Malam itu, hujan turun deras.
Setelah Dimas mengeluarkan kalimat itu, Ayudhia tidak membalas apa pun. Dia hanya tersenyum pada ketiga orang di sana. Orang-orang yang selama 26 tahun ini Ayudhia hormati dan sayangi.
Samuel mengusirnya, tetapi tidak ada tanda-tanda Dimas dan Sonia akan membela Ayudhia dan memintanya untuk tetap tinggal di sini. Mereka hanya diam, seolah ucapan Samuel memang benar adanya.
Namun, perlakuan mereka jauh lebih dingin daripada pengusiran Samuel.
Sejak Fiona datang, mereka membiarkanya tetap tinggal, tetapi tidak lagi memperlakukannya seperti anak.
Awalnya Ayudhia tetap bertahan, dia menggambar, bekerja keras untuk perusahaan Dimas hanya semata mencari alasan agar tetap bisa dianggap.
Karena di dunia ini hanya mereka yang Ayudhia punya. Tetapi, pada akhirnya itu semua tidak cukup.
Ayudhia bukan darah daging keluarga Ardhana. Bukan siapa-siapa.
Jika mereka menginginkan Ayudhia pergi, maka Ayudhia akan pergi meninggalkan mereka, mengambil barang-barangnya yang hanya sebuah kotak kecil dan stopmap tebal berisi sketsa miliknya.
Keluar dari rumah megah itu dengan tubuh yang basah kuyup. Ayudhia terus melangkah tanpa menengok kembali.
Tetapi, luka di hatinya begitu menganga. Karena rasa sayang yang tulus Ayudhia berikan untuk mereka dibalas dengan kepalsuan.
Setelah berjalan cukup lama, Ayudhia berhenti melangkah dan menepi di depan toko yang tutup untuk meneduh. Ayudhia mengambil stopmap dari dalam tas, membuka satu persatu halaman yang berisi sketsa miliknya.
Ayudhia bekerja keras membuat sketsa agar perusahaan Dimas bisa memenangkan kontes desain tahunan. Tetapi, hari ini, ketika sketsa miliknya dibakar Fiona dan Dimas sama sekali tidak membela Ayudhia, juga pengusiran yang dilakukan Ardhana ada rasa marah yang bercokol di hatinya.
Dari saku dalam jaketnya, Ayudhia mengambil ponsel, setelahnya dia mengambil sebuah kartu nama yang dia simpan di salah satu halaman stopmap.
Satu tahun lalu, dia berhasil mendapatkan kartu nama ini dengan susah payah, tetapi tidak pernah mencoba untuk menghubunginya.
Entah ini tepat atau tidak, tapi malam ini, dia akan menghubungi pria pemilik kartu nama ini.
“Halo.”
Ayudhia mendengar suara dingin dan dalam dari seberang panggilan. Dia meneguk ludahnya kasar, lalu menjawab, “Tuan Arlo. Perkenalkan, saya Ayudhia Ar ….” Ayudhia menjeda ucapannya, dia tak ingin memakai nama belakang keluarga Ardhana lagi. “Saya memiliki desain yang bisa perusahaan Anda gunakan untuk acara kontes desain tahunan bulan depan. Apa Anda tertarik melihatnya?”
***
Setelah panggilannya ditutup, Ayudhia diminta untuk langsung datang ke kediaman pribadi milik Tuan Arlo Radjasa.
Arlo Radjasa, presdir dari RDJ Group. RDJ Group menguasai setengah dari seluruh lini industri dalam negeri. Selain menjadi presdir RDJ Group, Arlo Radjasa juga memegang kendali atas A.R Atelier, salah satu cabang perusahaan RDJ Group yang bergerak dalam dunia fashion.
Arlo Radjasa begitu sibuk, tetapi dia meluangkan waktunya untuk menemui Ayudhia malam ini juga. Ayudhia tidak bisa melewatkan kesempatan ini begitu saja.
“Permisi, Pak. Saya mau bertemu dengan Tuan Arlo,” kata Ayudhia.
Security yang ada di dalam pos keluar, lalu dia memandangi penampilan Ayudhia yang basah dari ujung kaki hingga kepala.
“Apa sudah membuat janji?” tanya Security itu.
Ayudhia mengangguk. “Tuan Arlo yang meminta saya datang kemari.”
Ayudhia menunjukkan pesan alamat yang dikirimkan Arlo ke Security agar percaya.
Security itu memastikan, lalu akhirnya dia membukakan pintu dan mempersilakan Ayudhia masuk.
Ayudhia berjalan menuju kediaman mewah Arlo dengan tubuh menggigil kedinginan. Dia sampai mengusap kedua lengan dengan cepat agar bisa sedikit menghangatkan tubuhnya.
Ayudhia memandang pintu besar di hadapannya. Sejenak diam memantapkan hatinya, namun seorang pelayan paruh baya keluar. Wanita itu memandangi Ayudhia dan bertanya, “Nona Ayudhia?”
Ayudhia mengangguk tak bersuara karena bibirnya menggigil.
“Silakan masuk, Tuan sudah menunggu,” kata pelayan itu sambil membuka lebar pintu rumah itu.
Ayudhia mengikuti langkah si pelayan menuju salah satu ruangan yang ada di kediaman itu.
“Tuan ada di dalam,” kata pelayan itu.
Ayudhia mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dia mengetuk pintu di depannya, lalu setelahnya Ayudhia masuk dan melihat pria itu duduk di kursi kerjanya.
Arlo Radjasa, pria itu lebih tampan dari yang ada di foto surat kabar. Tubuhnya tinggi dan proporsional, matanya tajam dengan kedua alis tebal yang membuatnya tampak begitu tegas.
“Tuan Arlo?” panggil Ayudhia. Ayudhia berdiri di dekat pintu. Belum berani melangkah sebelum Tuan Arlo Radjasa mempersilakannya masuk ke ruangan itu lebih dalam.
Dari tempatnya berdiri, Ayudhia bisa melihat Arlo mengambil telepon dan menghubungi seseorang, setelah itu dia berjalan keluar dari meja kerja menuju sofa tunggal di depan meja kerjanya.
Belum sempat, Ayudhia beranjak, suara ketukan pintu terdengar dari belakang tubuhnya. Ayudhia sedikit tersentak, lalu menggeser tubuhnya, memberikan ruang untuk seseorang yang hendak masuk ke ruangan tersebut.
“Keringkan tubuhmu dengan handuk, lalu pakai selimut itu sebelum duduk di sini,” perintah Arlo. Kepalanya sedikit bergerak ke kanan, mengisyaratkan Ayudhia duduk di sofa samping kanannya.
Ayudhia terenyuh sejenak, sebelum mengambil handuk, mengeringkan tubuhnya lalu mengambil selimut dan mengucapkan terima kasih pada pelayan di hadapannya. Setelah melilit tubuhnya dengan selimut, Ayudhia berjalan menuju sofa dan duduk di samping Arlo.
Tubuhnya menghangat, tetapi hatinya juga waswas.
Ayudhia sudah gila. Entah datang dari mana keberaniannya tadi untuk menghubungi Arlo Radjasa. Tetapi, apa boleh buat, dia tidak punya pilihan lain.
“Apa yang mau kamu tawarkan?” tanya Arlo tanpa basa-basi.
“Saya tahu kalau perusahaan Anda akan mengikuti kontes desain tahunan. Saya ingin menjual karya saya, tapi sebagai gantinya,” Ayudhia menjeda kalimatnya untuk meneguk ludahnya sejenak. “Saya ingin Anda melakukan sesuatu untuk saya.”
Di rumah Aksa.Aksa sedang duduk bersantai di samping rumah sambil menikmati teh bersama Alina.Saat mereka masih menikmati camilan buatan Alina, ponsel Aksa yang ada di atas meja berdering. Alina melihat nama Bams terpampang di layar, sehingga Alina segera mengambil ponsel itu dan memberikan pada Aksa.“Bams,” katanya sambil mengulurkan ponsel pada Aksa.Meletakkan cangkir yang ada di tangannya ke meja, Aksa lantas mengambil ponselnya dari tangan Alina.Aksa segera menjawab panggilan itu, begitu ponsel menyentuh telinganya, Aksa langsung mendengar Bams bicara.“Aku sudah mendapatkan informasi tentang pengemis itu.”Mendengar perkataan Bams, Aksa menoleh sekilas pada Alina, lalu membalas, “Jadi, bagaimana?”“Ternyata benar, pengemis yang beberapa kali terlihat di depan butik Alina, memang penculik Arlo.”“Aku juga sudah mendapatkan lokasi keberadaannya pagi ini.”Bola mata Aksa membulat lebar mendengar informasi yang Bams berikan. Rahangnya mengeras, lalu Aksa bicara. “Pantau pria itu
Keesokan harinya.Saat mata Ayudhia mulai terbuka perlahan, ditatapnya jendela kamarnya dengan sinar matahari yang mulai menelusup masuk melalui celah jendela.Ayudhia membalikkan tubuhnya ke arah Arlo. Dia menatap suaminya yang baru saja membuka mata.Melihat wajah lesu suaminya, Ayudhia bertanya, “Bagaimana perasaanmu pagi ini? Apa sudah sedikit membaik?” Memulas senyum di wajah kuyunya, Arlo mengangguk pelan. “Sudah lebih baik,” katanya, “terima kasih karena semalam sudah menjagaku.”Senyum penuh kelegaan terpampang di wajah Ayudhia, setelahnya dia membalas dengan nada candaan. “Itu tugasku sebagai istri, memastikan suamiku baik-baik saja.”Arlo menyentuhkan kening mereka, memejamkan mata sejenak dengan senyum merekah di bibirnya.“Ini sudah siang, sekarang bangun dan mandi, aku akan menyiapkan kebutuhanmu dulu.”Setelah mengatakan itu, Ayudhia memundurkan kepala untuk segera bangun, Arlo menahan tangannya yang membuatnya berhenti bergerak dan menatap bingung pada Arlo.Menatap wa
Saat malam hari.Arlo dan Ayudhia sudah sama-sama beristirahat. Ayudhia tidur dengan posisi miring memunggungi suaminya. Dia tidur dengan sangat nyenyak, sampai tiba-tiba telinganya mendengar suara Arlo yang merintih dengan racauan pelan.Ayudhia membuka kelopak matanya perlahan sebelum membalikkan tubuhnya dengan pelan ke arah sang suami berbaring.Ketika tatapannya tertuju ke wajah Arlo yang basah karena keringat dengan ekspresi gelisah yang tersirat jelas di wajah suaminya, Ayudhia bangkit setengah berbaring untuk membangunkan Arlo.Ayudhia ingin menyentuh lengan Arlo, tetapi dia lebih dulu melihat bibir Arlo bergerak dengan suara lirih dan samar-samar terdengar di telinga Ayudhia.Tak bisa mendengar dengan jelas, Ayudhia mendekatkan telinga ke bibir Arlo agar bisa mendengar apa yang Arlo igaukan.Saat telinganya sudah berada begitu dekat, dia mendengar jelas suara rintihan Arlo diikuti panggilan ‘Ma, Pa, Ay’.Menjauhkan telinga dari bibir Arlo, Ayudhia langsung menatap pada Arlo y
Arlo menatap begitu serius, menunggu jawaban Ayudhia.Ayudhia menatap bergantian pada Arlo dan Theo, sebelum dia membalas, “Waktu aku menemui pengemis itu di depan butik Mama, aku memberikan roti dan air kepadanya. Saat itu, aku melihat punggung tangan kanannya ada bekas luka lebar, kupikir bukan apa-apa, mendengar ceritamu, jadi kurasa benar itu penculik yang menyakitimu.”Arlo menegakkan badan, ternyata yang Ayudhia ingat soal pertemuan dengan pengemis, dia sempat berharap Ayudhia ingat dengan kejadian penculikan mereka.“Aku pikir dia benar-benar pria tua yang malang, ternyata dia pria yang kejam. Menyesal aku memberi minum pada pria jahat itu!” gerutu Ayudhia pada akhirnya.Theo masih berdiri, melipat kedua tangan di depan dada dengan ekspresi wajah menggelap. “Jadi, sudah dipastikan kalau benar pria itu ada maksud. Dia pasti sedang memantaumu.”Arlo hanya diam, wajahnya kembali memucat.“Jika sudah begini, kita memang harus waspada, ‘kan? Apalagi pengemis itu seolah membayangi ki
Ayudhia mendengar nada panggilan sudah terputus. Dia menatap panik pada suaminya yang masih pucat tetapi bisa-bisanya berkata tidak apa-apa.Menatap istrinya yang cemas, dengan nada suara pelan, Arlo berkata, “Aku benar-benar baik-baik saja, Ay.”“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik saja, huh? Lihat wajahmu, pucat seperti orang tipes, ditambah tanganmu saja gemetaran begini, kamu masih bilang kalau kamu baik-baik saja?” omel Ayudhia.Setelah mengomel, mata Ayudhia tiba-tiba berkaca-kaca, bahkan kini ujung matanya mulai mengeluarkan buliran bening yang menetes begitu saja.“Aku tuh cemas lihat kamu begini, bagaimana bisa kamu bilang kalau baik-baik saja,” omel Ayudhia lagi.Melihat Ayudhia bicara dengan suara tertahan karena menahan tangisnya, Arlo begitu terkejut sampai berkata, “Kenapa sampai nangis begitu? Aku benar-benar tidak kenapa-napa.”Air mata Ayudhia semakin meluncur deras, menghapus pelan wajahnya yang basah, dia berkata, “Bagaimana aku tidak nangis kalau lihat kamu begini
Ayudhia menoleh ke pintu ruang makan, tatapannya tertuju ke sana, menunggu suaminya yang juga tak kunjung datang.Kening Ayudhia berkerut samar, dia mulai penasaran, siapa yang menghubungi suaminya, sampai Arlo begitu lama menerima panggilan itu.“Kenapa dia lama sekali, aku sudah lapar,” keluhnya.Ayudhia mengembuskan napas pelan. Dia akhirnya bangkit dari duduknya, melangkah menuju pintu ruang makan, lalu mencari keberadaan Arlo yang dia temukan di ruang tengah.Melangkah mendekat dengan senyum mengembang di wajah, Ayudhia menyadari kalau suaminya yang kini berdiri memunggungi dirinya sekarang ini sedang gemetaran.Ayudhia menghampiri dengan cepat, saat tangan menyentuh lengan Arlo, Ayudhia memanggil, “Arlo.”Saat Arlo menoleh padanya, Ayudhia tersentak melihat wajah pucat Arlo. Menangkup pipi Arlo dengan kedua tangan, Ayudhia menatap panik saat bertanya, “Ada apa? Siapa yang menghubungimu? Kenapa kamu gemeteran begini?”Ayudhia langsung memeluk Arlo, tangannya mengusap-usap lembut p