LOGINPagi harinya, sebuah panggilan kembali membawa Ayudhia ke ruangan Arlo. Pemandangan yang sama seperti semalam menyambutnya, Arlo duduk di kursi kebesarannya, punggungnya tegap, auranya dingin dan tak tersentuh, didukung dengan balutan jas hitam mahal yang pas di tubuhnya.
"Duduklah," kata Arlo singkat. Lalu dia bangkit, melangkah keluar dari balik meja kerjanya yang masif, kemudian duduk di sofa, menunjuk sofa di hadapannya pada Ayudhia. Persis seperti semalam.
Ayudhia melangkah dengan kaku. Rasa canggung masih menyelimuti perasaannya, ditambah dengan kesadaran bahwa hari ini ... mereka akan menikah.
Baru saja Ayudhia duduk, sebuah tangan terulur ke arahnya. Di antara dua jari yang panjang dan ramping, terselip selembar plester kecil.
Ayudhia mengangkat wajahnya. Napasnya tercekat sepersekian detik saat matanya bertemu dengan netra hitam pekat milik Arlo. Sedalam obsidian, setajam elang.
"Gunakan ini untuk menutup luka di ujung bibirmu."
Sebuah kehangatan yang tak terduga menyelinap ke dalam hati Ayudhia. Dia tersentuh oleh kepekaan dan tindakan kecil Arlo.
Pipinya terasa memanas. Namun, dia segera menekan perasaan itu dalam-dalam.
Ini bukan waktunya.
Pernikahan ini terjadi … hanya untuk kepentingan masing-masing.
"Terima kasih," ucap Ayudhia pelan, suaranya nyaris tercekat. Dia mengambil plester itu dan cepat-cepat menyimpannya di saku.
Arlo mengangguk samar, lalu menggeser sebuah map hitam ke hadapan Ayudhia.
"Kontrak pernikahan kita. Baca dan tandatangani. Setelah itu, kita ke kantor catatan sipil."
Ayudhia mengambil dokumen itu. Kata-katanya dingin, transaksional. Dia membaca setiap klausul dengan saksama. Tidak ada yang memberatkan. Semuanya sesuai dengan kesepakatan mereka.
Tanpa ragu, dia mengambil pena, membubuhkan tanda tangannya, lalu menyerahkannya kembali pada Arlo.
Arlo melakukan hal yang sama, lalu memberikan salinan kontrak itu pada Ayudhia. "Ayo," katanya setelah itu, langsung beranjak dari duduknya.
Ayudhia bergegas berdiri, mengikuti langkah lebar Arlo. Di belakang punggung tegap pria itu, dia menghela napas kecil.
Pernikahan kontrak.
Untuk saat ini … sepertinya ini yang terbaik.
Hanya dalam dua jam, semuanya selesai. Sebuah ruangan steril, suara hakim yang monoton, dan goresan pena di atas kertas resmi.
Kini, mereka sah menjadi suami-istri. Ayudhia masih merasa semuanya seperti mimpi yang aneh dan buram
"Kita sudah sepakat," kata Arlo, menghentikan langkahnya di parkiran mobil. Dia berdiri di sisi mobil, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Kamu menyediakan desain untuk perusahaanku, memenangkan kontes itu. Dan aku akan membantumu mencapai tujuanmu."
Ayudhia mengangguk, diam.
"Sesuai kontrak, aku akan tetap menghargai pernikahan ini," lanjut Arlo, suaranya berubah dingin dan tajam. "Jadi, jangan coba-coba mempermainkanku."
"Saya paham," balas Ayudhia, tegas.
Sebelum Arlo membuka pintu mobil, Ayudhia menahannya. "Tuan, tapi bolehkah saya pergi ke perusahaan Ardhana? Saya ingin mengajukan pengunduran diri."
Arlo menatap Ayudhia sejenak, lalu mengangguk. "Sopir akan mengantarmu," katanya sebelum masuk ke dalam mobil.
Setelah mengantar Arlo ke RDJ Group, mobil kini berhenti di depan gedung Perusahaan Ardhana.
Dari dalam mobil, Ayudhia menatap pintu masuk itu dengan tatapan kosong. Dulu, tempat ini adalah harapannya, masa depannya.
Sekarang ... semuanya telah berubah menjadi medan pertempuran.
"Bapak bisa tunggu di parkiran," katanya pada sopir.
Dia turun, melangkah masuk ke gedung yang terasa familiar sekaligus asing.
Kemudian dia menuju ruang HRD. Di sana, dia menyerahkan surat pengunduran dirinya.
Kepala HRD menatap surat itu, lalu menatap Ayudhia dengan ekspresi terkejut.
Putri keluarga Ardhana ... mengundurkan diri?
Seluruh perusahaan tahu cerita tentang putri yang hilang dan baru kembali lima tahun lalu.
Satu tahun lalu, keduanya bekerja di perusahaan. Dan mereka juga tahu, dari dua putri yang bekerja di sini, Ayudhia-lah yang paling berbakat.
Jauh melampaui Fiona.
Keputusan ini terasa sangat disayangkan.
"Apa Anda sudah meminta izin Pak Dimas?" tanya Kepala HRD, ragu.
Ayudhia tersenyum getir. Bibirnya terasa kelu untuk menyebut kata 'papa'. “Pak Dimas tahu tentang pengunduran diriku ini,”
Setelah Kepala HRD memproses surat pengunduran dirinya, Ayudhia mengucapkan terima kasih, kemudian berbalik, berjalan keluar dari ruangan itu.
Surat pengunduran dirinya terasa seperti tiket kebebasan di tangannya. Namun, kebebasan itu tertunda.
Pintu lift di ujung koridor berdenting, dan Fiona melangkah keluar dengan senyum cerah yang dipoles sempurna.
Melihat Ayudhia, senyum Fiona semakin lebar dan dia menghampiri dengan langkah anggun. "Ayudhia! Aku mencarimu dari tadi," sapanya dengan nada penuh kehangatan, seolah mereka adalah saudara yang paling akrab.
Ayudhia tetap diam, waspada. Dia tahu betul sandiwara ini.
"Kamu … mengajukan pengunduran diri?" Suara Fiona kini berubah sendu, penuh keprihatinan palsu, cukup keras untuk didengar beberapa karyawan yang lewat. "Kenapa? Apa ada yang salah? Apa ada yang menyakitimu di sini?"
Pertanyaan itu adalah jebakan. Ayudhia tahu itu. "Itu bukan urusanmu, Fiona," balasnya dingin.
Fiona tampak terluka oleh jawaban Ayudhia. Dia meraih tangan Ayudhia dengan lembut, matanya berkaca-kaca. "Tentu saja ini urusanku. Aku saudaramu. Papa dan Mama sangat khawatir. Tolong jangan membuat keputusan saat sedang emosi."
Beberapa pasang mata kini melirik mereka dengan penuh simpati, simpati untuk Fiona.
"Hentikan sandiwaramu," desis Ayudhia pelan, tak ingin membuat keributan. "Kita berdua tahu ini yang kamu inginkan."
Fiona menggeleng, wajahnya menunjukkan kesedihan yang meyakinkan. "Aku hanya ingin kita tetap dekat seperti saudara. Kalau aku berbuat salah, maafkan aku. Tapi, jangan pergi seperti ini. Pikirkan perasaan Papa."
Setiap kata yang keluar dari mulut Fiona adalah belati beracun yang dilapisi madu.
Di depan semua orang, Fiona adalah saudari yang peduli, sementara Ayudhia tampak seperti seseorang yang keras kepala dan tidak tahu berterima kasih.
Muak dengan sandiwara itu, Ayudhia menarik tangannya dengan tegas. "Keputusanku sudah final." Dia berbalik, hendak meninggalkan drama murahan itu.
"Ayudhia, hati-hati!" seru Fiona.
Tepat saat Ayudhia melangkah, Fiona ‘tanpa sengaja’ menjulurkan kakinya sedikit.
Ayudhia yang tidak siap, tersandung. Dia kehilangan keseimbangan dan terhuyung, pergelangan kakinya terkilir dengan rasa nyeri yang tajam. Tas tangannya jatuh berdebum ke lantai.
"Astaga, Ayudhia! Kamu tidak apa-apa?" Fiona segera berjongkok, wajahnya menunjukkan kepanikan yang luar biasa.
Dia membantu Ayudhia, tangannya menyentuh lengan saudarinya dengan ‘penuh kekhawatiran’. "Ya Tuhan, kamu ceroboh sekali!"
Di mata orang lain, Fiona adalah pahlawan yang menolong saudarinya yang kikuk. Namun, saat dia mendekatkan wajahnya pada Ayudhia, dia berbisik dengan suara sedingin es yang hanya bisa didengar Ayudhia.
"Lihat? Bahkan untuk berjalan pun kamu tidak becus. Kamu memang tidak pantas ada di sini. Cepatlah pergi dan jangan pernah kembali."
Ayudhia menatap mata Fiona yang berkilat penuh kemenangan.
"Perlu kubantu berjalan, Ayu?" tanya Fiona lagi dengan suara keras, penuh kepedulian.
Ayudhia mendorong tangan Fiona menjauh. Dengan menahan rasa sakit di pergelangan kakinya, dia bangkit berdiri, mengambil tasnya, dan menatap Fiona lekat-lekat.
"Terima kasih atas 'perhatianmu', Fiona," ucap Ayudhia dengan penekanan dingin pada kata 'perhatianmu', sebelum akhirnya berbalik dan berjalan tertatih meninggalkan Fiona, diiringi tatapan iba dari para karyawan untuk Fiona yang tampak begitu ‘sedih’ dan ‘khawatir’.
Rasa sakit di kakinya tak sebanding dengan api yang kini menyala di dalam hatinya.
‘Kamu memang pandai bersandiwara, Fiona,’ batin Ayudhia. ‘Baiklah. Mari kita lihat, siapa yang akan mendapat tepuk tangan di akhir pertunjukan nanti.’
Andreas memakai setelan kemejanya. Dia mematut dirinya di depan cermin, tatapannya lurus tertuju pada bayangannya yang terpantul dari cermin, sedangkan tangannya sibuk memasukkan manik kancing satu persatu.Saat itu, Cassandra masuk ke dalam walk in closet. Dia menatap Andreas yang tak menoleh sama sekali padanya.Sambil melangkah menghampiri Andreas, Cassandra menatap suaminya sambil berkata, “Apa kamu mau menjenguk Papa lagi?”Andreas tak menjawab pertanyaan Cassandra. Dia menarik laci lalu mengambil jam tangan mewahnya dari dalam sana. Sambil memakai jam tangan, Andreas berkata, “Aku masih ada urusan bisnis di luar negeri. Penerbangan siang ini.”Cassandra membulatkan bola mata lebar, sebelum dia memprotes keputusan Andreas, suaminya sudah lebih dulu berkata, “Tidak ada urusan yang penting, tidak perlu menghubungiku jika bukan aku yang menghubungimu.”Setelah mengatakan itu, Andreas mengambil jasnya dari lemari.Cassandra tersentak mendengar ucapan Andreas. Dia menatap suaminya den
Setelah rapat selesai.Ayudhia bangkit dari duduknya, lantas melangkahkan kaki menuju tempat duduk suaminya. Dia menatap Arlo yang sedang berdiri dari kursi, sehingga Ayudhia bergegas menghampiri.Melihat kedatangan istrinya, Arlo langsung berkata, “Setelah ini langsung pulang.”Ayudhia tersentak mendengar ucapan suaminya padahal dia belum berucap sepatah kata pun. Namun, Ayudhia tetap berusaha tenang, dia tersenyum ke suaminya sebelum bicara.“Tapi aku mau membahas soal strategi pemasaran dengan yang lain, satu jam lagi, ya. Aku janji, setelah satu jam, aku akan pulang.” Ayudhia lalu menunjukkan telunjuk di depan wajahnya, tatapannya penuh memohon agar Arlo mengizinkan sekali itu saja.Arlo menatap datar sejenak pada Ayudhia yang sedang membujuknya. Dia menekuk lengan kirinya di udara untuk melihat jarum di arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.Setelahnya, Arlo kembali menatap pada Ayudhia yang masih menunggu izin darinya. “Baiklah, hanya satu jam. Setelahnya pulang bersama
Satu minggu berlalu.Pagi itu, Arlo melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Tatapannya tertuju ke ranjang, tetapi dia tak melihat keberadaan Ayudhia di sana.Mengalihkan pandangan ke pintu walk in closet yang terbuka, Arlo lantas melangkahkan kaki ke sana.Begitu masuk ke dalam ruangan itu, kedua kaki Arlo berhenti melangkah, lalu tatapannya tertuju pada Ayudhia yang sedang menyiapkan pakaiannya.“Sudah selesai,” kata Ayudhia.Arlo mengangguk. Dia kembali mengayunkan langkah mendekat pada Ayudhia.“Aku sudah siapkan pakaianmu,” kata Ayudhia dengan senyum merekah di wajahnya.Arlo berhenti tepat di depan Ayudhia, lalu dia memandang pakaian yang tergeletak di sofa sebelum menatap istrinya lagi.“Hari ini, apa kamu jadi berangkat ke Atelier?” tanya Arlo.Semalam Ayudhia membujuk Arlo agar mengizinkan pergi ke Atelier karena hari ini ada presentasi untuk sampel gaun yang akan diproduksi massal oleh Atelier.Mendengar pertanyaan Arlo, senyum Ayudhia merekah l
Henry urung menemui Andreas. Dia berbalik arah menemui Cassandra yang berada di balkon atas.Menatap sang mama di sana. Henry melangkah menghampiri Cassandra, lalu berdiri di samping sang mama yang sedang memandang ke halaman samping mansion mereka.Kedua telapak tangan Henry berpegangan di pembatas balkon, tatapannya tertuju lurus ke depan ke arah sang mama memandang, lalu berkata, “Papa selalu tak bisa ditemui jika baru saja kembali dari luar negeri.”Cassandra masih diam. Kecemasannya akan hal-hal yang mungkin dilakukan Andreas, membuatnya tak bisa tenang.Namun, anak buahnya melaporkan kalau Andreas hanya tinggal di hotel seharian saat sampai di negara yang baru dikunjungi, sebelum akhirnya kembali pulang karena panggilan dari Cassandra.“Kakek menginginkan anak kandung dari Papa, apa masih ada kemungkinan aku mewarisi semuanya?”Pertanyaan dari Henry membuat Cassandra menolehkan kepala ke samping. Dia menatap Henry yang memasang wajah putus asa.Cassandra menyentuh lengan Henry,
Di Mansion Andreas.Pria paruh baya itu duduk di ruang kerjanya bersama dengan Steven yang berdiri di depan mejanya.Steven tak berani bicara, dia hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Diam, sampai Andreas yang bicara karena majikannya sedang dalam mood yang sangat buruk.“Sudah selama ini dan anak buahmu belum bisa menemukannya?”Suara tegas dan dalam itu begitu menusuk telinga. Andreas menggerakkan kepala, mengarahkan tatapan tajamnya ke arah Steven berdiri.Belum juga Steven membalas perkataannya, Andreas kembali berkata, “Atau jangan-jangan kamu memang tidak serius mencarinya, Stev? Apa kamu berkhianat dariku?”Mendengar ucapan Andreas, Steve langsung mengangkat pandangannya mengarah pada Andreas, kepalanya menggeleng kuat, menyanggah apa yang Andreas tuduhkan.“Itu tidak benar, Tuan. Saya sudah ikut Anda puluhan tahun, saya tidak mungkin mengkhianati Anda. Anda yang paling memahami saya, Tuan.”Andreas mendengkus kasar. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengus
Sore hari, di rumah sakit Ayudhia dirawat.Dokter baru saja melakukan pengecekan pada kondisi Ayudhia.“Secara keseluruhan kondisi Bu Ayudhia sudah sangat baik, mungkin memar akibat benturan akan memudar lama, tapi itu tak masalah,” ucap dokter menjelaskan.Ayudhia mengangguk kecil.“Besok saya akan melakukan USG lagi untuk memastikan rahimnya sudah bersih dari sisa gumpalan darah akibat keguguran kemarin,” ucap dokter lagi.Mendengar kata ‘keguguran’, dada Ayudhia terasa nyeri lagi. Ekspresi wajahnya berubah sendu, walau detik berikutnya dia tersenyum saat dokter pamit meninggalkan ruang inapnya.Arlo menunggu sampai dokter dan perawat pergi, setelahnya dia menatap Ayudhia yang hanya diam.“Apa luka memarnya masih sangat sakit?” tanya Arlo.Ayudhia tersentak. Tatapannya beralih ke suaminya yang berdiri di samping ranjangnya. Sambil memulas senyumnya untuk menenangkan perasaan suaminya, Ayudhia lantas membalas, “Hanya sakit kalau tak sengaja tersentuh atau tersenggol saja, jika tidak,







