Evelyn.
Memanggil ….Morgan duduk di kursi roda dan memandangi layar ponselnya. Sejak tadi, benda itu mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab. Pria itu tampak sudah rapi dan siap dalam pakaian formalnya. Untuk hari penting ini, Morgan memilih mengenakan kemeja putih dengan tuksedo hitam yang terlihat berkelas. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sudah siap untuk menghadapi hari ini. Namun, pikirannya tertuju pada hal lain.Hanya tinggal menghitung jam hingga pernikahannya berlangsung, dan Morgan justru memikirkan orang lain. Seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah kembali padanya.“Tuan, kita harus berangkat sekarang,” ucap Benny, sekretaris sekaligus pendamping Morgan hari ini. Sekali lagi, Morgan melirik pada ponselnya yang gagal menghubungi wanita itu. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Ayo berangkat,” ucapnya dengan suara berat. ******“Apa-apaan ini?” Dewi memprotes saat berada di kamar Yuna. Kamar itu dipenuhi oleh empat orang wanita yang tidak lain adalah Yuna dan dua keluarga serta Nara. “Pernikahannya hampir berlangsung, bahkan penghulunya sudah datang, tetapi tidak ada satu pun pihak keluarga pria yang datang,” omel Dewi dengan wajah kesal, “Pria itu pasti mencoba menghina keluarga kita mentang-mentang orang berada! Lihat saja, aku akan memberinya pelajaran!”Dewi sudah bersiap pergi dengan wajah penuh amarah, tetapi Senna langsung menghentikannya. “Ini pernikahan Kakak, Bu!” Senna mengingatkan. “Ibu tidak bisa mengacaukannya.” “Tapi, tidak ada satu pun keluarganya yang datang, Senna!” Dewi bersikeras, “Itu artinya dia tidak memandang pernikahan ini dengan serius. Enak saja putriku diperlakukan seperti ini!” sergah Dewi terus menggerutu. Yuna hanya bisa tersenyum canggung. Sejak awal Morgan berkata akan bertanggung jawab, yaitu tiga hari yang lalu, Yuna sudah merasa sedikit aneh. Kini, kecurigaannya benar-benar menjadi kenyataan. Morgan … tidak serius menikah dengannya. “Mungkin orang tuanya masih berada di luar negeri, Bu,” ucap Yuna, mencoba menenangkan meski ia tidak tahu apakah itu tindakan yang tepat. “Jangankan luar negeri, alam akhirat pun akan aku sebrangi jika anakku menikah!” sergah Dewi, “Bagaimana jika dia dan keluarganya memandangmu rendah, Yuna? Ibu tidak bisa menerima ini!”Yuna mengangguk tanda mengerti, kemudian menggenggam tangan sang ibu, berharap hal itu bisa menenangkannya. “Mereka bukan orang seperti itu,” ucap Yuna meski ia tak pernah bertemu keluarga Morgan. “Jika dia merendahkanku, dia tidak akan mau bertanggung jawab seperti ini, Bu,” lanjutnya. Setengah dari penuturan Yuna adalah kebohongan. Yuna merasa bersalah mengatakannya, dia bahkan membela Morgan, tetapi hanya itu yang bisa dia lakukan.Dewi akan tambah pusing jika Yuna tidak menikah dan memutuskan berada di sini.Saat itu, terdengar dua kali ketukan di pintu. Senna membukanya dan terlihat pria yang tidak lain adalah paman Yuna. “Prosesnya akan segera dimulai.” Dia memberitahu. “Kami akan segera ke sana,” jawab Dewi. Setelah pintu kembali tertutup, ia dan Senna lanjut bersiap, sementara Yuna berdiri tepat di sisi Nara. Yuna nyaris tak percaya pernikahannya akan datang secepat ini. “Kamu yakin dengan keputusan ini, Yuna? Bagaimana jika pria itu bukan orang baik?” Nara bertanya, setengah berbisik. Suara gadis itu terdengar ragu. Yuna tidak menjawab, hanya menunjukkan senyum canggung. Bahkan Yuna sendiri pun merasa sanksi. ****** Saat Yuna keluar didampingi oleh Nara dan Senna, dia melihat Morgan sudah siap di hadapan penghulu. Acara itu memang dadakan dan berlangsung secara tertutup. Bahkan, tempatnya digelar di ruang tamu kediaman Yuna sehingga tak banyak yang datang. Yuna berjalan mendekat dan duduk bersimpuh di sisi Morgan. “Mengapa tidak ada pihak keluargamu yang datang?” Gadis itu bertanya dengan berbisik lirih. “Orang tuaku berada di Taiwan dan mereka tidak sempat kembali,” jawab Morgan, setengah berbohong. Kedua orang tuanya memang berada di Taiwan, tetapi mereka bisa kembali andai tahu putranya akan segera menikah. Namun, tidak. Morgan tidak memberitahunya. Sejak awal, dia tidak berniat memberitahu siapa pun tentang pernikahan ini. Kedua orang tuanya akan memprotes dengan keras jika tahu ia menikah dengan gadis biasa. Yuna mengangguk patuh dan proses itu segera dilaksanakan. “Nama pengantin pria?” Penghulu itu bertanya. “Morgan Sebastian Nelson.” Pria di sisi Yuna menjawab dengan suara berat. Penghulu itu mengangguk. “Nama pengantin wanita?” Bibir Yuna terbuka untuk menjawab, tetapi Morgan lebih dahulu menyela. “Yuna Almira Pramudita.” Morgan mengucapkan dengan lengkap. Hal itu membuat Yuna sontak menoleh ke arahnya dengan heran. … bagaimana bisa Morgan mengetahui nama lengkapnya? Proses itu berjalan lancar dan khidmat. Bahkan, prosesnya tak berlangsung sampai setengah jam dan keduanya sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Kini, mereka mulai menyalami tamu undangan yang sedikit itu. Yuna terus mengukir senyum, hingga wajahnya berubah saat melihat sepasang kekasih berjalan mendekat. “Selamat atas pernikahanmu, Yuna. Aku tidak menyangka kamu akan menikah secepat ini. Sayang sekali, kamu tidak mengundangku,” ucap Sean dengan raut wajah berseri yang terlihat meledak. “Sean.” Yuna menelan saliva dengan gugup. Dia menatap sekitar. Sejak tadi, ia tak melihat keberadaan pria itu ataupun kekasihnya. “Bagaimana kau bisa datang kemari? Aku bahkan tidak memberitahumu!” ucap Yuna dengan setengah berbisik. Seringai di wajah Sean bertambah lebar melihat Yuna terkejut. Reaksi Yuna selalu menjadi hal yang menarik baginya. “Tentu saja aku harus datang ke acara pernikahan mantanku,” jawab Sean dengan ringan, “Tapi, tampaknya kau tidak mengundang siapa pun. Apakah benar ini acara pernikahan yang sah?” tambahnya dengan setengah mengejek. Yuna terdiam. Tidak dapat menjawab pertanyaan menjebak itu. “Wajar saja dia kesal, Sayang.” Aubrey menambahkan. “Siapa yang tidak kesal jika tak ada keluarga pengantin pria yang datang? Jika aku menjadi dirimu, aku akan langsung membatalkan pernikahan ini!” ucap Aubrey dengan setengah tersenyum. Lagi, Yuna hanya bisa menelan saliva yang terasa seperti jarum. Aubrey mendekati gadis itu perlahan, kemudian berbisik. “Apa yang Morgan katakan padamu? Bahwa orang tuanya berada di luar negeri dan tidak sempat datang? Aku beritahu, dia berbohong,” bisik Aubrey lirih. Sean yang berada tepat di samping Aubrey masih bisa mendengarnya dan ikut terkekeh geli. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian menggelengkan kepala seakan mengasihani nasib Yuna. “Malang sekali kamu, Yuna,” katanya, “Sejak dulu, kamu selalu mudah dibodohi. Saat pernikahanmu sendiri pun kamu ditipu. Lagi pula, bagaimana bisa kamu menikah dan sudi menjadi pelayan bagi pria lumpuh itu?” tanya Sean dengan nada merendahkan. “Apalagi alasannya kalau bukan demi uang?” Aubrey mendelik tak senang dan tersenyum tipis. Dia memberikan tatapan meremehkan pada Yuna yang masih mengenakan busana pengantin. “Dia tahu pria lumpuh itu memiliki banyak uang dan mencoba memanfaatkannya.” Yuna mengepalkan tangan dengan geram mendengar semua komentar itu. Seakan tidak cukup dengan Morgan yang bersikap acuh tak acuh, sekarang justru datang mereka yang menambah buruk pernikahannya. “Dengar ini,” ucap Aubrey, setengah berbisik. “Aku tidak tahu apa yang dijanjikan Morgan kepadamu, tetapi pasti dia tidak serius dengan pernikahan ini. Bahkan, kedua orang tuanya tidak datang. Jelas dia hanya menganggapmu sebagai mainannya.’ Yuna mengepalkan tangannya lebih kuat. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca mendengar itu. Yuna tak ingin mempercayainya, tetapi ia tahu terkaan Aubrey nyaris benar. “Sepertinya, kita harus menambah jumlah uang dalam amplop ini, Sayang,” ucap Sean. Dia membuka amplop putih itu dan memasukkan lebih banyak lembar uang ke dalamnya. “Setidaknya, dia akan merasa terhibur di pernikahan menyedihkan ini.”Aubrey mengangguk setuju dan langsung memberikan amplop itu kepada Yuna, tetapi Yuna justru menghempasnya ke lantai hingga lembaran uang seratus ribu jatuh berceceran di antara kaki mereka. “Aku tidak membutuhkan uangmu!” Jawaban itu menyulut emosi Sean dengan cepat. “Kau—”“Apa yang terjadi di sini?” Satu suara terdengar, diikuti kursi roda Morgan yang berjalan mendekat. Dia menatap dingin pada ketiganya. “Tepat sekali, Morgan,” ucap Aubrey, “Aku tidak menyangka jika seleramu turun drastis hingga mau menikahi gadis kampungan seperti dia.” Tanpa menjawab, Morgan melirik kepada Yuna. Gadis itu tak membalas penghinaan mereka dan meski tangannya terkepal erat, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalian datang hanya untuk mengatakan itu?” tanya Morgan. Yuna menelan saliva yang terasa seperti jarum. Suaminya bahkan tak berniat membelanya di hadapan mantan mereka. Raut wajah Morgan tetap datar, seakan tak peduli meski istrinya diinjak-injak. “Ya,” jawab Aubrey terang-terangan, “Sekarang, kami harus pergi karena pesawat kami akan berangkat siang ini.” Wanita itu mengamit tangan Sean dengan mesra. “Ayo, Sayang.” Keduanya berjalan meninggalkan mereka dengan wajah puas. Jelas puas, mereka telah berhasil mengacak-acak perasaan Yuna hingga berantakan. “Jangan dengarkan mereka,” ucap Morgan datar, kemudian bersiap menggerakkan kursi rodanya lagi. “... apakah itu benar?” Yuna bertanya. Suaranya terdengar berguncang. Morgan berhenti. Mata Yuna semakin berkaca-kaca memandang punggung dingin suaminya. “Apakah benar kau hanya mempermainkanku dengan pernikahan ini?” tanya Yuna sekali lagi. Dia sedikit terhenyak di akhir kalimatnya. Morgan mengembuskan napas panjang. Dia memejamkan mata menahan kesal, kemudian menoleh ke arah Yuna. Tatapannya terlihat dingin dan tak terjangkau.“Sejak awal, tidak ada cinta dalam pernikahan kita. Kau setuju untuk mempertahankan bayi itu, jadi aku bertanggung jawab. Jangan mengharapkan apa pun. Prioritasku hanya bayi dalam kandunganmu, bukan dirimu.”“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u