Nanti malam Bu Anita dan Pak Yoga—kedua orangtua Safira— berencana pergi ke rumah besannya untuk menjenguk Bu Nina pasca operasi sekaligus makan malam bersama.Saat ini, Safira sudah sibuk di dapur. Sejak tadi wanita itu sudah berkutik dengan berbagai macam bahan masakan untuk persiapan kedatangan orangtuanya. Dibantu oleh Bima, tentu saja.“Tapi masakanmu sekarang lumayan loh, Fir. Nggak seburuk dulu,” ucap Bima di tengah-tengah ia mengiris bawang. Sedangkan Safira tengah menggoreng ayam.“Nggak seburuk dulu tuh maksudnya apa ya?” Safira berkacak pinggang. Tangannya memegang sutil yang seperti siap ia lemparkan kepada Bima yang duduk tak jauh darinya. “Ya … nggak seburuk itu.” Suara Bima memelan ketika melihat Safira. Ngeri juga kan kalau melihat sutil penggorengan itu melayang ke arahnya jika ia salah bicara.“Maksudnya dulu masakanku nggak enak gitu?” Safira bertanya sambil mengangkat beberapa potong ayam goreng yang sudah matang. Nanti ayam ini akan ia suwir untuk pelengkap soto
Ayah dan ibu Safira datang saat Safira tepat membuka pintu ketika dirinya hendak menunggu kedua orangtuanya di depan rumah. Senyum hangat langsung menyambut. Safira peluk ayah dan ibunya bergantian.“Kok nunggu di luar?” tanya sang ayah kepada anak yang tengah memeluk ibunya itu.“Iya gak apa-apa, Yah. Kangen soalnya aku, lama nggak ketemu Ayah sama Ibu.” Safira cekikian di akhir kalimatnya.Safira ini … meskipun sudah berumur dua puluh tujuh tahun dan sudah menikah, sifat anak kecilnya masih tidak hilang juga.“Ya udah yuk masuk. Makan malam sudah siap.”Safira mengambil alih satu keranjang buah yang ada di tangan ayahnya ke tangannya sendiri sebagai buah tangan untuk ibu mertuanya. Dia membiarkan ayah dan ibunya berjalan di depannya, dan tepat ketika melewati ruang tengah Bima menyambut kedatangan mereka.“Ayah sama Ibu sudah datang,” ujarnya dengan senyum. Ia menyalami kedua mertuanya bergantian.“Sehat, Nak?” tanya Ayah seraya menepuk-nepuk pundak Bima.“Sehat, Yah. Ayah juga, kan
Suasana rumah Bima yang awalnya penuh kehangatan dan canda tawa, dalam sekejap berubah menjadi ketegangan. Bu Anita dan Bu Nina yang menyadari ada suara tangis dari ruang depan dengan tergopoh ikut menyusul. Bu Anita terkesiap melihat anak gadisnya menangis hebat di sana dengan tangan yang terkepal menyentuh dada. Seakan menahan rasa sakit hebat di sana.“Ada apa? Ada apa ini?” Bu Anita segera memeluk Safira yang terus menangis. “Ayah, kenapa Safira, Yah? Bima? Ada apa, Bim?”Safira jatuh terduduk, membuat sang ibu yang tengah memeluknya ikut duduk. Pelukannya masih terasa di tubuh Safira yang seakan menggigil akibat fakta yang menyakitinya.“Bu … Ibu …”“Ya, Nak? Kenapa, Sayang? Bilang sama Ibu …” Sumpah demi apapun, terakhir Bu Anita melihat keadaan Safira kepayahan seperti ini itu lima tahun lalu. Ketika Bima mengakhiri hubungannya dengan sang anak, dan Safira yang terus mendekam di kamar berhari-hari.Semuanya membuat Bu Anita teringat, dan demi apapun wanita itu tak ingin apa yan
Saat Safira meninggalkan rumah, lutut Bima terasa lemas. Ia memaki diri sendiri karena kembali bertindak pengecut dengan tidak berani mengejar wanitanya. Wanita yang sampai detik ini ia cintai.Ayah Safira, pria paruh baya itu juga tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dibayangkan betapa hancur dan kecewanya sang anak hanya dengan melihat kedua matanya tadi.Padahal butuh waktu lama bagi Safira untuk memulihkan hatinya. Tetapi ternyata tak butuh waktu lama juga hatinya kembali dipatahkan karena perbuatan bodoh orang yang sama.Abhimana akan selalu menjadi alasan bagi Safira untuk merasakan patah hati.Ditambah ayah dan ibunya juga berkomplot dengan menyembunyikan kebenaran dan membuat Safira tidak tahu apapun.Siapapun bersalah di sini.Dan agaknya, kali ini Safira butuh waktu lama untuk kembali memulihkan hatinya.“Nak Bima …” Bima tetap memandang ke depan. Ke arah pintu ketika Safira dengan langkah terseok keluar dari rumah ini. Meskipun istrinya itu tak lagi ada di depannya, namun perasaa
Apa itu pernikahan? Bagi setiap orang tentu pernikahan menjadi hal yang paling membahagiakan. Pernikahan seharusnya menjadi awal kebahagiaan untuk sepasang lelaki dan perempuan yang saling mencintai hingga berani berjanji di hadapan Tuhan untuk saling mencintai sampai maut memisahkan. Gaun yang indah, makanan yang berjajar rapi, tamu yang bersorak, hingga senyum dan doa-doa kebahagiaan yang akan selalu menyertai. Ya, begitulah pernikahan yang perempuan manapun inginkan. Namun bagaimana dengan Safira? Tentu pernikahan itu bukanlah suatu hal yang mudah apalagi yang membahagiakan. Meskipun di bayangannya sejak dulu, pernikahan akan menjadi salah satu momen paling sakral serta paling membahagiakan dalam hidupnya. Safira menatap dirinya yang sudah selesai dirias di depan cermin. Gaun pengantin yang menjuntai menutupi bagian atas hingga bawah tubuhnya benar-benar membuatnya terlihat elok nan indah. Safira tersenyum tipis–senyum untuk dirinya sendiri. Wanita itu sungguh tak ingin menye
2 BULAN LALU "Tari ... kamu jadi pulang hari ini, kan?" Suara ibu langsung menyapa ketika Safira baru mengangkat panggilan. Hari ini wanita itu akan pulang ke Jakarta setelah selesai dengan urusan bisnisnya di Surabaya. Safira baru saja membangun cabang toko roti yang terletak di Surabaya dan sudah tiga bulan ia ada di kota ini untuk mengurus segala keperluan. Dan karena semuanya sudah selesai, ia berencana pulang hari ini. "Iya, Bu. Pesawatku nanti jam tujuh. Ini aku masih siap-siap." Ketika ibu menelepon, Safira memang sedang merapikan barang-barang untuk ia masukkan ke koper. Tidak banyak yang dibawanya, karena memang ketika ke pergi dia memang tak membawa begitu banyak barang. Hanya beberapa helai pakaian santai, pakaian dalam, baju formal yang digunakan untuk meeting, laptop, serta berkas-berkas. Barang-barang yang tidak begitu penting kebanyakan dibelinya langsung ketika sampai di Surabaya. Jadi ketika kembali ke Jakarta, dia hanya membawa apa yang dibawa ketika berangkat saja
Kenapa bisa?Dengan sekuat tenaga, dengan keberanian yang berusaha ia kumpulkan agar terlihat kuat di depannya, Safira berusaha menatap mata lelaki itu. Teduh, dia masih menatapnya dengan cara yang sama seperti dulu. Tapi yang Safira lihat di sana adalah kerinduan dan kesedihan.Rindu? Nggak salah tuh?Lalu sedih? Kenapa sedih?Dengan tangan terburu dan rasa tak percayanya, Safira merogoh bagian dalam tas untuk mengambil ponsel. Ia harus memastikan sekali lagi, melihat sekali lagi, foto yang dikirim ibu kepadanya. Sialnya… Safira dengan tampang linglung nan bodohnya membandingkan foto di ponselnya dengan sosok di hadapannya sekarang. Matanya yang terlihat teduh, senyumnya yang begitu tulus …Dan ah … benarkah sosok di depannya ini adalah mantan pacarnya lima tahun lalu? Kenapa lelaki ini sangat terlihat berbeda? Apa hanya karena kacamata yang dikenakannya sekarang? Apa karena di foto kulitnya terlihat lebih putih? Atau karena perawakannya sekarang yang terlihat lebih seksi dan berisi
Safira sampai di rumah hampir pukul dua belas malam. Sepulang dari bandara, ia tak langsung pulang ke rumah dan malah memilih untuk duduk-duduk di taman perumahan rumah. Pikirannya berkecamuk. Safira merasa, takdir seolah-olah mempermainkannya.Perjodohan, Bima, Tante Nina yang sakit … oh tak adakah yang lebih buruk dari ini? Safira membuka botol air yang ia beli di supermarket. Menenggak airnya hingga tersisa separuh, berusaha menghilangkan rasa panas di tenggorokannya. Kenapa semua harus serumit ini?Apakah dia sungguh harus menikah dengan Bima?Apakah ia harus menuruti keinginan lelaki itu untuk memenuhi keinginan Tante Nina?Pernikahan yang hanya berumur setahun? Apa itu mungkin untuknya yang sejujurnya juga ingin memiliki pernikahan sekali seumur hidup?Haaa … Safira lagi-lagi menghela napas panjang. Ini terlalu berat untuknya.Menikah dengan Bima adalah hal yang paling tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Setelah puas berpikir meskipun tak menemukan jawaban, gadis itu akhirnya