Mata tajam Arlo menatap Ayudhia serius, membuat jantung Ayudhia berdetak cepat.
Arlo mendengus kecil. “Melakukan sesuatu untukmu?” Satu sudut bibir Arlo terangkat tipis, tetapi sorot matanya berkilat. “Kamu pikir kamu bisa memerintahku?”
“Tidak, saya tidak bisa memerintah Anda,” balas Ayudhia dengan cepat, “saya hanya ingin menawarkan kerjasama. Saya bisa membuatkan desain-desain yang Anda butuhkan, tetapi saya ingin Anda mengabulkan permintaan saya.”
Kening Arlo berkerut halus. Dia menyandarkan punggung di sandaran sofa, satu kakinya disilangkan, lalu satu tangannya diletakkan di atas lengan sofa.
“Permintaanmu itu setimpal dengan desain milikmu?”
Ayudhia kembali meneguk ludah kasar. Aura pria di depannya begitu kuat, membuat tubuh Ayudhia menegang setiap kali mendengar suara dalam pria itu.
Ayudhia tak langsung menjawab. Dia mengambil salah satu sketsanya dari dalam stopmap, lalu mengulurkannya pada Arlo.
“Anda bisa mempertimbangkannya dulu,” kata Ayudhia.
Arlo mengambil kertas yang diberikan Ayudhia, lalu melihat sketsa desain gaun yang sangat indah.
“Terima saya sebagai salah satu desainer Anda, saya akan membuat perusahaan Anda memenangkan kontes,” jeda sejenak saat Arlo sedang mencermati sketsa itu. “Tapi, bantu saya untuk menjatuhkan Ardhana.” Ayudhia tidak tahu ini tepat atau tidak, tapi untuk saat ini kejatuhan Ardhana adalah yang dia inginkan.
Ayudhia menatap balik Arlo yang memandang ke arahnya, tetapi ada yang berubah dari sorot mata pria itu.
“Aku sudah curiga ketika putri dari keluarga Ardhana menghubungiku malam-malam begini.” Senyum tipis terangkat samar di ujung bibir Arlo, sangat samar hingga Ayudhia tidak melihatnya. “Kamu ingin mengkhianati mereka?”
“Aku bukan putri mereka,” jawab Ayudhia lirih, ternyata dia masih belum mampu menerima kenyataan bahwa dia memang bukan putri mereka. Rasa sayang Ayudhia terhadap keluarga itu masih ada di ujung hatinya. “Jadi, aku tidak mengkhianati mereka.”
Kedua alis Arlo terangkat. Arlo tidak tahu ini. Setahunya Ardhana memiliki dua anak, tetapi dia juga mendengar kabar tentang putri Ardhana yang kembali lima tahun lalu. Arlo mengira Ardhana sebenarnya memang memiliki tiga anak.
Arlo mendengus kecil. Bukan karena informasi yang baru dia tahu, tetapi lebih pada hal kecil yang terlewat olehnya.
Arlo menyerahkan sketsa Ayudhia pada pemiliknya sambil berkata dingin, “Aku tidak tertarik dengan permasalahan keluarga.”
Ekspresi Ayudhia berubah panik saat mendengar ucapan Arlo.
“Jika tidak ada lagi hal yang ingin kamu katakan, kamu bisa pergi dari sini.”
Tidak, tidak bisa.
Ayudhia tidak bisa pergi dari hadapan Arlo.
Jadi, ketika Ayudhia melihat Arlo berdiri dari duduknya, Ayudhia langsung—
Bruk!
Ayudhia tiba-tiba berlutut di samping Arlo, membuat pria itu tersentak dan urung pergi dari sana.
“Apa yang kamu—”
“Tuan, saya tahu saya terlihat tidak memiliki harga diri.” Ayudhia berkata dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya terkepal di atas lutut.
Ayudhia tidak peduli jika yang dia lakukan sekarang memalukan dan merendahkan harga dirinya, namun Ayudhia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, dan yang ada di pikirannya saat ini hanya Arlo yang bisa membantunya. “Tapi saya mohon, Tuan bisa membantu saya.”
Masih tertunduk, Ayudhia tiba-tiba merasakan kedua lengannya disentuh. Lalu pandangannya terangkat menatap Arlo yang menunduk dekat di hadapannya, membantu Ayudhia berdiri.
“Berdirilah.”
Ayudhia berdiri dengan perlahan. Lalu diam berdiri di hadapan Arlo. “Tuan?” Ayudhia bisa melihat pria itu menghela napas kasar.
“Jangan berlutut di hadapanku,” ucap Arlo dingin, ekspresi wajahnya terlihat tidak senang, dan dia kembali duduk.
Jantung Ayudhia kembali berdetak cepat dan napasnya tertahan di tenggorokkan.
“Aku akan membantumu, tapi kamu harus memberikan hal lain.”
Ucapan Arlo membuat secercah harapan muncul di hati Ayudhia. “Apa pun itu, Tuan Arlo, saya akan berusaha memenuhinya!”
“Menikah denganku, maka aku akan membantumu.”
Seketika, Ayudhia mematung. Kedua netranya membola menatap Arlo.
Kening Ayudhia mengernyit. Tidak pernah terbayangkan dirinya akan menerima permintaan gila ini. “Tuan Arlo, apa maksud Tuan dengan—”
“Aku tidak menawarkan hal yang sama dua kali,” ucap Arlo. Ekspresi wajahnya begitu datar, sehingga tidak bisa menebak isi pikiran pria itu. “Kalau kamu tidak bersedia, kamu—”
“Saya bersedia,” sela Ayudhia cepat. Tidak peduli harga yang dibayar adalah dengan menikah, tetapi demi bisa membuktikan pada keluarga itu bahwa Ayudhia bisa bertahan, Ayudhia akan menerima pernikahan ini.
Arlo tersenyum samar hampir tak terlihat.
“Pelayanku akan menyiapkan kamar untukmu malam ini. Besok kita menikah.”
Setelah mengatakan itu, Arlo berdiri dari duduknya lalu berjalan keluar dari ruang kerja.
Ayudhia bergeming di tempatnya, mengerjap beberapa kali untuk mencerna apa yang barusan terjadi.
Dalam satu hari, dunianya berputar cepat. Hari ini dia dikhianati begitu dalam oleh orang-orang yang pernah dia sayangi, besok dia akan menikah dengan pria asing yang hanya dia ketahui dari surat kabar.
Dito mematung dengan tatapan bingung, sampai dia kembali menoleh ke para pria yang mengejarnya, membuatnya panik dan dia kembali mendengar suara.“Cepat masuk!”Tanpa pikir panjang, Dito segera masuk ke dalam mobil mewah itu. Begitu pintu tertutup, mobil itu melaju dengan sangat cepat.Anak buah Theo dan anak buah Bams terlambat mengejarnya. Mereka kurang cepat dan hanya bisa melihat mobil yang membawa Dito melesat di jalanan raya sampai menghilang dari pandangan.“Siapa kalian, apa maksud kalian mengejarnya?” tanya anak buah Bams tak terima buruan mereka lepas.Memicingkan mata, anak buah Theo yang berkemeja hitam, lantas berkacak pinggang, sambil mengangkat dagu berkata, “Kalian sendiri? Kami tahu kalian sejak tadi mengawasinya, atau jangan-jangan kalian bodyguardnya? Kalau benar, kalian dalam masalah.”Anak buah Bams tertawa, lalu berkata, “Kalian yang menghalangi tugas kami.”Kalimat itu disalahartikan oleh anak buah Theo, geram karena sasaran mereka kabur, anak buah Theo bersiap
Di sebuah rumah kecil.Dito duduk di meja kecil dengan ponsel di tangannya. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, seringainya begitu menakutkan dengan tatapan begitu gelap.Dia baru saja menonaktifkan ponselnya setelah membalas pesan Ayudhia. Dia lalu meletakkan ponsel ke dalam saku mantel, lalu meneguk air di gelas sebelum berdiri dari duduknya.“Sayang sekali, gadis baik itu harus kujadikan tumbal karena bertahan di Radjasa, yang terpenting aku sudah memperingatkannya. Jika mau menyalahkan, salahkan keluarga Radjasa yang sudah membuatku menjadi seperti ini.”Setelah mengatakan itu, seringai jahat terbit di wajahnya.Dito melangkah dengan kaki pincangnya menuju pintu rumah. Mengawasi sekitar dan merasa kalau aman, dia keluar dari rumah, lalu segera mengunci kembali rumah yang hanya dia singgahi saat malam hari, lalu dia tinggalkan dari pagi hingga petang.Dito melangkah pelan menuju jalan raya yang tak jauh dari rumah tempatnya tinggal. Dia harus mulai menjalankan rencananya untuk ba
Di rumah Aksa.Aksa sedang duduk bersantai di samping rumah sambil menikmati teh bersama Alina.Saat mereka masih menikmati camilan buatan Alina, ponsel Aksa yang ada di atas meja berdering. Alina melihat nama Bams terpampang di layar, sehingga Alina segera mengambil ponsel itu dan memberikan pada Aksa.“Bams,” katanya sambil mengulurkan ponsel pada Aksa.Meletakkan cangkir yang ada di tangannya ke meja, Aksa lantas mengambil ponselnya dari tangan Alina.Aksa segera menjawab panggilan itu, begitu ponsel menyentuh telinganya, Aksa langsung mendengar Bams bicara.“Aku sudah mendapatkan informasi tentang pengemis itu.”Mendengar perkataan Bams, Aksa menoleh sekilas pada Alina, lalu membalas, “Jadi, bagaimana?”“Ternyata benar, pengemis yang beberapa kali terlihat di depan butik Alina, memang penculik Arlo.”“Aku juga sudah mendapatkan lokasi keberadaannya pagi ini.”Bola mata Aksa membulat lebar mendengar informasi yang Bams berikan. Rahangnya mengeras, lalu Aksa bicara. “Pantau pria itu
Keesokan harinya.Saat mata Ayudhia mulai terbuka perlahan, ditatapnya jendela kamarnya dengan sinar matahari yang mulai menelusup masuk melalui celah jendela.Ayudhia membalikkan tubuhnya ke arah Arlo. Dia menatap suaminya yang baru saja membuka mata.Melihat wajah lesu suaminya, Ayudhia bertanya, “Bagaimana perasaanmu pagi ini? Apa sudah sedikit membaik?” Memulas senyum di wajah kuyunya, Arlo mengangguk pelan. “Sudah lebih baik,” katanya, “terima kasih karena semalam sudah menjagaku.”Senyum penuh kelegaan terpampang di wajah Ayudhia, setelahnya dia membalas dengan nada candaan. “Itu tugasku sebagai istri, memastikan suamiku baik-baik saja.”Arlo menyentuhkan kening mereka, memejamkan mata sejenak dengan senyum merekah di bibirnya.“Ini sudah siang, sekarang bangun dan mandi, aku akan menyiapkan kebutuhanmu dulu.”Setelah mengatakan itu, Ayudhia memundurkan kepala untuk segera bangun, Arlo menahan tangannya yang membuatnya berhenti bergerak dan menatap bingung pada Arlo.Menatap wa
Saat malam hari.Arlo dan Ayudhia sudah sama-sama beristirahat. Ayudhia tidur dengan posisi miring memunggungi suaminya. Dia tidur dengan sangat nyenyak, sampai tiba-tiba telinganya mendengar suara Arlo yang merintih dengan racauan pelan.Ayudhia membuka kelopak matanya perlahan sebelum membalikkan tubuhnya dengan pelan ke arah sang suami berbaring.Ketika tatapannya tertuju ke wajah Arlo yang basah karena keringat dengan ekspresi gelisah yang tersirat jelas di wajah suaminya, Ayudhia bangkit setengah berbaring untuk membangunkan Arlo.Ayudhia ingin menyentuh lengan Arlo, tetapi dia lebih dulu melihat bibir Arlo bergerak dengan suara lirih dan samar-samar terdengar di telinga Ayudhia.Tak bisa mendengar dengan jelas, Ayudhia mendekatkan telinga ke bibir Arlo agar bisa mendengar apa yang Arlo igaukan.Saat telinganya sudah berada begitu dekat, dia mendengar jelas suara rintihan Arlo diikuti panggilan ‘Ma, Pa, Ay’.Menjauhkan telinga dari bibir Arlo, Ayudhia langsung menatap pada Arlo y
Arlo menatap begitu serius, menunggu jawaban Ayudhia.Ayudhia menatap bergantian pada Arlo dan Theo, sebelum dia membalas, “Waktu aku menemui pengemis itu di depan butik Mama, aku memberikan roti dan air kepadanya. Saat itu, aku melihat punggung tangan kanannya ada bekas luka lebar, kupikir bukan apa-apa, mendengar ceritamu, jadi kurasa benar itu penculik yang menyakitimu.”Arlo menegakkan badan, ternyata yang Ayudhia ingat soal pertemuan dengan pengemis, dia sempat berharap Ayudhia ingat dengan kejadian penculikan mereka.“Aku pikir dia benar-benar pria tua yang malang, ternyata dia pria yang kejam. Menyesal aku memberi minum pada pria jahat itu!” gerutu Ayudhia pada akhirnya.Theo masih berdiri, melipat kedua tangan di depan dada dengan ekspresi wajah menggelap. “Jadi, sudah dipastikan kalau benar pria itu ada maksud. Dia pasti sedang memantaumu.”Arlo hanya diam, wajahnya kembali memucat.“Jika sudah begini, kita memang harus waspada, ‘kan? Apalagi pengemis itu seolah membayangi ki