Share

BAB 3

Penulis: Katiram
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-26 16:03:58

BAB 3: Gosip, Fitnah, dan permasalahan yang datang secara tiba-tiba.

Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan. Alya mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana bahan hitam. Ia mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda rendah dan membawa tas ransel usang berisi laptop serta buku catatan. Hari ini seperti hari-hari biasanya atau begitulah yang ia kira.

Namun sejak ia memasuki gerbang kampus, aura aneh menyelimuti sekitar. Beberapa mahasiswa memandangnya, lalu berbisik-bisik. Sebagian lagi pura-pura tak melihat, tapi gerakan mata mereka menilai dari atas ke bawah.

Alya berjalan cepat, berusaha mengabaikan semuanya. Tapi telinganya tetap menangkap potongan-potongan kalimat yang memuakkan.

“Itu dia, si cewek simpanan…”

“Katanya dosennya sendiri. Gila, tega banget!”

“Cie… pacaran sama Arsen ‘lemari es’ demi uang. Pantas bisa pakai skincare mahal sekarang.”

Alya merapatkan langkah, menggenggam erat tali tasnya. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena takut…melainkan karena terluka. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa. Tapi kenapa orang-orang tega menuduhnya dengan hal sejijik itu?

Di kelas, keadaan lebih buruk. Beberapa mahasiswa perempuan yang terkenal sebagai penggemar Arsen duduk memutar mata ke arahnya. Sementara beberapa laki-laki menatap dengan tatapan jijik.

“Hei, Alya. Dosen favoritmu ngasih nilai langsung di rumah, ya?” tanya salah satu dari mereka dengan tawa miring.

Alya tidak menjawab. Ia langsung duduk di pojok belakang, wajahnya menunduk.

Tak lama kemudian, pesan masuk di ponselnya dari ketua kelas:

“Alya, kamu diminta ke ruang dekan jam 11. Dosen Arsen juga dipanggil. Ada apa?”

Tangan Alya gemetar saat membaca pesan itu. Napasnya seperti ditahan di dada.

Dan pada pukul sebelas tepat, ia melangkah ke ruang dekan dengan langkah berat. Ia menunggu di luar beberapa menit, sebelum akhirnya dipanggil masuk.

Di dalam ruangan berpendingin itu, duduklah tiga orang: Pak dekan, satu dosen perempuan senior dari jurusan, dan Arsen duduk tegak di ujung kursi.

Arsen menatap Alya sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Wajahnya tetap datar seperti biasa. Tapi entah kenapa, itu justru membuat Alya merasa lebih gugup.

Pak Dekan membuka pembicaraan. “Alya, kami memanggilmu untuk mengklarifikasi isu yang beredar. Ini cukup serius karena menyangkut nama baik dosen dan institusi.”

Alya mengangguk pelan. “Saya paham, Pak…” ucapnya dengan pelan juga.

“Beberapa mahasiswa melaporkan bahwa kamu… memiliki hubungan khusus dengan Pak Arsen. Bahkan disebut-sebut sebagai ‘simpanannya’. Apa kamu tahu dari mana rumor ini berasal?” tanya Dekan dengan menatap Alya dengan tatapan intimidasi.

Alya membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tidak tahu harus mulai dari mana. Matanya terarah pada meja, menghindari tatapan semua orang.

Arsen mengangkat tangan sedikit, memberi isyarat ingin berbicara. “Saya yang akan jawab.” ucap Arsen dengan tegas.

Pak Dekan mengangguk.

“Saya tidak ingin rumor ini berkembang lebih jauh. Karena itu saya akan sampaikan langsung, Alya bukan simpanan saya. Dia adalah tunangan saya.”

Ruangan hening seketika. Dosen perempuan terbelalak. Pak Dekan mengangkat alis.

Alya sendiri seperti disambar petir. Ia menoleh ke Arsen dengan mata membelalak. “T-tunangan?” bisik Alya dengan terpatah.

Arsen menatapnya, kali ini matanya lebih lembut. “Saya tahu ini mendadak. Tapi saya tidak akan membiarkanmu jadi sasaran fitnah lebih lama.”

Pak Dekan mencondongkan tubuh. “Jadi... maksud Anda, hubungan kalian resmi dan sah secara keluarga?” tanya Dekan kembali dengan raut wajah yang butuh kepastian.

Arsen mengangguk pelan. “Keluarga kami sudah bertemu. Kami akan mengadakan pertunangan resmi bulan depan, dan menikah sesudah Alya lulus.”

Alya masih terdiam, tubuhnya seperti membeku. Ia tidak mengerti apa ini semua hanya untuk menyelamatkan reputasinya? Tapi kenapa sejauh itu?

Dosen perempuan itu mengangguk pelan. “Kalau begitu, kami harap kalian berdua menjaga batas sesuai kode etik kampus sampai waktunya tiba. Terutama di lingkungan akademik.”

Arsen menjawab mantap, “Tentu.”

Pak Dekan berdiri, memberi isyarat bahwa pertemuan selesai. Alya ikut berdiri, dan keluar dari ruangan dalam keadaan setengah sadar.

Di luar, Arsen menyusulnya. Ia menarik lengan Alya lembut agar berhenti berjalan.

“Alya…dengar dulu.”

“Kenapa… kenapa Bapak bilang seperti itu?” tanyanya dengan suara gemetar. “Tunangan? Saya bahkan belum pernah setuju!”

Arsen menatapnya serius. “Aku tahu. Tapi kalau aku hanya bilang kita dekat atau aku sedang membantumu, gosip tidak akan berhenti. Satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini adalah menjungkirbalikkannya.”

Alya mengatupkan bibir. “Tapi ini terlalu jauh…”

“Aku akan bertanggung jawab, kalau kamu mau. Tapi kalau kamu tidak nyaman, kita bisa atur ulang semuanya. Yang penting, sekarang kamu tidak lagi jadi bahan hinaan.”

Hening sejenak. Lalu Arsen menghela napas, dan berkata, “Sekarang aku antar kamu pulang. Kamu butuh tenang.”

Alya tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.

---

Mobil Arsen melaju tenang di jalanan kota yang mulai macet menjelang sore. Alya menatap keluar jendela, pikirannya penuh kabut. Ia tidak tahu harus merasa senang, bingung, atau takut. Yang ia tahu hanyalah: hidupnya berubah begitu cepat dalam beberapa hari terakhir.

Ponselnya bergetar di pangkuan.

[Bu Asmi - Tetangga]

“Alya, ibumu barusan dibawa ke rumah sakit. Katanya penyakit jantungnya kambuh! Kami ikut ambulans ke RS Umum!”

Alya langsung terlonjak.

“Pak, berhenti! Saya harus ke rumah sakit! Ibu saya—” seru Alya secara mendadak.

Arsen segera menepi, lalu meraih ponselnya.

“Rumah sakit mana?”

“RS Umum kota. Tolong cepat, Pak. Saya takut terlambat…”

“Tenang,” jawab Arsen sambil menyalakan GPS dan menginjak pedal gas dalam. Mobil melaju cepat menembus kemacetan.

Di kursi penumpang, Alya menahan tangis. Ia meremas ujung jas Arsen yang masih ada di pangkuannya sejak kejadian di kafe. Dalam hatinya, ia hanya ingin ibunya baik-baik saja. Ia tidak peduli lagi soal gosip, soal tunangan, atau tentang masa depan. Ia hanya ingin pelukan hangat ibunya malam ini.

Setibanya di rumah sakit, Arsen segera memarkir dan berjalan bersama Alya menuju IGD. Di sana, seorang perawat mengenali nama yang disebut Alya.

“Pasien atas nama ibu Rukmini? Iya, sudah kami tangani. Masih di ruang observasi, sedang distabilkan dulu.”

“Boleh saya lihat?” tanya Alya panik.

“Sebentar, ya. Kami panggil dokter dulu.”

Alya berdiri di lorong dengan kaki lemas. Arsen duduk di kursi tunggu, matanya tak lepas dari Alya. Lalu ia berdiri, menghampiri perlahan.

“Kalau butuh bantuan biaya, bilang saja.” tawar Arsen dengan raut wajahnya yang datar dan arahnya yang masih dingin.

Alya menggeleng. “Saya... masih punya sedikit tabungan.” tolak Alya karena ia merasa tidak enak karena terus menerus merepotkan Arsen.

“Kamu tidak sendiri sekarang,” gumam Arsen. “Setidaknya, kalau kamu izinkan aku untuk membantumu secara kemanusiaan…Alya”

Alya tidak menjawab. Tapi tatapan matanya berubah. Perlahan, ia mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin kehidupannya tak selamanya gelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 9

    Alya memandangi layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Arsen.“Untuk sementara, jangan pulang dulu. Aku curiga Kakek mengirim orang untuk mengamati kita. Tetaplah di rumahku sampai situasi aman. Aku sudah bicara dengan rumah sakit juga agar perawatan Ibumu semakin intensif.”Alya menghela napas panjang. Ia duduk di balkon kamar lantai dua rumah Arsen, mengenakan hoodie abu dan celana panjang nyaman, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya. Langit mendung seakan mencerminkan isi hatinya.“Dia serius,” gumamnya lirih.Sudah tiga hari ia berada di rumah besar itu. Rumah yang awalnya terasa asing, kini mulai terasa seperti tempat pelarian paling aman, terutama karena kehadiran Yuni, pembantu paruh baya yang ramah dan tidak pernah memperlakukannya seperti tamu asing.Suara ketukan lembut terdengar di pintu balkon.“Alya, kamu sudah sarapan?” tanya Yuni dari dalam.Alya menoleh dan tersenyum tipis. “Belum, Bu. Nggak lapar,” jawabnya pelan.Yuni membuka pintu balkon dan melangkah

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 8

    Suara deru mesin mobil mewah terdengar nyaring dari arah gerbang. Alya yang sedang menyapu halaman depan menoleh cepat. Tatapannya langsung membeku saat melihat deretan mobil hitam berhenti berjajar, seperti rombongan tamu penting atau pejabat tinggi negara.Seorang pria paruh baya bersetelan rapi turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk seseorang yang tampak lebih tua, berwibawa, dan dikelilingi oleh tiga orang bodyguard berjas gelap.“Alya,” suara Arsen terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari rumah dengan kaos santai dan celana jeans gelap, ekspresinya mendadak berubah tegang. “Masuk ke dalam. Sekarang.”“Siapa itu?” tanya Alya pelan, walau tubuhnya belum bergerak.“Masuk dulu,” ulang Arsen, kali ini dengan nada tegas.Tapi belum sempat Alya melangkah mundur, sosok pria tua itu sudah berdiri di depan halaman rumah mereka. Ia tinggi untuk usianya, kulitnya kecokelatan, rambut putihnya tersisir rapi ke belakang, dan sorot matanya tajam seperti elang. Alya merasa

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 7

    Suara detik jam di dinding ruang tamu rumah besar itu menggema di antara keheningan. Alya melangkah perlahan, menyeret koper kecilnya yang hanya berisi barang-barang penting. Arsen berjalan di depan, tanpa berkata banyak. Sejak menjemputnya dari rumah sakit pagi tadi, pria itu hanya berbicara seperlunya. "Kamar tamu ada di lantai dua, sebelah kiri. Kamu bisa menempatinya sementara waktu," ujar Arsen sambil membuka pintu rumah dengan kode digital. Alya mengangguk pelan. "Terima kasih." Mereka melangkah masuk. Rumah itu tampak seperti museum hidup, setiap sudutnya tertata sempurna, bersih, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat tinggal. Tidak ada aroma makanan dari dapur, tidak ada suara televisi menyala, bahkan tidak ada jejak kehangatan yang biasa ia temui di rumah kecilnya yang sederhana. "Kakekku akan datang lusa. Lebih baik kamu sudah di sini sebelum beliau tiba," lanjut Arsen datar. "Kamu sudah bilang ke beliau kalau kita... menikah?" Arsen berhenti sejenak, menoleh mena

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 6

    Jam dinding di ruang tunggu rumah sakit berdetak lambat, seolah menyadari bahwa waktu di tempat seperti ini tidak diukur dalam menit, melainkan dalam harapan dan ketakutan. Alya duduk menyandar di kursi keras berlapis plastik biru, kedua tangannya memeluk tubuh sendiri, mencoba menghangatkan diri dari dingin pendingin ruangan yang menusuk.Sudah dua malam ia tidur di sana, bergantian dengan perawat jaga untuk menemani ibunya yang masih belum bisa banyak bicara. Meskipun kondisi sang ibu mulai stabil, dokter belum mengizinkan kepulangan dalam waktu dekat. Organ dalamnya masih terlalu lemah, dan pengawasan intensif diperlukan.Sambil memeluk ransel lusuh di pangkuannya, Alya menatap kosong ke layar ponsel yang gelap. Ia baru sadar bahwa sejak beberapa hari terakhir, pesan dari Arsen tidak pernah ia balas. Bahkan, pesan terakhir pria itu masih belum ia baca."Alya?" Suara lembut perawat muda membuyarkan lamunannya.Ia mengangkat wajah, berusaha tersenyum. "Iya, Kak?"“Boleh ikut saya s

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 5

    BAB 5: Janji di Bawah Langit SenjaDeru mesin infus menyatu dengan suara napas berat yang keluar dari dada ibu Alya. Di ruangan rumah sakit yang senyap, hanya ada bunyi detak jantung yang terekam dari alat monitor, serta langkah-langkah kaki suster yang sesekali berlalu-lalang di lorong. Alya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan tampak rapuh."Ibu...," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya sembab karena menangis sepanjang malam.Ibu Alya membuka matanya perlahan. Sorot matanya lemah namun tetap hangat. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tidak bersuara. "Alya… kamu belum pulang?"Alya menggeleng pelan. "Alya di sini aja, Bu. Temenin Ibu. Nggak usah mikirin apa-apa lagi."Ibu Alya menghela napas lemah. “Kamu harus kuliah. Kamu harus kerja. Jangan sampai semua terbengkalai cuma karena Ibu…”Alya menunduk, suaranya bergetar. "Bu, jangan bilang gitu. Ibu tahu kan, Alya nggak punya siapa-siapa lagi selain Ibu."Hening. Suara alat medis kembali

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 4

    BAB 4: Tawaran yang Mengguncang Suara mesin infus berdetik perlahan di dalam ruang rawat. Di sudut ruangan, Alya duduk lemas di kursi plastik yang sudah aus. Di atas ranjang rumah sakit, ibunya terbaring lemah dengan wajah pucat dan selang oksigen menempel di hidungnya. Napasnya naik turun, tidak stabil. Alya menggenggam tangan ibunya erat-erat. “Bu, bangun sebentar… ini Alya di sini…” bisiknya. Ibunya tidak menjawab, hanya bergumam pelan tanpa membuka mata. Air mata Alya menetes tanpa bisa ia tahan. Beberapa jam lalu, dokter memanggilnya ke luar dan menjelaskan dengan nada hati-hati bahwa kondisi ibunya cukup serius. Penyakit jantung yang selama ini dibiarkan tanpa pengobatan intensif sudah berkembang menjadi kritis. Butuh perawatan intensif dan obat-obatan rutin dengan biaya besar. “Biaya awal untuk rawat inap dan tindakan darurat saat ini… sekitar 15 juta,” kata petugas administrasi rumah sakit sebelumnya. “Itu belum termasuk biaya obat-obatan dan observasi lanjutan.” Al

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status