Yuna berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan resah. Kamar gadis itu tampak berantakan. Seluruh isi koper dan lemarinya berada di lantai dan di ranjang. Yuna baru saja mencari-cari kemeja yang pantas untuk ia pakai besok, tetapi ia baru teringat jika ia tak membawa kemeja atau pakaian formal lainnya karena mengira tidak akan bekerja lagi. … haruskah ia pergi ke rumah ibunya untuk mengambil pakaian-pakaian itu? Yuna langsung menggelengkan kepala. Tidak bisa. Ibunya pasti akan langsung curiga. Jika dia tahu Yuna bekerja saat hamil, dia akan langsung menghampiri Morgan dan mendampratnya. Sebuah ide terbesit dalam benak Yuna. Daripada mengambil kemeja, lebih baik ia meminjam milik Morgan. Pria itu hampir mengenakan kemeja sepanjang waktu, pengecualian jika di rumah. Dia pasti memiliki banyak koleksi. Namun, Yuna langsung menggeleng dan bergidik ngeri saat membayangkan ia harus menghadapi Morgan yang sikapnya sedingin es. Ide lain kembali muncul dan Yuna langsung bergegas menuju
Menggoda Yuna selalu menjadi keseruan tersendiri bagi Delvin. Kali ini pun, Delvin hanya menggodanya sedikit dan wajah Yuna sudah memerah karena menahan napas. Gadis itu menelan saliva dengan gugup. Wajahnya masih terlihat tegang saat ia menggeleng satu kali, kemudian mengambil satu langkah mundur. "Ka—kau benar," katanya, mengembuskan napas secara teratur. "Akan sangat gawat jika itu terjadi. Kalau begitu, kita harus pergi sekarang," ucap Yuna. Wanita itu cepat-cepat melangkah pergi dan mendahului Delvin. Jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya seakan bergidik tiap mencium aroma parfum maskulin dari tubuh pria itu. "Sadarlah, Yuna," gumamnya dalam hati, "Kau di sini untuk bekerja dan dia adalah bosmu." Yuna menggelengkan kepala dan menepuk pipinya berulang kali untuk menghilangkan pengaruh dari parfum dan karisma pria itu. "Masih di sini?" Tahu-tahu suara Delvin terdengar dari arah belakang dan membuat Yuna berjengit kaget. "Ayo pergi!" ajak Delvin. Yuna tersadar dari lamuna
Lastri baru saja keluar dari pusat perbelanjaan. Morgan memang mempercayakan urusan rumah dan perbelanjaan kepadanya. Sebelum pergi, ia terlebih dahulu mengecek kelengkapan perbelanjaannya. “Baiklah, sudah semua,” tuturnya, “Pak, minta tolong masukkan ke dalam bagasi, ya,” ucap Lastri kepada taksi yang telah ia pesan. Biasanya, Lastri akan diantar oleh seorang sopir, tetapi kini sopir itu mendapat tugas lain hingga akhirnya Lastri memilih memesan taksi. Semua barang belanjaannya sudah masuk. Pada titik ini, Lastri siap untuk memasuki taksi dan pulang, tetapi seorang wanita menghampirinya. “Bik Lastri, bisa kita bicara sebentar?” tanya wanita itu. Wajah Lastri berubah canggung. Tentu ia mengenal wanita berpakaian modis yang terlihat mencolok di depannya. Dia adalah Lina. Seketika Lastri teringat akan peringatan Morgan kepada Yuna untuk tidak menerimanya. Tampaknya, peringatan itu sama seperti perintah untuk menjauhinya. “A—ada apa, Bu?” tanyanya, terlihat enggan menuruti permin
Awalnya, Morgan tak berkutik saat mendapat laporan bahwa Yuna bekerja dengan pria asing yang tempo hari membantunya. Namun, setelah Morgan amati, hampi satu minggu Yuna terus-menerus pulang larut. Mulai dari pukul delapan, sembilan, hingga puncaknya kemarin hampir menyentuh pukul sebelas. Morgan selalu berada di kamarnya yang tertutup, tetapi ia dapat mendengar langkah kaki Yuna dengan jelas saat ia menaiki tangga. Bukan berarti Morgan peduli. Hanya saja, hal ini mengusik ketenangannya hingga hari ini, Morgan merelakan waktu istirahatnya. Pria itu tak kembali ke kamar, melainkan menunggu di ruang tamu yang bermandikan cahaya bulan. Menjelang pukul sembilan, Morgan mendengar bunyi kenop pintu diputar. Disusul derap langkah kaki. Hingga Yuna nyaris berteriak saat mendapati sosok Morgan tengah duduk di kursi rodanya. Pria itu memandang Yuna dengan tatapan datar dan dingin, persis seperti hantu. “Kamu belum tidur?” tanya Yuna, kemudian menyalakan lampu. Cahaya yang terang membuat Mor
“Kita ulangi,” ucap Lina dengan serius. “Kau tahu siapa dirimu, bukan?” Wanita itu bertanya. Di sisinya, ada seorang gadis muda berusia dua puluhan.Gadis berwajah sederhana dengan rambut panjang yang diikat ke belakang itu mengangguk. “Aku adalah Nita dari Bandung. Aku memiliki ibu yang sakit-sakitan dan bapak yang hanya serabutan. Aku terpaksa pergi ke Jakarta karena membutuhkan pekerjaan,” ucap Nita dengan lancar seolah telah menghafalnya. Kecuali namanya, semua informasi itu palsu dan buatan. Ia baru saja ditawari pekerjaan bernilai fantastis dan katanya ia harus menciptakan latar belakang yang mengenaskan agar diterima. Nita setuju untuk melakukannya demi pekerjaan barunya. “Bagus,” puji Lina, “Mulai sekarang, itulah identitas dan latar belakangmu,” tuturnya. Nita tersenyum dan mengangguk. Gadis itu tidak tahu wanita macam apa yang tengah menjalin kerja sama dengannya itu. Satu yang pasti, Lina berani menawarkan gaji tambahan sebesar lima juta hanya untuk mengamati. Itu taw
Nita terlihat takjub dan terkesima begitu mereka tiba di kediaman majikannya. Nita tahu Yuna adalah orang yang cukup berada sebab dia memiliki pelayan. Namun, pakaian wanita itu terlihat sederhana hingga kini Nita tak bisa menyembunyikan kekagumannya melihat kediaman Yuna yang nyaris seperti istana. “Rumahnya benar-benar besar, Kak,” komentar Nita. Yuna hanya tersenyum canggung. Jelas besar, sebab itu adalah rumah Morgan, bukan dirinya. Pandangan Yuna teralihkan saat ia melihat sebuah mobil putih asing terparkir di halaman. Morgan memang memiliki beberapa mobil, tetapi semuanya didominasi oleh koleksi berwarna gelap. “... apakah ada tamu?” Yuna bergumam kepada dirinya sendiri. Akhirnya, layaknya seorang tuan rumah yang sebenarnya, Yuna membimbing Nita memasuki kawasan rumah megah tersebut. “Aku akan memperkenalkanmu kepada Morgan terlebih dahulu sebelum—”“Apa-apaan ini, Morgan!?” Satu suara wanita menghentikan perkataan Yuna. Asalnya dari ruang tamu. “Kau sudah menikah tanpa
Hanya tinggal menghitung hari sampai rapat besar pemegang saham diadakan. Itu adalah satu acara penting yang diadakan dua kali dalam setahun. Semua investor dan senator penting perusahaan akan berdatangan. Merundingkan dan mengevaluasi kinerja direktur utama perusahaan mereka. Jika dianggap bagus dan memuaskan, maka posisi itu akan tetap diduduki oleh orang yang sama. Sebaliknya, mereka bisa saja menggantinya dengan yang lain jika dianggap kinerjanya kurang membawa perubahan. Namun, tetap, keputusan utama berada pada pendiri perusahaan yang tidak lain adalah kakek Morgan. Morgan telah menjadi direktur utama selama tiga kali berturut-turut. Rapat selanjutnya akan berlangsung besok. Selama ini, suaminya selalu menunggu kesempatan. Morgan dan Dimas selalu menjadi kandidat terkuat untuk menjadi direktur utama berikutnya. Dan, Dimas selalu kalah. Lina benci mengakuinya, tetapi kemampuan Morgan memang luar biasa hebat. Hingga Lina selalu cemas dan meminum obat penenang selama detik-det
Deg Jantung Morgan seakan berhenti berdetak saat itu juga. Tangannya refleks menggenggam kursi roda dengan erat. Sial. Pamannya benar-benar membawa topik ini ke dalam rapat mereka. “Semua orang belum mengetahuinya, bukan?” tanya Dimas lagi. Raut wajahnya terlihat percaya diri dan bersemangat untuk menjatuhkan Morgan. “Dia diam-diam menikah dengan seorang gadis miskin dan tidak jelas latar belakangnya!” sergah Dimas. Suasana rapat yang semula berjalan lancar dan tenang itu seketika menjadi ribut. “Apakah itu benar?” “Bagaimana bisa?” “Bukankah dia sudah dijodohkan dengan anak pengusaha lainnya? Mengapa dia justru memilih gadis miskin?” Bisikan dan komentar terdengar bersahut-sahutan. Morgan semakin memanas di kursinya. Ia menatap sengit ke arah Dimas yang balik memandangnya dengan sorot menantang. “Bukannya menikah dengan anak pengusaha lainnya, dia justru menikahi gadis miskin. Secara diam-diam! Bagaimana perusahaan kita akan berkembang di tangan orang yang tidak mengerti b