Suasana menjadi hening setelah Lina pergi. Yuna masih terhenyak. Tak hanya kepada dirinya, Morgan pun tak segan menunjukkan sikap kejam pada keluarganya. "Bukankah aku sudah memintamu untuk merahasiakan pernikahan ini?" Morgan bertanya. Yuna terlalu larut dalam lamunan hingga tak sadar jika Morgan sudah menatap tajam ke arahnya. "Ma—maafkan aku," ucap Yuna, "Aku tidak tahu jika dia adalah keluargamu." Sejak awal, Yuna berniat merahasiakannya hingga Pak Yono datang dan membocorkan semuanya. Namun, Yuna tak ingin menyebut nama pria itu, khawatir Morgan akan langsung memecatnya. "Keluarga, teman, atau kolega bisnisku sekalipun tak perlu mengetahui pernikahan ini, toh pada akhirnya kita akan bercerai," tutur Morgan, terdengar tidak senang dengan Yuna. Kata-kata itu menyayat hati Yuna dengan menyakitkan. Namun, setengah bagian dirinya sedikit mengerti setelah menyaksikan perdebatan mereka. Di dunia Morgan, sangat aneh menikahi gadis miskin sepertinya. Bagaikan singa yang menikah de
Hari masih senja saat Yuna dan Delvin bertemu. Jelas sekali Delvin terlihat seperti orang yang amat sibuk. Wajah tampannya terlihat lelah dan pakaian formalnya seakan menyesakkan tubuh Delvin. "Maaf, apakah aku mengganggu jadwalmu?" Yuna bertanya dengan segan. Padahal, mereka bukan siapa-siapa. Hanya dua orang yang tak sengaja bertemu. Namun, Delvin sudah banyak membantunya. Mulai dari menghibur Yuna, meminjamkan baju, dan kali ini Yuna membutuhkan jasanya. Delvin menggelengkan kepala. Dia melirik arlojinya. "Kamu gadis beruntung," ucap Delvin, "Aku baru akan bertemu klien lagi malam ini." Yuna tersenyum mendengar kata gadis beruntung. Selama ini, dia sering diejek sebagai gadis malang. "Syukurlah," ucap Yuna seraya mengembuskan napas panjang. Dia menyodorkan paper bag ke arah Delvin. "Ini adalah sapu tangan dan baju yang kemarin," tutur Yuna, "Sekarang, aku membutuhkan sedikit bantuanmu," lanjutnya dengan segan. Delvin mengangguk. Dia memperhatikan gadis itu mengeluarkan map
Gelas pinggang di tangan Yuna nyaris jatuh begitu saja saat ia melihat Morgan duduk di kursi rodanya. Sama seperti tamu lainnya, pria itu terlihat rapi. Bahkan, tatapan Morgan terlihat dingin dengan alis yang menukik tajam menyiratkan keheranannya. Di sisinya ada Benny yang terlihat sama kagetnya. Bagaimana tidak. Morgan melihat sendiri Yuna pamit untuk menyelesaikan kontraknya. Namun, mereka justru bertemu di tempat seperti ini dengan penampilan Yuna yang sudah jauh berbeda. “Kamu bilang ingin menyelesaikan kontrak itu, jadi ini yang kamu maksud?” tanya Morgan. Nada suaranya terdengar dingin dan menusuk. Perasaan Yuna seolah membeku seketika. Yuna berkedip cepat. Mendadak lidahnya terasa kelu hanya untuk sekedar menjawab. Entah mengapa, Morgan menunjukkan kekecewaan yang membuat Yuna panik dan gugup. “I—ini tidak seperti yang kamu bayangkan,” ucap Yuna. “Benarkah?” Morgan langsung menyela. “Awalnya, aku berpikir kau benar-benar ingin menyelesaikan kontrak itu, ternyata tak se
Suasana rumah itu kembali dingin. Sekarang hari Minggu dan biasanya Morgan akan tinggal di rumah sampai siang hari, atau bahkan sepanjang hari jika tak ada jadwal lain. Namun, keduanya belum bertemu sejak pagi. Saat Yuna sarapan, Morgan tidak turun. Yuna melihat pria itu menyantap sarapannya pada waktu yang berbeda. Seakan berusaha menghindari Yuna. Kini, Yuna mendekam di kamarnya. Ia mengembuskan napas panjang. Sejak dahulu, Yuna selalu memimpikan keluarga yang hangat seperti keluarganya dahulu. Di luar dugaan, ia justru menjalani rumah tangga seperti ini. Dering telepon tanda panggilan masuk seketika mengagetkan Yuna dan ia cepat-cepat menyambar ponselnya. “Halo, Bu?” “Ibu sama Senna lagi di jalan mau ke rumah kamu. Morgan ada di rumah, ‘kan?” sahut ibunya dengan suara lantang seperti biasa. Mata Yuna membelalak seketika. “Ke—ke mana!?” sergah Yuna. “Ke rumah Kakak!” Senna yang menjawab. “Kami sudah di perjalanan!” “Tunggu, Ibu, hari ini tidak bisa—” Tut Panggilan diputu
Sandiwara dimulai. Morgan dan Yuna menunggu di ambang pintu rumah besar mereka. Yuna berdiri tepat di sisi kursi roda Morgan. Dia terlihat cantik dan rapi dengan riasan tipis, sementara Morgan pun tampak amat terawat. Senyum langsung terkembang di bibir Yuna saat ibu dan sang adik berjalan mendekat. "Rumahnya luar biasa besar, Kak!" ucap Senna dengan wajah kagum dan antusias. Ia baru menjelajah dari pintu gerbang ke pintu utama dan takjub melihat air mancur di depan pintu depan rumah itu. "Besar, tapi menyusahkan!" sergah Dewi dengan napas terengah. Dia membawa sebuah tas tenteng yang terlihat penuh. "Ibu sampai kehabisan napas hanya untuk berjalan masuk ke pintu depan!" ucapnya. Yuna terkekeh menatap keduanya. "Maaf, Bu. Aku lupa memberitahu Ibu dan Senna." "Yuna memberitahu secara mendadak." Morgan ikut bersuara. "Aku bisa mengirim mobil untuk menjemput Ibu dan Senna jika tahu lebih awal," ucap Morgan, melakukan perannya dengan amat baik. Sikap itu hanya akting, sesuai dengan
Senna selalu terlihat seperti remaja perempuan yang riang di hadapan mereka, kontras dengan Yuna yang lebih banyak diam. Kini, semuanya terlihat heran mendengar keseriusan Senna. Morgan pun tak bisa menolak dan berdua mereka mulai memisahkan diri dari Yuna dan Dewi. Sesuai permintaan Senna, mereka mencari tempat yang lebih sepi. Gadis itu baru berhenti di taman kecil samping kediaman megah Morgan. Kursi roda Morgan ikut berhenti dan dia menunggu Senna berbicara. “Aku sudah mengetahuinya,” ucap gadis itu, memulai pembicaraan mereka. “Aku sudah tahu kalau kalian tinggal di kamar yang terpisah.” Untuk sesaat, jantung Morgan seakan berhenti berdetak. Senna mengatakannya dengan serius hingga Morgan hampir terkecoh. Meski demikian, Morgan berusaha mengulas senyum tipis dan mengendalikan keadaan. “Kau benar,” ucapnya, “Itu karena Yuna takut aku mengikuti—”“Tidak.” Senna menyela. “Aku tahu itu hanya alasan. Tidak perlu berpura-pura, Kak, aku tahu Kakak dan Kak Yuna hanya bersandiwara.”
“Bagaimana hasilnya, Dokter?” Morgan bertanya. Terhitung hampir satu jam pria itu berada di ruangan dokter pribadinya. Ini adalah jadwal kontrol pria itu. Benny berada di sisinya. Meski Calvin adalah asisten pribadi Morgan, tetapi pria itu lebih banyak memercayai Benny dalam urusan seperti ini. Dokter pria di depannya memandangi foto hasil rontgen, kemudian menggeleng pelan. “Masih belum ada perkembangan yang signifikan, Tuan,” jawabnya. Dia memberikan foto hitam putih tersebut ke arah Morgan. Pria itu tak terlalu mengerti cara membacanya, tetapi memang tak terlihat ada perbaikan dengan hasil minggu lalu. “Tulang-tulang, otot, dan syaraf di kaki Anda membutuhkan lebih banyak waktu untuk pulih. Saya tidak ingin mengatakannya, tetapi sepertinya Anda harus bersabar di kursi roda sampai beberapa minggu. Bahkan, aku khawatir Anda akan tetapi membutuhkannya selama bertahun-tahun,” jelas dokter itu. Morgan tak langsung menjawab. Penuturan dokter itu seperti akhir dari diagnosanya. Meng
“Apakah kau sudah gila, Delvin?” sentak Andrew, atasannya di firma hukum itu. Dia baru saja mengirimkan CV Yuna yang kelak akan menjadi sekretarisnya dan Andrew langsung memprotes. “Mempekerjakan wanita hamil sebagai sekretaris, kukira kau adalah salah satu pengacara terbaik di sini, Delvin,” ucap Andrew. Pria dengan wajah kasar dan garis wajah tegas itu duduk di kursinya dan bersikap seperti algojo yang siap menguliti ide gila Delvin itu. “Aku memang salah satu pengacara terbaik di sini. Karena itu aku memilihnya,” jawab Delvin dengan percaya diri. Andrew mengembuskan napas panjang. Ia sungguh tak habis pikir dengan anak buahnya yang satu itu. “Aku akan membuka lowongan sekretaris untukmu. Kalau perlu, aku akan mencari perempuan paling cantik dan teliti yang bisa menjadi sekretarismu, asalkan jangan wanita hamil, Delvin,” bujuk Andrew. Nada suaranya terdengar pelan, tetapi penuh penekanan, seakan ia tengah berbicara pada anak kecil. “Apa gunanya wanita cantik jika kerjanya han