyanya ragu.

“Tidak,” jawab Arsen. “Aku tidak butuh istri yang ikut campur dalam hidupku. Aku hanya butuh seseorang yang bisa memenuhi satu syarat administratif.”

“Syarat apa?” tanya Alya spontan.

Arsen menatap lurus ke depan. “Kakekku ingin aku menikah sebelum ulang tahunnya yang ke-70 bulan depan. Itu syarat agar aku bisa menjalankan perusahaan keluarga dengan kekuasaan penuh. Kalau tidak, hak waris akan jatuh ke sepupu-sepupuku yang tidak kompeten.”

Alya terdiam, mencerna kalimat itu. Jadi ini bukan soal cinta. Bukan soal perhatian. Hanya kontrak. Tapi di balik kontrak itu ada solusi untuk hidupnya yang semakin berat.

Ia mengangguk. “Saya setuju. Tapi saya mau satu hal.”

Arsen menoleh. “Apa?”

“Saya ingin tetap tinggal bersama ibu saya selama dia dirawat. Saya baru pindah setelah kondisinya membaik.”

Arsen mengangguk singkat. “Tentu.”

Dengan tangan gemetar, Alya menandatangani kontrak. Arsen menyusul. Suara gesekan pena di atas kertas terasa seperti dentang takdir yang mengikat mereka berdua dalam satu kesepakatan.

---

Pernikahan dilakukan keesokan harinya. Cepat, sederhana, dan tanpa publikasi.

Hanya ada penghulu, dua saksi yang dibayar oleh Arsen, dan dua kursi yang ditempati oleh mempelai. Alya mengenakan kebaya putih sederhana, wajahnya hanya dipoles tipis oleh make-up seadanya. Arsen tampak gagah dalam batik hitam dengan jas abu-abu.

“Saya nikahkan Alya Rahmadhani binti Rasyid dengan Arsen Mahendra bin Vinto Mahendra, dengan mas kawin berupa emas lima gram tunai.”

“Saya terima nikahnya...”

Suara Arsen tegas, tanpa ragu. Ijab kabul berlangsung dalam satu kali ucap. Semua selesai dalam kurang dari satu jam.

Setelah itu, mereka keluar dari ruangan KUA. Di tangannya, Alya memegang buku nikah dengan perasaan campur aduk. Kini ia adalah istri sah Arsen Mahendra, meski hanya untuk satu tahun ke depan.

Di dalam mobil, mereka duduk tanpa banyak bicara. Arsen yang memecah keheningan lebih dulu.

“Mulai bulan ini, kamu akan menerima transfer rutin setiap tanggal satu. Aku juga akan kirimkan uang muka untuk biaya tambahan rumah sakit.”

“Terima kasih,” jawab Alya pelan.

“Kamu tidak perlu ikut acara keluargaku, kecuali perayaan ulang tahun kakek. Setelah itu, kita kembali ke rutinitas masing-masing.”

“Baik.” Alya mengangguk.

Namun sebelum turun dari mobil, ia menatap Arsen serius.

“Pak Arsen, saya tahu ini cuma kontrak. Tapi selama masa pernikahan ini, saya ingin satu hal.”

“Apa itu?”

“Jangan perlakukan saya seperti objek. Saya bukan pembantu, bukan pajangan. Kalau kita harus menjalani ini, mari jalani dengan saling menghormati.”

Arsen menatapnya dalam beberapa detik. Lalu mengangguk perlahan. “Baik. Kamu akan dapat rasa hormat. Tapi jangan pernah mencoba masuk ke ruang pribadiku tanpa izin.”

“Saya tidak tertarik,” jawab Alya dingin.

Mereka saling menatap sesaat, lalu Alya keluar dari mobil. Ia melangkah ke dalam gang menuju rumahnya, menyembunyikan buku nikah di dalam tas. Di atas langit, senja masih bergelayut, seakan menjadi saksi bisu atas janji diam-diam yang baru saja terpatri.

---

Sesampainya di rumah, Alya langsung duduk di kamar. Ibunya masih dirawat di rumah sakit, dan untuk sementara waktu, rumah itu terasa lebih sepi dari biasanya.

Ia membuka map berisi kontrak, memandang tanda tangannya sendiri yang terpampang di sana. Rasanya masih sulit percaya bahwa hidupnya berubah drastis hanya dalam dua hari.

Namun saat ia membuka dompet kecil dan melihat foto ibunya terselip di sana, hatinya mengeras. Semua ini bukan semata karena Arsen. Semua ini demi ibunya. Demi menyelamatkan orang yang paling ia cintai.

Alya mengusap air matanya. “Tolong sembuh ya, Bu... Alya sudah memilih jalan yang sulit demi Ibu.”

Di luar kamar, malam mulai menutup langit kota. Dan dengan itu, kehidupan Alya sebagai istri kontrak dari Arsen Mahendra resmi dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 39

    Hari-hari yang semula terasa canggung perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut dan akrab. Hubungan Alya dan Arsen berkembang tanpa perlu banyak kata. Ada kehangatan yang hadir di setiap momen kecil: saat makan bersama, menonton berita di sofa, bahkan saat keduanya diam di ruangan yang sama.Pagi itu, saat hujan turun pelan, Alya memasukkan cucian ke dalam mesin sambil sesekali melirik ke arah Arsen yang sedang menyeduh kopi di dapur. Pria itu mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang santai. Matanya sedikit sembab, tapi senyumnya tetap ada."Hari ini kamu ada meeting?" tanya Alya sambil merapikan handuk."Nggak. Aku atur jadwal supaya bisa di rumah," jawab Arsen sambil menyerahkan cangkir kopi kepada Alya."Terima kasih," ucap Alya pelan, jari mereka bersentuhan saat mengambil cangkir, dan untuk sesaat tak ada yang bergerak."Alya," panggil Arsen dengan nada lebih dalam."Hmm?""Aku bisa peluk kamu sekarang?"Pertanyaan itu sederhana, tapi menggetarkan. Alya menatapnya. Mat

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 38

    Pagi itu terasa berbeda. Alya terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya menembus celah tirai, tapi ia sudah duduk di pinggir ranjang, mengenakan jubah tidur tipis dan menatap kosong ke arah lantai. Hatinya masih menyimpan jejak percakapan malam tadi dengan Arsen. Percakapan yang membuka pintu baru bagi perasaan yang selama ini disangkal.Ia menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Biasanya, setelah malam yang emosional, ada rasa canggung yang tertinggal. Tapi entah kenapa, pagi ini justru terasa tenang.Setelah mandi dan bersiap, Alya turun ke bawah. Di ruang makan, aroma kopi menyambutnya, dan di sana, Arsen sudah duduk dengan setelan santai, membaca laporan sambil sesekali menyeruput kopi."Pagi," sapa Arsen, kali ini dengan senyuman tipis.Alya hampir tak percaya. Ia tersenyum, meski sedikit kaku. "Pagi.""Mau kopi juga?" tawar Arsen kepada Alya."Boleh. Tapi aku buat sendiri aja." ucap Alya yang langsung pergi ke arah dapur.Arsen mengangguk, lalu kemb

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 37

    Suasana rumah itu berubah.Bukan karena warna dindingnya yang berganti, atau perabotan yang diganti. Bukan pula karena musim yang perlahan berpindah dari hujan menuju kemarau. Tapi karena sesuatu yang jauh lebih sunyi, keheningan yang baru. Sebuah jarak yang tak terlihat, namun sangat terasa di setiap sudut ruangan.Arsen benar-benar menjaga jarak.Sejak permintaan itu diucapkan Alya di kantor tempo hari, pria itu tak lagi bersikap seperti sebelumnya. Tak ada lagi sapa hangat di pagi hari. Tak ada tanya apakah Alya sudah makan, atau bagaimana harinya di kantor. Bahkan ketika mereka berada di ruangan yang sama di ruang makan atau ruang TV Arsen tetap menjaga batasan. Ia seolah hanya menjadi bayangan dalam rumah, hadir tapi nyaris tak terdengar.Alya tak pernah menyangka, sikap Arsen akan sejauh ini berubah. Ia mengira pria itu akan tetap mencandainya seperti biasa, tetap menunjukkan perhatian meski sedikit tertahan. Tapi kenyataannya... Arsen seperti membekukan dirinya sepenuhnya.Dan

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 36

    Suasana kantor kembali terasa hambar bagi Alya. Sejak keluar dari ruang Arsen sore itu, pikirannya tidak berhenti berputar. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan seperti riak di permukaan air tenang yang baru saja dijatuhkan batu kecil. Tatapan Arsen tadi siang, nada suaranya, cara pria itu menyembunyikan emosi, semuanya membuat hati Alya terasa lelah dan penuh sesak.Ia duduk di balik layar komputer, tapi laporan yang hendak diselesaikannya masih kosong. Kursor hanya berkedip di layar putih, seolah mengejek betapa kosongnya isi pikirannya saat ini.Alya menghela napas pelan. “Apa sih yang dia rasakan sebenarnya?” gumamnya lirih.---Sore menjelang malam. Jam pulang sudah lewat lima belas menit, dan kantor mulai sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, menyisakan beberapa orang yang sibuk menyelesaikan pekerjaan mendesak. Alya masih berada di meja, berpura-pura sibuk sambil menunggu waktu yang cukup agar jalanan tak terlalu macet.Ia baru saja mematikan komputer ketik

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 35

    Pagi itu, langit Jakarta memamerkan awan kelabu yang menggantung rendah. Udara terasa lebih berat dari biasanya. Arsen berdiri di depan mobil dengan pintu terbuka, menunggu Alya yang masih mengancing blazer di dekat pagar rumah.“Biarkan aku naik kendaraan umum saja Pak! Aku tidak ingin berangkat bareng sama Pak Arsen!,” gerak Alya karena dari tadi Arsen membujuknya untuk berangkat barengan.Arsen menatapnya, ekspresi tak berubah. “Aku ingin memastikan kamu aman Alya, Sopir sedang sakit sehingga dia tidak bisa mengantar kamu.”Alya tak menjawab. Ia tahu Arsen tidak mudah diubah pendiriannya saat sudah berkata seperti itu. Maka dari itu dirinya hanya mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam mobil hitam yang mesinnya sudah menyala sejak lima menit lalu.Perjalanan menuju Mahendra Corp berjalan sunyi. Di tengah jalan, Alya sempat melirik Arsen yang sibuk membaca email dari tablet kecil di samping stir mobilnya. Sisi wajah pria itu terlihat begitu tenang dan fokus. Seolah semua desas-desu

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 34

    Kembalinya Arsen ke Mahendra Corp disambut dengan suasana kantor yang tampak lebih hidup. Meski sebagian pegawai masih menahan diri untuk tidak terlalu mendekat, aura otoritatif pria itu seolah langsung mengambil alih atmosfer ruangan. Ia tak lagi hanya duduk di ruang kerjanya di rumah, tapi kini kembali memimpin langsung dari ruang eksekutifnya di lantai paling atas.Alya melihatnya sekilas saat masuk lift pagi itu. Arsen tampak tenang, mengenakan setelan abu gelap dengan dasi biru dongker. Pandangan mata mereka sempat bertemu sesaat. Senyum kecil terselip di bibir pria itu, membuat jantung Alya berdetak sedikit lebih cepat.Namun momen singkat itu segera digantikan oleh realita terkait tekanan kerja yang kembali menggunung.Di mejanya, Alya sudah mendapati tiga email masuk dari Reline. Satu perintah revisi, satu pengingat deadline, dan satu... undangan rapat besar Mahendra Corp yang akan berlangsung dua hari lagi.“Evaluasi proyek internal dan restrukturisasi alur keuangan,” gumam A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status