Alya memandangi layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Arsen.“Untuk sementara, jangan pulang dulu. Aku curiga Kakek mengirim orang untuk mengamati kita. Tetaplah di rumahku sampai situasi aman. Aku sudah bicara dengan rumah sakit juga agar perawatan Ibumu semakin intensif.”Alya menghela napas panjang. Ia duduk di balkon kamar lantai dua rumah Arsen, mengenakan hoodie abu dan celana panjang nyaman, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya. Langit mendung seakan mencerminkan isi hatinya.“Dia serius,” gumamnya lirih.Sudah tiga hari ia berada di rumah besar itu. Rumah yang awalnya terasa asing, kini mulai terasa seperti tempat pelarian paling aman, terutama karena kehadiran Yuni, pembantu paruh baya yang ramah dan tidak pernah memperlakukannya seperti tamu asing.Suara ketukan lembut terdengar di pintu balkon.“Alya, kamu sudah sarapan?” tanya Yuni dari dalam.Alya menoleh dan tersenyum tipis. “Belum, Bu. Nggak lapar,” jawabnya pelan.Yuni membuka pintu balkon dan melangkah
Suara deru mesin mobil mewah terdengar nyaring dari arah gerbang. Alya yang sedang menyapu halaman depan menoleh cepat. Tatapannya langsung membeku saat melihat deretan mobil hitam berhenti berjajar, seperti rombongan tamu penting atau pejabat tinggi negara.Seorang pria paruh baya bersetelan rapi turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk seseorang yang tampak lebih tua, berwibawa, dan dikelilingi oleh tiga orang bodyguard berjas gelap.“Alya,” suara Arsen terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari rumah dengan kaos santai dan celana jeans gelap, ekspresinya mendadak berubah tegang. “Masuk ke dalam. Sekarang.”“Siapa itu?” tanya Alya pelan, walau tubuhnya belum bergerak.“Masuk dulu,” ulang Arsen, kali ini dengan nada tegas.Tapi belum sempat Alya melangkah mundur, sosok pria tua itu sudah berdiri di depan halaman rumah mereka. Ia tinggi untuk usianya, kulitnya kecokelatan, rambut putihnya tersisir rapi ke belakang, dan sorot matanya tajam seperti elang. Alya merasa
Suara detik jam di dinding ruang tamu rumah besar itu menggema di antara keheningan. Alya melangkah perlahan, menyeret koper kecilnya yang hanya berisi barang-barang penting. Arsen berjalan di depan, tanpa berkata banyak. Sejak menjemputnya dari rumah sakit pagi tadi, pria itu hanya berbicara seperlunya. "Kamar tamu ada di lantai dua, sebelah kiri. Kamu bisa menempatinya sementara waktu," ujar Arsen sambil membuka pintu rumah dengan kode digital. Alya mengangguk pelan. "Terima kasih." Mereka melangkah masuk. Rumah itu tampak seperti museum hidup, setiap sudutnya tertata sempurna, bersih, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat tinggal. Tidak ada aroma makanan dari dapur, tidak ada suara televisi menyala, bahkan tidak ada jejak kehangatan yang biasa ia temui di rumah kecilnya yang sederhana. "Kakekku akan datang lusa. Lebih baik kamu sudah di sini sebelum beliau tiba," lanjut Arsen datar. "Kamu sudah bilang ke beliau kalau kita... menikah?" Arsen berhenti sejenak, menoleh mena
Jam dinding di ruang tunggu rumah sakit berdetak lambat, seolah menyadari bahwa waktu di tempat seperti ini tidak diukur dalam menit, melainkan dalam harapan dan ketakutan. Alya duduk menyandar di kursi keras berlapis plastik biru, kedua tangannya memeluk tubuh sendiri, mencoba menghangatkan diri dari dingin pendingin ruangan yang menusuk.Sudah dua malam ia tidur di sana, bergantian dengan perawat jaga untuk menemani ibunya yang masih belum bisa banyak bicara. Meskipun kondisi sang ibu mulai stabil, dokter belum mengizinkan kepulangan dalam waktu dekat. Organ dalamnya masih terlalu lemah, dan pengawasan intensif diperlukan.Sambil memeluk ransel lusuh di pangkuannya, Alya menatap kosong ke layar ponsel yang gelap. Ia baru sadar bahwa sejak beberapa hari terakhir, pesan dari Arsen tidak pernah ia balas. Bahkan, pesan terakhir pria itu masih belum ia baca."Alya?" Suara lembut perawat muda membuyarkan lamunannya.Ia mengangkat wajah, berusaha tersenyum. "Iya, Kak?"“Boleh ikut saya s
BAB 5: Janji di Bawah Langit SenjaDeru mesin infus menyatu dengan suara napas berat yang keluar dari dada ibu Alya. Di ruangan rumah sakit yang senyap, hanya ada bunyi detak jantung yang terekam dari alat monitor, serta langkah-langkah kaki suster yang sesekali berlalu-lalang di lorong. Alya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan tampak rapuh."Ibu...," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya sembab karena menangis sepanjang malam.Ibu Alya membuka matanya perlahan. Sorot matanya lemah namun tetap hangat. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tidak bersuara. "Alya… kamu belum pulang?"Alya menggeleng pelan. "Alya di sini aja, Bu. Temenin Ibu. Nggak usah mikirin apa-apa lagi."Ibu Alya menghela napas lemah. “Kamu harus kuliah. Kamu harus kerja. Jangan sampai semua terbengkalai cuma karena Ibu…”Alya menunduk, suaranya bergetar. "Bu, jangan bilang gitu. Ibu tahu kan, Alya nggak punya siapa-siapa lagi selain Ibu."Hening. Suara alat medis kembali
BAB 4: Tawaran yang Mengguncang Suara mesin infus berdetik perlahan di dalam ruang rawat. Di sudut ruangan, Alya duduk lemas di kursi plastik yang sudah aus. Di atas ranjang rumah sakit, ibunya terbaring lemah dengan wajah pucat dan selang oksigen menempel di hidungnya. Napasnya naik turun, tidak stabil. Alya menggenggam tangan ibunya erat-erat. “Bu, bangun sebentar… ini Alya di sini…” bisiknya. Ibunya tidak menjawab, hanya bergumam pelan tanpa membuka mata. Air mata Alya menetes tanpa bisa ia tahan. Beberapa jam lalu, dokter memanggilnya ke luar dan menjelaskan dengan nada hati-hati bahwa kondisi ibunya cukup serius. Penyakit jantung yang selama ini dibiarkan tanpa pengobatan intensif sudah berkembang menjadi kritis. Butuh perawatan intensif dan obat-obatan rutin dengan biaya besar. “Biaya awal untuk rawat inap dan tindakan darurat saat ini… sekitar 15 juta,” kata petugas administrasi rumah sakit sebelumnya. “Itu belum termasuk biaya obat-obatan dan observasi lanjutan.” Al