(Tahun pertama Safira dan Bima pacaran; di rumah Bima. Sekitar empat tahun lalu.)“Loh, Safira?”Bu Nina terkejut saat membuka pintu rumah ketika mendapati Safira yang tiba-tiba berada di sini dengan satu kresek besar di tangannya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu nyengir dan menyalami tangan ibu dari sahabat dan pacarnya tersebut. “Tapi Lusi sama Bima belum pulang dari kampus. Kamu nggak ada kelas emang?”“Safira baru pulang dari kampus kok, Tan. Langsung ke sini deh,” ujarnya. Masih dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya itu.“Oh gitu. Ya sudah masuk sini.” Bu Nina merangkul pundak Safira, mengarahkannya untuk masuk. “Kamu bawa apa itu kok banyak banget?”“Tante Nina nggak sibuk, kan?” Safira bertanya penuh harap. Karena ia memiliki rencana yang ingin dia lakukan bersama calon mertuanya ini—hehe, amin.“Nggak sih. Kenapa?”Seolah seperti pemilik rumah, Safira menarik Bu Nina pergi ke arah dapur dan meletakkan satu kresek besar belanjaannya ke atas meja. “Bikin bolu yuk,
Safira membanting dirinya ke kasur. Ia menutup matanya dengan lengan karena air mata yang terus ingin keluar. Beruntung kedua orangtuanya sedang tak ada, jadi ia tak perlu membuat alasan atau berbohong tentang kenapa dia menangis padahal baru pulang dari rumah Bima.“Sialan kamu, Bim.” Safira menarik napas panjang. Sesaknya sedikit berkurang seiring tangisnya yang sudah mereda.Sebenarnya, ada begitu banyak alasan yang membuat Safira menangis sesenggukan seperti tadi. Dari awal ia masuk ke rumah Bima dan kedatangannya disambut oleh Tante Nina jantungnya sudah ingin meledak. Safira menahan dengan keras agar tangisnya tak segera tumpah. Lalu setelahnya, sambutan Tante Nina yang begitu baik dan hangat seperti biasa. Menganggap semua baik-baik saja dan yang lalu seakan tak pernah terjadi. Menganggap mereka hanyalah dua orang yang sudah lama tak bertemu. Itu memang benar. Namun yang membuat Safira harus lebih menekan perasaannya adalah ketika ia sadar, bahwa tak ada yang baik-baik saja den
Safira tak menyangka jika dua bulan sungguh berlalu begitu cepat. Pernikahannya dengan Bima sungguh dilakukan dan meskipun keduanya kini tengah berada di kamar yang sama, Safira masih enggan untuk percaya sepenuhnya bahwa ia sungguh gila karena menikahi mantan pacarnya yang egoisnya bukan main itu.Begitu selesai mandi, Safira mendapati Bima yang tengah melihat ke arah luar jendela dengan pakaian yang lebih santai. Namun begitu lelaki itu sadar jika Safira sudah berada di belakangnya, Bima berbalik dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa sekalipun melirik ke arah wanita yang perhari ini sudah menjadi istrinya.Sadar kalau dirinya diabaikan, Safira hanya mengangkat kedua bahunya. Merasa tak keberatan sama sekali. Beda dari sebelumnya, mereka tentu sudah harus melakukan apapun yang tercantum di atas kontrak. Tidak berbicara hal tak penting. Betul?Jadi setelah mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, Safira langsung naik ke atas ranjang. Tidak berniat menunggu Bima selesai mandi, ia lan
Malam pertama? Apa itu malam pertama? Dua orang yang sudah menikah tetapi salah satunya malah memilih untuk pergi ke alam mimpi? Begitu?Iya. Itu jawaban yang Bima temukan di pernikahannya ini.Ya mau bagaimana lagi. Pernikahan yang dijalaninya bersama sang mantan pacar memang bukanlah pernikahan pada umumnya karena mereka hanya menikah di atas kontrak. Hitam di atas putih.Ketika keluar dari kamar mandi tadi, Bima yang awalnya ingin mencoba mengobrol lebih banyak bersama Safira justru menemukan istrinya itu sudah tidur lebih dulu. Memang sih, Bima saja yang konyol karena berpikir seperti itu padahal ya dia sudah tahu kalau ia tak bisa melakukan itu meskipun Safira tidak tidur. Karena di atas kontrak pun tertulis mereka tak akan berbicara satu sama lain jika tak penting.Akhirnya, dengan menyedihkan, membuat lelaki itu sekarang malah berada di rumah Tomi. Ck.“Sumpah lo nggak banget dah, Bim.” Tomi mengeluarkan dua kaleng soda dari lemari es dan memberikan salah satunya kepada Bima. W
Safira terbangun sekitar pukul delapan pagi. Ia melihat ke sisi sebelahnya, yang tentu saja Bima tak ada di sana. Semalam ia baru tidur pukul tiga pagi setelah berhasil menenggak setengah botol wine dan itu cukup membuatnya mabuk. Ah.. sejak dulu dia memang tak pandai minum.Ketika mendengar suara seseorang sedang mandi di toilet, Safira sedikit terperanjat. Ia kira Bima belum pulang. Namun nyatanya ‘suami’nya itu sudah kembali yang entah sejak kapan.Sebenarnya yang membuat Safira terbangun padahal ia masih sangat mengantuk adalah karena ia bermimpi yang menurutnya cukup aneh. Sebelum ini, ia tak pernah bermimpi begini sejak ia putus dengan Bima. Tetapi tadi … haaah.. Safira menghela napas panjang. Masa ia bermimpi jika Bima meminta maaf, mengecup keningnya dan dia yang memohon agar lelaki itu tidak pergi?Tanpa sadar gadis itu terkekeh sinis. Mimpi yang sangat absurd menurutnya. Mana mungkin ia bermimpi seperti itu. Cih. Ada-ada saja.“Kenapa ketawa sendiri?”Safira tersedak sampai
Safira tetap bungkam meskipun mereka sudah kembali ke rumah Bima. Sejak pembicaraan di pantai tadi, Safira tak berbicara pada Bima sama sekali baik di rumah orangtuanya maupun rumah orangtua lelaki itu. Bukannya apa, apa yang dikatakan Bima di pantai tadi, cukup membuat Safira terkejut, sedih, kecewa, marah dan perasaan lain yang bercampur sampai ia sendiri tak tahu harus bagaimana. Apa katanya? Bima ingin menebus apa yang telah dilakukannya lima tahun lalu selama setahun ini?Safira sungguh tak mengerti, apakah bagi Bima semuanya memang selalu mudah? Bahkan lelaki itu tak nampak merasa bersalah sama sekali. Dulu hingga sekarang, Bima seperti menganggap semuanya memang baik-baik saja, padahal menurutnya tindakan yang dilakukan Bima sudah cukup berlebihan.Terlebih pernikahan ini.Harusnya Bima bersyukur karena dirinya masih mau diajak menikah, mengorbankan masa depannya, padahal hatinya sudah disakiti seperti itu. Harusnya Bima tahu diri dengan tidak meminta lebih.Tapi apa katanya? D
Dua bulan lalu di Sky’s Bakery (pertemuan Safira dan Dito setelah sekian lama).Safira mengajak Dito untuk duduk di dalam. Dua kopi instan ia sajikan di atas meja. Mereka duduk berhadapan, situasi canggung sangat Safira rasakan sekarang. Bertemu Dito setelah sekian lama, terlebih pertemuan terakhir mereka adalah tentang pernyataan perasaan pria itu. Sejak dulu bagi Safira, Dito adalah laki-laki baik. Dalam pekerjaan, Dito bisa dibilang sangat mapan. Di usianya yang ke tiga puluh, Dito sudah menjadi kepala koki di sebuah restoran dan ia juga sudah memiliki restoran sendiri. Perangainya sebagai lelaki baik sangat diacungi jempol. Saat bersama Dito, Safira selalu diperlakukan seperti ratu. Dito sosok yang perhatian, peka, dan selalu bisa mengayomi Safira dengan baik. Namun sayang, sebaik apapun Dito memperlakukannya Safira tidak pernah menganggap Dito lebih dari teman. Dito memang baik, tetapi Safira tidak cukup baik untuk Dito. Itu lah yang ada di pikiran Safira.Jadi ketika Safira m
Merasa bosan di rumah sendirian dan Safira tak kunjung kembali ke rumah meskipun waktu sudah menjelang malam, Bima mengambil jaket beserta kunci mobilnya untuk pergi ke suatu tempat. Sebelumnya, ia sudah membuat janji dengan Tomi agar pria itu juga menyusulnya ke sana.Ya ke mana lagi kalau bukan Bar 69 milik Monic.Sebenarnya Bima juga sedikit merasa bersalah pada perempuan itu karena tak mengundangnya ke pernikahan kemarin. Sebabnya tak usah ditanya, tentu saja karena masa lalu.Sekitar pukul setengah tujuh malam, Bima sampai di Bar 69. Karena masih sore, tentu saja suasana di sini masih sepi. Bima langsung bisa menemukan Monic yang tengah duduk seorang diri dengan laptop yang menyala di hadapannya.“Hai,” sapa Bima. Monic menoleh, ia mendelik karena tiba-tiba menemukan Bima ada di sini.“What the hell? Lo ngapain di sini Abhimana?”“Tolong birnya ya,” kata Bima kepada bartender yang tengan membersihkan gelas, tak jauh dari tempatnya duduk. “Ngapain lagi? Mau minum lah.”“Bahasa lo