Di usianya yang sudah genap 27 tahun, bisa dikatakan Safira adalah seorang wanita sukses dengan bisnis bakery cake yang sudah memiliki cabang di beberapa kota besar. Hidupnya sudah ia anggap sempurna dengan dirinya yang sudah berhasil mencapai keinginan yang sejak dulu ia impikan menjadi seorang pebisnis. Namun semua yang ia anggap sukses ternyata masih terasa bukan apa-apa di mata kedua orang tuanya hanya karena dia yang belum menikah. Safira lelah dikenalkan hingga dijodohkan oleh orang-orang aneh yang dikenalkan ibunya. Sampai akhirnya ia bertemu Abhimana–mantan pacarnya ketika kuliah– yang ternyata juga menjadi target yang akan dijodohkan olehnya. Safira bingung. Apakah ia harus menikah dengan Bima atau laki-laki yang sama sekali tidak ia kenali?
view more“To-tolong lahirkan anakku dengan selamat. Rawat dia dan jauhkan dia dari Sa–”
Belum selesai berbicara, Helena dapat merasakan tangan anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil itu perlahan mendingin. Jantung Helena sontak mencelos. “Nona!” paniknya histeris, bahkan terdengar di lorong rumah sakit. “Dokter tolong!” Ini seperti mimpi buruk! Beberapa saat lalu, keduanya masih berkomunikasi lewat sambungan telepon. Rachel khawatir setelah mengetahui Helena mendadak muntah-muntah. Padahal, Helena sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi di usia kandungan yang sudah tua. Namun siapa sangka saat menunggu, Helena justru mendengar kabar Nona Tertua Wijaya itu mengalami kecelakaan. “Nona, bangun!” Helena berteriak lagi–berharap Rachel kembali bangun, “Bukankah Kamu bilang ingin menemani anakmu nanti bersekolah ke luar negeri? Dia bahkan belum lahir.” Sayangnya, garis di monitor EKG itu tetap lurus meski petugas medis melakukan tindakan penyelamatan. Bunyinya begitu menakutkan sampai perut Helena terasa menegang. Bagaimana caranya menjelaskan ini semua pada Alexander, suami sang sahabat? Belum lagi, kedua orang tua Rachel…. Plak! “Dasar Iblis! Kau membunuh putriku!” Tanpa diduga, Helena tiba-tiba ditampar oleh Nyonya Wijaya yang baru tiba. Helena terhuyung di bawah tatapan tajam keluarga besar Wijaya. “Aku tidak membunu–” “Diam! Putriku terbunuh karenamu! Kenapa kau melakukan ini?” potong Tuan Wijaya, “kenapa kau menghilangkan nyawa anakku yang selama ini baik padamu?!” Baru kali ini, ayah Rachel nampak emosional di depan orang banyak. Dia bahkan mengguncang tubuh Helena yang hanya bisa menggelengkan kepala sambil menangis. “Tidak. Bukan aku….” Sayangnya, pembelaan Helena tak didengar karena keluarga Wijaya terus justru mengusirnya dari Rumah Sakit. Bahkan menggunakan kuasa mereka, Keluarga Wijaya menutup akses Helena untuk menemui Alexander dan menjelaskan apa yang terjadi. Kini wanita hamil itu hanya bisa berdiri dari kejauhan di area pemakaman Heaven Memorial. “Nona Rachel….” lirihnya. Helena ingin bergabung dengan pelayat lainnya. Tapi, ia tahu betul bahwa kehadirannya tak diharapkan seorang pun di sana. Bisa saja keluarga Rachel justru murka. Helena tak mau itu terjadi. Ia lantas mengusap perutnya yang besar—meminta agar si jabang bayi–satu-satunya yang tersisa dari sang sahabat, tetap kuat dan sehat di dalam sana. Sayangnya, air mata Helena jatuh juga meski sudah ditahan sekuat mungkin. Tes! Bersamaan dengan itu, gerimis mendadak turun di penghujung upacara pemakaman. Helena lantas tersadar dari lamunannya. Menemukan satu per satu pelayat telah pergi dari sana menyisakan keluarga inti saja, Helena pun ikut melangkahkan kaki untuk berlindung. Jika demam, persalinannya yang sebentar lagi–bisa saja mengalami kendala. Jadi, Helena tidak boleh sakit! ‘Demi Nona Rachel,’ batinnya mengingatkan. Susah payah wanita hamil itu membawa kakinya menjauh. Sayangnya, langkah Helena terhenti di parkiran kala mendengar teriakan dari Sarah–adik sepupu Rachel. Wanita itu langsung menatapnya tajam! “Pembunuh!” teriak Sarah penuh kemarahan, “kalau saja Kau tidak meminta Rachel datang menemuimu, dia pasti masih hidup! Beraninya kau datang ke sini!” “Tidak, aku tidak melakukannya….” Itu adalah kalimat yang ingin diucapkan Helena. Sayangnya, tenggorokan Helena seperti tersumpal oleh sesuatu kala menyadari tatapan dingin semua orang yang tersisa. “Wanita ini diam karena aku benar. Dia memang selalu iri dengan Rachel. Makanya, dia membuat sepupuku itu sampai insecure agar memilihnya untuk mengandung anaknya!” ucap Sarah, lagi. Kali ini, dia menangis. “Belum lagi, dia meminta bayaran mahal atas rahim yang disewakannya itu! Kau memeras Rachel untuk membiayai penyakit ibumu! Malangnya keluarga kami bisa mengenal gadis tak tahu diuntung sepertimu!” Ekspresi wajah adik sepupu Rachel itu begitu menuduh. Helena sontak menggelengkan kepala. Itu semua tidak benar. Saat ibunya mengalami kebocoran jantung dan butuh biaya besar, Rachel datang menawarkannya untuk sewa rahim. Meski Helena sempat menolak, tetapi tatapan penuh permohonan sang sahabat membuat Helena tertekan luar biasa. Dia pun akhirnya menerima permintaan Rachel dan mencoba merawat anak ini sebaik yang ia bisa. Sayangnya, tatapan dari pelayat yang tersisa jelas seperti menghakimi dirinya–membuatnya membeku. “Dia tidak akan bisa mengatakan apapun, dia pasti sedang menyesali perbuatannya!” timpal Sarah kembali. Seperti sedang menyiram bensin pada kobaran api, sepupu Rachel itu tak henti membuat orang-orang di sekitarnya memilki arah pikiran yang sama. “Bi, lebih baik kita kirim saja dia ke penjara. Lagi pula, semua bukti mengarah padanya, dia tidak akan bisa mengelak,” ucap Sarah sembari menyembunyikan senyum tipis miliknya. Mendengar itu, Helena terkejut. Penjara? Wanita itu menggelengkan kepalanya, tak percaya. “Tidak, aku tidak bisa....” ucap Helena lirih. Dia sudah dekat dengan waktu persalinan. Mana bisa dia menerima keputusan itu? Terlebih, anak Rachel yang ada di dalam perutnya itu pantas mendapatkan segala yang terbaik, sesuai pesan terakhirnya. Nyut! Helena memegangi perutnya merasakan sakit yang tiba-tiba saja menyerang. Nyeri, mengeras bagaikan batu, dan merambat cepat ke punggungnya. Perutnya terlalu sakit saat ini. “Akhhhhhh” Helena menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa sakit itu, “Sakit...... Akhhhh!” Semua orang mulai merasa khawatir, namun Sarah tidak mempercayai hal itu. Dia sangat tidak merelakan jika Helena lepas begitu saja, tidak peduli dengan kehamilan, dan anak siapa yang ada di dalam perutnya. “Jangan berakting, membuatku muak saja!” bentak Sarah. Tangannya sudah terulur, seolah siap mengayunkan ke wajah Helena. Akan tetapi, suara baritone tiba-tiba terdengar. “Hentikan!”Saat Safira meninggalkan rumah, lutut Bima terasa lemas. Ia memaki diri sendiri karena kembali bertindak pengecut dengan tidak berani mengejar wanitanya. Wanita yang sampai detik ini ia cintai.Ayah Safira, pria paruh baya itu juga tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dibayangkan betapa hancur dan kecewanya sang anak hanya dengan melihat kedua matanya tadi.Padahal butuh waktu lama bagi Safira untuk memulihkan hatinya. Tetapi ternyata tak butuh waktu lama juga hatinya kembali dipatahkan karena perbuatan bodoh orang yang sama.Abhimana akan selalu menjadi alasan bagi Safira untuk merasakan patah hati.Ditambah ayah dan ibunya juga berkomplot dengan menyembunyikan kebenaran dan membuat Safira tidak tahu apapun.Siapapun bersalah di sini.Dan agaknya, kali ini Safira butuh waktu lama untuk kembali memulihkan hatinya.“Nak Bima …” Bima tetap memandang ke depan. Ke arah pintu ketika Safira dengan langkah terseok keluar dari rumah ini. Meskipun istrinya itu tak lagi ada di depannya, namun perasaa
Suasana rumah Bima yang awalnya penuh kehangatan dan canda tawa, dalam sekejap berubah menjadi ketegangan. Bu Anita dan Bu Nina yang menyadari ada suara tangis dari ruang depan dengan tergopoh ikut menyusul. Bu Anita terkesiap melihat anak gadisnya menangis hebat di sana dengan tangan yang terkepal menyentuh dada. Seakan menahan rasa sakit hebat di sana.“Ada apa? Ada apa ini?” Bu Anita segera memeluk Safira yang terus menangis. “Ayah, kenapa Safira, Yah? Bima? Ada apa, Bim?”Safira jatuh terduduk, membuat sang ibu yang tengah memeluknya ikut duduk. Pelukannya masih terasa di tubuh Safira yang seakan menggigil akibat fakta yang menyakitinya.“Bu … Ibu …”“Ya, Nak? Kenapa, Sayang? Bilang sama Ibu …” Sumpah demi apapun, terakhir Bu Anita melihat keadaan Safira kepayahan seperti ini itu lima tahun lalu. Ketika Bima mengakhiri hubungannya dengan sang anak, dan Safira yang terus mendekam di kamar berhari-hari.Semuanya membuat Bu Anita teringat, dan demi apapun wanita itu tak ingin apa yan
Ayah dan ibu Safira datang saat Safira tepat membuka pintu ketika dirinya hendak menunggu kedua orangtuanya di depan rumah. Senyum hangat langsung menyambut. Safira peluk ayah dan ibunya bergantian.“Kok nunggu di luar?” tanya sang ayah kepada anak yang tengah memeluk ibunya itu.“Iya gak apa-apa, Yah. Kangen soalnya aku, lama nggak ketemu Ayah sama Ibu.” Safira cekikian di akhir kalimatnya.Safira ini … meskipun sudah berumur dua puluh tujuh tahun dan sudah menikah, sifat anak kecilnya masih tidak hilang juga.“Ya udah yuk masuk. Makan malam sudah siap.”Safira mengambil alih satu keranjang buah yang ada di tangan ayahnya ke tangannya sendiri sebagai buah tangan untuk ibu mertuanya. Dia membiarkan ayah dan ibunya berjalan di depannya, dan tepat ketika melewati ruang tengah Bima menyambut kedatangan mereka.“Ayah sama Ibu sudah datang,” ujarnya dengan senyum. Ia menyalami kedua mertuanya bergantian.“Sehat, Nak?” tanya Ayah seraya menepuk-nepuk pundak Bima.“Sehat, Yah. Ayah juga, kan
Nanti malam Bu Anita dan Pak Yoga—kedua orangtua Safira— berencana pergi ke rumah besannya untuk menjenguk Bu Nina pasca operasi sekaligus makan malam bersama.Saat ini, Safira sudah sibuk di dapur. Sejak tadi wanita itu sudah berkutik dengan berbagai macam bahan masakan untuk persiapan kedatangan orangtuanya. Dibantu oleh Bima, tentu saja.“Tapi masakanmu sekarang lumayan loh, Fir. Nggak seburuk dulu,” ucap Bima di tengah-tengah ia mengiris bawang. Sedangkan Safira tengah menggoreng ayam.“Nggak seburuk dulu tuh maksudnya apa ya?” Safira berkacak pinggang. Tangannya memegang sutil yang seperti siap ia lemparkan kepada Bima yang duduk tak jauh darinya. “Ya … nggak seburuk itu.” Suara Bima memelan ketika melihat Safira. Ngeri juga kan kalau melihat sutil penggorengan itu melayang ke arahnya jika ia salah bicara.“Maksudnya dulu masakanku nggak enak gitu?” Safira bertanya sambil mengangkat beberapa potong ayam goreng yang sudah matang. Nanti ayam ini akan ia suwir untuk pelengkap soto
Kanin menemui Safira di Sky’s dan mengajak sahabatnya itu untuk duduk di kafe sebelah. Setelah memesan beberapa camilan sebagai teman bicara, Kanin melihat Safira dengan tatapan ragu. Ekspresi yang sangat jarang ia tunjukkan kepada sang sahabat.“Lo kenapa sih?” tanya Safira setelahnya. “Kok ngeliat gue kayak gitu?”Kanin menghela napas, menyeruput sedikit vanilla latte yang ia pesan sebelum Safira datang. Sejujurnya ia tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini.“Cerita aja, Kanin. Gak usah ragu-ragu kayak gitu,” ucap Safira lagi. “Gue janji gak akan cerita apapun ke Lusi.”Mengingat Lusi, Kanin menghela napas. “Lo pasti denger dari Bima ya, kalau gue deket sama Tomi? Makanya lo bilang kayak gitu ke gue semalem."Ah … ternyata benar. Safira tidak mengangguk atau menggeleng. Dia hanya menatap Kanin lurus. Safira ingin sahabatnya itu berkata dengan mulutnya sendiri tanpa paksaan. Sehingga Safira tidak perlu merasa bahwa ia memaksa Kanin untuk bercerita.“Iya, gue deket sama d
Sudah dua hari Safira menginap di rumah Tante Nina pasca ibu mertuanya itu dioperasi. Syukur semuanya berjalan lancar. Tante Nina sudah mulai menjalani masa pemulihan dan hanya perlu beberapa kali lagi untuk kontrol ke rumah sakit.Safira juga sudah menyuruh Lusi untuk segera menemukan pekerjaan yang cocok karena di rumah sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada Bima dan dirinya yang menjaga sang ibu.Nah sekarang, Safira berada di supermarket untuk belanja bulanan bersama Bima. Lusi ada di rumah menjaga ibu setelah tadi pergi ke kampus untuk bertemu dosen yang menawarinya bekerja sebagai asisten.Oh iya sebagai informasi, Bima juga akhirnya memilih untuk berhenti menjadi asisten dosen. Dia bilang, ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya. Toh katanya penghasilan dari pekerjaan utamanya sudah cukup. Jadi ia merasa tidak perlu untuk menyambi dengan pekerjaan lain.“Safira!”Safira tengah memilih beberapa sayuran ketika suara seseorang yang tak begitu ia kenal mema
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments